PENDAHULUAN
Bangsa cina merupakan salah satu
bangsa yang paling awal memasuki zaman sejarah. Dengan kemampuan menulisnya,
bangsa cina secara bertahap berhasil mengembangkan kebudayaan mereka menjadi
terkemuka di antara banga-bangsa lain di sekitarnya. Oleh karena itu tidak
mengherankan apabila berbagai bangsa lain tertarik dan mengadopsi berbagai unsur
kebudayaan Cina. Bahkan melalui jalur sutera, kebudayaan cina menyebar ke barat
dan mencapai Eropa. Ketika transportasi laut mulai populer, pengaruh kebudayaan
Cina meluas sampai Asia kepulauan, termasuk Indonesia. ( Purwanta, 2009: 2 )
Pada umumnya periodisasi sejarah
cina di bagi, ke dalam lima babakan waktu besar yaitu :
1. Pra Sejarah
2. Zaman Klasik
3. Zaman Madya
4. Zaman Pra Modern
5. Zaman Modern
Pada periode Klasik dapat disimak
dengan adanya proses pembentukan ciri kebudayaan Cina yang bertahan sampai
zaman modern. Pada masa itu, secara politisi merupakan masa pemerintahan
dinasti Zhou, Qin dan Han Barat. Masa pemerintahan Dinasti Zhou terbagi dalam
tiga periode yang lebih kecil. Paling awal dikenal sebagai masa Zhou barat yang
berlangsung sekitar abad XI sampai Abad VIII sebelum masehi ( SM ). Pada masa
itu ibu kota Zhou berada di daerah Hao yang terletak di provinsi Shensi bagian
timur sekarang. Ciri khas masa ini adalah berkembangnya feodalisme. ( Purwanta,
2009: 3)
Periode kedua dikenal secara umum
sebagai sebagai masa pemerintahan Zhou Timur yang berlangsung dari Abad VIII
sampai Abad V SM. Tonggak pembatas dengan periode sebelumnya adalah terjadinya
perpindahan ibukota kerajaan Zhou dari Hao ke Loyang di provinsi Honan
sekarang. Ciri khas periode Zhou timur adalah terjadinya kemunduran feodalisme,
dikatakan sebagai kemunduran, karena feodalisme sebagai sistem pemerintahan
tidak lagi mampu menjamin efektifitas penguna kekuasaan raja. ( Purwanta, 2009:
4 )
Periode terakhir pemerintahan
dinasti Zhou dikenal sebagai periode negara berperang yang berlangsung dari
abad V sampai dengan abad III SM. Perang pada masa ini berlangsung lebih
massif, karena dipergunakan teknologi besi dan kuda dalam berperangan. Perang
berakhir dengan dipersatukan cina oleh sebuah dinasti baru yang dikenal dengan
dinasti Qin.
Pada masa pemerintahan dinasti
Qin masyarakat cina mengalami transisi yaitu di satu sisi telah menninggalkan
sistem feodal tetapi di satu sisi lain belum menemukan penganti yang tepat.
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa masa pemerintahan dinasti Qin diwarnai
oleh penerapan sistem politik baru yang belum dapat dikatakan sebagai ekstrim.
Ciri khas pemerintahan Qin adalah
penerapan hukum yang ketat oleh aliran Faji. Bahwa aliran ini berpendapat bahwa
masyarkat akan menjadi baik apabila diperlakukan secara nasional peraturan yang
jelas, tegas dan sanksi yang berat bagi pelanggarnya. ( Purwanta, 2009: 6)
A. Konsep Kekuasaan
Unsur yang sangat erat berkaitan
dengan penggunaan kekuasaan adalah wewenang ( authority ) dan legitimasi.
Wewenang merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Dengan adanya wewenang,
penguasa berhak secara formal untuk mengeluarkan peraturan dan menuntut
kepatuhan terhadap peraturan itu. Max weber membagi wewenamg menjadi tiga macam
yaitu wewenang tradisional, kharismatik, dan legal rasional. Unsur legitimasi
merupakan keyakinan bahwa wewenang yang ada pada penguasa adalah sudah wajar
dan patut dihormati.
Berdasarkan pembagian wewenang
yang dilakukan Weber, wewenang penguasa Cina dapat dimasukan dalam kategori
kharismatik. Penguasa di cina dipercaya mempunyai hubungan khusus dengan alam
gaib. Kekuasaan yang dimilikinya bukan berasal dari dunia manusia, tetapi
diyakini berasal dari alam adiduniawi, sehingga wewenangnya berasal dari
adiduniawi. Keadiduniawian wewenang para penguasa Cina dapat disimak dari
legitimasi kekuasaan yang mereka gunakan. Boleh dikatakan bahwa seluruh
penguasa cina masa kerajaan dan kekaisaran mengunakan legitimasi religius.
Mereka mengatakan bawa diri mereka berkuasa karena “dipaksa” oleh yang gaib
untuk mengendalikan pemerintah Cina. ( Purwanta, 2009: 10)
B. Pandangan Dunia
Untuk memahami konsep kekuasaan
bangsa Cina, kita harus menempatkan di dalam kerangka pandangan dunia Cina
secara keseluruhan. Wilayah Cina secara geografis terletak di benua Asia
daratan. Posisi ini membawa konsekuensi perkembangan bidang pertanian berada di
jauh di atas bidang-bidang lain, seperti perdagangan. Dalam stratifikasi sosial
pun, kelas petani beada di atas kelas pedagang. Pepatah kuno mengatakan
“pekerjaan petani bagaikan akar sebuah pohon, sedang berdagang hanya merupakan
rantingnya saja.” Bertani merupakan bidang kerja yang banyak menguntungkan diri
pada alam. Dalam sistem pertanian tradisional, berhasil atau gagalnya panen
petani lebih banyak ditentukan oleh kondisi alam, seperti kesuburan tanah dan
iklim. Ketergantungan petani pada alam itu menjadi salah satu faktor penting
terbentuknya nilai yang inti pada pemujaan terhadap kesuburan tanah dan iklim.
Seperti tampak dalam religi mereka. Pemujaan terhadap kesuburan dapat dilihat
pada penempatan Ti (bumi) sebagai pantheon yang tertinggi dalam sistem religi
Cina sampai periode dinasti Shang. ( Purwanta, 2009: 15)
C. Konsep Kekuasaan Cina
Masyarakat Cina tradisional
memandang kekuasaan politik sebagai salah satu bentuk energi kekuasaan alam
semesta. Otoritas politik penguasa secara tradisi bersandar pada konsep
Tian-Ming. Seorang menjadi penguasa poltik karena memperoleh mandat (ming) dari
tian. Terdapat hubungan dengan alam adi-duniawi juga terekspresi pada sebutan
penguasa politik sebagai tian-tzu yang secara leksikal berarti anak tian.
Sebagai makhluk yang memiliki relasi khusus dengan tian, penguasa politik
mempunyai wewenang yang sangat luas dalam mengatur kehidupan manusia. ( Purwanta, 2009: 19)
Pada umumnya masyarakat Cina
memandang bahwa kekuasaan politik bersifat aktif dan kekuasaan etis bersifat
pasif. ( Purwanta, 2009: 20)
D. Konsep Pembagian Wilayah
Kekuasaan
Masyarakat Cina memandang bahwa
segal sesuatu berada di bawah kekuasaan tian (tian-hsia). Konsekuensi lanjut
dari paham itu adalah tidak terbatasnya wilayah kekuasaan raja/ kaisar sebagai
penguasa politik. Sebagai wakil tian, kaisar juga berkuasa atas segala suatu
yang ada di dunia ini. Secara tradisi sejak dinasti Shang, pembedaan diri
bangsa Cina dengan bangsa lain telah terjadi. Akan tetapi pembedaan itu lebih
didasarkan pada segi sosial-budaya. Istilah yang digunakan untuk membedakan
pada pokoknya hanya dua, yaitu nei (internal/diri sendiri/beradab) untuk bangsa
Cina dan wai (eksternal/asing/barbar) untuk menyebut bangsa lain. ( Purwanta, 2009: 21)
Penguasa Cina memandang bahwa
peradaban bangsa barbar merupakan tugas suci
yang dinerikan tian. Paling tidak ada dua metode pemberadaban yang
dikenal oleh masyarakat Cina. Pertama, peradaban melalui “jalan damai”, yaitu
dengan memperkenalkan etiket dan peradaban (li-chieh) Cina kepada bangsa
barbar. Metode peradaban kedua melalui jalan kekerasan. Bangsa Cina melakukan
ekspedisi militer ke permukiman barbar dan memaksa mereka tunduk/ takluk kepada
kaisar. ( Purwanta, 2009: 22)
E. Konsep Pembagian Wilayah
Kekuasaan
Masyarakat Cina memandang bahwa
segal sesuatu berada di bawah kekuasaan tian (tian-hsia). Konsekuensi lanjut
dari paham itu adalah tidak terbatasnya wilayah kekuasaan raja/ kaisar sebagai
penguasa politik. Sebagai wakil tian, kaisar juga berkuasa atas segala suatu
yang ada di dunia ini. Secara tradisi sejak dinasti Shang, pembedaan diri
bangsa Cina dengan bangsa lain telah terjadi. Akan tetapi pembedaan itu lebih
didasarkan pada segi sosial-budaya. Istilah yang digunakan untuk membedakan
pada pokoknya hanya dua, yaitu nei (internal/diri sendiri/beradab) untuk bangsa
Cina dan wai (eksternal/asing/barbar) untuk menyebut bangsa lain. ( Purwanta, 2009: 21)
Penguasa Cina memandang bahwa
peradaban bangsa barbar merupakan tugas suci
yang dinerikan tian. Paling tidak ada dua metode pemberadaban yang
dikenal oleh masyarakat Cina. Pertama, peradaban melalui “jalan damai”, yaitu
dengan memperkenalkan etiket dan peradaban (li-chieh) Cina kepada bangsa
barbar. Metode peradaban kedua melalui jalan kekerasan. Bangsa Cina melakukan
ekspedisi militer ke permukiman barbar dan memaksa mereka tunduk/ takluk kepada
kaisar. ( Purwanta, 2009: 22)
F. Bukti Aktivitas Agraris Bangsa
Cina
Shiji, salah satu historiografi
tradisional Cina, menjelaskan bahwa suku Zhou pada awalnya merupakan masyarakat
petani. Pandangan itu sesuai legenda yang menyatakan bahwa pendiri suku Zhou
adalah Houzi atau dewa gandum. Untuk menghasilkan gandum, suatu masyarakat
harus bercocok tanam. Dengan kata lain gandum hanya diproduksi oleh masyarakat
pertanian. Akan tetapi, kebertanian suku Zhou kemudian berubah menjadi nomad.
Hal itu sesuai dengan penjelasan shiji
selanjutnya menerangkan bahwa pu k’u meninggalkan ayahnya dan zi atau pertanian
untuk hidup bersama orang barbar. ( Purwanta, 2009: 29)
G. Penerapan Sistem Feodal
Selain sebagai penguasa politik,
kaum bangsawan juga memilki kedudukan yang penting dalam pengembangan
kebudayaan. Mereka memelihara kelompok pengrajin dan seniman yang tinggal di
kompleks kota bentengnya. Pada waktu senggang para bangsawan juga dengan tekun
mempelajari tata krama (li). ( Purwanta, 2009: 52)
Di luar kelas penguasa terdapat
kelompok rakyat biasa yang disebut min,
shu-jen, atau chung-jen. Mereka merupakan mayoritas dalam masyarakat Zhou dan
menjadi pendukung kelompok kehidupan ekonomi kaum penguasa. Tidak seperti kelas
penguasa, rakyat biasa tidak mempunyai nama klan ( genealogi / marga), tradisi
pemujaan, hanya sedikit mengetahui tenttang tata krama (li). ( Purwanta, 2009:
52)
Kelas rakyat biasa dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu golongan tukang atau pengrajin, petani dan
pedagang. Tukang, pengrajin, dan seniman merupakan anggota kelas rakyat biasa
yang hidupnya paling dekat dengan kaum bangsawan. Mereka tinggal di dalam kota
benteng dan bahkan sering diajak oleh penguasa ketika ke medan perang. Oleh
karena itu kedekatannya dengan penguasa dan besarnya jasa mereka kepada
penguasa, mereka secara sosial mereka ditempatkan pada kedudukan yang tinggi
diantara kelas rakyat biasa. ( Purwanta, 2009: 53)
Sebagian besar anggota kelas
rakyat biasa memiliki mata pencarian sebagai petani. Mereka mengelola lahan
yang secara formal(hukum) adalah milik penguasa. Dalam mengelola tanah,
biasanya petani mengunakan sistem jing. Secara leksikal jing berarti “sumur”.
Pada sistem itu tanah pertanian dibagi dalam kesatuan-kesatuan kerja. Setiap
kesatuan kerja dibagi lagi menjadi sembilan seperti huruf Cina untuk kata jing.
Pengerjaan tanah setiap kesatuan kerja dilakukan oleh delapan keluarga petani.
pengaturannya delapan adalah kotak yang ada dipinggir dikerjakan oleh
masing-masing keluarga petani dan hasilnya dinakmati oleh petani sendiri. Satu
kotak sisanya yang terdapat di tengah-tengah dikerjakan secara bergiliran dan
hasilnya diperuntukan oleh penguasa feodal mereka sebagi upeti. ( Purwanta,
2009: 53)
Kelompok yang paling rendah
kedudukannya sosialnya adalah kaum pedagang. Sangat sulit untuk memperkirakan
kemunculan kelompok pedagang pada masyarakat Cina. Ditemukannya mata uang logam
pada masa dinasti Zhou menunjukan pada masa itu telah terdapat kaum pedagang.
Mereka dipandang rendah karena paling sedikit sumbangannya bagi penguasa
foedal. ( Purwanta, 2009: 53).
Meskipun secara pedagang
menduduki status yang paling rendah, secara ekonomis mereka berada di atas kaum
petani. Mereka memperoleh banyak keuntungan dari perdagangan antar-negara
foedal. Bahkan salah satu pedagang, namanya Lu Buwei, berhasil masuk ke dalam
kelompok pembuat kebijakan, di negara Qin.( Purwanta, 2009: 54).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar