Minggu, 12 Mei 2013

Rumpun Bambu Beralas Perahu : Menelusuri Jejak Interaksi Kemaritiman Cina-Asia Tenggara (1)




PENDAHULUAN

Bangsa cina merupakan salah satu bangsa yang paling awal memasuki zaman sejarah. Dengan kemampuan menulisnya, bangsa cina secara bertahap berhasil mengembangkan kebudayaan mereka menjadi terkemuka di antara banga-bangsa lain di sekitarnya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila berbagai bangsa lain tertarik dan mengadopsi berbagai unsur kebudayaan Cina. Bahkan melalui jalur sutera, kebudayaan cina menyebar ke barat dan mencapai Eropa. Ketika transportasi laut mulai populer, pengaruh kebudayaan Cina meluas sampai Asia kepulauan, termasuk Indonesia. ( Purwanta, 2009: 2 )

Pada umumnya periodisasi sejarah cina di bagi, ke dalam lima babakan waktu besar yaitu :
1. Pra Sejarah
2. Zaman Klasik
3. Zaman Madya
4. Zaman Pra Modern
5. Zaman Modern

Pada periode Klasik dapat disimak dengan adanya proses pembentukan ciri kebudayaan Cina yang bertahan sampai zaman modern. Pada masa itu, secara politisi merupakan masa pemerintahan dinasti Zhou, Qin dan Han Barat. Masa pemerintahan Dinasti Zhou terbagi dalam tiga periode yang lebih kecil. Paling awal dikenal sebagai masa Zhou barat yang berlangsung sekitar abad XI sampai Abad VIII sebelum masehi ( SM ). Pada masa itu ibu kota Zhou berada di daerah Hao yang terletak di provinsi Shensi bagian timur sekarang. Ciri khas masa ini adalah berkembangnya feodalisme. ( Purwanta, 2009: 3)

Periode kedua dikenal secara umum sebagai sebagai masa pemerintahan Zhou Timur yang berlangsung dari Abad VIII sampai Abad V SM. Tonggak pembatas dengan periode sebelumnya adalah terjadinya perpindahan ibukota kerajaan Zhou dari Hao ke Loyang di provinsi Honan sekarang. Ciri khas periode Zhou timur adalah terjadinya kemunduran feodalisme, dikatakan sebagai kemunduran, karena feodalisme sebagai sistem pemerintahan tidak lagi mampu menjamin efektifitas penguna kekuasaan raja. ( Purwanta, 2009: 4 )

Periode terakhir pemerintahan dinasti Zhou dikenal sebagai periode negara berperang yang berlangsung dari abad V sampai dengan abad III SM. Perang pada masa ini berlangsung lebih massif, karena dipergunakan teknologi besi dan kuda dalam berperangan. Perang berakhir dengan dipersatukan cina oleh sebuah dinasti baru yang dikenal dengan dinasti Qin.

Pada masa pemerintahan dinasti Qin masyarakat cina mengalami transisi yaitu di satu sisi telah menninggalkan sistem feodal tetapi di satu sisi lain belum menemukan penganti yang tepat. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa masa pemerintahan dinasti Qin diwarnai oleh penerapan sistem politik baru yang belum dapat dikatakan sebagai ekstrim.

Ciri khas pemerintahan Qin adalah penerapan hukum yang ketat oleh aliran Faji. Bahwa aliran ini berpendapat bahwa masyarkat akan menjadi baik apabila diperlakukan secara nasional peraturan yang jelas, tegas dan sanksi yang berat bagi pelanggarnya. ( Purwanta, 2009: 6)

A. Konsep Kekuasaan
Unsur yang sangat erat berkaitan dengan penggunaan kekuasaan adalah wewenang ( authority ) dan legitimasi. Wewenang merupakan kekuasaan yang dilembagakan. Dengan adanya wewenang, penguasa berhak secara formal untuk mengeluarkan peraturan dan menuntut kepatuhan terhadap peraturan itu. Max weber membagi wewenamg menjadi tiga macam yaitu wewenang tradisional, kharismatik, dan legal rasional. Unsur legitimasi merupakan keyakinan bahwa wewenang yang ada pada penguasa adalah sudah wajar dan patut dihormati.
Berdasarkan pembagian wewenang yang dilakukan Weber, wewenang penguasa Cina dapat dimasukan dalam kategori kharismatik. Penguasa di cina dipercaya mempunyai hubungan khusus dengan alam gaib. Kekuasaan yang dimilikinya bukan berasal dari dunia manusia, tetapi diyakini berasal dari alam adiduniawi, sehingga wewenangnya berasal dari adiduniawi. Keadiduniawian wewenang para penguasa Cina dapat disimak dari legitimasi kekuasaan yang mereka gunakan. Boleh dikatakan bahwa seluruh penguasa cina masa kerajaan dan kekaisaran mengunakan legitimasi religius. Mereka mengatakan bawa diri mereka berkuasa karena “dipaksa” oleh yang gaib untuk mengendalikan pemerintah Cina. ( Purwanta, 2009: 10)

B. Pandangan Dunia
Untuk memahami konsep kekuasaan bangsa Cina, kita harus menempatkan di dalam kerangka pandangan dunia Cina secara keseluruhan. Wilayah Cina secara geografis terletak di benua Asia daratan. Posisi ini membawa konsekuensi perkembangan bidang pertanian berada di jauh di atas bidang-bidang lain, seperti perdagangan. Dalam stratifikasi sosial pun, kelas petani beada di atas kelas pedagang. Pepatah kuno mengatakan “pekerjaan petani bagaikan akar sebuah pohon, sedang berdagang hanya merupakan rantingnya saja.” Bertani merupakan bidang kerja yang banyak menguntungkan diri pada alam. Dalam sistem pertanian tradisional, berhasil atau gagalnya panen petani lebih banyak ditentukan oleh kondisi alam, seperti kesuburan tanah dan iklim. Ketergantungan petani pada alam itu menjadi salah satu faktor penting terbentuknya nilai yang inti pada pemujaan terhadap kesuburan tanah dan iklim. Seperti tampak dalam religi mereka. Pemujaan terhadap kesuburan dapat dilihat pada penempatan Ti (bumi) sebagai pantheon yang tertinggi dalam sistem religi Cina sampai periode dinasti Shang. ( Purwanta, 2009: 15)

C. Konsep Kekuasaan Cina
Masyarakat Cina tradisional memandang kekuasaan politik sebagai salah satu bentuk energi kekuasaan alam semesta. Otoritas politik penguasa secara tradisi bersandar pada konsep Tian-Ming. Seorang menjadi penguasa poltik karena memperoleh mandat (ming) dari tian. Terdapat hubungan dengan alam adi-duniawi juga terekspresi pada sebutan penguasa politik sebagai tian-tzu yang secara leksikal berarti anak tian. Sebagai makhluk yang memiliki relasi khusus dengan tian, penguasa politik mempunyai wewenang yang sangat luas dalam mengatur kehidupan manusia.  ( Purwanta, 2009: 19)
Pada umumnya masyarakat Cina memandang bahwa kekuasaan politik bersifat aktif dan kekuasaan etis bersifat pasif. ( Purwanta, 2009: 20)

D. Konsep Pembagian Wilayah Kekuasaan
Masyarakat Cina memandang bahwa segal sesuatu berada di bawah kekuasaan tian (tian-hsia). Konsekuensi lanjut dari paham itu adalah tidak terbatasnya wilayah kekuasaan raja/ kaisar sebagai penguasa politik. Sebagai wakil tian, kaisar juga berkuasa atas segala suatu yang ada di dunia ini. Secara tradisi sejak dinasti Shang, pembedaan diri bangsa Cina dengan bangsa lain telah terjadi. Akan tetapi pembedaan itu lebih didasarkan pada segi sosial-budaya. Istilah yang digunakan untuk membedakan pada pokoknya hanya dua, yaitu nei (internal/diri sendiri/beradab) untuk bangsa Cina dan wai (eksternal/asing/barbar) untuk menyebut bangsa lain.  ( Purwanta, 2009: 21)
Penguasa Cina memandang bahwa peradaban bangsa barbar merupakan tugas suci  yang dinerikan tian. Paling tidak ada dua metode pemberadaban yang dikenal oleh masyarakat Cina. Pertama, peradaban melalui “jalan damai”, yaitu dengan memperkenalkan etiket dan peradaban (li-chieh) Cina kepada bangsa barbar. Metode peradaban kedua melalui jalan kekerasan. Bangsa Cina melakukan ekspedisi militer ke permukiman barbar dan memaksa mereka tunduk/ takluk kepada kaisar. ( Purwanta, 2009: 22)

E. Konsep Pembagian Wilayah Kekuasaan
Masyarakat Cina memandang bahwa segal sesuatu berada di bawah kekuasaan tian (tian-hsia). Konsekuensi lanjut dari paham itu adalah tidak terbatasnya wilayah kekuasaan raja/ kaisar sebagai penguasa politik. Sebagai wakil tian, kaisar juga berkuasa atas segala suatu yang ada di dunia ini. Secara tradisi sejak dinasti Shang, pembedaan diri bangsa Cina dengan bangsa lain telah terjadi. Akan tetapi pembedaan itu lebih didasarkan pada segi sosial-budaya. Istilah yang digunakan untuk membedakan pada pokoknya hanya dua, yaitu nei (internal/diri sendiri/beradab) untuk bangsa Cina dan wai (eksternal/asing/barbar) untuk menyebut bangsa lain.  ( Purwanta, 2009: 21)
Penguasa Cina memandang bahwa peradaban bangsa barbar merupakan tugas suci  yang dinerikan tian. Paling tidak ada dua metode pemberadaban yang dikenal oleh masyarakat Cina. Pertama, peradaban melalui “jalan damai”, yaitu dengan memperkenalkan etiket dan peradaban (li-chieh) Cina kepada bangsa barbar. Metode peradaban kedua melalui jalan kekerasan. Bangsa Cina melakukan ekspedisi militer ke permukiman barbar dan memaksa mereka tunduk/ takluk kepada kaisar. ( Purwanta, 2009: 22)

F. Bukti Aktivitas Agraris Bangsa Cina
Shiji, salah satu historiografi tradisional Cina, menjelaskan bahwa suku Zhou pada awalnya merupakan masyarakat petani. Pandangan itu sesuai legenda yang menyatakan bahwa pendiri suku Zhou adalah Houzi atau dewa gandum. Untuk menghasilkan gandum, suatu masyarakat harus bercocok tanam. Dengan kata lain gandum hanya diproduksi oleh masyarakat pertanian. Akan tetapi, kebertanian suku Zhou kemudian berubah menjadi nomad. Hal itu sesuai  dengan penjelasan shiji selanjutnya menerangkan bahwa pu k’u meninggalkan ayahnya dan zi atau pertanian untuk hidup bersama orang barbar. ( Purwanta, 2009: 29)

G. Penerapan Sistem Feodal
Selain sebagai penguasa politik, kaum bangsawan juga memilki kedudukan yang penting dalam pengembangan kebudayaan. Mereka memelihara kelompok pengrajin dan seniman yang tinggal di kompleks kota bentengnya. Pada waktu senggang para bangsawan juga dengan tekun mempelajari tata krama (li). ( Purwanta, 2009: 52)
Di luar kelas penguasa terdapat kelompok rakyat  biasa yang disebut min, shu-jen, atau chung-jen. Mereka merupakan mayoritas dalam masyarakat Zhou dan menjadi pendukung kelompok kehidupan ekonomi kaum penguasa. Tidak seperti kelas penguasa, rakyat biasa tidak mempunyai nama klan ( genealogi / marga), tradisi pemujaan, hanya sedikit mengetahui tenttang tata krama (li). ( Purwanta, 2009: 52)
Kelas rakyat biasa dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu golongan tukang atau pengrajin, petani dan pedagang. Tukang, pengrajin, dan seniman merupakan anggota kelas rakyat biasa yang hidupnya paling dekat dengan kaum bangsawan. Mereka tinggal di dalam kota benteng dan bahkan sering diajak oleh penguasa ketika ke medan perang. Oleh karena itu kedekatannya dengan penguasa dan besarnya jasa mereka kepada penguasa, mereka secara sosial mereka ditempatkan pada kedudukan yang tinggi diantara kelas rakyat biasa. ( Purwanta, 2009: 53)

Sebagian besar anggota kelas rakyat biasa memiliki mata pencarian sebagai petani. Mereka mengelola lahan yang secara formal(hukum) adalah milik penguasa. Dalam mengelola tanah, biasanya petani mengunakan sistem jing. Secara leksikal jing berarti “sumur”. Pada sistem itu tanah pertanian dibagi dalam kesatuan-kesatuan kerja. Setiap kesatuan kerja dibagi lagi menjadi sembilan seperti huruf Cina untuk kata jing. Pengerjaan tanah setiap kesatuan kerja dilakukan oleh delapan keluarga petani. pengaturannya delapan adalah kotak yang ada dipinggir dikerjakan oleh masing-masing keluarga petani dan hasilnya dinakmati oleh petani sendiri. Satu kotak sisanya yang terdapat di tengah-tengah dikerjakan secara bergiliran dan hasilnya diperuntukan oleh penguasa feodal mereka sebagi upeti. ( Purwanta, 2009: 53)
Kelompok yang paling rendah kedudukannya sosialnya adalah kaum pedagang. Sangat sulit untuk memperkirakan kemunculan kelompok pedagang pada masyarakat Cina. Ditemukannya mata uang logam pada masa dinasti Zhou menunjukan pada masa itu telah terdapat kaum pedagang. Mereka dipandang rendah karena paling sedikit sumbangannya bagi penguasa foedal. ( Purwanta, 2009: 53).
Meskipun secara pedagang menduduki status yang paling rendah, secara ekonomis mereka berada di atas kaum petani. Mereka memperoleh banyak keuntungan dari perdagangan antar-negara foedal. Bahkan salah satu pedagang, namanya Lu Buwei, berhasil masuk ke dalam kelompok pembuat kebijakan, di negara Qin.( Purwanta, 2009: 54). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar