Minggu, 12 Mei 2013

Rumpun Bambu Beralas Perahu : Menelusuri Jejak Interaksi Kemaritiman Cina-Asia Tenggara (3)


B. Aktivitas Kemaritiman Cina-Asia Tenggara

Satu bukti yang menunjukkan bahwa Cina tidak hanya mengenal sistem pertanian melainkan juga mengenal lautan dan kemaritiman adalah ketika bangsa Cina memandang Asia Tenggara (kecuali Vietnam) sebagai “Laut Selatan” (Nanyang). (Reid, 2011:9). Akan tetapi bisa dikatakan perhatian Cina terhadap aktivitas perdagangan penduduk Nusantara seiring dengan periode perluasan kekaisaran Cina ke selatan meskipun hal ini berjalan secara lamban. Seperti di ketahui bahwa tradisi Cina untuk mengembangkan aktivitas perdagangan dengan kawasan yang teletak di sebelah baratnya (Asia Tengah, Asia Barat, dan Eropa) lewat jalan darat lebih dahulu berkembang. Pada awal abad masehi, sebagian dari perdagangan itu sudah melalui jalan perdagangan maritim antara India dan Asia Tenggara yang sudah terlebih dahulu berkembang meskipun selanjutnya dari Asia Tenggara ke Cina perdagangan dilakukan lewat darat ke Cina melalui Funan. Masih diperlukan waktu yang lama bagi Cina untuk bisa mengambil bagian secara aktif dalam perdagangan maritim di Asia Tenggara. Bahkan perhatian Cina sendiri terhadap perdagangan maritim Asia Tenggara sangat kurang. Mereka berurusan dengan Asia Tenggara (khususnya Funan) sejauh ada sangkut-pautnya dengan perdagangan Asia Barat. Dengan demikian pengetahuan mereka tentang ‘Dunia Selatan’ sangat kurang jika dibandingkan dengan pengetahuan mereka tentang ‘Dunia Barat’. Bahkan baru abad V atau sesudahnya mereka memiliki pengetahuan tentang Nusantara (Suroyo, 2007: 233-234).

Bangsa Cina baru mulai mengadakan kontak dengan Indonesia pada sekitar abad ke-5 Masehi. Pada waktu India mulai mengadakan hubungan dagang dengan Indonesia, kerajaan Cina sedang mulai meluaskan kekuasaannya ke Vietnam, khususnya ke daerah Tonkin. Upaya perluasan kekuasaan kerajaan Cina itu telah membawa kekuasaan tersebut ke dalam kawasan Asia Tenggara. Daerah Asia Tenggara yang letaknya jauh dari pusat peradaban Cina di Cina bagian utara, sebelumnya dianggap sebagai daerah yang belum beradab. Perdagangan dengan negeri asing yang telah dilakukan oleh Cina sejak berabad-abad sebelum masehi adalah dengan Asia Barat. Perdagangan tersebut sepenuhnya dilakukan melalui jalur perdagangan darat lewat Asia Tengah, sehingga tidak memungkinkan berkembangnya perdagangan maritim. Baru setelah abad ke-4, ketika pusat peradaban Cina di Cina Utara diserang oleh suku-suku dari Asia Tengah dan kekuasaan Cina berpindah ke Asia Selatan, para bangsawan dari Cina Utara yang mendirikan dinasti-dinasti Cina Selatan mendorong tumbuhnya perdagangan maritim dari Asia Barat ke Asia Selatan melalui Indonesia. Bersamaan dengan berkembangnya hubungan perdagangan tersebut berkembang pula hasil-hasil dari Asia Tenggara, termasuk dari Indonesia (Suroyo, 2007: 276).

Interaksi Cina dengan  Nusantara, salah satunya dilatarbelakangi oleh intervensi militer Mongol terhadap bangsa Cina. Hal ini dibuktikan dengan laporan Wang Ta-yuan pada tahun 1349 yang menyebut Maluku sebagai kepulauan penghasil rempah-rempah. Ia menjelaskan bahwa para pedagang Cina masa itu sudah mengunjungi Ternate dan Tidore untuk membeli cengkeh. Barros, penulis berkebangsaan Portugis, juga menyatakan orang Cina sebagai perintis perdagangan cengkeh dalam skala besar. (Reid, 2004:81). 

Pada periode pergolakan abad ke-16, ketika Melaka ditaklukkan Portugis di tahun 1511, menyebabkan Melaka kurang diminati sebagai pangkalan dagang orang-orang Muslim. Secara tidak langsung Siam diuntungkan dalam penaklukkan ini. Siam menjadi pangkalan penting bagi perdagangan Cina ke Borneo dan Filipina. Pelayaran Cina melalui rute Timur langsung dari Fujian sampai Luzon dan kawasan sekitarnya tempaknya telah ditinggalkan pada akhir abad ke-15 dan diganti dengan rute lain melewati Melaka. Ayutthaya menjadi tempat penting bagi pelayaran dan perdagangan bangsa Cina, terutama bagi pengapalan barang-barang Cina untuk pulau-pulau bagian timur. Rute pelayaran Cina dari Siam hingga Mindanao inilah yang tergambar dalam Shun Feng Xiang Song Dinasti Ming terakhir. (Reid, 2004:119).

Dalam sumber-sumber Cina, disebutkan bahwa bangsa Cina telah mengenal Jawa sejak awal abad Masehi. Kisah “terdamparnya” pendeta Buddha, Fa Hsien (Fa Hian/Faxian) di sebuah pulau yang bernama “Ya-wa-di” dan tinggal di situ selama 5 bulan setelah berlayar selama 90 hari dalam perjalanan dari Sri Langka ke Kanton pada tahun 414 Masehi menunjukkan bahwa Jawa telah dikenal oleh orang Cina sejak awal abad ke-5 Masehi. Ya-wa-di adalah transliterasi Cina untuk menyebut Jawa, sebagaimana toponim Jawadwipa yang juga dipergunakan untuk menyebut Jawa dalam teks Sanskerta. Di pulau Ya-wa-di ini, kata Fa Hsien, belum ada pemeluk agama Buddha, yang ada adalah pendeta Brahmana. Di situ juga tidak dijumpai satupun orang Cina. (Qurtuby, 2003:72).

Kontak resmi pun kemudian berlangsung antara Cina dan Jawa, terutama dalam bidang diplomasi. Ini dibuktikan dengan teks-teks Cina yang menginformasikan adanya hubungan Cina dengan Jawa terjadi setelah Fa Hsien mencatat hasil kunjungannya di Jawa. Dalam Sejarah Lama Dinasti Sung yang disusun antara tahun 420-279 Masehi, memberitakan bahwa pada tahun 435 Masehi datang utusan dari negara Ja-wa-da (juga transliterasi Cina dan toponim Jawadwipa) yang diperintah oleh Sri Pa-da-do-a-la-mo membawa sepucuk surat beserta upeti. Dari bagian mana di Jawadwipa utusan itu datang juga tidak diketahui secara pasti. Begitupun dengan utusan yang datang ke negeri Cina pada tahun 430, 433, 434, dan 437 Masehi, dinyatakan bahwa utusan tersebut datang dari kerajaan “Holotan” yang terletak di She-po. Holotan sendiri diidentifikasi sebagai Aruteun, kerajaan tertua di Jawa Barat sebelum Tarumanegara. Holotan dinisbatkan sebagai Aruteun mengingat utusan dari Tarumanegara (To-lo-mo) yang pertama tiba di Cina bertarikh 528 Masehi. (Qurtuby, 2003:73).

Interaksi antara orang Jawa dengan orang Cina ini memang menjadi perhatian penting dalam tahapan perkembangan sejarah khususnya di Asia Tenggara. Perahu bercadik yang terpahat di Borobudur mengisyaratkan bahwa kapal dan pelayaran telah memainkan peran besar dalam segenap urusan Jawa dan Laut Jawa selama berabad-abad sebelum abad ke-15. Bentuk kapal asli Jawa kerap dibandingkan dengan kapal tipe Cina yang sering digambarkan secara berlebihan, yang lambungnya dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat yang dipandang penting secara struktural, yang memisahkan ruang muatan.. Kapal-kapal Cina memiliki kemudi tunggal yang dipasang pada palang-rusuk buritan, dan, kecuali tipe Fujian serta Kwangtung, dasar kapal dibuat mendatar. (Reid, 2004:78). Istilah “jung” yang kerap dipergunakan untuk menyebut “perahu” menurut sebagian pendapat berasal dari bahasa China untuk perahu (chuan), namun tampaknya yang lebih mendekati adalah kata jong dalam bahasa Jawa. (Reid, 2004:78). 

Pada masa Dinasti Tang, hubungan pelayaran Jawa-Cina pun semakin lekat. Hal ini dibuktikan dengan sumber-sumber asing yang menyatakan bahwa Cina-Jawa menjadi rute pelayaran tetap untuk keperluan niaga maupun menjalin persahabatan antarnegara. Oleh sebab itu, sangat dimungkinkan orang Cina-lah yang menjadi pelopor sistem pelayaran dengan Jawa sebelum bangsa lain ikut ambil bagian. (Qurtuby, 2003:73). Satu naskah Cina tentang bahan tulis-menulis, yang disusun sekitar tahun 1200, mengakui bahwa hanya dua negeri di luar Cina yang juga membuat kertas, yakni Korea dan Jawa. Kertas buatan Jawa lebih tebal dan tahan, dengan daun yang panjangnya sekitar delapan meter. Kertas buatan Jawa mungkin menarik perhatian orang Cina karena kegunaannya untuk menyampaikan cerita-cerita yang dilukiskan dalam gulungan kertas dan dinyanyikan oleh seorang juru cerita (wayang beber). (Reid, 2011:268). Selain kertas, komoditi kapas yang telah ditanam di Asia Tenggara juga sudah lama sekali diekspor ke Cina. Naskah-naskah Cina mencatat bahwa tanaman itu mungkin dibawa ke Cina Selatan dari Vietnam pada abad ke-7. Dari abad ke-13 hingga ke-17, para pedagang Cina membawa benang dan pakaian dari kapas ke berbagai pelabuhan Asia Tenggara, terutama Vietnam, Luzon, serta Jawa. (Reid, 2011:103). Cina juga memperdagangkan komoditi keramik bercampur kaca berkualitas tinggi, yang diperdagangkan untuk jarak yang lebih jauh lagi. Dihias dengan indah dan dibakar dengan temperatur yang jauh lebih tinggi daripada yang dilakukan pada tempat pembakaran di Asia Tenggara, piring-piring dan mangkuk-mangkuk ini menjadi barang-barang yang tinggi nilai serta statusnya. (Reid, 2011:118). Naskah-naskah kuno Thai juga menegaskan kedatangan ahli kerajinan pot dari Cina di tempat-tempat pembakaran di luar Sukhothai selama pemerintahan raja agung Ram Kamheng (1292-1299). (Reid, 2011:119).

Pada abad ke-12, hubungan dagang Cina dengan Panjalu berkembang cukup pesat meski sempat dilarang pemerintah Cina karena persoalan keamanan politik dalam negeri Panjalu yang sempat memanas. Hubungan Cina dengan Jawa menjadi suram ketika pada masa Kertanegara berkuasa di kerajaan Singhasari, Kertanegara memberlakukan hukuman “potong kuping” terhadap Meng K’i, utusan Mongol, yang datang ke Singhasari dengan maksud agar kerajaan ini tunduk pada kekuasaan Mongol. Memang pada saat itu Cina jatuh di tangan Kublai Khan, seorang Mongol yang ambisius dan imperialistik. (Qurtuby, 2003:77).
Hubungan Cina-Jawa yang sempat vakum akibat tragedi “potong kuping” tersebut kemudian kembali menghangat pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Ekspedisi Cheng Ho dan Kekaisaran Ming ke Jawa berlangsung pada masa Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi). (Qurtuby, 2003:80).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar