Pergerakan
kebangsaan di Bali bermula ketika perundingan yang dilakukan antara Komisaris
Pemerintah J. F. T. Mayor dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Made Karangasem
pada tanggal 8 Mei 1845 mengalami kegagalan. Perundingan tersebut merupakan
tindak lanjut dari penyelesaian masalah pengesahan kontrak tertanggal 8 Mei
1843 mengenai penghapusan hukum tawan karang yang ternyata dilanggar melalui
perampasan perahu Makassar dan perahu Mayang oleh penduduk di sekitar Sangsit
(di daerah Buleleng) dan Perancak (di daerah Jembrana). Kegagalan ini masih
ditambah dengan aksi Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik di hadapan umum yang
menentang otoritas dan wibawa pemerintah Hindia Belanda hingga dianggap sebagai
suatu penghinaan terbuka terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kondisi ini
mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil tindakan militer terhadap
Raja Buleleng apabila misi Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor tidak berhasil.
Di Buleleng,
Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik sadar dan yakin bahwa selepas tindakannya
yang melecehkan pemerintah Hindia Belanda tidak lantas membuat Belanda diam dan
bertekuk lutut. Gusti Ketut Jelantik lantas merancang siasat pertahanan dan
peperangan terhadap Belanda dan memerintahkan rakyat yang tinggal di pantai
Buleleng untuk membangun kubu-kubu pertahanan yang dapat dipergunakan untuk
menghalang-halangi pendaratan musuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sejak tanggal 8 Mei 1845 kedua belah pihak telah bersiap untuk menghadapi suatu
peperangan dan dari sinilah nasib Kerajaan Buleleng akan ditentukan.
Perlu menjadi
catatan bahwa sikap permusuhan Belanda tidak hanya ditujukan kepada kerajaan
Buleleng saja, melainkan juga kepada kerajaan Karangasem, mengingat kapal Atut
Rachman, kapal dagang Belanda, karam dan dirampas oleh penduduk sesuai dengan
ketentuan hukum tawan karang. Padahal seperti telah disinggung sebelumnya,
hukum tawan karang dihapus sesuai dengan perjanjian 1 Mei 1843. Oleh sebab itu
Belanda menuntut Raja Karangasem untuk membayar ganti rugi dan mengadakan
pemeriksaan terhadap kapal yang dirampas tersebut. Akan tetapi Gusti Gde Ngurah
Karangasem menolak dan memilih solider dengan Raja Buleleng sehingga pemerintah
Hindia Belanda memperlakukan Kerajaan Karangasem sama dengan Kerajaan Buleleng
dan menganggap keduanya sebagai musuh sekaligus sebagai target ekspedisi
militer mereka untuk memaksakan kemauan pemerintah Hindia Belanda.
Pada akhirnya,
setelah tekanan politik yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap
Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem mengalami kebuntuan, maka pada
tanggal 6 Februari 1846 Gubernur Jenderal J.J. Rochussen memutuskan untuk
melancarkan serangan militer terhadap kedua kerajaan tersebut dengan
berlandaskan surat keputusan tanggal 6 Februari 1846 NO: La K. Ultimatum
tersebut kurang lebih memuat lima hasil keputusan Gubernur Jenderal atas dasar
permufakatan dengan Panglima Angkatan Laut Kerajaan dan Panglima Angkatan Darat
Kerajaan di Hindia Belanda beserta nasehat Dewan Hindia. Surat keputusan
tersebut juga memuat lampiran instruksi yang terdiri atas 14 pasal untuk
Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor, dengan stretching sesaat setelah Angkatan
Perang Belanda tiba di pantai Buleleng Komisaris Pemerintah menyerahkan
manifesto atau ultimatum tersebut kepada Raja Buleleng dan ditunggu tiga kali
dua puluh empat jam jawaban dari Raja Buleleng mengenai tuntutan-tuntutan yang
dimuat dalam ultimatum tersebut. Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak dapat
diperoleh jawaban yang memuaskan, maka pasukan-pasukan mulai diturunkan dari
kapal-kapal pengangkutan untuk melancarkan serangan terhadap pelabuhan Buleleng
dan menduduki tempat tersebut dengan mendirikan bivak berkapasitas satu kompi
pasukan untuk menduduki dan mengamankan pabean Buleleng, sementara yang lain
meneruskan serangkan menuju kota Singaraja sebagai tempat kedudukan dan
kekuasaan raja.
Pada tanggal
17 Februari 1846 Gubernur Jenderal/Menteri Negara pun kembali mengeluarkan satu
surat keputusan No: LaO yang memberi petunjuk-petunjuk terakhir pelaksanaan
aksi militer yang akan dilakukan terhadap Buleleng dan Karangasem. Disebutkan
pula perintah bahwa Angkatan Perang Belanda yang diperintahkan untuk
melaksanakan ekspedisi militer tersebut selambat-lambatnya pada pertengahan
bulan April sudah siap meninggalkan Batavia untuk selanjutnya menuju ke Bali.
Perlu menjadi
catatan bahwa Bali pada saat itu memiliki lima kerajaan yakni Kerajaan
Buleleng, Karangasem, Tabanan, Badung, dan Bangli dengan dipimpin Dewa Agung
yang berkedudukan di Klungkung. Akan tetapi hubungan antarkerajaan tidak
berlangsung harmonis. Perselisihan, percekcokan dan cemburu-mencemburui antara
raja-raja di Bali pada abad kesembilan belas sering menimbulkan ketegangan
bahkan peperangan antarmereka sehingga membuka kesempatan bagi kekuasaan asing
untuk menanamkan pengaruhnya di pulau tersebut. Demikian halnya dengan kasus
Kerajaan Buleleng dan Karangasem. Tiga kerajaan tersebut, meski telah
diinstruksikan oleh Dewa Agung, menolak mengirimkan pasukannya ke Buleleng dan
Karangasem dalam usahanya memerangi serangan Belanda.
26 Juni 1846
armada Hindia Belanda mencapai pantai Buleleng. Ultimatum yang sebelumnya
diberikan kepada Raja Buleleng tertanggal 24 Juni 1846 ternyata dibalas oleh
Raja Buleleng bahwasanya ultimatum tersebut tidak dapat segera diberikan. Raja
Buleleng meminta penangguhan hingga sepuluh hari untuk berunding dengan Dewa
Agung, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Komisaris J.F.T Mayor.
Demikian pula ketika Raja Buleleng akan mengadakan perdamaian dengan Gubernur
Jenderal J.J. Rochussen, permintaan tersebut ditolak hingga akhir batas
ultimatum tertanggal 27 Juni 1846.
Begitulah,
mulai tanggal 27 Juni 1846 oleh panglima pasukan ekspedisi diberikan perintah
untuk mengadakan segala persiapan pendaratan, yang ditentukan akan dilakukan
pada tanggal 28 Juni 1846 dini hari di salah satu tempat di sekitar pantai
Buleleng dengan tujuan dalam waktu singkat menguasai desa Buleleng. Pada 28
Juni 1846 dini hari, pasukan Belanda didaratkan di sebelah timur, di sebuah
sawah di desa Buleleng. Meriam-meriam terbidik untuk menghancurkan pertahanan
di pantai dan konsentrasi pasukan Bali. Pihak Belanda mengakui jika pendaratan
dan serangan pasukan pendaratan itu mendapat perlawanan yang hebat dari pasukan
Bali. Siasat Belanda kala itu adalah menyerang Desa Buleleng dari belakang
dengan mengadakan gerakan pasukan melalui kampung Jawa, akan tetapi justru
banyak korban berjatuhan dari pasukan Belanda. Kondisi ini dinayatakan dengan
“babak pertama pertempuran untuk menguasai Buleleng sama sekali tidak
menguntungkan Angkatan Perang Belanda”. Belanda lantas membakar sebagian Desa
Buleleng dengan tujuan agar pasukan Bali yang bersembunyi akan keluar dari
tempat persembunyiannya. Dalam kondisi genting itulah, meriam-meriam diarahkan
ke perkampungan penduduk, dan banyak korban berjatuhan dari rakyat Bali. Dengan
demikian pada siang harinya Desa Buleleng dapat dikuasai oleh tentara Belanda.
Dari kalangan
pasukan Bali jatuh korban lebih dari seratus orang, sedang di pihak Belanda
jatuh korban seorang perwira dan 9 orang bintara dan prajurit. Dua perwira
mengalami luka-luka, begitupun dengan 49 bintara dan prajurit. Dan setelah pasukan
pendaratan diberi istirahat pada tanggal 28 Juni 1846, maka ditentukan oleh
panglima bahwa esok harinya pasukan pendaratan akan bergerak ke Singaraja untuk
menguasai kota tersebut. Maka pada tanggal 29 Juni 1846 pasukan menuju kota
Singaraja namun ternyata pasukan Bali tidak memberi perlawanan dan kota
Singaraja dikosongkan. Raja dan pembesar kerajaan meninggalkan kota Singaraja,
dan istana raja (puri) pun dikosongkan. Sesuai dengan instruksi yang diberikan
oleh Gubernur Jenderal tertanggal 27 Februari 1846 maka istana Raja dan
bangunan di sekitarnya dihanguskan, meskipun pembakaran ini semestinya tidak
diizinkan. Barang-barang yang diketemukan di istana raja dikuasai sebagai milik
pemerintah Hindia Belanda.
Oleh karena
Raja Buleleng dan Raja Karangasem mengundurkan diri ke pedalaman di salah satu
tempat kurang lebih 5 kilometer dari kota Singaraja, maka G.P. King, utusan
Komisaris Pemerintah Mayor sekaligus sebagai peninjau dan pengantar pasukan
Selaparang, mengundang keduanya untuk bertolak ke Singaraja guna mengadakan
perundingan dengan Komisaris Pemerintah. Akhirnya pada 5 Juli 1846 Raja
Karangasem tiba di Buleleng, dan Raja Buleleng tiba pada tanggal 9 Juli 1846.
Keduanya lalu bersedia mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah
J.F.T. Mayor untuk memperoleh penyelesaian politik dalam masalah perang ini,
namun Gusti Ketut Jelantik tidak menyertai kedua raja tersebut dalam
perjalanannya ke Buleleng. Dalam pembicaraan antara kedua raja dengan Komisaris
Pemerintah, keuda raja dipaksa untuk menandatangani suatu perjanjian yang sudah
dirumuskan terlebih dahulu di Batavia, sehingga dengan demikian jelaslah bahwa
pembicaraan tersebut bukan merupakan suatu perundingan dari dua pihak yang
memiliki kedudukan yang sederajat, namun lebih merupakan suatu “diktat” karena
kemauan pihak pemenang dipaksakan terhadap pihak yang kalah. Pada tanggal 9
Juli 1846, Raja Buleleng dan Raja Karangasem menandatangani perjanjian tersebut
bertempat di Buleleng. Ada dua perjanjian yang harus ditandatangani. Perjanjian
pertama merupakan ulangan dari perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua
belah pihak pada tahun 1841 dan 1843, sementara perjanjian yang kedua adalah
suatu pernyataan bahwa sebagai akibat dari ekspedisi militer Belanda, yang baru
berlangsung sekaligus berakhir dengan kekalahan mereka, maka kedua kerajaan
tersebut menurut hukum perang menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Dalam
perjanjian ini diatur juga masalah pampasan perang yang harus dibayar oleh
kedua kerajaan tersebut kepada pemerintah Hindia Belanda. Raja Buleleng harus
membayar tiga perempat dari jumlah ganti rugi perang, sedangkan Raja Karangasem
hanya diwajibkan membayar seperempat jumlah tersebut. Akan tetapi perlawanan
belum usai. Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik, yang sebenarnya merupakan jiwa
utama perlawanan terhadap Belanda, tidak tinggal diam dan bertekuklutut.
Setelah ternyata sebagai akibat tekanan militer pihak Belanda dengan
persenjataannya yang kuat menyebabkan Buleleng tidak dapat dipertahankan, Gusti
Ketut Jelantik pun memerintahkan agar pasukan Bali mengundurkan diri sampai ke
salah satu tempat di timur kota Singaraja, yakni Jagaraga. Di sinilah nanti
pertempuran melawan Belanda masih berlangsung sengit, hingga berlanjut dengan
perang Kusamba dan diakhiri dengan Perdamaian Kuta 1849.
Ikhtisar dari
“Bali Pada Abad XIX”, tulisan Ide Anak Agung Gde Agung, diterbitkan oleh Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar