Sabtu, 08 November 2014

Menggagas Kebangkitan Museum

Fadhil Nugroho Adi, S.Hum
(Alumni Jurusan Sejarah Undip, 45 Besar Duta Museum Jawa Tengah 2014)

Museum Jawa Tengah Ranggawarsita

Museum : Sebuah Selayang Pandang

Pada dasarnya, museum merupakan sebuah badan atau lembaga yang bertujuan untuk bersifat tetap, tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat, terbuka untuk umum, benda-benda koleksi yang diperoleh dapat dirawat, diawetkan, direkomendasikan, dan dipamerkan untuk kepentingan studi, pendidikan, dan kesenangan dari materi-materi yang menjadi saksi manusia dan alam (Rumusan ICOM, 1974).

Dari rumusan tersebut dapat ditelaah lebih dalam bahwa museum berfungsi strategis dalam mengumpulkan, melestarikan, dan menyajikan koleksi kepada masyarakat umum untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan pendidikan, serta sebagai salah satu bentuk hiburan.

Di Indonesia, museum mulai diwujudkan pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu pemerintah kolonial mendirikan Bataviaasch Genotschaap van Kunsten en Wetenschappen (1770) dan dikembangkan dengan Stichting Oud Batavia atau Museum Oud Batavia (1930-an). Ketika Inggris masuk ke Indonesia, pada tahun 1811 hingga 1815, terdapat satu badan bernama Batavian Society of Arts and Sciences yang juga memiliki fungsi seperti museum pada umumnya. Hingga kemudian Indonesia terbebas dari belenggu penjajahan, terbentuklah sebuah lembaga resmi negara dalam mengkoordinasi permuseuman dengan nama Lembaga Kebudayaan Indonesia. Dari sinilah muncul Museum Pusat dan Perpustakaan (yang kemudian menjadi Museum Nasional dan Perpustakaan Nasional) dan Museum Jakarta.

Salah satu koleksi etnografis di Museum Ranggawarsita

Museum dan Tantangannya

Saat ini, banyak museum di Indonesia, terutama yang berada dalam pengelolaan pemerintah, bisa dikatakan masih berwujud “museum konvensional”. Tidak jarang ditemui museum-museum semacam ini tampil dengan sajian yang seadanya, kurang menarik minat pengunjung, terkesan menyeramkan dengan isi barang-barang kuno, dan anggapan-anggapan lain yang kurang mampu menyedot animo masyarakat luas. Sementara di lain sisi, museum yang dikelola pihak swasta jutsru mampu tumbuh dan berkembang secara maksimal. Sebut saja museum batik di Surakarta, museum lukisan Affandi, dan museum-museum lain yang digagas dan diadaptasi secara baik oleh pihak non-pemerintah. Museum ini punya harga karcis yang setinggi langit, tapi pengunjung tidak merasa kecewa dengan tampilan di dalamnya. Istilah Jawanya, sumbut.



Oleh sebab itu perlu dikaji ulang bagaimana tata pameran dalam sebuah museum yang benar dan tepat sasaran. Kita tahu bahwa ada banyak faktor yang menarik masyarakat untuk berkunjung ke museum, antara lain gaya hidup, kelas sosial, dan kecenderungan sosial mereka. Dan faktor-faktor inilah yang mesti diperhatikan oleh setiap museum, demi memenuhi tujuan museum itu sendiri.



Sebagai contoh, saya mencoba memperbandingkan kondisi museum pemerintah kita dengan museum yang juga dikelola pemerintah, namun tentu bukan di Indonesia. Museum Nasional di Singapura, punya banyak cara untuk memanjakan pengunjungnya. Dalam gelaran Trip to Historical Site for ASEAN Unity yang lalu, saya cukup terperangah ketika memperoleh souvenir yang begitu lux dari delegasi Singapura. Beliau adalah direktur Museum Nasional Singapura. Kami diberinya tas tangan berisi majalah berkala yang khusus menyajikan informasi seputar koleksi museum tersebut dan kipas tangan cantik bergambarkan ilustrasi Museum Nasional Singapura. 
The National Museum, Singapore

Majalah ini tampil dengan kertas yang sama lux-nya, dan mengakomodasi berbagai tulisan tentang benda-benda koleksi sejarah dari negara lain di Asia Tenggara. Bagi saya, ini menarik sekali. Tak hanya wawasan setiap pengunjung yang bertambah dengan hadirnya majalah berkala ini, namun tujuan museum sebagai media pendidikan juga menjadi tercapai. Untuk hal ini, saya sebetulnya telah mengapresiasi museum Ronggowarsito yang rajin menerbitkan buku-buku tentang koleksi benda sejarah baik yang berbahan logam, batu, kain (batik), koleksi etnografi, maupun serat-serat yang dialihtransliterasikan oleh para pakar yang mumpuni di bidangnya. Sayangnya, buku ini kurang terdistribusikan dengan baik di kalangan pelajar ataupun masyarakat umum. Sehingga masyarakat hanya bisa menemuinya di perpustakaan museum. Andai saja buku ini terdistribusi di kalangan masyarakat luas (semisal di perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi), pasti akan memunculkan rasa keingintahuan yang tinggi untuk menyaksikan secara langsung peninggalan nenek moyang Nusantara yang luhur pekertinya.


House of Sampoerna
Sementara di Indonesia, ada satu museum yang cukup membuat saya terkesima, yang dikelola oleh pihak swasta. House of Sampoerna namanya. Museum yang berlokasi di Surabaya ini menyajikan pemandangan yang elegan, dengan aroma tembakau dan cengkeh yang berpadu. Porsi tata pameran semuanya serba ideal. Contoh-contoh tembakau sampai produk-produk dari masa ke masa yang dihasilkan oleh pabrik rokok terbesar se-Asia itu dijajarkan secara apik nan artistik. Tata pencahayaan juga menjadi daya dukung yang tidak boleh dilupakan. Ada atmosfir yang memesona dan menenteramkan. Saya rasa inipun semestinya diadopsi oleh museum-museum yang dinaungi pemerintah agar pengunjung merasa nyaman, dibuai tenteram, disinggahi damai, dan pada akhirnya, segenap tujuan dapat tersampaikan.



Berikutnya mengenai pelestarian warisan budaya yang diemban museum itu sendiri. Dalam keanekaragaman warisan budaya, kita mengenal adanya warisan budaya berupa warisan budaya benda (Tangible cultural heritage) maupun warisan budaya tak benda (Intangible cultural heritage). Keduanya membentuk sinergi yang sangat baik bagi kemajuan suatu bangsa. Oleh sebab itu, hendaknya, museum tidak hanya menampilkan warisan budaya benda semata. Namun museum juga harus menjadi wadah pelestarian budaya tak benda yang efektif dan mampu dirangkul semua kalangan. Saya memberikan apresiasi yang tinggi kepada Museum Jawa Tengah Ronggowarsito yang berulangkali menampilkan pagelaran wayang kulit. Tak hanya eselon atas, namun masyarakat luas pun mampu dirangkul melalui pagelaran itu. Sehingga nantinya akan terwujud pengembangan peran museum dalam pelestarian warisan budaya baik benda maupun tak benda.



Selain itu, keberadaan tata pameran di dalam museum juga menjadi daya tarik masyarakat untuk mau berkunjung. Kalau selama ini masih banyak ditemui tata pameran yang kurang eye catching, maka sudah semestinya hal-hal semacam ini diperbaiki, tentu tanpa mengubah bentuk benda cagar budaya. Di Museum Ronggowarsito, saya masih ingat, ketika saya masih kecil, ada mesin yang ketika dimasuki koin, dapat mengeluarkan suara berisi cerita-cerita rakyat. Ada juga diorama yang mengisahkan perjuangan merebut kemerdekaan, namun sayang, lorong di bagian itu masih saja gelap. Bagi saya, kedua unsur itu sangat menarik apabila saat ini direvitaliasi. Apalagi jika dikembangkan dengan sistem layar sentuh yang bisa menyajikan informasi seputar museum sampai cerita-cerita rakyat yang dahulu sempat saya nikmati. Lalu untuk ruang penyimpanan benda-benda sejarah berbahan emas. Sejak saya kecil sampai sekarang, baru satu kali saya berhasil menjelajah ruangan tersebut, yakni ketika saya tergabung sebagai peserta dalam workshop permuseuman tahun 2011. Sebetulnya sangat disayangkan ketika ruangan itu dikunci untuk waktu yang lama dan hanya dibuka pada saat ada rombongan. Saya menggagas agar petugas keamanan museum ditempatkan secara bergantian di dekat ruangan itu, tentu agar hal-hal yang tidak diinginkan tidak terjadi di sana. Upaya penempatan CCTV sudah sangat baik, namun manusia tempatnya alpa. Maka akan sangat efektif apabila museum melengkapi dirinya dengan petugas keamanan yang berjaga.

Terakhir, saya menggagas agar museum punya rubrik khusus di surat kabar-surat kabar lokal. Dengan adanya rubrik khusus, maka museum akan menyajikan aneka koleksinya di sana secara berkala. Foto-foto disertai keterangan yang menarik, akan membuka mata masyarakat luas bahwa peninggalan sejarah punya peran penting dalam setiap pergerakan zaman. Apresiasi tinggi juga sekali lagi saya haturkan kepada Museum Ronggowarsito yang telah berulangkali menggelar pameran di luar museum, bahkan “berani” tampil di salah satu pusat perbelanjaan di Semarang. Website dan Twitter Museum Ronggowarsito juga harus selalu merekatkan netizen dengan warisan budaya yang adiluhung. Sehingga tidak dipungkiri, keinginan masyarakat umum untuk berkunjung, akan semakin membubung.

Sudah seharusnyalah museum berbenah diri. Sudah semestinya museum memantaskan diri. Agar tidak menjadi tempat penyimpanan barang-barang kuno saja, namun mampu menjadi tempat yang edukatif, informatif, dan menghibur. Semoga.