Minggu, 06 September 2015

23 yang Ageless

Memasuki usia kepala 2, saya sudah ribut montang manting, "bagaimana jadinya dengan usia baru 20 tahun? apa yang akan terjadi nanti?" dan bla bla bla segudang pertanyaan lainnya.


Namun ternyata ketika sudah dijalani, toh tak ada bedanya dengan yang dahulu. Artinya, saya masih harus seperti saya yang dulu. Yang berusaha untuk menjadi baik tanpa merasa menjadi yang terbaik.


Begitu pun ketika usia saya menginjak 23 tahun. Sebuah usia yang menjadi jembatan penghubung antara remaja dan kedewasaan. Sebuah usia yang sedikit absurd mungkin. Untuk berpenampilan seperti remaja usia sekolah menengah juga sudah tidak cocok. Berpenampilan seperti bapak-bapak juga sepertinya belum terlalu pantas. Ya jadilah penampilan kasual saja. Hehehe.


Dari sisi lembaran baru, usia ini membawa sedikit perubahan dengan status baru. Seperti status yang sudah purna tugas sebagai mahasiswa,  status baru sebagai duta, dan status sebagai pegawai. Tentu berbagai status baru ini harus dijalani dengan penuh tanggung jawab, tanpa mencoreng nama institusi.


Payahnya, di usia yang baru ini, beragam pertanyaan yang berhubungan dengan pacar, jodoh, dan menikah, mulai bertebaran. Namun tak jarang banyak yang memberi doa tulus supaya saya diberiNya gadis terbaik untuk diikat dalam janji suci sehidup semati. Terima kasih, ya?


Well,

usia ini bukan usia yang harus ditakuti. Bahkan siapapun yang bertambah usia, jangan menjadikan usia baru sebagai kekhawatiran untuk tambah tua hehehe. Meski 23 harus tetap masih ageless, dong!

Sabtu, 05 September 2015

Lika-liku Sejarah Jamu

(Keterangan foto: Penjual jamu di Yogyakarta tahun 1910/wikipedia)


SIAPA yang tidak mengenal jamu? Obat tradisional yang kemahsyurannya turun temurun ini memang betul-betul melegenda. Bagaimana tidak? Sejak kemunculannya pada kurang lebih abad 8 Masehi, jamu terus menjadi alternatif obat tradisional yang mujarab hingga hari ini.
Ahli bahasa Jawa Kuna menyebut, istilah jamu berasal dari singkatan dua kata bahasa Jawa Kuno yaitu djampi (penyembuhan dengan ramuan obat atau doa-doa) serta oesodo (kesehatan). Istilah oesodo pada tahun-tahun selanjutnya kalah populer dibanding istilah jampi yang makin populer di kalangan keraton. Sementara sebutan “jamu” mulai diperkenalkan kepada publik oleh dukun atau tabib pengobat tradisional.

Bukti keberadaan jamu sebagai pengobatan terpahat secara apik pada relief Candi Borobudur yang menggambarkan kebiasaan meracik dan minum jamu untuk memelihara kesehatan. Bukti sejarah lainnya yaitu penemuan prasasti Madhawapura dari peninggalan Kerajaan Hindu-Majapahit yang menyebut profesi Acaraki, yang berarti “tukang meracik jamu”. Seorang Acaraki harus melakukan meditasi dan berpuasa terlebih dahulu untuk meracik jamu. Ini dilakukan agar dia dapat merasakan energi positif untuk dituangkan dalam ramuan kesehatan yang dibuatnya.

Selain itu, pada abad yang lebih kontemporer, pengobatan penyakit di zaman Jawa kuna dengan menggunakan obat-obatan dari alam juga dapat ditemukan dalam Serat Centhini. Konon, Serat Centhini dianggap sebagai kitab dengan penjelasan terbaik mengenai penyakit beserta obatnya. Yang menarik lagi, perpustakaan Keraton Surakarta bahkan menyimpan Serat Kawruh Bab Jampi-jampi yang memuat 1.734 resep jamu yang terbuat dari bahan alami, berikut rekomendasi penggunaan dan dosisnya.

Kini, tentu masih bisa ditemukan jamu-jamu tradisional yang dijajakan secara berkeliling oleh simbok penjual jamu. Beras kencur, kunir asem, sampai temu ireng dan godhong kates, masih bisa kita rasakan dengan harga yang sangat terjangkau. Tak ayal, kelestarian jamu tradisional pun dirasa perlu untuk ditasbihkan sebagai warisan budaya dunia. Ya, bagaimanapun kembali ke alam merupakan cara yang mudah, murah, dan tepat untuk mengatasi keluhan penyakit di era modern ini.

Penulis: Fadhil Nugroho Adi
Dimuat di rubrik Pringgitan suaramerdeka.com