B. Aktivitas
Kemaritiman Cina-Asia Tenggara
Satu bukti
yang menunjukkan bahwa Cina tidak hanya mengenal sistem pertanian melainkan
juga mengenal lautan dan kemaritiman adalah ketika bangsa Cina memandang Asia
Tenggara (kecuali Vietnam) sebagai “Laut Selatan” (Nanyang). (Reid, 2011:9).
Akan tetapi bisa dikatakan perhatian Cina terhadap aktivitas perdagangan
penduduk Nusantara seiring dengan periode perluasan kekaisaran Cina ke selatan
meskipun hal ini berjalan secara lamban. Seperti di ketahui bahwa tradisi Cina
untuk mengembangkan aktivitas perdagangan dengan kawasan yang teletak di
sebelah baratnya (Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa) lewat jalan darat lebih
dahulu berkembang. Pada awal abad masehi, sebagian dari perdagangan itu sudah
melalui jalan perdagangan maritim antara India dan Asia Tenggara yang sudah
terlebih dahulu berkembang meskipun selanjutnya dari Asia Tenggara ke Cina
perdagangan dilakukan lewat darat ke Cina melalui Funan. Masih diperlukan waktu
yang lama bagi Cina untuk bisa mengambil bagian secara aktif dalam perdagangan
maritim di Asia Tenggara. Bahkan perhatian Cina sendiri terhadap perdagangan
maritim Asia Tenggara sangat kurang. Mereka berurusan dengan Asia Tenggara
(khususnya Funan) sejauh ada sangkut-pautnya dengan perdagangan Asia Barat.
Dengan demikian pengetahuan mereka tentang ‘Dunia Selatan’ sangat kurang jika
dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang ‘Dunia Barat’. Bahkan baru abad
V atau sesudahnya mereka memiliki pengetahuan tentang Nusantara (Suroyo, 2007:
233-234).
Bangsa Cina
baru mulai mengadakan kontak dengan Indonesia pada sekitar abad ke-5 Masehi.
Pada waktu India mulai mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia, kerajaan
Cina sedang mulai meluaskan kekuasaannya ke Vietnam, khususnya ke daerah
Tonkin. Upaya perluasan kekuasaan kerajaan Cina itu telah membawa kekuasaan
tersebut ke dalam kawasan Asia Tenggara. Daerah Asia Tenggara yang letaknya
jauh dari pusat peradaban Cina di Cina bagian utara, sebelumnya dianggap
sebagai daerah yang belum beradab. Perdagangan dengan negeri asing yang telah
dilakukan oleh Cina sejak berabad-abad sebelum masehi adalah dengan Asia Barat.
Perdagangan tersebut sepenuhnya dilakukan melalui jalur perdagangan darat lewat
Asia Tengah, sehingga tidak memungkinkan berkembangnya perdagangan maritim.
Baru setelah abad ke-4, ketika pusat peradaban Cina di Cina Utara diserang oleh
suku-suku dari Asia Tengah dan kekuasaan Cina berpindah ke Asia Selatan, para
bangsawan dari Cina Utara yang mendirikan dinasti-dinasti Cina Selatan
mendorong tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Asia Selatan melalui
Indonesia. Bersamaan dengan berkembangnya hubungan perdagangan tersebut
berkembang pula hasil-hasil dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia
(Suroyo, 2007: 276).
Interaksi Cina
dengan Nusantara, salah satunya
dilatarbelakangi oleh intervensi militer Mongol terhadap bangsa Cina. Hal ini
dibuktikan dengan laporan Wang Ta-yuan pada tahun 1349 yang menyebut Maluku
sebagai kepulauan penghasil rempah-rempah. Ia menjelaskan bahwa para pedagang
Cina masa itu sudah mengunjungi Ternate dan Tidore untuk membeli cengkeh.
Barros, penulis berkebangsaan Portugis, juga menyatakan orang Cina sebagai
perintis perdagangan cengkeh dalam skala besar. (Reid, 2004:81).
Pada periode
pergolakan abad ke-16, ketika Melaka ditaklukkan Portugis di tahun 1511,
menyebabkan Melaka kurang diminati sebagai pangkalan dagang orang-orang Muslim.
Secara tidak langsung Siam diuntungkan dalam penaklukkan ini. Siam menjadi
pangkalan penting bagi perdagangan Cina ke Borneo dan Filipina. Pelayaran Cina
melalui rute Timur langsung dari Fujian sampai Luzon dan kawasan sekitarnya
tempaknya telah ditinggalkan pada akhir abad ke-15 dan diganti dengan rute lain
melewati Melaka. Ayutthaya menjadi tempat penting bagi pelayaran dan
perdagangan bangsa Cina, terutama bagi pengapalan barang-barang Cina untuk
pulau-pulau bagian timur. Rute pelayaran Cina dari Siam hingga Mindanao inilah
yang tergambar dalam Shun Feng Xiang Song Dinasti Ming terakhir. (Reid, 2004:119).
Dalam
sumber-sumber Cina, disebutkan bahwa bangsa Cina telah mengenal Jawa sejak awal
abad Masehi. Kisah “terdamparnya” pendeta Buddha, Fa Hsien (Fa Hian/Faxian) di
sebuah pulau yang bernama “Ya-wa-di” dan tinggal di situ selama 5 bulan setelah
berlayar selama 90 hari dalam perjalanan dari Sri Langka ke Kanton pada tahun
414 Masehi menunjukkan bahwa Jawa telah dikenal oleh orang Cina sejak awal abad
ke-5 Masehi. Ya-wa-di adalah transliterasi Cina untuk menyebut Jawa,
sebagaimana toponim Jawadwipa yang juga dipergunakan untuk menyebut Jawa dalam
teks Sanskerta. Di pulau Ya-wa-di ini, kata Fa Hsien, belum ada pemeluk agama
Buddha, yang ada adalah pendeta Brahmana. Di situ juga tidak dijumpai satupun
orang Cina. (Qurtuby, 2003:72).
Kontak resmi
pun kemudian berlangsung antara Cina dan Jawa, terutama dalam bidang diplomasi.
Ini dibuktikan dengan teks-teks Cina yang menginformasikan adanya hubungan Cina
dengan Jawa terjadi setelah Fa Hsien mencatat hasil kunjungannya di Jawa. Dalam
Sejarah Lama Dinasti Sung yang disusun antara tahun 420-279 Masehi,
memberitakan bahwa pada tahun 435 Masehi datang utusan dari negara Ja-wa-da
(juga transliterasi Cina dan toponim Jawadwipa) yang diperintah oleh Sri
Pa-da-do-a-la-mo membawa sepucuk surat beserta upeti. Dari bagian mana di
Jawadwipa utusan itu datang juga tidak diketahui secara pasti. Begitupun dengan
utusan yang datang ke negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, dan 437 Masehi,
dinyatakan bahwa utusan tersebut datang dari kerajaan “Holotan” yang terletak
di She-po. Holotan sendiri diidentifikasi sebagai Aruteun, kerajaan tertua di
Jawa Barat sebelum Tarumanegara. Holotan dinisbatkan sebagai Aruteun mengingat
utusan dari Tarumanegara (To-lo-mo) yang pertama tiba di Cina bertarikh 528
Masehi. (Qurtuby, 2003:73).
Interaksi
antara orang Jawa dengan orang Cina ini memang menjadi perhatian penting dalam
tahapan perkembangan sejarah khususnya di Asia Tenggara. Perahu bercadik yang
terpahat di Borobudur mengisyaratkan bahwa kapal dan pelayaran telah memainkan
peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum
abad ke-15. Bentuk kapal asli Jawa kerap dibandingkan dengan kapal tipe Cina
yang sering digambarkan secara berlebihan, yang lambungnya dikencangkan dengan
bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat yang
dipandang penting secara struktural, yang memisahkan ruang muatan.. Kapal-kapal
Cina memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang-rusuk buritan, dan,
kecuali tipe Fujian serta Kwangtung, dasar kapal dibuat mendatar. (Reid,
2004:78). Istilah “jung” yang kerap dipergunakan untuk menyebut “perahu”
menurut sebagian pendapat berasal dari bahasa China untuk perahu (chuan), namun
tampaknya yang lebih mendekati adalah kata jong dalam bahasa Jawa. (Reid,
2004:78).
Pada masa
Dinasti Tang, hubungan pelayaran Jawa-Cina pun semakin lekat. Hal ini
dibuktikan dengan sumber-sumber asing yang menyatakan bahwa Cina-Jawa menjadi
rute pelayaran tetap untuk keperluan niaga maupun menjalin persahabatan
antarnegara. Oleh sebab itu, sangat dimungkinkan orang Cina-lah yang menjadi
pelopor sistem pelayaran dengan Jawa sebelum bangsa lain ikut ambil bagian.
(Qurtuby, 2003:73). Satu naskah Cina tentang bahan tulis-menulis, yang disusun
sekitar tahun 1200, mengakui bahwa hanya dua negeri di luar Cina yang juga
membuat kertas, yakni Korea dan Jawa. Kertas buatan Jawa lebih tebal dan tahan,
dengan daun yang panjangnya sekitar delapan meter. Kertas buatan Jawa mungkin
menarik perhatian orang Cina karena kegunaannya untuk menyampaikan cerita-cerita
yang dilukiskan dalam gulungan kertas dan dinyanyikan oleh seorang juru cerita
(wayang beber). (Reid, 2011:268). Selain kertas, komoditi kapas yang telah
ditanam di Asia Tenggara juga sudah lama sekali diekspor ke Cina. Naskah-naskah
Cina mencatat bahwa tanaman itu mungkin dibawa ke Cina Selatan dari Vietnam
pada abad ke-7. Dari abad ke-13 hingga ke-17, para pedagang Cina membawa benang
dan pakaian dari kapas ke berbagai pelabuhan Asia Tenggara, terutama Vietnam,
Luzon, serta Jawa. (Reid, 2011:103). Cina juga memperdagangkan komoditi keramik
bercampur kaca berkualitas tinggi, yang diperdagangkan untuk jarak yang lebih
jauh lagi. Dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang jauh lebih
tinggi daripada yang dilakukan pada tempat pembakaran di Asia Tenggara,
piring-piring dan mangkuk-mangkuk ini menjadi barang-barang yang tinggi nilai
serta statusnya. (Reid, 2011:118). Naskah-naskah kuno Thai juga menegaskan
kedatangan ahli kerajinan pot dari Cina di tempat-tempat pembakaran di luar
Sukhothai selama pemerintahan raja agung Ram Kamheng (1292-1299). (Reid,
2011:119).
Pada abad
ke-12, hubungan dagang Cina dengan Panjalu berkembang cukup pesat meski sempat
dilarang pemerintah Cina karena persoalan keamanan politik dalam negeri Panjalu
yang sempat memanas. Hubungan Cina dengan Jawa menjadi suram ketika pada masa
Kertanegara berkuasa di kerajaan Singhasari, Kertanegara memberlakukan hukuman
“potong kuping” terhadap Meng K’i, utusan Mongol, yang datang ke Singhasari
dengan maksud agar kerajaan ini tunduk pada kekuasaan Mongol. Memang pada saat
itu Cina jatuh di tangan Kublai Khan, seorang Mongol yang ambisius dan
imperialistik. (Qurtuby, 2003:77).
Hubungan
Cina-Jawa yang sempat vakum akibat tragedi “potong kuping” tersebut kemudian
kembali menghangat pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Ekspedisi Cheng Ho
dan Kekaisaran Ming ke Jawa berlangsung pada masa Hayam Wuruk (1351-1389
Masehi). (Qurtuby, 2003:80).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar