Kamis, 30 Maret 2017

Salah Jurusan, Siapa Bilang?


Perasaan salah jurusan dalam perkuliahan sering muncul ketika skripsi atau tugas akhir tak kunjung selesai, indeks prestasi yang minimalis, atau waktu perkuliahan yang entah kapan berakhir, sementara semester kian menua. 

Di lain sisi, perasaan yang sama mengemuka ketika seorang alumnus sedang gigih-gigihnya mengulik satu demi satu lapangan kerja. Setelah dia meraih ijazah dengan gelar akademik, sialnya, tak banyak lapangan kerja yang membutuhkan lulusan dari jurusan tempat ia menempuh studi. 


Kalau kamu juga merasakan apa yang saya tulis di atas, berarti saatnya kamu mengubah mindset saat ini juga.


Coba ingat-ingat, apa yang membuat kamu memilih belajar di jurusan atau program studi yang saat ini sedang atau sudah kamu tempuh? Kalau hanya sekadar "asal sarjana", saya agak tak yakin. Karena kalau "asal sarjana", maka kamu tidak akan sejauh ini melangkah. Biasanya akan ada hambatan-hambatan di awal perkuliahan yang menyebabkan kamu merasa depressed dan memutuskan hengkang dari jurusan itu. Coba identifikasi ulang, apa yang membuat kamu memilih jurusan itu.

Biasanya, 80 persen orang akan mengatakan bahwa mereka memilih jurusan sesuai dengan passion. Sisanya, ada yang memilih jurusan karena ingin mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri, ingin segera berkuliah agar tak tertinggal dengan kawan-kawan sebayanya, dan lain-lain.

So, sekarang kamu ada di posisi mana? Memilih jurusan yang sesuai passion-kah? Kalau kamu mengiyakan, berarti kamu sudah dalam jurusan yang benar. Kamu tidak salah jurusan.

Disadari atau tidak, alam bawah sadar pelajar pada umumnya akan merasa tertekan dengan rentetan mata pelajaran yang disodorkan selama kurang lebih dua belas tahun. Mereka dipaksa "memakan" pelajaran-pelajaran yang mereka tak suka. Maka masa perkuliahan menjadi saat yang sangat ditunggu untuk memakan apapun yang jadi kesukaan. Jadi selamat, kamu tidak salah jurusan.

Pertanyaan berikutnya, "jika tidak salah jurusan, mengapa waktu studi saya tak selesai-selesai, bahkan nilai selalu mepet dan skripsi sulit saya kerjakan?"

Jawabannya sederhana. Karena kamu sedang dalam kondisi emosional tertekan. Pada level emosi ini, emosi positif sangat sulit dihadirkan. Mungkin kesulitan mempelajari materi dan kesulitan menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan mempengaruhi kondisi emosional hingga akhirnya terpuruk terus dan terus hingga masuk ke level depresi.

Dear, di saat kamu sedikit saja menghadapi kesulitan, maka di saat itu juga kamu harus berusaha menghadirkan emosi positif. Caranya simple. Datangi sahabat, orang tua, atau orang-orang terdekat untuk menjadi pendengar yang baik atas masalah yang kamu hadapi. Percaya atau tidak, bercerita bisa melegakan, lho. Coba deh. Kesulitan-kesulitan yang terlalu lama menumpuk itu kemudian membuat kamu tertekan , tertekan, dan terus masuk ke dalam level perasaan bersalah. Ini yang kemudian memunculkan perasaan "saya salah pilih jurusan".

Kemudian, "jika tidak salah jurusan, mengapa saya sulit memasuki pekerjaan-pekerjaan di perusahaan-perusahaan itu? Mengapa jurusan saya tidak diperhitungkan?"

Jawabannya juga sederhana. Karena tanpa sadar, kita didoktrin untuk menganggap orang yang sukses dan berhasil adalah mereka yang berpenampilan necis dan kerja di kantoran bonafide. Padahal tidak selalu seperti itu, lho.

Dear, semua manusia yang hidup di dunia adalah pemenang. Dari jutaan sel sperma dan sel telur, kamulah pemenangnya. Kamu yang mampu bertahan selama sembilan bulan di dalam kandungan ibu, dan hadir di dunia. Dan kamu terlahir sebagai pemenang, bukan pecundang. Tuhan menganugerahi siapapun manusia dengan keterampilan hidup. Sayangnya, pola pikir seperti tadi, menghambat manusia dalam berpikir kreatif mengembangkan keterampilan hidupnya. Coba identifikasi apa keterampilan yang bisa kamu karyakan. Karena mustahil Tuhan menghadirkan kita di dunia tanpa bekal. Namun kalau kamu belum bisa menemukannya, kamu bisa datang ke psikolog untuk mengidentifikasi skill apakah yang kamu miliki.

Kamu juga bisa memanfaatkan ladang yang belum digarap dari lulusan jurusan yang jadi tempat kamu menuntut ilmu. Memangnya ada? Pasti ada. Kalau kamu sudah berada pada level berpikir ini, saatnya kamu memperluas koneksi dan memperbanyak rekan untuk bisa menemukan apa saja yang bisa kamu karyakan.

Dear, kamu tahu kan, ada banyak profesor di luar sana yang masing-masing memiliki spesialisasi ilmu. Mereka berkontribusi secara luas untuk mengembangkan ilmu agar bermaslahat bagi orang banyak. Lantas, apa hak kita untuk men-judge jika kita ada pada jurusan keilmuan yang salah? Tidak ada ilmu yang tidak bermanfaat. Believe on that.



Salam,
Fadhil Nugroho Adi

(next, kita coba menimbang antara gaji tinggi dan gaji sedang)

Jumat, 24 Maret 2017

Karena Lidah (memang) Tak Bertulang

Foto: topsy.one

Coba kita sedikit peka dan meluangkan waktu untuk menganalisis. Yang mudah-mudah saja. Seputar konflik sosial yang muncul beberapa hari belakangan, misalnya.

Apakah konflik yang muncul semata-mata karena perbedaan kepentingan? Oh ternyata bukan. Konflik yang timbul beberapa waktu terakhir justru kerap disebabkan oleh kepeleset lidah. Banyak tutur yang tidak bisa dijaga, meluncur tanpa menimbang situasi di sekitarnya. Akibatnya, ketika penerimaan seseorang tidak sejalan dengan apa yang dia dipikirkan, rentan sekali tersulut konflik.

Ada beberapa cara yang bisa diterapkan agar lebih berhati-hati dalam menjaga ucapan, selain penanaman pribadi sejak dini.

  1. Sadari bahwa kita merupakan makhluk sosial. Pada hakikatnya, manusia, meski independensinya diperhitungkan, namun dia tetap berkodrat sebagai makhluk sosial. Makhluk yang tidak bisa lepas dari bantuan manusia lain meski sekecil apapun itu. Ketika kita memahami bahwa kita adalah makhluk sosial, maka secara psikologis, akan muncul kehati-hatian bersikap dari dalam diri. Ini tidak sulit jika kita sudah terbiasa. Namun bagi yang selama ini terkesan nyablak, mungkin akan terasa berat. Tapi cobalah.
  2. Pahami situasi pembicaraan. Sedang siapa kita berbicara, di mana kita berbicara, dalam waktu apa kita berbicara, semuanya harus betul-betul dipahami. Menata diri untuk bisa berbicara dengan baik pada waktu tertentu, di tempat tertentu, dengan orang-orang tertentu, akan memudahkan kita dalam menjaga lisan.
  3. Kalau kita suka sate, orang lain belum tentu suka sate. Maksudnya, seringkali kita berbicara tanpa memperhatikan latar belakang lawan bicara. Secara psikologis, makin tinggi ilmu seseorang, maka akan semakin sederhana bahasa yang dia gunakan. Untuk berbicara dengan orang lain, ada baiknya menggunakan bahasa yang tak terlalu "tinggi" agar apa yang menjadi maksud dapat tersampaikan dengan baik.
  4. Hindari perdebatan. Karena merasa diri kita yang benar, maka ketika muncul pembahasan yang tidak selaras dengan pemikiran kita, ego pun dinomorsatukan. Akibatnya timbul perdebatan, dan ini kerap menjadi bibit munculnya konflik sosial. Tahan diri, mengalahlah. Mengalah bukan berarti kalah.
Siapa sangka, hanya karena lidah, orang bisa saling bunuh? Tentu tidak mau itu terjadi, kan? Maka, bijaklah sedari dalam pikiran.

(Fadhil Nugroho Adi)

Rabu, 15 Maret 2017

Mendengarkan untuk Menyamankan


Ada banyak hubungan pertemanan yang dilandasi oleh kesamaan visi, kesamaan cara pikir, maupun kesamaan selera. Biasanya diawali dengan 'riset' terselubung. Mulai dari melihat kebiasannya, mencermati tingkah lakunya, sampai ngepoin melalui sosial media atau teman terdekatnya.

Namun ada satu poin dari hubungan pertemanan yang terkadang diabaikan. Yakni, kesediaan dan kemampuan untuk mendengarkan. Tidak ada pertemanan di dunia ini yang tidak terbentuk dengan komunikasi. Untuk sekadar mengenal nama orang pun, pasti ada komunikasi barang dua-tiga kata.

Dari komunikasi itulah kemudian muncul pribadi-pribadi yang bersedia mendengar apa yang diutarakan lawan bicaranya. Ada yang mendengar sekadar mendengar. Ada yang mendengar tanpa menatap lawan bicara. Ada juga yang mendengarnya dengan seksama sampai berusaha mencarikan solusi dari permasalahan lawan bicara.

Pada dasarnya seluruh manusia di muka bumi senang diperhatikan. Demikian halnya dengan kesediaan untuk mendengarkan apa yang dikesahkan lawan bicara. Mereka, si lawan bicara, butuh menyandarkan segala apa yang dirasa kepada orang yang dianggapnya tepat. Ketika kemudian keluh kesahnya tertuju pada temannya, maka sudah seharusnya sang teman memberi waktu terbaik untuk mendengarkan.

Dengan meluapkan uneg-uneg ataupun kesedihan lainnya, seseorang tentu akan merasa lebih lega ketimbang memendamnya sendiri. Dan bagi sang teman, kesediaan untuk mendengarkan menempati posisi penting di sini. 

Lalu bagaimana caranya untuk mampu menjadi pendengar yang baik? Masing-masing orang  tentu memiliki cara tersendiri. Namun setidaknya langkah-langkah inilah yang saya terapkan. Dan hasilnya, begitu banyak kawan saya dari berbagai usia yang mempercayakan uneg-unegnya untuk disampaikan kepada saya.

  1. Hindari menyela pembicaraan. Seringkali ego untuk menyela pembicaraan merusak suasana. Biarkan lawan bicara mengeluarkan uneg-uneg , kesedihan, dan segala yang mengganjal di dalam hatinya tanpa disela. Biarkan dia terus berbicara, meski harus menangis sekalipun.
  2. Jangan menduakannya. Di era teknologi seperti sekarang, seperti yang saya tulis sebelumnya, banyak topik obrolan yang diduakan dengan gadget. Akibatnya, fokus untuk mendengarkan menjadi terpecah. Letakkan gadget barang beberapa menit, untuk menunjukkan bahwa, "oke, saya siap mendengarkanmu!"
  3. Tak perlu menjadi hakim. Ada satu kesalahan yang sering dilakukan tanpa sadar. Yaitu menghakimi lawan bicara. Menempatkannya pada situasi yang makin tersudut, Contoh, menyalahkan lawan bicara atas apa yang ia lakukan. Ingat, Anda dipilih sebagai tempat curhat karena ia yakin, Anda mampu memberi kenyamanan.
  4. Hapus teori-teori rumit. Sebetulnya, bahu yang Anda berikan bagi lawan bicara untuk bersandar sudah lebih dari cukup. Namun terkadang ia membutuhkan saran dari Anda atas apa yang ia tengah alami. Maka jauhi teori-teori yang justru membuatnya semakin terjebak tanpa solusi. Berilah saran-saran yang merangkul dengan melihat kapasitasnya. Ia membutuhkan praktik sesegera mungkin, bukan teori yang sulit untuk dia lakukan. Karena kita sedang menghadapi problema hidup dan bukan sedang mengerjakan soal-soal Ilmu Pasti.

Tidak sulit bukan, untuk menjadi pendengar yang baik? Mendengarkan lawan bicara dengan cara-cara yang saya tulis, semoga mampu memberikan kenyamanan.