Senin, 30 April 2012

kendati sumringah tapi gulita jengah ..

keadaan ini terlalu sering menampakkan wujudnya di hadapan saya.
barangkali kebanyakan orang menganggapnya sebagai kegalauan semata, tapi bagi saya ini merupakan suatu kelimbungan.
saya kehilangan arah dan terjebak dalam situasi yang serba menyiratkan kesusahan.
saya selalu dihadapkan pada pilihan yang merusak tatanan jiwa bila saya dobrak nantinya.
dan saya seperti terbenam dalam masa lampau yang ternyata berulang , terus dan terus, hingga jadi gambaran maladaptasi. maladaptasi yang serba pekat.

lagi-lagi saya dibeginikan.
lagi dan lagi.
saya marah, memang.
saya melemah.
lagi dan lagi.


biarkan gulita menyapamu , yang penting damai bersahaja.

Rabu, 11 April 2012

Metode Sejarah tahap Interpretasi - Menurut Gilbert J. Garraghan


Metode Sejarah
Interpretasi

Disusun Oleh:
Fadhil Nugroho Adi
13030110130054
                                                                            
Untuk menghasilkan kisah sejarah atau yang lazim disebut historiografi, fakta yang telah dikumpulkan melalui proses heuristik dan dipilah berdasar otentisitas dan kredibilitasnya harus diinterpretasikan terlebih dahulu. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat bersifat individual, dalam kata lain, siapa saja bisa menafsirkan sumber sejarah tersebut. Perbedaan interpretasi terjadi karena adanya perbedaan latar belakang, pengaruh, motivasi, pola pikir, dan lain sebagainya yang memengaruhi interpretasinya.
Memang benar jika kedudukan interpretasi ada di antara verifikasi dan eksposisi. Subjektivitas pun menjadi hak sejarawan. Akan tetapi tidak berarti sejarawan dapat melakukan interpretasi sekehendaknya sendiri. Sejarawan tetap harus berjalan di bawah naungan kaidah-kaidah metodologi sejarah sehingga subjektivitas dapat dieliminasi.
Dalam tahap interpretasi, Gilbert J. Garraghan membagi interpretasi ke dalam lima jenis, yakni interpetasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Berikut akan penulis paparkan masing-masing definisi serta sampel dari kelima jenis interpretasi tersebut.

1.        Interpretasi Verbal
Interpretasi verbal merupakan langkah penafsiran kata-kata yang diambil secara individual atau kelompok dalam sumber sejarah. Interpretasi verbal mencakup lima aspek yakni:
a.       Bahasa
Aspek bahasa memiliki fungsi untuk menjelaskan makna kata-kata dan kalimat-kalimat guna mengambil ide-ide dalam dokumen tertulis. Contoh kasus dalam penginterpretasian bahasa adalah kesukaran yang dihadapi para peneliti sejarawan Abad Tengah yang tidak mampu membaca tulisan dari bahasa latin-klasik atau dari bahasa latin jenis lain. Hal yang sama juga dapat terjadi ketika para ahli filologi mengalih-aksarakan serat Panitibaya yang diusahakan sesuai dengan bunyi naskah aslinya baris demi baris agar mudah diperbandingkan dengan teks aslinya. Penerjemahan kata demi kata pun tidak mungkin dilakukan karena struktur kalimat berbahasa Jawa yang berbentuk tembang tidak seiring dengan struktur bahasa Indonesia. Apabila serat tersebut diterjemahkan sesuai dengan urutan tiap-tiap kata dalam tiap baris, maka sering terjadi terjemahan itu hanya sebatas menjadi urutan kata-kata tanpa makna.

b.      Kosa Kata
Pemahaman kosa kata menunjukkan cara berpikir yang cermat, tidak hanya dalam unit-unit kata melainkan juga sinonim-sinonim, idiom-idiom, dan kejelasan setiap elemen suatu pembicaraan. Kata-kata yang diinterpretasi sering mengandung konotasi-konotasi yang tidak terdapat dalam kamus. Contoh kasus penginterpretasian kosa kata terdapat dalam Serat Kalatidha pupuh Sinom tulisan R. Ng. Ranggawarsita berikut,
“Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dene karoban rubeda”
Kosakata yang konotatif dan tidak bisa diartikan secara harfiah adalah,
sunyaruri = hampa sepi
pangrehing ukara = kebijakan/peraturan (sementara “ukara” dalam bahasa Jawa berarti “kata” atau “kalimat” dan “pangreh” diartikan sebagai “pemangku”)
silastuti = pedoman kebijaksanaan atau dasar-dasar panembah

c.       Gramatika dan konteks
Gramatika berarti tata bahasa, dan konteks berarti hubungan kata-kata. Artinya bahwa, menggunakan makna kalimat tidak hanya cukup dengan mengetahui arti kata, tetapi konteks gramatikanya misalnya hubungan antara konteks yang sudah ditentukan dengan aturan gramatika. Contohnya adalah hubungan antara subjek dan predikat, objek dan predikat, kata keterangan dan kata benda, preposisi dan kata benda. Mari kita amati bagaimana konteks ramalan raja Kediri, Jayabaya, atau yang sering disebut sebagai Jangka Jayabaya, di sana tertulis baris kalimat yang kurang lebih mengandung gramatika yang harus dilekatkan dengan konteksnya karena tidak bisa berdiri sendiri,
“besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang...”
Penggalan kalimat dalam Jangka Jayabaya tersebut diartikan sebagai,
 “Pada saatnya nanti jika mulai muncul mobil atau kereta api (kreta tanpa jaran) dan jalan rel (tanah Jawa kalungan wesi) serta pesawat terbang (prahu mlaku ing dhuwur awang-awang)...”

d.      Terjemahan
Dalam hal terjemahan kita sebagai sejarawan hendaknya mewaspadai perubahan makna pada sumber-sumber sejarah yang kita jadikan rujukan penulisan historiografi. Contohnya adalah kata maal-administrative yang berarti penyimpangan dalam administrasi baik yang dilakukan ambtenaar maupun pegawai lainnya. Kata maal-administrative saat ini sudah tidak bisa diartikan seperti pada era-nya. Setidaknya kata yang populer saat ini untuk menggantikan maal-administrative adalah korupsi, kolusi, atau nepotisme. Mengapa bukan deviasi jika artinya sama-sama penyimpangan? Sebab deviasi lebih merujuk pada gejala sosial-kemasyarakatan.
Lagi, ketika periode kepemimpinan Van Den Bosch sebagai gubernur jenderal, tentu sebagai sejarawan kita tidak asing dengan istilah cultuur-stelsel. Apabila cultuur-stelsel diartikan secara harfiah berarti cultuur-stelsel adalah jaringan kebudayaan. Padahal sebenarnya istilah cultuur-stelsel merujuk pada sistem tanam paksa yang pernah berlaku di Hindia Belanda.

2.       Interpretasi Teknis
Interpretasi teknis terhadap sebuah dokumen memiliki dua perspektif pertimbangan yakni, maksud atau perhatian penyusunan dokumen, dan bentuk tulisan yang sebenarnya. Semisal, dalam karya-karya sastra, tulisan tersebut pada dasarnya dibuat sebagai pandangan untuk propaganda bahkan bisa jadi untuk menanamkan teori atau doktrin. Akan tetapi jika dilihat dari sisi lain, karya sastra tersebut dapat membawa kesenangan estetis. Apa contoh lainnya? Contoh lain dalam interpretasi teknis dalam bentuk dokumen tertulis dapat dijumpai dengan adanya Serat Panitibaya yang ditulis oleh Bhatara Katong atau Sunan Katong. Ia salah seorang putera Prabu Kertabhumi yang bergelar Prabu Brawijaya V. Bhatara Katong yang sebelumnya beragama Hindu dan memegang kendali Kadipaten Ponorogo tidak berapa lama memeluk agama Islam sehingga iapun kemudian turut menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dalam upaya dakwahnya itulah Bhatara Katong menulis sebuah serat yang berisi pituduh, wewaler, dan ajaran-ajaran budi pekerti. Jika dikaitkan dengan interpretsi teknis berarti secara primer, Serat Panitibaya dibuat dengan maksud menyebarkan dakwah Islam Bhatara Katong serta menjadi perwujudan keinginan Bhatara Katong untuk berdekatan hati dengan anak-anak muda sembari menjadikan petuah-petuahnya sebagai pedoman. Secara sekunder, penulisan Serat Panitibaya ini berarti turut mengantarkan masyarakat untuk lebih meningkatkan iman dan taqwanya. Berikut salah satu petikan Serat Panitibaya yang menggambarkan maksud penulisan Bhatara Katong,
“Ingkang kasedya kang saya,
Nganggit layang kang sabab aniwasi
Ingkang ayun akrap taruna taruna siwi
supaya rinegem kukuh,
dadi jati pusaka,
sapangisor kang sia turun-temurun,
iki kawit kang winilang,
sabarang ama niwasi.
Pamurunge wirya guna,
aja lali lire sawiji-wiji”
Terjemahannya:
(Adapun maksud pembuat uraian ini (saya),
(yang) sebenarnya ingin sekali akrab berdekatan hati dengan anak-anak muda,
janganlah hal (petuah) ini sampai hilang, genggamlah yang kuat,
agar dapat dijadikan pusaka (sesuatu yang dihormati) benar-benar
seterusnya bagi semua keturunanku,
inilah semua hal-hal yang terhitung (tergolong),
semuanya yang dapat mencelakakan diri.
Untuk mengurungkannya ada cara yang dapat menuju ke keselamatan,
dan ini hendaklah jangan kau lupakan artinya satu persatu,)

3.      Interpretasi Logis
Interpretasi logis artinya pemaknaan atau penafsiran didasarkan atas pemikiran logis. Konteks logis memiliki dalil bahwa penentuan bagian yang berhubungan dengan pemikiran apakah segera atau kemudian yang didahulukan sebagai kelanjutannya. Tujuannya adalah untuk menghubungkan urutan secara umum dengan diarahkan ke berbagai ide pokok dalam kesatuan komposisi atau struktur peristiwa dalam sumber-sumber sejarah. Contoh dari keruntutan peristiwa berdasar interpretasi logis adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Secara runtut peristiwa tersebut diawali dengan pendudukan Belanda di Yogyakarta yang dihitung sejak hari Minggu, 19 Desember 1948 dimana mulai pukul 05.30 pesawat-pesawat Belanda terbang merendah dan menjatuhkan granat-granat secara tiba-tiba ke kota Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan pengkoordinasian pasukan pada 26 Desember 1948 untuk melancarkan serangan bersama pada 29 Desember 1949. Selanjutnya dilakukanlah persiapan pasukan tentara RI untuk diberangkatkan ke berbagai sektor pertahanan pada tanggal 29 Desember 1948 kira-kira pukul 16.00 wib. Menjelang Magrib, tiap-tiap pasukan sudah menempati posisinya masing-masing. Pada pukul 21.00 pertempuran dimulai dan yang diserang adalah pos-pos tentara Belanda di pinggir kota. Demikianlah kira-kira rentetan peristiwa sejarah yang diinterpretasi menggunakan interpretasi logis sehingga menampilkan keruntutannya. Jelas mustahil jika peristiwa pada 29 Desember 1948 tadi menceritakan serangan terjadi pada pukul 16.00 dan pasukan baru berjaga untuk menyerang pukul 21.00. Untuk itulah perlu kelogisan cara interpretasi sebagaimana termaktub dalam contoh Serangan Umum 1 Maret 1949.

4.       Interpretasi Psikologis
Interpretasi psikologis adalah usaha penafsiran untuk mengetahui makna dokumen berdasar pengaruh sifat psikis pembuat dokumen. Interpretasi ini ditekankan pada hukum-hukum asosiasi dari kehidupan emosional pembuatnya. Interpretasi psikologis juga dapat mengatur perhatiannya pada kondisi-kondisi baik internal maupun eksternal yang menentukan berbagai reaksi psikis seseorang. Contoh penafsiran yang didapat melalui interpretasi psikologis adalah saat penulisan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Banyak kalangan sejarawan menyatakan jika pada saat penandatanganan surat tersebut sebenarnya presiden Soekarno melakukannya di bawah tekanan. Berupa apa? Berupa todongan senjata!
Dalam kitab-kitab seperti Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, pun dibuat dengan kondisi psikologis penulisnya yang lebih banyak melakukan puja raja sehingga sanjungan-sanjungan kepada raja dinilai terlalu berlebihan, contohnya Mpu Prapanca. Ia menyanjung tinggi Kertanegara dan juga Ken Angrok untuk memperlihatkan kebesaran rajanya meskipun ternyata apa yang digambarkan jauh dari kenyataan.
Lagi, melalui analisa kritik Bibel dari 40 sarjana Kristen, diperoleh kesimpulan bahwa salah satu ayat dalam Injil Markus sengaja dibuat oleh pihak Gereja sebagai misi untuk menyebarkan agama. Artinya bahwa, kondisi psikologis penulis ayat ini adalah, ia tengah mendambakan suatu kejayaan Kristen dengan menuliskan ayat perintah guna menyebarkan agama Kristen.

5.      Interpretasi Faktual
Interpretasi faktual digunakan untuk menghadapi fakta dokumen yang tidak atau tanpa kata-kata. Tujuannya untuk menemukan arti dari fakta, baik secara individual maupun kelompok yang interrelasinya termasuk dalam kategori sebab-akibat. Interpretasi faktual terhadap sumber yang tidak jelas diketahui tanggal atau sebagian maknanya sering dipermudah untuk mengetahui tempat sumber itu ditemukan terutama bekas-bekas tempatnya. Koneksi yang jelas dapat ditemukan antara tempat, mengenai gambaran dan beberapa mitos religius lokal. Contohnya ketika kita menyelidiki asal usul atau sejarah terbentuknya suatu tempat berdasar toponimi-nya. Sejenak kita melenggang ke Karesidenan Kedu. Di sana terdapat sebuah kampung yang bernama Kerkopan, terletak di lembah Gunung Tidar Kota Magelang. Ternyata, usut punya usut, kampung ini dinamakan Kerkopan karena kampung ini terletak dekat dengan pemakaman kuno era kolonial yang dalam bahasa Belanda disebut kerkhofd. Ada lagi kampung Keplekan yang berada di kelurahan Rejowinangun, kecamatan Magelang Selatan, kota Magelang. Kampung ini dinamai Keplekan karena dahulu merupakan tempat orang-orang bermain judi atau keplek.
Interpretasi semacam ini memang diperbolehkan hanya saja konsekuensinya adalah jangan sampai penafsiran tadi bersifat “othak athik gathuk” atau asal menyambung arti kata-katanya dan tanpa makna historis.

Literatur
Cahyono, Salim Ruysdi. 2005. Mencari Domba Tersesat. Bekasi: Bima Rodheta.
Ensiklopedi Toponimi Eks Karesidenan Kedu. 2011. Diperbanyak oleh Seksi
Kesejarahan Bidang Kesejarahan dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  Provinsi Jawa Tengah.
Imran, Amrin, Syamsuar Said. 1985. Selamat Pagi, Yogyakarta (Serangan Umum 1
Maret 1949). Jakarta: Mutiara Sumber Widya.
Mandali, Sondong. 2010. Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip. Semarang: Yayasan
Sekar Jagad.
Wahono, Laela Nurhayati Dewi. 2004. Alih Aksara dan Transliterasi Serat Panitibaya.        Diperbanyak oleh Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Tengah - Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.
Wasino. 2007. Dari Riset Hingga Tulisan Sejarah. Semarang: Unnes Press.
           









Jurnal LEMBAGA SOSIAL (bahan dukung perkuliahan dan studi Sosiologi)

Pendahuluan
Lembaga atau lembaga sosial merupakan pola yang muncul sebagai konsekuensi dari individu-individu yang hidup bersama. Ketika seorang individu menghadapi permasalahan bersama, dibuatlah patokan dan pedoman mengenai bagaimana cara-cara berperilaku. Apabila cara-cara tersebut memberikan banyak keuntungan, maka lambat laun ditetapkan menjadi norma dan nilai yang lingkupnya semakin berkembang.
Jika memang demikian proses terjadinya suatu kelembagaan, maka di lain sisi lembaga sosial acapkali menghadapi kesulitan untuk didefinisikan terutama di Indonesia. Tentu lembaga sosial (social institution) berbeda arti dengan apa yang disebut dengan kelompok sosial. Paul B. Horton dan Chester L. Hunt juga menegaskan bahwa lembaga berbeda dengan asosiasi. Lembaga selalu merupakan sistem gagasan dan perilaku yang terorganisasi yang ikut serta dalam perilaku itu. Setiap lembaga mempunyai asosiasinya, dan melalui aosisasi itulah norma-norma lembaga dilaksanakan (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 245).  Baginya,
Oleh karena itu dapat kiranya diungkap pendapat kalangan sosiolog Barat seperti John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, dalam bukunya Cultural Sociology mengenai General Features of Social Institution, keduanya memiliki batasan dalam mendefinisikan institusi sosial. Sebagaimana yang dikutip Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam bukunya Setangkai Bunga Sosiologi, Gillin dan Gillin menyatakan,
“A social institution is a functional configuration of culture patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social needs”(Soemardjan, Selo, Soelaeman Soemardi, 1964: 67)
Dari pernyataan Gillin dan Gillin tersebut setidaknya dapat diambil suatu definisi bahwa institusi atau lembaga sosial adalah sebuah susunan (konfigurasi) fungsional yang memiliki pola-pola kebudayaan seperti tindakan, gagasan, sikap dan peralatan budaya yang memiliki keajegan dan yang ditujukan untuk mewujudkan kebutuhan sosial.
Sehingga, dari apa yang dituturkan Gillin dan Gillin tersebut, tidaklah mengherankan jika Sosiolog seperti Soerjono Soekanto pun kemudian memberikan pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata sosial. Bukan karena tanpa alasan, tapi karena social institution lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Soerjono Soekanto juga “meminjam” istilah yang diberikan oleh Koentjaraningrat mengenai pranata sosial, bahwa, pranata sosial adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Definisi tersebut, menekankan terutama pada sistem tatakelakuan dan norma-norma untuk memenuhi kebutuhan (Soekanto, Soerjono, 1982: 191). Dalam pengertian ini tampaknya Soerjono Soekanto tak jauh berbeda dengan apa yang disimpulkan Horton dan Hunt mengenai lembaga. Horton dan Hunt menyatakan bahwa lembaga  adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 244).
Sementara apa yang disampaikan Koentjaraningrat bahwa pranata sosial merupakan sistem tata kelakuan dan hubungan juga sejalan dengan Horton dan Hunt yang berpendapat bahwa lembaga adalah sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Dalam definisi tersebut, nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti; dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 245-456)
Pranata
Hetzler menyatakan bahwa pranata sosial adalah satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting (Wahid, Idat Abdul, 2003: 9). Lebih lanjut Idat Abdul Wahid dalam bukunya Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda menjabarkan unsur-unsur pranata sosial yang ditinjau dari kehidupan masyarakat Sunda sekaligus terwakili melalui cerita-cerita rakyat Sunda seperti Lutung Kasarung versi C.M. Pleyte dan F.S. Eringa (pencerminan pandangan masyarakat Sunda pada zaman kehidupan yang penuh dengan kepercayaan terhadap kekuatan Sunan Ambu sebagai makhluk Kahyangan); roman Pangeran Kornel karya R. Memed Sastrahadiprawira; Mantri Jero (pencerminan kehidupan masyarakat Sunda pada zaman pemerintahan para bupati); dan novel Aruang Ka Nu Ngarora karya D.K. Ardiwinata (pencerminan anggapan masyarakat terhadap kedudukan kaum bangsawan) (Wahid, Idat Abdul, 2003:11) sebagai berikut:
1.      Sistem kepercayaan, termasuk hal-hal yang bersifat religi, yang ikut mengatur perilaku tokoh dalam menghadapi hidup dan kehidupannya.
2.      Sistem kekerabatan, sebatas sebutan silsilah atau keturunan seperti ibu, bapak, kakak, adik, nenek, buyut, dan sebagainya
3.      Sistem tata nilai, menyangkut masalah moral, adat, dan hukum dalam artian sempit (dalam pengertian memberi hukuman karena kesalahan sebaliknya dari ganjaran)
4.      Sistem edukasi, yang muncul dalam bentuk petatah petitih orang tua, termasuk peribahasa dan ungkapan lain yang sifatnya menganjurkan perilaku kebaikan dan menjauhi kejelekan (Wahid, Idat Abdul, 2003: 10).

Dengan mengambil unsur-unsur pranata sosial tersebut dan ditinjau dari pranata sosial masyarakat Sunda diperoleh pembuktian sebagai berikut:
1.      Sistem kepercayaan: Masyarakat Sunda menyebut Tuhan sebagai Gusti Nu Kawasa (Tuhan Yang Mahakuasa), Maha Suci, Yang Widi, Nu Agung atau Yang Agung, Nu Murba atau Yang Maha Kuasa, Nu Murbeng Alam atau Yang Menguasai Alam (Wahid, Idat Abdul, 2003: 14).
2.      Sistem kekerabatan: Masyarakat Sunda memperlihatkan adanya nilai kemartabatan keturunan bangsawan pada zamanfeoal dan penganggapan keturunan hina karena tidak jelas sangkan parannya. Tampak juga adanya nilai tolong-menolong dalam kebaikan (Wahid, Idat Abdul, 2003: 19).
3.      Sistem tata nilai: Masyarakat Sunda menekankan tata moral lewat sikap  tenggang rasa dan tahu diri.
4.      Sistem adat:  Terungkap tradisi dalam masyarakat Sunda mengenai hubungan antara bupati dan rakyatnya, antara kekuasaan raja dan rakyatnya, dan tata tradisi pembuatan makanan, minuman, dan nilai perkakas (Wahid, Idat Abdul, 2003: 21).




Pembahasan
P
emahaman terhadap gejala-gejala sosial mesti mempertimbangkan hubungan-hubungan internal maupun eksternal beserta sejarah perkembangannya. Inilah sebabnya mengapa lembaga-lembaga sosial tidak bisa berkembang dalam isolasi antar bagian. Lembaga kemasyarakatan terdapat di dalam setiap masyarakat tanpa mempedulikan apakah masyarakat tersebut mempunyai taraf kebudayaan sederhana atau modern (Soekanto, Soerjono, 1982: 192). Masing-masing diikat oleh jaringan antarbagian yang cukup kompleks. Oleh karena itu perubahan dan perkembangan yang terjadi pada suatu lembaga sosial akan berakibat pada lembaga sosial lainnya, maupun pada masyarakatnya. Hal ini mengindikasikan pula bahwa betapa lembaga sosial tidak dapat berfungsi secara terpisah, melainkan saling memengaruhi, atau bahkan saling tumpang tindih. Contohnya, perubahan yang terjadi pada lembaga ekonomi akan berpengaruh pada lembaga keluarga. Demikian pula perubahan dalam lembaga negara akan berpengaruh pada lembaga ekonomi dan keluarga (Purwanto, 2007: 43). Selain itu menurut Horton ada banyak sebutan bagi lembaga-lembaga yang dianggap menuntut pengorbanan yang tidak menyenangkan bagi anggotanya. Katakanlah seperti Coser yang menciptakan istilah “lembaga yang tamak” bagi lembaga yang membatasi secara ketat kegiatan seseorang dalam lembaga lain. Atau Goffman yang menciptakan istilah “lembaga total” bagi lembaga yang memisahkan orang dari masyarakat (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 254).
Fungsi Lembaga
Soerjono Soekanto menyebutkan beberapa fungsi dari lembaga sosial yang menurutnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia. Fungsi-fungsi tersebut antara lain:
1.      Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan,
2.      Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan,
3.      Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial atau social control yaitu artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya (Soekanto, Soerjono, 1982: 193).
Zanden dalam tulisan Purwanto, Sosiologi Untuk Pemula, menyatakan adanya fungsi negatif dari lembaga yang terlihat pada kemantapan norma dan nilai sehingga sering mengakibatkan timbulnya disfunction sebagai berikut:
1.      Kekakuan atau kemantapan norma dan nilai kurang memberikan peluang pada perkembangan dan perubahan dinamik atas kepentingan dan kebutuhan
2.      Ketiadaan peluang untuk berkembang akan mengakibatkan rasa kecewa dan frustasi kepada mereka dalam mengembangkan inovasi baru yang mungkin lebih bermanfaat
3.      Pada gilirannya akan mengakibatkan berkembangnya pertentangan dalam masyarakat bersangkutan (Purwanto, 2007: 43-44).

Selain fungsi maupun disfungsi lembaga tersebut, lembaga masih mempunyai dua fungsi lainnya yakni fungsi manifes yang merupakan tujuan lembaga yang diakui dan fungsi laten yang merupakan hasil yang tidak dikehendaki dan mungkin tidak diakui atau jika diakui, dianggap sebagai hasil sampingan :
1.      Fungsi manifes, dapat dilihat pada keluarga yang harus memelihara anak, lembaga ekonomi harus menghasilkan dan mendistribusikan kebutuhan pokok dan mengarahkan arus modal ke tempat yang membutuhkan. Sekolah harus mendidik anak-anak.
2.      Fungsi laten, dapat dilihat pada konsekuensi dari lembaga-lembaga yang tidak dikehendaki dan tidak dapat diramalkan. Lembaga ekonomi tidak hanya memproduksi dan mendistribusikan kebutuhan pokok, tetapi kadang juga meningkatkan pengangguran dan perbedaan kekayaan. Lembaga pendidikan juga menyelenggarakan hiburan dan menjauhkan orang-orang muda dari pasar tenaga kerja atau berarti melindungi anak-anak orang kaya dari persaingan dengan anak-anak miskin. Fungsi laten lembaga bisa mendukung fungsi manifes, bisa tidak relevan, atau malahan merongrong fungsi manifes (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 251-252).

Ciri-Ciri Lembaga Sosial
Soerjono Soekanto membagi ciri-ciri lembaga sosial sebagaimana yang dilakukan Gillin dan Gillin sebagai berikut :
1.      Suatu lembaga kemasyarakatan adalah suatu organisasi dari pola-pola pemikiran dan pola-pola perikelakuan yang terwujud melalui aktivitas-aktivitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga kemasyarakatan terdiri atas adat istiadatnya, tata kelakuan, kebiasaan serta unsur-unsur kebudayaan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung tergabung dalam satu unit yang fungsional
2.      Suatu tingkat kekekalan tertentu merupakan ciri dari semua lembaga kemasyarakatan. Untuk menjadi bagian dari suatu lembaga kemasyarakatan maka dibutuhkan waktu yang lama, demikian pula dengan usia lembaga kemasyarakatan itu sendiri yang juga berumur lama. Mengapa bertahan lama? Karena orang-orang telah menganggapnya sebagai himpunan norma-norma yang berkisar pada kebutuhan pokok masyarakat yang sewajarnya dipelihara.
3.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai satu atau beberapa tujuan tertentu. Perlu diingat bahwa tujuan berbeda dengan fungsi karena tujuan suatu lembaga berarti tujuan yang harus dicapai golongan masyarakatnya, tetapi fungsi lembaga bisa jadi tidak diketahui dan disadari golongan masyarakat yang bersangkutan.
4.      Lembaga kemasyarakatan mempunyai alat-alat perlengkapan yang dipergunakan untuk mencapai tujuan lembaga yang bersangkutan.
5.      Lembaga kemasyarakatan  memiliki lambang-lambang yang secara simbolis menggambarkan tujuan dan fungsi lembaga yang bersangkutan.
6.      Suatu lembaga kemasyarakatan mempunyai suatu tradisi yang tertulis ataupun tidak tertuls yang merumuskan tujuannya, tata tertib yang berlaku, dan lain sebagainya (Soekanto, Soerjono, 1982: 203-204).
Unsur-Unsur Lembaga Sosial
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt membagi unsur-unsur lembaga sosial ke dalam tiga bentuk. Unsur-unsur tersebut antara lain:

1.      Simbol Kebudayaan
Simbol kebudayaan merupakan simbol yang diciptakan manusia dan berfungsi untuk mengingatkannya dengan cepat akan suatu lembaga. Misalnya kesetiaan warga negara kepada pemerintah diingatkan dengan bendera, pada agama ada salib, bulan sabit, bintang David (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 248).
Berikut contoh pengembangan dari unsur simbol dalam lembaga sosial yang utama di Amerika (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 249).
Keluarga
Agama
Pemerintahan
Perusahaan
Pendidikan
Pola perilaku dan sikap




afeksi
kesetiaan
tanggung jawab
rasa hormat
penghormatan
kesetiaan
pemujaan
kemurahan hati
kesetiaan
kepatuhan
subordinasi
kerjasama
efisiensi
penghematan
kelihaian
mencari laba
cinta pengetahuan
kehadiran
menyelidiki
semangat belajar
Unsur budaya simbolis




cincin kawin
cadar pengantin
lambang keluarga
our song
salib
gambar dan patung
tempat suci
himne
bendera
meterai
maskot
lagu kebangsaan
merk dagang
hak paten
slogan
lagu komersial
seragam sekolah
maskot
lagu sekolah
meterai
Unsur kebudayaan manfaat




rumah
apartemen
perabotan
kendaraan
gedung gereja
perlengkapan  gereja
perpustakaan
persediaan liturgis
gedung pemerintah
pekerjaan pemerintah
persenjataan
blanko & formulir
toko,pabrik
kantor store
peralatan kantor
blanko & formulir
kelas/ruang
perpustakaan
stadium
buku
Kode spesifikasi lisan atau tertulis




ijin kawin
kehendak
keturunan
hukum perkawinan
sahadat
hukum gereja
kitab suci
tabu
piagam
konstitusi
traktat
hukum
kontrak
lisensi
hak monopoli
akte perusahaan
akreditasi
peraturan
kurikulum
tingkat
Ideologi




cinta romantis
keterbukaan keluarga
familiisme
individualisme
thomisme
liberalisme
fundamentalisme
moral
nasionalisme
hak-hak rakyat
demokrasi
republikisme
laissez faire,
tanggung jawab managerial
kebebasan berusaha
hak buruh
kebebasan mimbar pendidikan progresif
tiga “r’s”
klasikisme



2.      Kode Perilaku
Kode perilaku merupakan suatu kode atau norma perilaku yang resmi betapapun menegaskan tidak menjamin pelaksanaan peran secara tepat. Jika kode perilaku benar-benar dipelajari dan sering diperkuat, mungkin akan dipatuhi; jika tidak dan jika tidak ada sanksi bagi pelanggaran maka kode itu akan diabaikan. Kode yang resmi hanya merupakan sebagian dari keseluruhan perilaku yang membentuk peran lembaga.
3.      Ideologi
Ideologi dapat didefinisikan sebagai suatu sistem gagasan yang menyetujui seperangkat norma. Norma menetapkan bagaimana orang diharapkan untuk berperilaku; ideologi menjelaskan mengapa harus bertindak demikian dan mengapa mereka seringkali gagal bertindak sebagaimana mestinya. Selain Horton, Newman dalam bukunya menyatakan bahwa ideologi adalah seperangkat gagasan yang menjelaskan atau melegalisasikan tatanan sosial, struktur kekuasaan atau cara hidup dilihat dari tujuan, kepentingan atau status sosial dari kelompok atau kolektivitas dimana ideologi itu muncul (Horton, Paul B., Chester L. Hunt, 1996: 250).

Tipe-Tipe Lembaga Sosial

John Lewis Gillin dan John Philip Gillin (Gillin dan Gillin) membagi lembaga sosial dalam beberapa tipe seperti yang keduanya tuliskan dalam judul General Features of Social Institutions sebagai berikut (Soemardjan, Selo, Soelaeman Soemardi, 1964: 71-72):
1.      Sumner distinguished crescive institutions such as property, marriage and religion, which grow up, as it were, unconsciously out of the mores, and enacted institutions, such as credit institutions, business institutions, and educational institutions, which are consciously organized for definite purposes.
2.      There are basic institutions as contrasted with subsidiary institutions. The basic institutions are those which are regarded as being necessary for the maintenance of social order in a given society. In our society the family, private property, the church, the school, and the state are complexes of the type which are not regarded as basic institutions. The subsidiary institutions are complexes of the type which are not regarded as quite so necessary for the maintenance of social order. Among ourselves, for example, recreational ideals and activities, although institutionalized, belong in this class.
3.      Institutions may be regarded as approved or socially sanctioned institutions and unsanctioned institutions. Business is a socially sanctioned institution in modern America; the racket is an unsanctioned institution.  With respect to unsanctioned institutions we must distinguish between the mores current among the majority members of a society, and those particular mores, such as “thieves honor”, which hold only for a restricted and unsanctioned group.
4.      Institutions may also be differentiated with respect to their generality or restriction in the society in which they are found. The Federal government in the United States, for example, may be regarded from one point of view as a general institution;  a state government as a restricted institution; religion as a general institution; Protestantism as a restricted institution.
5.      Finally, without exhausting the list of types, we should mention operative and regulative institutions.. The former are those of which the main function is the organization of patterns whose practice is actively necessary for the attainment of the objective: the institution of industrialism, for example. Regulative institutions, on the other hand, are organized for the control of customs and other types of behavior which are not themselves parts of the regulative institution itself: the legal institution is an example.
Sebagai contoh salah satu lembaga, penulis akan mengambil contoh dari tipe basic institutions yakni lembaga keluarga.
Lembaga Keluarga
Keluarga merupakan unit terkecil dalam kehidupan masyarakat. Keluarga dapat didefinisikan sebagai unit sosial yang terbentuk oleh ikatan perkawinan, keturunan, atau adopsi. Karakteristik universal yang mewarnai lembaga keluarga meliputi:
1.      Principle of legitimacy yang diungkapkan Malinowski untuk menunjuk keharusan disahkannya keberadaan anak secara sosial melalui pengakuan orang tua. Hal ini memberi arti, bahwa secara sosial orang diharapkan bertanggungjawab atas anak-anaknya (baik anak biologis ataupun non biologis),dan
2.      Incest taboo, yakni larangan melakukan perkawinan atau hubungan seks dengan mereka yang memiliki hubungan darah atau sekeluatga.

Keluarga dapat dibagi ke dalam dua bentuk, yakni keluarga inti (nuclear family atau conjugal family) yang terdiri atas pasangan suami istri dan anak-anak (bila ada), sedangkan keluarga besar (extended family atau consanguine family) merupakan keluarga yang terkembang dari keluarga atau orang lain yang biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan, seperti ipar dan orang tua. Keluarga memiliki enam macam fungsi, di antaranya fungsi reproduksi (reproduction), fungsi pengaturan seksual (sexual regulation), fungsi sosialisasi, fungsi penempatan sosial (social placement), fungsi kasih sayang (gratification of personal needs), dan fungsi perlindungan (maintenance) (Purwanto, 2007: 48-50).
Selain dari fungsi lembaga keluarga yang diterangkan Zanden dalam tulisan Purwanto tersebut ternyata terungkap pula fungsi lain dari kekerabatan dari Dr. P.J. Bouman dalam bukunya Sosiologi : Pengertian dan Masalah. Bouman menyebutkan  adanya fungsi-fungsi sosial dari kerabat primitif (kerabat yang luas yang bersifat patriarchal):
1.      merupakan satuan-satuan ekonomi (rumah tangga kerabat tertutup)
2.      dapat dipandang sebagai bentukan hukum kenegaraan
3.      dalam hal keagamaan masing-masing mempunyai kultus sendiri dan
4.      merupakan satuan-satuan dimana kehidupan nyaman dan pendidikan anak-anak berlangsung hampir semesranya (Bouman, 1971: 55).

Bouman juga menyatakan hilangnya fungsi dari sebuah keluarga dalam tulisannya berikut,
Di bawah tekanan kemajuan sosial yang modern maka keluarga menolak segala fungsi-fungsinya secara berangsur-angsur seperti kerjasama, pendidikan anak-anaknya, perlindungan terhadap keluarga, hal keakraban di rumah, dan sebagainya. Karena hilangnya rangkaian fungsi-fungsi yang melindungi maka kedua fungsi inti menjadi tak terlindungi sama sekali seperti afeksi atau cinta dan kasih yang timbal balik antara laki-laki dan perempuan yang menyusun keluarga; demikian juga dalam hal keturunan dan pendidikan pertama anak-anaknya (Bouman, 1971: 59).























Simpulan

Lembaga atau institusi sosial di Indonesia mengalami pergeseran makna menjadi pranata sosial. Hal ini dikarenakan institusi sosial tidak sama dengan asosiasi, terlebih sebagaimana yang dinyatakan Koentjaraningrat, pranata merujuk pada kesatuan sistem norma dan juga memiliki kesamaan persepsi dengan Horton.
Lembaga sosial memiliki beberapa unsur di antaranya simbol kebudayaan, kode perilaku, dan ideologi. Lembaga sosial juga memiliki beberapa tipe menurut sudut pandang yang berbeda. Dari sudut perkembangannya bisa kita dapati crescive dan enacted institutions. Dari sudut nilai-nilai yang diterima masyarakat ada basic dan subsidiary institutions. Dari sudut penerimaan masyarakat dapat dibedakan menjadi approved atau social sanctioned institutions dengan unsanctioned institutions. Dari sisi faktor penyebaran ada general dan restricted institutions. Terakhir, dari sisi fungsinya, ada operative dan regulative institution.
Klasifikasi tipe tersebut mengindikasikan bahwa tidak semua lembaga ada di dalam suatu masyarakat. Mengapa demikian? Karena setiap masyarakat memiliki sistem nilai yang dianggap sebagai pedoman dalam bergaul dengan masyarakatnya.












Daftar Pustaka
Bouman, P.J. 1971. Sosiologi Pengertian-Pengertian dan Masalah-Masalah. Yogyakarta: Penerbit Yayasan Kanisius.
Horton, Paul B., Chester L. Hunt. 1996. Sosiologi Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
Soemardjan, Selo, Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Purwanto. 2007. Sosiologi Untuk Pemula. Yogyakarta: Media Wacana
Wahid, Idat Abdul, dkk. 2003. Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.