Rabu, 11 April 2012

Metode Sejarah tahap Interpretasi - Menurut Gilbert J. Garraghan


Metode Sejarah
Interpretasi

Disusun Oleh:
Fadhil Nugroho Adi
13030110130054
                                                                            
Untuk menghasilkan kisah sejarah atau yang lazim disebut historiografi, fakta yang telah dikumpulkan melalui proses heuristik dan dipilah berdasar otentisitas dan kredibilitasnya harus diinterpretasikan terlebih dahulu. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat bersifat individual, dalam kata lain, siapa saja bisa menafsirkan sumber sejarah tersebut. Perbedaan interpretasi terjadi karena adanya perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, dan lain sebagainya yang memengaruhi interpretasinya.
Memang benar jika kedudukan interpretasi ada di antara verifikasi dan eksposisi. Subjektivitas pun menjadi hak sejarawan. Akan tetapi tidak berarti sejarawan dapat melakukan interpretasi sekehendaknya sendiri. Sejarawan tetap harus berjalan di bawah naungan kaidah-kaidah metodologi sejarah sehingga subjektivitas dapat dieliminasi.
Dalam tahap interpretasi, Gilbert J. Garraghan membagi interpretasi ke dalam lima jenis, yakni interpetasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Berikut akan penulis paparkan masing-masing definisi serta sampel dari kelima jenis interpretasi tersebut.

1.        Interpretasi Verbal
Interpretasi verbal merupakan langkah penafsiran kata-kata yang diambil secara individual atau kelompok dalam sumber sejarah. Interpretasi verbal mencakup lima aspek yakni:
a.       Bahasa
Aspek bahasa memiliki fungsi untuk menjelaskan makna kata-kata dan kalimat-kalimat guna mengambil ide-ide dalam dokumen tertulis. Contoh kasus dalam penginterpretasian bahasa adalah kesukaran yang dihadapi para peneliti sejarawan Abad Tengah yang tidak mampu membaca tulisan dari bahasa latin-klasik atau dari bahasa latin jenis lain. Hal yang sama juga dapat terjadi ketika para ahli filologi mengalih-aksarakan serat Panitibaya yang diusahakan sesuai dengan bunyi naskah aslinya baris demi baris agar mudah diperbandingkan dengan teks aslinya. Penerjemahan kata demi kata pun tidak mungkin dilakukan karena struktur kalimat berbahasa Jawa yang berbentuk tembang tidak seiring dengan struktur bahasa Indonesia. Apabila serat tersebut diterjemahkan sesuai dengan urutan tiap-tiap kata dalam tiap baris, maka sering terjadi terjemahan itu hanya sebatas menjadi urutan kata-kata tanpa makna.

b.      Kosa Kata
Pemahaman kosa kata menunjukkan cara berpikir yang cermat, tidak hanya dalam unit-unit kata melainkan juga sinonim-sinonim, idiom-idiom, dan kejelasan setiap elemen suatu pembicaraan. Kata-kata yang diinterpretasi sering mengandung konotasi-konotasi yang tidak terdapat dalam kamus. Contoh kasus penginterpretasian kosa kata terdapat dalam Serat Kalatidha pupuh Sinom tulisan R. Ng. Ranggawarsita berikut,
“Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dene karoban rubeda”
Kosakata yang konotatif dan tidak bisa diartikan secara harfiah adalah,
sunyaruri = hampa sepi
pangrehing ukara = kebijakan/peraturan (sementara “ukara” dalam bahasa Jawa berarti “kata” atau “kalimat” dan “pangreh” diartikan sebagai “pemangku”)
silastuti = pedoman kebijaksanaan atau dasar-dasar panembah

c.       Gramatika dan konteks
Gramatika berarti tata bahasa, dan konteks berarti hubungan kata-kata. Artinya bahwa, menggunakan makna kalimat tidak hanya cukup dengan mengetahui arti kata, tetapi konteks gramatikanya misalnya hubungan antara konteks yang sudah ditentukan dengan aturan gramatika. Contohnya adalah hubungan antara subjek dan predikat, objek dan predikat, kata keterangan dan kata benda, preposisi dan kata benda. Mari kita amati bagaimana konteks ramalan raja Kediri, Jayabaya, atau yang sering disebut sebagai Jangka Jayabaya, di sana tertulis baris kalimat yang kurang lebih mengandung gramatika yang harus dilekatkan dengan konteksnya karena tidak bisa berdiri sendiri,
“besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang...”
Penggalan kalimat dalam Jangka Jayabaya tersebut diartikan sebagai,
 “Pada saatnya nanti jika mulai muncul mobil atau kereta api (kreta tanpa jaran) dan jalan rel (tanah Jawa kalungan wesi) serta pesawat terbang (prahu mlaku ing dhuwur awang-awang)...”

d.      Terjemahan
Dalam hal terjemahan kita sebagai sejarawan hendaknya mewaspadai perubahan makna pada sumber-sumber sejarah yang kita jadikan rujukan penulisan historiografi. Contohnya adalah kata maal-administrative yang berarti penyimpangan dalam administrasi baik yang dilakukan ambtenaar maupun pegawai lainnya. Kata maal-administrative saat ini sudah tidak bisa diartikan seperti pada era-nya. Setidaknya kata yang populer saat ini untuk menggantikan maal-administrative adalah korupsi, kolusi, atau nepotisme. Mengapa bukan deviasi jika artinya sama-sama penyimpangan? Sebab deviasi lebih merujuk pada gejala sosial-kemasyarakatan.
Lagi, ketika periode kepemimpinan Van Den Bosch sebagai gubernur jenderal, tentu sebagai sejarawan kita tidak asing dengan istilah cultuur-stelsel. Apabila cultuur-stelsel diartikan secara harfiah berarti cultuur-stelsel adalah jaringan kebudayaan. Padahal sebenarnya istilah cultuur-stelsel merujuk pada sistem tanam paksa yang pernah berlaku di Hindia Belanda.

2.       Interpretasi Teknis
Interpretasi teknis terhadap sebuah dokumen memiliki dua perspektif pertimbangan yakni, maksud atau perhatian penyusunan dokumen, dan bentuk tulisan yang sebenarnya. Semisal, dalam karya-karya sastra, tulisan tersebut pada dasarnya dibuat sebagai pandangan untuk propaganda bahkan bisa jadi untuk menanamkan teori atau doktrin. Akan tetapi jika dilihat dari sisi lain, karya sastra tersebut dapat membawa kesenangan estetis. Apa contoh lainnya? Contoh lain dalam interpretasi teknis dalam bentuk dokumen tertulis dapat dijumpai dengan adanya Serat Panitibaya yang ditulis oleh Bhatara Katong atau Sunan Katong. Ia salah seorang putera Prabu Kertabhumi yang bergelar Prabu Brawijaya V. Bhatara Katong yang sebelumnya beragama Hindu dan memegang kendali Kadipaten Ponorogo tidak berapa lama memeluk agama Islam sehingga iapun kemudian turut menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dalam upaya dakwahnya itulah Bhatara Katong menulis sebuah serat yang berisi pituduh, wewaler, dan ajaran-ajaran budi pekerti. Jika dikaitkan dengan interpretsi teknis berarti secara primer, Serat Panitibaya dibuat dengan maksud menyebarkan dakwah Islam Bhatara Katong serta menjadi perwujudan keinginan Bhatara Katong untuk berdekatan hati dengan anak-anak muda sembari menjadikan petuah-petuahnya sebagai pedoman. Secara sekunder, penulisan Serat Panitibaya ini berarti turut mengantarkan masyarakat untuk lebih meningkatkan iman dan taqwanya. Berikut salah satu petikan Serat Panitibaya yang menggambarkan maksud penulisan Bhatara Katong,
“Ingkang kasedya kang saya,
Nganggit layang kang sabab aniwasi
Ingkang ayun akrap taruna taruna siwi
supaya rinegem kukuh,
dadi jati pusaka,
sapangisor kang sia turun-temurun,
iki kawit kang winilang,
sabarang ama niwasi.
Pamurunge wirya guna,
aja lali lire sawiji-wiji”
Terjemahannya:
(Adapun maksud pembuat uraian ini (saya),
(yang) sebenarnya ingin sekali akrab berdekatan hati dengan anak-anak muda,
janganlah hal (petuah) ini sampai hilang, genggamlah yang kuat,
agar dapat dijadikan pusaka (sesuatu yang dihormati) benar-benar
seterusnya bagi semua keturunanku,
inilah semua hal-hal yang terhitung (tergolong),
semuanya yang dapat mencelakakan diri.
Untuk mengurungkannya ada cara yang dapat menuju ke keselamatan,
dan ini hendaklah jangan kau lupakan artinya satu persatu,)

3.      Interpretasi Logis
Interpretasi logis artinya pemaknaan atau penafsiran didasarkan atas pemikiran logis. Konteks logis memiliki dalil bahwa penentuan bagian yang berhubungan dengan pemikiran apakah segera atau kemudian yang didahulukan sebagai kelanjutannya. Tujuannya adalah untuk menghubungkan urutan secara umum dengan diarahkan ke berbagai ide pokok dalam kesatuan komposisi atau struktur peristiwa dalam sumber-sumber sejarah. Contoh dari keruntutan peristiwa berdasar interpretasi logis adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Secara runtut peristiwa tersebut diawali dengan pendudukan Belanda di Yogyakarta yang dihitung sejak hari Minggu, 19 Desember 1948 dimana mulai pukul 05.30 pesawat-pesawat Belanda terbang merendah dan menjatuhkan granat-granat secara tiba-tiba ke kota Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan pengkoordinasian pasukan pada 26 Desember 1948 untuk melancarkan serangan bersama pada 29 Desember 1949. Selanjutnya dilakukanlah persiapan pasukan tentara RI untuk diberangkatkan ke berbagai sektor pertahanan pada tanggal 29 Desember 1948 kira-kira pukul 16.00 wib. Menjelang Magrib, tiap-tiap pasukan sudah menempati posisinya masing-masing. Pada pukul 21.00 pertempuran dimulai dan yang diserang adalah pos-pos tentara Belanda di pinggir kota. Demikianlah kira-kira rentetan peristiwa sejarah yang diinterpretasi menggunakan interpretasi logis sehingga menampilkan keruntutannya. Jelas mustahil jika peristiwa pada 29 Desember 1948 tadi menceritakan serangan terjadi pada pukul 16.00 dan pasukan baru berjaga untuk menyerang pukul 21.00. Untuk itulah perlu kelogisan cara interpretasi sebagaimana termaktub dalam contoh Serangan Umum 1 Maret 1949.

4.       Interpretasi Psikologis
Interpretasi psikologis adalah usaha penafsiran untuk mengetahui makna dokumen berdasar pengaruh sifat psikis pembuat dokumen. Interpretasi ini ditekankan pada hukum-hukum asosiasi dari kehidupan emosional pembuatnya. Interpretasi psikologis juga dapat mengatur perhatiannya pada kondisi-kondisi baik internal maupun eksternal yang menentukan berbagai reaksi psikis seseorang. Contoh penafsiran yang didapat melalui interpretasi psikologis adalah saat penulisan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Banyak kalangan sejarawan menyatakan jika pada saat penandatanganan surat tersebut sebenarnya presiden Soekarno melakukannya di bawah tekanan. Berupa apa? Berupa todongan senjata!
Dalam kitab-kitab seperti Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, pun dibuat dengan kondisi psikologis penulisnya yang lebih banyak melakukan puja raja sehingga sanjungan-sanjungan kepada raja dinilai terlalu berlebihan, contohnya Mpu Prapanca. Ia menyanjung tinggi Kertanegara dan juga Ken Angrok untuk memperlihatkan kebesaran rajanya meskipun ternyata apa yang digambarkan jauh dari kenyataan.
Lagi, melalui analisa kritik Bibel dari 40 sarjana Kristen, diperoleh kesimpulan bahwa salah satu ayat dalam Injil Markus sengaja dibuat oleh pihak Gereja sebagai misi untuk menyebarkan agama. Artinya bahwa, kondisi psikologis penulis ayat ini adalah, ia tengah mendambakan suatu kejayaan Kristen dengan menuliskan ayat perintah guna menyebarkan agama Kristen.

5.      Interpretasi Faktual
Interpretasi faktual digunakan untuk menghadapi fakta dokumen yang tidak atau tanpa kata-kata. Tujuannya untuk menemukan arti dari fakta, baik secara individual maupun kelompok yang interrelasinya termasuk dalam kategori sebab-akibat. Interpretasi faktual terhadap sumber yang tidak jelas diketahui tanggal atau sebagian maknanya sering dipermudah untuk mengetahui tempat sumber itu ditemukan terutama bekas-bekas tempatnya. Koneksi yang jelas dapat ditemukan antara tempat, mengenai gambaran dan beberapa mitos religius lokal. Contohnya ketika kita menyelidiki asal usul atau sejarah terbentuknya suatu tempat berdasar toponimi-nya. Sejenak kita melenggang ke Karesidenan Kedu. Di sana terdapat sebuah kampung yang bernama Kerkopan, terletak di lembah Gunung Tidar Kota Magelang. Ternyata, usut punya usut, kampung ini dinamakan Kerkopan karena kampung ini terletak dekat dengan pemakaman kuno era kolonial yang dalam bahasa Belanda disebut kerkhofd. Ada lagi kampung Keplekan yang berada di kelurahan Rejowinangun, kecamatan Magelang Selatan, kota Magelang. Kampung ini dinamai Keplekan karena dahulu merupakan tempat orang-orang bermain judi atau keplek.
Interpretasi semacam ini memang diperbolehkan hanya saja konsekuensinya adalah jangan sampai penafsiran tadi bersifat “othak athik gathuk” atau asal menyambung arti kata-katanya dan tanpa makna historis.

Literatur
Cahyono, Salim Ruysdi. 2005. Mencari Domba Tersesat. Bekasi: Bima Rodheta.
Ensiklopedi Toponimi Eks Karesidenan Kedu. 2011. Diperbanyak oleh Seksi
Kesejarahan Bidang Kesejarahan dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  Provinsi Jawa Tengah.
Imran, Amrin, Syamsuar Said. 1985. Selamat Pagi, Yogyakarta (Serangan Umum 1
Maret 1949). Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Mandali, Sondong. 2010. Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip. Semarang: Yayasan
Sekar Jagad.
Wahono, Laela Nurhayati Dewi. 2004. Alih Aksara dan Transliterasi Serat Panitibaya.        Diperbanyak oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.
Wasino. 2007. Dari Riset Hingga Tulisan Sejarah. Semarang: Unnes Press.
           









1 komentar: