Selasa, 22 November 2011

refleksi...

Alhamdulillah tuk bulan Desember sudah ada dua permintaan untuk menjadi Master of Ceremony di acara fakultas.. semoga bisa berjalan dengan lancar..amin..

PUBLIKASI RESUME-DEMOKRASI INDONESIA

DEMOKRASI INDONESIA


            Demokrasi pada mulanya merambah belahan Eropa, terbukti dengan runtuhnya rezim otoritarian komunis setelah Michael Gorbachev, Presiden Uni Soviet, membawa angin perubahan (demokratisasi) melalui sikap glasnost dan prestorika-nya.
            Demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani “demos” (rakyat) dan “kratos atau kratein” (kekuasaan), yang dapat dimaknai sebagai “rakyat berkuasa” (government of rule by the people). Definisi demokrasi secara singkat setidaknya dapat dipetik dari kajian Abraham Lincoln, yakni  “government of the people, by the people and for the people” (kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi memberi kesempatan untuk berpartisipasi secara efektif, setara dalam hak suara, mencapai pemahaman yang baik, menjalankan kontrol akhir terhadap agenda, dan melibatkan orang dewasa (Robert Dahl).
            Memaknai demokrasi, tak lepas dari sejarah demokrasi itu sendiri. Dinyatakan Yves Schemeil, bahwasanya nilai-nilai demokrasi sudah ada sejak masa Mesir dan Mesopotamia Kuno –selain tentunya demokrasi terjadi juga pada masa Yunani Kuno, dilihat dari akar kata “demos” dan “kratos”-. Sementara Romawi Kuno mengajukan konsep baru dalam angin demokrasi, yakni dengan memasukkan unsur plebs (rakyat biasa) ke dalam Majelis Plebs, di samping institusi The Consuls (wadah kaum monarkhi) dan Senat (wadah kaum aristokrat).
            Abad Pertengahan menjadi awal perkembangan demokrasi di Inggris, melalui lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) tertanggal 15 Juni 1215 yang berisikan kontrak antara Raja John dengan sejumlah bangsawan. Piagam tersebut secara garis besar menyebutkan bahwa kekuasaan pemerintah adalah terbatas dan HAM lebih dari kedaulatan raja. Masih di Inggris, pada tahun 1688 tercatat peristiwa The Glorious Revolution yang memaksa raja Willem III untuk menandatangani Bill of Right (1689) yang berisikan pengalihan kekuasaan dari raja kepada parlemen. Selanjutnya John Locke mempresentasikan Two Treatises of Civil Government-nya dengan pembatasan kebebasan lewat hak alamiah (hak hidup, hak kebebasan dan hak milik) yang dimiliki masing-masing individu. Lalu muncul Montesquieu dalam The Spirit of Laws (1748) dengan pernyataannya bahwa depotisme adalah bentuk pemerintahan yang buruk. Rousseau dalam Contract Sosial selanjutnya terbit dengan mengidamkan demokrasi langsung seperti di masa Yunani Kuno.
            Gagasan demokrasi mencapai puncaknya pada Revolusi Amerika tahun 1776 yang tertuang dalam draft Thomas Jefferson bahwa konsitusi Amerika bukan hanya sebagai internalisasi dari nilai-nilai demokrasi, melainkan juga melambangkan demokrasi dalam tatanan negara modern. 11 nilai demokrasi yang diterapakn AS terkuak dalam The Declaration of Independence yang kemudian tumbuh, berkembang dan diadopsi oleh banyak negara penganut demokrasi. Sementara di zaman modern, gagasan demokrasi menjadi isu bersama antar-bangsa sedunia melalui Declaration of Independence (Deklarasi Hak Azasi Manusia) yang ditetapkan PBB pada Desember 1948 sebagai manifestasi ekspresi perlawanan manusia terhadap tirani dan penindasan individu.
            David Coller dan Steven Levitsky menjabarkan 550 jenis demokrasi di dunia dengan teori bandulnya yang menempatkan empat titik; rezim otoritarian, demokrasi elektoral, demokrasi liberal dan demokrasi penuh. Sedangkan tipe-tipe demokrasi yang dianut sebagian besar negara adalah, demokrasi langsung (direct/participatory democracy, seperti yang berlaku di polis Athena-Yunani Kuno); demokrasi perwakilan (representative democracy) yang dipilah dalam sub-tipe, demokrasi parlementer (berlaku di Inggris), demokrasi presidensial (berlaku di Amerika Serikat), dan demokrasi campuran (berlaku di Swiss, Perancis, dan Portugal); demokrasi yang didasarkan atas model satu partai.
            Demokrasi pada hakikatnya tidak terlampau jauh berpijak dari proses demokratisasi. Demokratisasi –menurut Huntington- dapat berjalan baik jika sebuah rezim otoriter berakhir, dibangunnya rezim yang demokratis dan pengkonsolidasian rezim otoriter tersebut. Huntington menyebut proses perkembangan demokrasi sebagai gelombang demokratisasi. Setidaknya hingga saat ini terdapat tiga gelombang demokratisasi, dua gelombang balik dan satu posibilitas gelombang balik, yaitu gelombang demokratisasi pertama (1828-1926) yang diawali dengan kepemilikan lembaga demokrasi di 30 negara; gelombang demokratisasi balik pertama (1922-1942) yang ditandai dengan kembalinya Italia, Jerman dan Portugal ke arah komunisme, fasisme dan militerisme; gelombang demokratisasi kedua (1943-1962) yang disebabkan munculnya Perang Dunia II, dimana pada pasca-Perang Dunia II negara-negara yang kalah perang mengikuti alur dinamika politik internasional. Selain itu muncul pula negara-negara baru seperti Indonesia, Pakistan, Srilanka, Philipina, Israel dan lainnya; gelombang demokratisasi balik kedua (1958-1975) yang dikenal dengan fase berdarah karena adanya kudeta dan keterlibatan militer dalam tampuk kekuasaan dan munculnya istilah otoriterisme-birokratik; gelombang demokratisasi ketiga (1974-...) yang dipicu oleh kejadian di Spanyol, Portugal dan Yunani yang meragukan keberhasilan demokrasi di negara berkembang dan runtuhnya rezim otoriter Equador, Peru, Bolivia, Brazil dan Argentina; gelombang demokratisasi balik ketiga (1991-.....) merupakan asumsi yang masih dipertanyakan keberadaannya, terlebih dengan melihat peristiwa kemunculan yunta militer di Birma (Myanmar) dan berakhirnya rezim otoriter di Indonesia yang telah 32 tahun berkuasa.
            Sejalan dengan penerapan demokrasi di berbagai negara, maka isu-isu kritis pun mewarnai perjalanannya. Setidaknya dapat ditemui dalam komparasi demokrasi dan pembangunan yang memunculkan perdebatan antara kubu modernisasi-demokrasi dengan rezim otoritarian. Perdebatan tersebut disebabkan perbedaan paham; jika kubu modernisasi-demokrasi berprinsip bahwa ekonomi lebih berkembang apabila dilakukan di alam demokrasi, sementara rezim otoritarian menuduh demokrasi sebagai penghambat dan sumber instabilitas. Muncul kemudian isu demokrasi dan radikalisme agama yang bermula dari thesis bahwa negara-negara yang tidak demokratis (tidak bebas) merupakan wilayah produktif bagi lahirnya gerakan radikalisme agama dan terorisme. Isu demokrasi dan konflik lalu tampil dengan membawa dua golongan demokrasi, yakni demokrasi “matang” dan demokrasi “tanggung”. Demokrasi “matang” terjadi dalam negara yang melindungi kelompok minoritas dan konflik SARA makin menghilang. Sementara demokrasi “tanggung” meningkatkan partisipasi politik massal, memperluas kebebasan berpendapat dan pers nyaris bebas lepas, tapi di lain sisi lembaga pengatur kehidupan sipil belum cukup mapan dan elit politik yang berkuasa terancam akibat demokratisasi. Isu lainnya termaktub dalam demokrasi dan korupsi. Empat tipe negara transisi yang menuju masif korupsi ialah, negara transisi dari kekuasaan otoriter; transisi dari bekas negara komunis; negara-negara dekolonisasi; dan negara baru.
            Tak ada satu sistem yang tak berprospek. Termasuk demokrasi yang diwakili konsep Democratic Developmental State (DDS). Dalam DDS posisi negara tetap kuat, tetapi tak lagi otoriter. Di sini negara memilki kapasitas kuat untuk menegakkan rule of law, mengejar social welfare, menggalakkan pemerintahan yang bersih, negara mengembangkan kualitas politik bertanggungjawab kepada institusi pemerintahan politik, dan lembaga peradilan yang independen serta didukung supremasi hukum. Timbul pula demokrasi kosmopolitan yang bermula dari lahirnya pemerintahan trans-nasional, yang tadinya bersifat lokal bisa menjadi masalah global yang harus dipecahkan dengan kerjasama lintas negara serta mengusahakan terciptanya legislatif dan eksekutif trans-nasional yang efektif pada tingkat regional dan global.
            Indonesia. Negara yang juga menganut sistem demokrasi ini dibagi dalam empat periode, yakni, Periode 1945-1959 (Demokrasi Parlementer) yang didominasi oleh peran parlemen dan partai-partai sehingga persatuan nasional menjadi lemah dan sulit dibina menjadi kekuatan konstruktif; Periode 1959-1965 (Demokrasi Terpimpin) yang melebar jauh dari konsep demokrasi, yaitu ke arah demokrasi elektoral bahkan cenderung ke totalitarian dengan ditandai dominasi presiden, peran parpol yang makin terbatas, meluasnya peran ABRI sebagai unsur sosial-politik dan berkembangnya pengaruh komunis; Periode 1966-1998 (Demokrasi Pancasila) yang bertujuan awal kembali ke pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tapi dalam prakteknya, rezim tersebut jutru lebih  represif dan otoriter dibanding Orde Lama hingga penggulingan kekuasaan Presiden di tahun 1998; Periode 1998-sekarang (Era Reformasi) yang mengakar pada kekuatan multi partai. Namun sayangnya proses demokrasi Indonesia kini tidak seperti yang diharapkan dan justru ditakutkan menjadi demokrasi beku (frozen democracy). Indikator frozen democracy tersebut antara lain, limbungnya perkembangan ekonomi baik skala lokal maupun nasional, kemandegan pembentukan masyarakat madani, penyelesaian masalah sosial-politik yang tidak pernah tuntas, dan konsolidasi sosial-politik yang tidak pernah mencapai soliditas namun cenderung semu. Untuk mencegahnya, Indonesia harus menampilkan pemerintahan yang kuat dan berwibawa dan mutlak perlu adanya pembebasan dinamika masyarakat melalui pemberian kebebasan politik yang seluas-luasnya.





___________________________

WAWASAN NUSANTARA SEBAGAI GEOPOLITIK INDONESIA



Cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang dirumuskan dalam alinea II dan IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dimensi dari aspirasi langgeng yang rumusannya luhur dan tinggi langgeng sehingga mampu menjiwai kehidupan bangsa. Dalam mewujudkan tujuan nasional, Indonesia juga memiliki kepentingan nasional untuk menjamin persatuan dan kesatuan wilayah, bangsa dan segenap aspek kehidupan sosial. Demikian pula dalam pergaulan antarbangsa, Indonesia membutuhkan wawasan nusantara untuk menuju ke masa depan. Hal ini disebabkan tolok ukur keberhasilan suatu bangsa dalam berdialog secara dinamis dengan kondisi objektif, subjektif, idealistik maupun aspirasinya terletak pada eksis atau tidaknya wawasan nasional bangsa tersebut.
            Konsep Nusantara sebagai kesatuan wilayah mulai muncul sejak Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang berisi tuntutan lebar laut wilayah RI serta bentuk geografi Indonesia sebagai negara kepulauan. Sementara dalam bidang Hankam, masing-masing Angkatan mengembangkan wawasan berdasar matranya, yakni Wawasan Benua untuk Angkatan Darat dan Wawasan Dirgantara untuk Angkatan Laut.
            Ada tiga faktor yang melandasi pemikiran Wawasan Nusantara yaitu, geografi, geopolitik, dan geostrategis; latar belakang historis dan yuridis formal; kepentingan nasional. Dalam konteks geografis, geopolitik, dan geostrategi, Indonesia memandang wilayahnya dari segi geografi dan demografi sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara. Letak tersebut juga dilengkapi dengan proyeksi lintang dan bujur negara, jumlah pulau, luas wilayah, kekayaan alam, jumlah penduduk serta distribusi penduduk. Persepsi “Tanah Air” merupakan penghayatan warga negara Indonesia terhadap bersatunya unsur daratan dan lautan, dan “Nusantara” berarti laut sebagai penghubung antarpulau di Indonesia. Sementara dari aspek politik, hadir ilmu bumi politik atau geopolitik yang mempelajari fenomena politik dari aspek geografi.
            Selanjutnya, wawasan bahari yang dikemukakan lewat dalil Sir Walter Raleigh tentang penguasa laut sebagai penguasa dunia ternyata memiliki pengaruh besar terhadap bangsa-bangsa di Amerika Serikat, Inggris, Eropa Daratan dan Jepang. Wawasan benua yang terwakili oleh teori Sir Halford Mackinder mengenai Pivot Area atau Heartland Theory yang meliputi wilayah bentangan dari Jerman hingga Siberia Tengah. Teori tersebut bertujuan untuk memperingatkan Inggris bahwa Jerman dan Uni Soviet akan mendominasi kekuatan lautnya nanti. Mackinder mendapuk Amerika Serikat sebagai pengganti Inggris dalam mengimbangi Jerman dan Uni Soviet setelah meletus Perang Dunia II.
            Wawasan kombinasi yang muncul dari ketertarikan Nichols J. Spykman terhadap pandangan Mackinder merupakan integrasi dari beberapa wawasan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keperluan dan kondisi setempat. Kemudian wawasan geopolitik yang muncul dari Teori Ruang Friederich Ratzel nampak bahwa negara mengalami siklus hidup seperti manusia: lahir-tumbuh-berkembang-mencapai puncak-menyusut dan mati. Wawasan ini memiliki misi untuk mencapai persetujuan dan kesatuan yang harmonis (misi ke dalam) dan memperoleh batas-batas -kontinental dan maritim- yang lebih baik (misi ke luar). Menurut Karl Haushoffer, wawasan geopolitik adalah landasan ilmiah bagi tindakan politik dalam perjuangan dari kelangsungan hidup suatu organisasi negara untuk memperoleh ruang hidupnya (lebensraum) yang selanjutnya dirumuskan dalam lima prinsip: lebensraum atau ruang hidup, autarki atau cita-cita untuk dapat memenuhi kebutuhan sendiri, pan-region atau perserikatan wilayah, daerah perbatasan tidak permanen, dan kekuatan darat terbukti lebih unggul dibanding kekuatan lain. Sementara wawasan dirgantara kemudian muncul di tengah perkembangan teori geopolitik yang mengukuhkan kekuatan udara sebagai kekuatan yang menentukan dari suatu negara. Terkait dengan NKRI, maka geopolitik Indonesia berarti kebijakan dalam rangka mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan letak geografis suatu negara berdasarkan pengetahuan ilmiah tentang kondisi geografis tersebut.

            Geostrategi Indonesia ialah kebijakan pelaksanaan dalam menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarana serta cara penggunaan sarana-sarana tersebut guna mencapai tujuan nasional dengan memanfaatkan konstelasi geografis negara. Menilik arti tersebut ternyata letak geografis Indonesia berpengaruh besar pada berbagai aspek kehidupan. Hal ini disebabkan letaknya dalam posisi silang yang mendatangkan keuntungan maupun ancaman yang membahayakan, termasuk gelombang migrasi bangsa-bangsa beserta kebudayaannya ke Indonesia yang mempengaruhi keanekaragaman masyarakat. Namun perlu diingat latar belakang kesejarahan wilayah Indonesia yang sempat terpecah akibat tidak terselesaikannya sidang BPUPKI menyebabkan Indonesia belum memiliki persepsi yang sama mengenai masalah wilayah ataupun bangsa. Akibatnya, wilayah yang bangsanya memiliki “kesatuan perasaan dan persamaan karakter” harus dipersatukan dan dipertahankan yakni melalui konsepsi Wawasan Nusantara  yang menjamin dan menyelenggarakan kepentingan nasional, sesuai dengan semangat Pancasila.

            Pembahasan mengenai kedaulatan negara di laut, ruang udara, dan GSO mengemuka dalam peristiwa besar terkait sejarah hukum laut yaitu ketika Spanyol dan Portugal membagi samudera dunia menjadi dua bagian yang dituangkan dalam Piagam Inter Catera. Selanjutnya, pada tahun 1703, Cornelis van Bynkershoek -seorang penulis Belanda- mengemukakan bahwa laut wilayah yang bisa dikuasai daratan adalah sejauh tembakan meriam (kanon) atau kira-kira 3 mil laut, dan itu menjadi bagian tak terpisahkan dari wilayah daratan. Pembahasan mengenai hukum laut dicanangkan sejak tahun 1930 yang kemudian baru dibuka pada tahun 1935, tepatnya dalam Konferensi Hukum Laut Internasional di Den Haag, Belanda. Berikutnya pada tahun 1939 pemerintah kolonial Belanda lalu mengeluarkan Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie mengenai batas teritorial di laut. Hal ini merugikan wilayah Indonesia -yang saat itu diduduki Belanda- karena wilayahnya menjadi terpecah-pecah. Maka untuk mengubah ketentuan warisan kolonial tersebut, pada 13 Desember 1957 pemerintah RI mengeluarkan Deklarasi Djuanda yang menetapkan bahwa lebar laut wilayah Indonesia adalah 12 mil. Putusan ini diajukan ke Konferensi Hukum Laut PBB I tahun 1958 di Jenewa namun usulan tersebut ditolak oleh negara-negara maritim besar karena konsep “kepulauan” dan “negara kepulauan” yang diadopsi Indonesia dianggap sebagai paradigma baru. Penolakan tersebut tidak lantas membuat Indonesia mundur dari deklarasi tersebut. Pemerintah RI kemudian mengukuhkan deklarasi Djuanda dengan mengeluarkan Perpu No. 4/1960 mengenai Perairan Indonesia dan disahkan menjadi UU No.4/PERPU Tahun 1960. Sejak itulah Indonesia mengalami perubahan cara hitung luas wilayah perairan, dimana luas wilayah teritorial laut diukur sejauh 12 mil dari titik-titik pulau terluar dan saling dihubungkan. Sementara itu tuntutan teritorial di kancah internasional ternyata mengalami perkembangan akibat majunya teknologi eksplorasi dan eksploitasi laut yang tentu menumbuhkan tingkat perekonomian negara. Akan tetapi dalam pembahasan laut teritorial tersebut Indonesia melangkah lebih dulu dengan diselenggarakannya Deklarasi Landas Kontinen yang menyatakan bahwa laut sampai kedalaman 200 meter masih merupakan wilayah Indonesia dan selanjutnya dikukuhkan dengan UU No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia akhirnya pada 21 Maret 1980 resmi mengumumkan Deklarasi Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia selebar 200 mil diukur dari garis dasar laut wilayah Indonesia, menyusul negara-negara Karibia, Peru, Brazil, El Salvador, Chili, Equador, Peru, AS, Kanada, Norwegia, Meksiko dan India. Inilah babak baru kedaulatan laut teritorial yang diterima Konferensi Hukum Laut II PBB tanggal 30 April 1982 di New York, disusul pemberlakuan UU No. 5 tahun 1983 tentang ZEE dna ratifikasi UNCLOS 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985. Penegakan kedaulatan wilayah RI kemudian berlanjut di dirgantara atau wilayah Indonesia secara vertikal, khususnya pemanfaatan wilayah GSO (Geo Stationery Orbit).
            Kekuatan asas “Cujus est Solum” menentukan kemunculan berbagai teori tentang kedaulatan di ruang udara, disusul oleh konvensi-konvensi untuk menentukan batas teritorial di ruang udara. Teori-teori tersebut di antaranya: Teori Udara Bebas (The Air Freedom Theory) dan Teori Negara Berdaulat di Ruang Udara (The Air Souvereignity Theory); bentuk konvensi Hukum Udara seperti: Konvensi Paris (1919), Konvensi Chicago 1944 yang memunculkan Teori Penguasaan Cooper (Cooper’s Control Theory) dan Teori Ruang Udara Schachter (Schachter’s Air Space Theory). Cara pengukuran luas wilayah kedaulatan di ruang udara dilakukan dengan Model Kerucut, dengan menarik garis lurus dari titik pusat bumi melalui perbatasan negara di daratan lurus ke angkasa;  dan Model Cerobong, dengan menarik garis-garis yang sejajar dengan garis lurus yang ditarik dari pusat bumi ke titik pusat di wilayah negara melalui perbatasan-perbatasan negara di daratan dan lautan menuju angkasa. Sementara itu di wilayah RI, kedaulatan negara di wilayah Geo Stationery Orbit dimulai sejak peluncuran satelit telekomunikasi Palapa A-1 di tahun 1967. Kedaulatan negara RI di udara meliputi wilayah ruang udara, ruang angkasa termasuk GSO sebagai limited natural resources yang bernilai strategis. Untuk mengukuhkan integritas kedaulatan wilayah di GSO, Indonesia melakukan beberapa upaya seperti Deklarasi Bogota 1976, Pertemuan Quito (Ekuador) 1982, Konferensi Unispace II 1982, Pertemuan Nairobi 1982, Pertemuan Sub Komite Hukum UN-COPUOS 1983, 1984 dan 1985 di Wina, dan World Administrative Radio Conference 1985 yang jika suatu saat usulan tersebut dipenuhi kiranya sejalan dengan kebijakan Posisi Dasar RI 1979. Dengan usaha pengukuhan kedaulatan RI yang kemudian termuat dalam UU No.4/PERPU Tahun 1960 dan UU No. 20 Tahun 1982, maka wilayah kedaulatan RI adalah meliputi tiga dimensi yaitu wilayah darat, laut dan udara. Pengakuan kedaulatan laut oleh UNCLOS tampaknya lebih beruntung dibanding pengakuan kedaulatan di ruang udara dan GSO Indonesia yang harus menempuh perjalanan panjang.

            Dilatarbelakangi oleh teori-teori tentang wawasan, falsafah Pancasila, aspek kewilayahan, sosial budaya dan kesejarahan, maka muncul berbagai rumusan tentang konsepsi Wawasan Nusantara, salah satunya yang dikemukakan Kelompok Kerja Wawasan Nusantara dari Lemhannas tahun 1999: “Wawasan nusantara ialah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa serta kesatuan wilayah dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Konsepsi wawasan nusantara sendiri terdiri dari 3 unsur dasar: wadah (contour), isi (content), dan tata laku (conduct). Wawasan nusantara berhakikat “Keutuhan Nusantara atau Nasional”, dalam pengertian, cara pandang yang selalu utuh menyeluruh dalam lingkup Nusantara dan demi kepentingan nasional. Kemudian muncul asas wawasan nusantara yang terdiri atas kepentingan yang sama, tujuan yang sama, keadilan, kejujuran, solidaritas, kerjasama, dan kesetiaan terhadap kesepakatan bersama demi terpeliharanya persatuan dan kesatuan dalam kebhinekaan. Selanjutnya, wawasan nusantara memiliki dua arah pandang yang ditinjau dari latar belakang budaya, sejarah serta kondisi dan konstelasi geografi dan lingkungan strategis yaitu, arah pandang ke dalam yang bertujuan menjamin perwujudan persatuan dan kesatuan segenap aspek kehidupan nasional, baik alamiah maupun sosial; dan arah pandang ke luar yang ditujukan untuk menjamin kepentingan nasional dalam dunia yang serba berubah. Wawasan nusantara lalu meleburkan intinya ke dalam kedudukan, fungsi, dan tujuan. Mengenai kedudukan, wawasan nusantara berada pada posisi ajaran yang diyakini kebenarannya oleh seluruh rakyat dan posisi wawasan nusantara pada posisi paradigma nasional. Mengenai fungsi, wawasan nusantara bertindak sebagai pedoman, motivasi, dorongan serta rambu-rambu dalam menentukan segala kebijakan, keputusan, tindakan dan perbuatan yang pada intinya menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan wawasan nasional adalah mewujudkan nasionalisme yang tinggi di segala bidang/aspek kehidupan rakyat Indonesia demi tercapainya tujuan nasional.
            Sebagai cara pandang dan visi nasional, perlu adanya implementasi wawasan nusantara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diikuti segenap individu di Indonesia. Implementasi tersebut berwujud wawasan nasional sebagai pancaran falsafah Pancasila yang diharapkan menjadi pedoman untuk menjamin persatuan, kesatuan dan keutuhan bangsa, serta untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia; wawasan nusantara dalam pembangunan nasional yang mewujudkan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, dan sebagai satu kesatuan pertahanan keamanan; wawasan nusantara dalam penerapannya yang tercermin lewat diterimanya konsepsi wawasan nusantara di forum internasional (hasil positif ZEE Indonesia yang memperluas wilayah), pertambahan luas wilayah sebagai ruang hidup dan dapat diterima oleh dunia internasional, penerapan wawasan nusantara dalam berbagai bidang pada proyek sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, penerapan pada aspek sosial budaya dengan naungan Pancasila dan penerapan wawasan nusantara di bidang Hankam yang terdimensi dalam Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Simbiosis lain kemudian terjadi antara wawasan nusantara dengan ketahanan nasional sebagai rengkuhan bersama yang akan mendorong kemajuan pembangunan nasional. Keduanya saling mendukung dan berfungsi sebagai pedoman bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

KEMUNDURAN DI JAWA DAN PENETRASI KUMPENI (Disarikan dari buku Sartono Kartodirdjo, PENGANTAR SEJARAH INDONESIA BARU 1500-1900)





“Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium Sampai Imperium”
Tulisan Sartono Kartodirdjo


KEMUNDURAN DI JAWA DAN PENETRASI KUMPENI


1.      Diplomasi VOC terhadap Mataram, Trunajaya, dan Kontingen Makassar/Bugis
Situasi politik yang terjadi pada awal 1667 di Jawa penuh oleh peperangan dengan penguasaan Trunajaya di Jawa Timur dan Mataram di Jawa Tengah.  Penguasaan ini menyebabkan terbukanya peluang VOC untuk melakukan perundingan dengan Mataram untuk memperkuat perdagangan dan kedudukan politiknya di Jawa meski masih berdiri pula partai anti-Belanda (golongan oposisi) yang justru memenangkan posisi Trunajaya. Kumpeni yang mengakui kebesaran kekuasaan Trunajaya kemudian membatasi kegiatan Trunajaya dengan perundingan-perundingan yang dijalankan. Lebih lanjut VOC mulai menekan kekuasaan Trunajaya dengan datangnya kontingen Makassar di Madura serta konflik antar keduanya. Akan tetapi gagalnya usaha VOC untuk mendekati kontingen Makassar menyebabkan VOC mengambil langkah lain untuk mempertahankan kedudukannya di Jawa yakni dengan mengeksploitasi semangat pro-Kumpeni dan bersekutu dengan musuh-musuh fanatik para pribumi. Speelman yang ditunjuk sebagai duta kemudian membuka perundingan dengan Mataram dan kemudian menjadi proses tawar menawar yang cukup rumit. Hal ini disebabkan kondisi yang dihadapi VOC sangat berat, jauh melampaui kemampuan Mataram, yakni pembayaran ganti rugi operasi-operasi yang dilakukan VOC tersebut. Pada akhirnya kesepakatan dapat dicapai pada April 1677 dengan pokok-pokok sebagai berikut:
  • Kumpeni akan membantu Mataram memerangi musuhnya dengan penggantian biaya perang;
  • batas Sungai Krawang tetap dipertahankan;
  • saling mengekstradisi budak-budak pelarian;
  • VOC bebas dari bea-cukai untuk menjual barang dagangannya;
  • VOC diberi izin membangun loji di daerah Mataram;
  • setiap tahun Mataram akan menyediakan empat ribu pikul beras kepada VOC dengan harga yang berlaku, dan hak-hak istimewa lainnya.

Perundingan dengan Trunajaya dianggap tepat karena Trunajaya tengah berkonflik dengan kontingen Makassar. Perundingan mulai menemui jalan buntu ketika Trunajaya menolak mengakui Sunan sebagai suzereinnya sehingga menyebabkan Speelman harus turun tangan. Jalan akhir hanyalah perang dan penyerangan Surabaya (13 Mei 1667) oleh Kumpeni menyebabkan Trunajaya menyelamatkan diri ke Kediri. Speelman lalu mengintervensi Madura melalui pengaruh Kumpeni yakni dengan menempatkan tokoh-tokoh pro-Kumpeni sebagai penguasa namun mengalami kegagalan. Sementara itu kabar penyerbuan Mataram oleh Trunajaya berhembus makin kuat, dan kekuatan Kumpeni menjadi satu-satunya tumpuan untuk menghentikannya.

2.      Serangan Trunajaya dan Jatuhnya Amangkurat I (1677)
Basis-basis pesisir Kumpeni di Jawa Timur dan Madura kemudian jatuh ke tangan para pasukan mereka dan Trunajaya bersurutmundur ke Kediri dengan harapan memperkuat legitimasinya sebagai pewaris kerajaan Majapahit. Selain itu ia juga memproklamirkan gerakannya sebagai gerakan anti-kafir dalam perlawanannya atas Mataram yang telah bersekutu dengan Kumpeni. Gagasan gerakannya ini mengundang simpati berupa kekuatan politik Banten, Wangsa Kajoran, dan Panembahan Giri, yang bertolakbelakang dengan Mataram dan justru menimbulkan perpecahan. Di lain sisi, pergolakan yang timbul ternyata memberikan keleluasaan para penguasa local untuk memperluas pengaruhnya. Serangan atas keraton Mataram –secara tidak langsung memberi pukulan hebat kepada Wangsa Mataram- ternyata tidak mampu dihalau VOC yang antara lain disebabkan oleh:
  • pasukan di Jawa Timur sangat lemah karena diserang penyakit dan kekurangan makanan;
  • bala bantuan yang kuat tak dapat dikirim ke medan pertempuran karena Banten tetap merupakan ancaman terhadap loji di Batavia.

Bantuan dari Wangsa Kajoran yang sebelumnya juga kontra dengan Mataram turut menyumbang kegagalan Mataram menangkis serangan atas wilayahnya yakni dengan mengerahkan rakyat Madiun dan Panaraga untuk menutup jalan-jalan menuju ke Mataram sehingga memutus hubungan dengan Mancanegara bagian timur. Barisan penyerbu dari Timur di bawah Mangkuyuda yang berjumlah seratus ribu orang itu (berasal dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti Surabaya, Gresik, Sedayu, dan lainnya) berjaga di Layang dekat Semanggi tepi Bengawan Sala. Sementara itu barisan dari Utara yang berkonsentrasi di Semarang memiliki pasukan sejumlah lima puluh ribu orang dan terus bergerak maju menduduki Semarang, Ambarawa lalu berhenti di Pingit. Barisan Timur juga bergerak dan berhasil merebut Pandan dan Biru sekaligus memukul mundur pasukan Mataram di sana. Pertempuran sengit melawan pasukan keraton di Taji sebenarnya lebih mengunggulkan Mataram, akan tetapi percekcokan antar pangeran tidak dapat dihindarkan. Hal ini menyebabkan goyahnya pertahanan Mataram dan Sunan pun mengungsi sebelum keraton berhasil diduduki barisan Mangkuyuda dan Wiramenggala. Sunan Amangkurat I beserta rombongan meninggalkan keraton pada 28 Juni 1677 dengan tujuan menemui Admiral Speelman. Lebih dulu ia kunnjungi makam-makam Imagiri dan dilanjutkannya perjalanan ke arah Barat melewati Jagabaya, Rawa, Bocor, Patanahan, Nampudadi dan berakhir dengan meninggalnya Sunan Amangkurat I di Tegalwangi. Di sanalah beliau dimakamkan.

3.      Kekacauan, Kekosongan Tahta Mataram, Intervensi Kumpeni
Sepeninggal Sunan Amangkurat I, Pangeran Adipati Anom kemudian mencari perlindungan Kumpeni. Sementara itu Martalaya yang membentuk barisan untuk merestorasi kerajaan berrencana membentuk persekutuan dengan Banten untuk memperjuangkan status daerah Tegal yang otonom. Selain itu kekacauan Mataram dan kesibukan Kumpeni di sana tampaknya membuka peluang untuk menguasai Cirebon dan memindahkan ketiga pangeran sebagai sultan dan diharuskan tinggal di Banten. Sunan Ageng juga mendekati kedua saudara Amangkurat II yang kemudian memproklamirkan diri sebagai Susuhunan, Pangeran Puger dan Pangeran Singasari, untuk melawan VOC.
Di tengah kekuasaan Amangkurat II yang melemah, eskpedisi Speelman berhasil merebut kembali Semarang, Kudus, dan Pati sekaligus menyuarakan tuntutannya berupa penguatan perjanjian 19 Oktober 1667 beserta perluasannya (ganti rugi ongkos perang VOC). Fasal-fasal yang penting ialah:
  • Semua pelabuhan dari Krawang sampai Ujung Timur Jawa diserahkan dalam kekuasaan VOC yang berhak atas segala pendapatan dan hasilnya sampai semua utang Mataram dilunasi; Mataram hanya berkuasa atas daerah-daerah itu sebagai “gaduhan” atau “pegangan”
  • Batas daerah VOC di Jawa Barat digeser sampai Sungai Pamanukan; monopoli impor tenunan dan permadani Parsi oleh VOC di pelabuhan Mataram
  • Penyerahan daerah Semarang kepada VOC
  • Pembagian daerah pesisir Jawa Tengah dan Timur atas dua daerah pemerintahan, yang bagian Barat di bawah T. Martalaya dari Tegal dan yang bagian Timur di bawah T. Martapura dari Jepara.

Pasukan di bawah Martalaya dan Martapura kemudian mengadakan serangan balasan sehingga Pati, Kudus, dan Juana dapat direbut kembali. Konflik antara Trunajaya dan K. Galesong memudahkan Couper merebut Surabaya kembali dan menyebabkan Trunajaya memusatkan pertahanannya di Kediri. Barisan Mataram mengalami perpecahan dikarenakan persengkokolan Martalaya dengan pihak Banten, Trunajaya dan Pangeran Puger. Dalam keributan itulah ditangkap Martalaya, Martapura dan Martalaya yang menyebabkan ketiganya terbunuh.

4. Serangan Balasan, Jatuhnya Kediri, dan Akhir Gerakan Trunajaya
Barisan Trunajaya dengan pusat pertahanannya di Kediri melakukan serbuan-serbuan ke daerah Jagaraga (Madiun) dan Berbek (Kediri). Kediri direncanakan untuk digempur pasukan Antonie Hurdt, maka pada 5 September 1678 ia bersama pasukannya bergerak melewati Grobogan. Selama sebulan antara 24 Oktober dab 28 November dilakukan persiapan untuk serangan umum terhadap Kediri, di antaranya dengan membuat perahu-perahu. Kondisi politik kemudian memihak pihak Trunajaya setelah gagalnya perundingan dengan VOC dan K. Galesong. Penguasa Tuban dan Sedayu menyatakan loyalitasnya kepada Sunan,dan Trunajaya berhasil meninggalkan keratonnya yang menyebabkan kembalinya mahkota dan pusaka-pusaka Amangkurat II lain dari tangan kumpeni, yakni pada 27 November 1678. Jatuhnya Kediri ke tangan VOC membuat Trunajaya memperkuat barisannya di daerah pegunungan di kompleks Kelud dan Penanggungan. Akan tetapi tempat tersebut kemudian diserang oleh pasukan Arung Palaka setelah sebelumnya menyerang pertahanan K. Galesong pada 9 September 1679. Kekalahan K. Galesong menjadikannya mundur ke daerah Malang. Sementara itu Arung Palaka membuat pertahanan di Batu dengan membuat keraton dan berpagar. K. Galeosng yang kalah tadi lantas mengadakan perundingan dengan komandan pasukan VOC, dan mencoba memisahkan kontingen Makassar dengan Madura. Kesepakatan lalu dicapai dengan persyaratan bahwa K. Galesong tidak akan menghalangi pasukan kompeni dalam melawan Trunajaya.
Meski telah diserang oleh pasukan kompeni namun pengaruh Trunajaya masih sangat besar di mata masyarakat terutama masyarakat Kediri, Kertasana, Panaraga, Madiun, dan Madura. Hal ini mendorong kompeni untuk lebih gencar melawan kekuatan Trunajaya, yakni dengan menyerang wilayah Ngantang dan Batu. Pertahanan di kedua wilayah tersebut akhirnya jatuh di tangan kompeni (Couper). Selanjutnya, timbul ketegangan antara Sunan dengan Arung Palaka karena adanya desas desus kedekatan Arung Palaka dengan Trunajaya. Padahal kenyataannya Sunan menjauhkan diri dari Arung Palaka dan pihak kompeni tidak menyertakan Arung Palaka dalam operasi penangkapan Trunajaya. Sunan kemudian mencari jalan pendekatan kepada Trunajaya dengan menganggap Trunajaya sebagai kawula dan bersikap bersahabat. Trunajaya lantas menginginkan Sunan untuk menjauhi orang kompeni karena Jawa akan dinasranikan oleh kompeni tersebut. Akan tetapi Sunan tetap beraliansi dengan VOC dan mengakibatkan pengiriman Jonker dengan pasukan Ambon untuk mengejar Trunajaya di Gunung Limbangan dan Sunan meminta untuk menyerahkan Trunajaya kepadanya. Terbatasnya waktu sehingga mengakibatkan Trunajaya gagal mengadakan perundingan dan akhirnya pasukan Trunajaya yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang itu terkepung dalam kondisi kelaparan dan kemudian mereka menyerah. Trunajaya beserta para pengikutnya kemudian menyerah tanpa syarat pada 26 Desember 1679. Tersiar kabar bahwa Trunajaya masih akan menyusun strategi pemberontakan dari dalam tahanan, dan Sunan menginginkan Trunajaya dihadapkan padanya dengan maksud memenuhi sumpah keris Kyai Balabar, bahwa tidak akan dipakaikan sarung besar sebelum dipergunakan untuk menusuk dada Trunajaya. Sunan dan para mentri kemudian menusuk dada Trunajaya secara bergiliran pada 2 Januari 1680.
Tokoh lain yang menjadi sentral perlawanan kompeni adalah Panembahan Giri meski anak-anaknya banyak yang membela Sunan (dengan maksud menghasut pihak-pihak yang melawan kompeni serta sekutunya). Kematian Trunajaya kemudian dijadikan alasan Sunan untuk menyerang Gresik, tempat kedudukan Panembahan Giri, dan kota Gresik pun jatuh. Panembahan Giri beserta keluarganya dihukum mati, dan menjadikan hampir punahnya Wangsa Giri kecuali seorang saja, Mas Giri, kemenakan Panembahan Giri, yang diangkat sebagai juru kunci makam Sunan Giri dengan dibantu dua orang pejabat. Gerakan Pangeran Puger juga hampir sirna dengan sebelumnya menyiarkan kampanye untuk menjatuhkan Amangkurat II. Sebelum rakyat terhasut, maka tempat keraton lama milik Pangeran Puger diserbu dan Pangeran Puger pun mengungsi ke Bagelen dan lantas bergerak ke arah Kartasura untuk menggempur keraton baru tepatnya pada bulan Agustus 1681. Ia bersama pasukannya ternyata dapat dipukul mundur sehingga ia menyerah kepada Couper pada 28 November 1681. Gerakan kaum Kajoran di Gunung Kidul juga mengancam eksistensi Mataram, dan mendekati Kartasura pada pertengahan 1683 namun dapat dihancurkan. Pimpinannya, Wanakusuma, masih mampu menyelamatkan diri dan berusaha menyusun taktik peperangan lagi terhadap Mataram dan Kartasura. Pada saat itu banyak pelarian tertuju ke Jawa Tengah karena pergolakan hebat di Jawa Barat.

5. Pergolakan di Banten (1676-1684)
Pergolakan di Mataram dan perlawanan Trunajaya menyebabkan Banten mulai meningkatkan pengaruhnya dengan cara melemahkan pasukan Mataram dan Kompeni. Banten yang memiliki hubungan dengan pesisir Mataram dan Makassar terkenal sebagai pusat kekuatan anti-Mataram dan anti-Kompeni. Gerakan yang mengawali perlawanan terhadap VPC di Banten adalah gerakanSyeh Yusuf dari Makassar namun terpaksa sedikit tersendat akibat terjadinya perpecahan antara Sultan Ageng dan Sultan Haji di Banten. Banten selalu mendukung Trunajaya termasuk menghalang-halangi VOC mencurahkan kekuatan ke medan perang Mataram. Diprogramlah penyerangan untuk melemahkan Mataram yakni dengan menyerang Cirebon, Krawang, dan Sumedang. Dalam bulan April 1679 pasukan Banten menyerang loji VOC di Indramayu dan pada Januari 1680 gerakan tersebut sudah meluas ke Jawa Tengah; Pekalongan dan Kaliwungu. Sumedang dan daerah-daerah di sekitar Batavia kemudian berhasil jatuh ke tangan Banten. Banten juga menarik perdagangan dari bangsa Eropa lainnya yang juga menyebabkan kerugian VOC.  Kepemimpinan Sultan Ageng yang dimulai sejak 1651 semakin memperlihatkan kecenderungan anti-Kompeni dan lebih pro-Inggris. Ia mendukung Pangeran Puger sebagai raja Mataram untuk memperoleh konsesi-konsesi. Di lain sisi, Sultan Haji, putra Sultan Ageng, lebih cenderung berpolitik pro-Belanda. Oleh sebab itu sejak 1680 kekuasaan diserahkan sepenuhnya kepada Sultan Haji meski dari Tirtayasa Sultan Ageng masih melancarkan serangan terhadap VOC.
Dengab penyerahan K. Galesong dan Trunajaya maka mengubah pola percaturan politik. Disiarkan provokasi bahwa Sultan Ageng telah turun tahta dengan ditolaknya tuntutan penyerahan hak monopoli di Banten kepada VOC. Ketegangan semakin menjadi-jadi antara Sultan Ageng dan Sultan Haji terlebih usai dibunuhnya Kyai Aria Monjaya dan Pangeran Lor oleh Sultan Haji dan perompakan di daerah sekitar Jakarta oleh pengikut Sultan Ageng. Di ibu kota,rakyat mulai memihak Sultan Ageng dan pada 27 Februari 1682 meletuslah perang saudara, yakni penyerangan Sultan Ageng atas puteranya, Sultan Haji. Loji-loji VOC dicoba dipertahankan sembari menunggu bantuan dari Batavia yang baru datang pada 7 April dengan andil membebaskan loji dari kepungan pasukan Sultan Ageng. Semua pedagang Eropa kemudian disusir dari Banten dan VPC memindahkan pedagang Cina yang kaya ke Batavia.
Sementara itu Sultan Ageng dibantu dengan pasukan Makassar, Bali,dan Melayu terus melancarkan aksi perlawanan dengan markas bertempat di Margasana. Akan tetapi pasukan kompeni lantas berhasil mendesak Banten, Margasana, Kacarabunan dan Tangerang berhasil diduduki. Jatuhnya pertahanan Kademangan selanjutnya menjadikan Tirtayasa sebagai bulan-bulanan kompeni karena banyak pasukan Banten yang mengungsi ke Ciapus, Pugutan, dan Jasinga. Tirtayasa dan sekitarnya berhasil diduduki dan dihancurkan kompeni pada 28 Desember. Beruntung Sultan Ageng berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman dengan disusul Pangeran Puger. Pihak kompeni lalu berusaha mencari Sultan Ageng dan berusaha membujuknya untuk menghentikan perlawanannya. Sultan Haji lalu mengutus 52 orang keluarganya untuk menjemput ayahnya di Ketos dan pada malam menjelang 15 Maret iring-iringan Sultan Ageng masuk Surosowan. Penyerahan Sultan Ageng meamntapkan kekuasaan Sultan Haji yang terus disorot dalam pengawasan politik VOC. Hal inilah yang menyebabkan kemerosotan Banten secara terus menerus.

6. Gerakan Syeh Yusuf (1683)
Pada bulan Februari Syeh Yusuf meninggalkan Banten, dia diikuti oleh barisan Makassar, Bugis, Jawa, Dan Melayu yang kira-kira berjumlah sekitar 1500 sampai 2000 orang. Setelah melakukan evakuasi Tirtayasa, Syeh Yusuf berhijrah ke pedalaman melewati Lengkong dimana ia bertemu dengan P.Kidul, kemudian melewati Munjang dan Lawangtaji dimana ia berjumpa dengan P.Purbaya. Pasukan Kompeni yang mengejarnya dibawah pimpinan van Happel dan terdiri dari pasukan Bali, Ambon, Bugis, dan Eropa. Dalam barisan Kumpeni itu terdapat pasukan Bali yang dipimpin oleh Surapati, Surayuda dan Wirayuda. Pihak pimpinan Kumpeni mengeluh bahwa pasukan Bali itu tidak mengenal disiplin dan banyak melakukan ‘perampokan” di desa-desa yang mereka lalui.
Pelacakan rute hijrah Syeh Yusuf membawa pasukan Kumpeni sampai di Pamotan yang terletak di muara Citandui. Rupanya rombongan tersebut akan menyebrang ke Jawa Tengah. Dalam serangan tersebut,mereka dapat melarikan diri setiap tempat mereka diketahui dan akhirnya mereka membangun tempat pertahan baru. Setelah Kumpeni tau ada bala bantuan dari P.Kidul untuk Syeh Yusuf, lalu mereka melakukan serbuan ke tempat pertahanan Syeh Yusuf. Karena dipertahankan mati-matian maka terjadi pertempuran yang sengit. Banyak yang menjadi korban yaitu P.Kidul dan saudara mudanya. Syeh Yusuf luka-luka tetapi masih bisa menyelamatkan diri. Cukup lama Syeh Yusuf bersembunyi di Mandala lereng gunung Cirenai. Berdasarkan pesan dari seorang istrinya,maka kumpeni menjemput Syeh Yusuf ke tempat persembunyiannya dan menerima penyerahannya. Hal ini terjadi pada 14 Desember 1683.

7. Gerakan Surapati dan Pergolakan Sekitarnya
Permulaan gerakan Surapati dapat diruntut kembali pada kejadian sekitar pengejaran dan penangkapan P.Purbaya pada tahun 1683. Hal ini berawal dari Surapati yang merasa terhina sewaktu diperintah oleh Ruys untuk mengikuti litnan van Happel dalam perjalanan ke Cikalong. Saat Kuffeler menuntut penyerahan keris milik P. Purbaya, Surapati campur tangan dikarenakan tindakan itu dianggap sebagai penghinaan yang menimbulkan Kuffeler tidak senang perantaraan seorang bekas budak. Surapati dan P.Purbaya lalu meninggalkan Cikalong,namun tidak lama kemudian P.Purbaya melakukan penyerahan sedangkan Surapati bersama “gerombolannya” meneruskan perjuangan melawan kumpeni dan hijrah ke Mataram.
 Nama Surapati sudah disebut pada tahun 1678 dalam pemberitaan VOC. Dikabarkan Surapati bersama pasukan Pemuka Bali lain telah masuk islam. Hal ini lazim bahwa budak-budak dari Bali masuk islam setelah menetap di Jawa. Dalam ekspedisi Kumpeni didaerah pedalaman,kontingen itu menjadi tulang punggung karena dapat memasuki daerah yang sulit ditempuh oleh kontingen Eropa. Pada waktu itu ada eksodus cukup besar di Batavia, dan terbentuklah gerombolan-gerombolan pelarian mulai merajarela di pedalaman.
Daerah Banyumas dan Bagelen pada masa itu masih banyak dijajah oleh gerombolan pemberontak antara lain pasukan Trunojoyo. Bentrokan terjadi dengan pasukan penjagaan di Banyumas dibawah Arya Wirabrata, akhirnya dketengahi oleh barisan Wates dan Kediri. Kemudian pemimpin pasukan Bali yang telah mengabdi di Mataram dibawah Wangsanata dan Singabarong turut serta dalam perundingan.

8. Suasana Politik di Kartasura (1684-1686)
Kedatangan Surapati dan rombongannya mempunyai arti penting bagi perkembangan politik di Mataram terutama dengan perbandingan politik antara Mataram dan VOC. Kehadiran Surapati di Kertasura meningkatkan krisis politik di lingkungan yang sudah cukup kompleks itu.
Sementara itu Kertasura dibangun sebagai kota istana baru, pemerintahan Mataram mengalami proses reorganisasi. Pada waktu itu anti kumpeni meluap lagi,meskipun tidak selalu Nampak dipermukaan. Partai anti-Belanda dipimpin oleh Patih Nerangkusuma.
Akibat dari kontrak yang ditandatangani pada tahun 1677dan tahun 1678, Mataram kehilangan banyak daerah, utang besar kepada VOC yang mustahil dapatdilunasi oleh Mataram. Kehadiran pasukan Kumpeni dilingkungan Keraton sangat menonjol dan merupakan ‘duri dalam mata” dalam keraton Kertasura. Pihak Kumpeni menunda-nunda tanggapannya, menyusullah pergolakan Surapati yang dengan mendadak membuat situasi kritis bagi VOC.

9. Surapati di Kartasura (1685)
Sebelum masuk Surkatura, Surapati telah berjasa dalam penumpasan pemberontakan di Kembang Kuning. Di Kartasura, rombongan Surapati diterima dengan baik dan diberi tempat tinggal dekat Kepatihan, serta diberi sawah dan wanita.  Surapati kemudian diangkat sebagai pengawal dan ia diakui sebagai pemimpin seluruh pasukan Bali di Kartasura. Kehadirannya di Kartasura tidak hanya untuk melindungi kedudukan Sunan melainkan untuk menyelesaikan permasalahan dengan kompeni, Francois Tack. Sunan yang ditegur kompeni mengalami dilema juga karena telah menyediakan tanah untuk pemukiman di daerah Demak, Kaliwungu, dan Kendal. Teguran tersebut didasarkan atas kontrak tahun 1667 yang memblokir tempat tinggal untuk kaum Makassar, Bali, dan unsur asing lainnya. Selanjutnya ekspedisi Tack yang menjadi ancaman besar tiba di Semarang tanggal 22 Desember namun baru mengakibatkan kekacauan 27 Januari. Hal tersebut mengakibatkan munculnya usaha pembunuhan terhadap Surapati yakni dengan melakukan peracunan. Pada 7 Februari 1686 kompeni yang hendak menangkap Surapati disarankan Cakraningrat agar Surapati ditangkap oleh pasukan Jawa. Surapati dan pasukan lantas mampu menembus pengepungan seribu orang pasukan Jawa dan Madura.  Pada 8 Februari 1686 Kapten Tack lalu menyiapkan pasukan untuk menyerang keraton. Sunan telah meninggalkan keraton namun akhirnya berhasil ditemukan oleh pasukan kompeni. Dengan diamankannya Sunan oleh VOC di keraton, pasukan kompeni lantas berhasil diserang oleh barisan Surapati. Dalam peperangan ini pasukan Tack beserta pasukannya dan Greving beserta anak buahnya mati terbunuh. Serangan Surapati tersebut dilakukan agar tidak mencurigakan Belanda. Serangan Cakraningrat terhadap Surapati juga lebih merupakan perang semu. Dengan peristiwa tersebut, posisi Sunan Amangkurat II menjadi terlihat mendua dibanding dengan peranannya sebagai putra mahkota menjadi jelas sikap dan wataknya. Ia terpengaruh oleh lingkungannya, cenderung bersimpati terhadap VOC dan menyebabkannya terombang-ambing antara dua pendirian atau berpolitik secara setengah-setengah.

10.  Surapati di Jawa Timur
Waktu Surapati meninggalkan Kartasura dan berhijrah ke Jawa Timur, tentara gabungan VOC dan Mataram di bawah Pangeran Puger dikirim untuk mengejar Surapati. Surapati lantas mempertahankan diri di Singkel, di tepi sungai Brantas di Jawa Timur. Dia berhasil menyelamatkan diri dari kepungan melewati sungai Brantas, Wirasaba, Bangil dan Pasuruan. Dalam penyerangannya, patih Mataram Nerangkusuma menyusul masuk barisan Surapati. Dalam pertikaian itu peranan para bupati pesisir sangat menentukan. Hal yang membedakan antara kepemimpinan Tawang Alun dengan Surapati adalah sikap masing-masing patih tersebut. Jika Tawang Alun lebih memilih dibantu VOC maka Surapati bersikap anti Belanda. Konfrontasi besar-besaran antara pasukan VOC dan barisan Surapati terjadi secara berturut-turut di Penanggungan, Demak (26 September 1706) dan Bangil (4 Oktober). Kekalahan kemudian terus didera oleh pasukan Surapati dan menyebabkan Bangil jatuh ke tangan kompeni. Surapati yang terus dipukul mundur kemudian meninggal pada 15 November 1706. Ekspedisi Knol kemudian menangkap pasukan Surapati sampai pada pergolakan pada tahun 1712.

11.  Kerajaan-Kerajaan Makin Mundur dan Penetrasi Belanda Lebih Lanjut: Kerajaan Mataram
Pergolakan dalam kerajaan Mataram kemudian bertujuan untuk menentang Sunan Mas. Pada tanggal 12 Maret 17-4, Pangeran Puger pergi ke Semarang untuk mencari suaka dari VOC. Pada akhirnya banyak bupati pesisir yang menggabungkan diri dengan Pangeran Puger dan pada tanggal 6 Juli 1704 dinobatkan sebagai Susuhunan dan bergelar Paku Buwana. Dalam perang perebutan tahta (1704-1709) dengan bantuan VOC dan para penguasa Madura, para bupati pesisir dapat ditundukkan dan dipaksa mengakui Paku Buwana. Pertahanan di Ungaran dan Salatiga jatuh, dan hal ini menyebabkan jalan ke Kartasura terbuka lebar dan pada tanggal 11 September 1705 dapat diduduki. De Wilde dan anggota Dewan India membuka perundingan dengan Paku Buwana, untuk menentukan perjanjian sebagai berikut, 1) perjanjian tahun 1646 dan 1677 diperkuat, 2) batas0batas antara Maratam dengan Priangan ditetapkan, dalam garis batas mengikuti Sungai Citanduy, batas0batas Cirebon dan Cilosari 3) Pamekasan dan Sumenep masuk daerah VOC 4) daerah kekuasaan VOC di Semarang ditetapkan batas-batasnya 5) monopoli dan hak-hak istimewa VOC di pelabuhan0pelabuhan daerah Mataram diperluas 6) Mataram diwajibkan menyerahkan 800 koyan beras setiap tahun kepada VOC selama 25 tahun
Sunan Mas kemudian meneruskan perlawanannya terhadap kompeni dengan mengadakan aliansi dengan Surapati. Sepeninggal Surapati, Sunan Mas melanjutkan aliansinya dengan putra-putranya. Sunan mas kemudian sering mendapat perlawanan keras dari kompeni di antaranya yang dipimpin De Wilde dan Knol pada 1707. Pertempuran di lembah Sangiri mematahkan pasukan Surapati dan kemudian Pasuruan dapat diduduki. Sunan Mas berhasil menyelamtkan diri ke pedalaman daerah Malang. Setelah disadari bahwa kedudukannya telah terasing maka Sunan Mas mengirim utusan untuk membuat perundingan dengan VOC. Dengan segala penghormatan yang layak bagi seorang raja, Sunan Mas dijemput dan diantar ke kapal untuk membuang Sunan Mas ke Sailan.

12.  Perang Perebutan Tahta II (1719-1723)
Pada masa pemerintahan P.B.I keadaan politik mengalami keguncangan karena ada pertentangan dalam kerajaan antara golongan-golongan. Pada tanggal 22 Februari 1719 mangkatlah P.B.I dan diganti oleh putra mahkota,yang kemudian bergelar Mangkurat IV, akan lazim dikenal sebagai Sunan Prabu. Segera muncul muncul perpecahan. Pada tahun 1719 itu juga Arya Mataram dapat ditakhlukan dan kemudian bersama putra-putranya dihukum mati. P.Purbaya, P.Dipanegara, dan P.Blitar memimpin pasukan ke jawa timur dan akhirnya dapat bergabung dengan pasukan putra-putra Surapati. Mereka menarik diri ke pegunungan Malang untuk melakukan pertahanan terakhir. Ekspedisi Mataram serta Kumpeni bergerak dari Jipang menuju daerah tersebut. Karena terserang kelaparan dan penyakit tidak dilakukan penyerbuan tetapi hanya pengepungan. Pada tahun 1721 Arya Mataram meninggal. Dan perjuangannya diterukan oleh para saudara-saudaranya dengan bantuan putra-putra Surapati. Mereka hanya berthan hingga tahun 1723.
Kalau dengan pembuangan itu perang perebutan tahta mataram dapat diamankan dan kedudukan Amangkurat IV dipertahankanm, di jawa timur pergolakan masih berjalan terus, terutama melawan Kumpeni masih diteruskan oleh anggota wangsa Surapati.
Berkali-kali wangsa itu bersekutu dengan lawan-lawan Kumpeni. Waktu Cangkaningrat IV melancarkan pemberontakan,mereka bantuan pula. Setelah Blambangan ditakhlukan VOC bupati Lumajang,Kertanegara dan bupati Malang,dll mengundurkan diri ke pegunungan Malang Selatan. Keduanya gugur dalam perlawanan mereka terakhir terhadap pasukan Kumpeni.

13.  Pemberontakan Cina
Besarnya peranan pedagang Cina di Indonesia dibeberapa pelabuhan, seperti Banten, jambi Palembang,Malaka. Banyak keuntungan diperolehan dari perdagangan itu. Setelah VOC mempunyai tempat rendez-vous sendiri,ialah Batavia, politiknya ialah hendak menarik Cina sebanyak mungkin ke Batavia memerlukan banyak tenaga pekerja,khususnya bagi pertukangan dan kerajinan. Politik “pintu terbuka” itu lebih-lebih ditempuh sewaktu ada perang di Banten. Orang Jawa tidak dipercaya lagi, sehingga Cina yang memenuhi kebutuhannya. Sehingga banyak orang Cina yang datang ke Indonesia. Diperkirakan hingga ribuan.
J.P Coen sangat menghargai mereka dan memberikan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan bangsa-bangsa barat. Sebagai pemimpin pertama So Bing Kong dan kemudian diangkat sebagai kapten Cina. Pada Akhir abad 17 dan awal abad 18 jumlah Cina semakin meningkat. Pada akhir abad 17 pelayaran Jung dari Cina membawa membawa banyak migrant lagi sehingga VOC perlu mengadakan pembatasan. Pada tahun 1696 setiap penumpang yang tidak dikenal dikenakan biaya 15 ringgit. Meskipun demikian, karena perdagangan barang-barang dari Cina sangat menguntungkan, maka bersama dengan aliran perdagangan itu banyak Cina datang ke Batavia. Pada pemerintahan Van Swol aliran itu dapat dihentikan antara lain dengan menurunkan harga teh., sehingga jung Cina tidak lagi mengimpor ke Batavia. Sejak tahun 1723 politik perdagangan VOC berubah, mulai mementingkan perdagangan dengan Cina lagi, maka migrant-migran Cina mulai mengalir lagi. Di luar Batavia VOC banyak menggunakan jasa-jasa Cina, bahkan dibeberapa pelabuhan diangkatlah Cina sebagai syahbandar,antara lain di Indramayu, Cirebon, Semarang, dan Surabaya.
Dalam menghadapi kompetisi bangsa Cina, vrijburgers Belanda tidak dapat menandingi sehingga mudah timbul perasaan tak senang atau sikap realistis, akan tetapi dikenal diskriminasi. Terlepas dari insiden-insiden yang kadang-kadang terjadi antara golongan-golongan sekitar 1740 suasana sudah menunjukkan rasa tak senang terhadap Cina.

14.  Ketegangan Memuncak dan Pergolakan Berkobar
Akhir tahun tiga puluhan (abad XVIII) VOC mengalami kemunduran, beban keuangan untuk penyelenggaraan pemerintahan di Batavia jauh melampaui penerimaan, ada defisit terus-menerus. Kesejahteraan menjadi merosot dan pada akhirnya sejak tahun 1738 diadakan peraturan bahwa bangsa Cina perlu memiliki surat lisensi dengan membayar dua ringgit.  Pada tahun 1727 dibuat peraturan yang menentukan bahwa semua Cina yang telah tinggal 10-12 tahun dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Cina. Pada tahun 1730 dikeluarkanlah larangan untuk membuka tempat penginapandan warung, baik di dalam dan di luar kota. Pada tahun 1736 mulailah orang Cina mendaftarkan identitasnya namun terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan yakni ketidakcocokan data atau korupsi data di kalangan petugas dan perantara tidak hanya membuat peraturan tak berhalan dan menggelisahkan kalangan Cina. Lebih lanjut pada tahun 1740 dilakukan penangkapan besar0besaran kalangan Cina di Tanjung Priok dan seribu orang ditahan di Bekasi dan Tanjung Priok. Pada pertengahan tahun tersebut juga dikeluarkan peraturan bahwa semua Cina tanpa izin akan ditangkap dan diasingkan ke Sailan. Tindakan sewenang-wenang tersebut mendorong orang-orang Cina meninggalkan tempat tinggalnya dan menggabungkan diri pada gerombolan-gerombolan yang dengan mencuri dan menyamun merajalela di daerah sekitar Batavia. Akibatnya, pedagang tidak berani menampakkan diri, takut akan pemungutan uang kepala.

15.  Pecahnya Pemberontakan
Pada akhir bulan September 1740 telah tersiar kabar bahwa di daerah pedesaan sekitar Batavia telah tampak gerombolan cina yang mendekati pintu gerbang Batavia, Mr. Cornelis, tangerang, de qual, dan bekasi. Pada hari berikutnya gerombolan menjadi sangat besar, sehubungan dengan itu pos-pos di Bekasi, Tanah Abang, Angke, dan Noordwijk mulai diperkuat. Tanggal 7 oktober pasukan bantuan yang dikirim ke tangerang diserang oleh segorombolan cina, dekat Kaduwang. Pada pagi itu juga pos de-qual juga diserang oleh segerombolan orang.  Tanggal 8 oktober diketahui bahwa ada gerakan masuk kota dan pengangkutan wanita dan anak-anak keluar kota. Di luar kota pemberontakan juga berkobar dengan dasyat. Pada tanggal 10 oktober 1740 pertahanan di Tangerang diserang oleh gerombolan sebesar 3000 orang. Pada hari berikutnya Mr. Cornelis mendapat serangan dua kali oleh pasukan cina sebesar 5 sampai 6 ribu orang orang.
Pada awal November 1740 pusat konsentrasinya ialah, di Bekasi, Kaliabang, Pulau Gadung. Karena konflik dalam dewan India, lagi pula musim hujan mulai menghebat, ekspedisi ke Bekasi baru dapat dilakukan pada tanggal 4 juni 1741. Untuk menghindari serangan kompeni gerombolan pemberontak mulai mengundurkan diri ke pedalaman, antara lain Priangan. Pada pertengahan  tahun 1741 pesisir jawa tengah dan jawa timur mulai bergolak. Situasi di jawa tengah mulai genting setelah di sekitar Semarang ada penggabungan pasukan jawa dengan para pemberontak. Diperkirakan ada 20.000 pasukan jawa di bawah pimpinan 20 temanggung dan 3.500 orang Cina. Pada pertengahan November Semarang sudah dibersihkan oleh sisa-sisa pemberontak. Sebaliknya pergolakan di Jawa Tengah bagian pedalaman mulai berskala perang, terutama karena anti –Belanda dan membebaskan diri dari kompeni. Gerakan yang dipimpin oleh Patih Natakusuma secara diam-diam bekerja sama dengan Cina dan memberi bantuannya. Dijanjikannya bahwa bila nanti Kompeni telah dikalahkan, Cina akan diberi daerah pantai utara dengan segala keuntungan perdagangannya, kecuali Semarang. Pada tanggal 20 juli 1741 pasukan Kompeni menyerah. Benteng diserbu, barang-barang dirampas dan Van Velsen beserta beberapa prajurit  terbunuh.
Dibawah  pimpinan  Varijsel pasukan Kompeni mulai mengadakan serangan balasan terhadap pertahanan  pemberontak. Pada tanggal 7, 9 sampai 13 November 1741 semuanya dapat direbut. Loji di Tegal dan Jepara dapat dibebaskan. Kemudian dengan bantuan dari Madura, Pasuruan diduduki kembali. Dalam kedudukan yang sangat kuat Kompeni mulai mengadakan perundingan dengan Paku Buwana II. Untuk mengakui dia sebagai Susuhunan, VOC mengajukan dua syarat :
-          Seluruh daerah pesisir ada di bawah kekuasaan Kompeni
-          Pengangkatan patih memerlukan persetujuan VOC
Di Kartasura golongan anti-Kompeni di bawah pimpinan Patih Natakusuma diam-diam mendukung pemberontak Cina dan pasukan Jawa. Secara tiba-tiba para pemberontak memaklumkan bahwa mereka menjujung putra Sunan Mas, Mas Gerendi, ke tahta kerajaan dengan diberi gelar Amangkurat. Ternyata dukungan rakyat terhadap dia luar biasa besarnya. Pada tanggal 30 juni 1742 Paku Buwana II meninggalkan keraton dan mengungsi ke Magetan dan Ponorogo. Tanggal 20 Desember pasukan Kompeni memasuki Kartasura dan segera mendudukkan Sunan Paku Buwana II di tahtanya. Sementara itu, karena telah kehilangan banyak pengikut, Mas Gerendi menyerah di Surabaya pada tanggal 3 oktober. Dan akhirnya Mas Gerendi diasingkan ke Sailan, sedangkan gerombolan Cina dibawah Tai-Wan-Sai melarikan diri ke Bali.   

16.  Pergolakan Perebutan Tahta dan Pembagian Kerajaaan
Di daerah pesisir yang telah diserahkan kepada Kompeni pada akhir perang Cina, kondisi ekonomi rakyat memburuk. Kompeni mengadakan banyak peraturan baru yang sangat memberatkan beban rakyat : pajak tanah yang dapat dilunasi dengan menyerahkan seperlima dari hasil panen , 66 hari melakukan kerja wajib (herndiensten), penyerahan wajib hasil (verlichte levaranties) , pungutan jalan, pajak ekspor beras dari daerah tertentu, pajak pembantaian , dan sebagainya. Jumlah jenis pungutan yang di borongkan ada 19 jenis. Untuk menghindari beban-beban itu banyak dari rakyat menggabungkan diri dengan pemberontak. Meskipun kondisi rakyat di bawah pemerintahan Sunan tidak banyak berbeda, namun menurut pendapat Hartingh “ rakyat lebih suka dikuliti ” oleh penguasanya sendiri dari pada diganggu oleh bangsa-bangsa lain.
Dalam tubuh VOC sendiri timbul kemerosotan, kecuali menghadapi kebangkrutan dan korupsi, kualitas orang-orangnya sering diragukan. Menurut kritik dari lingkungannya sendiri ada Nepotisme. Suatu factor politik yang secara latent mengganggu stabilitas kerajaan ialah masalah sekitar penggantian tahta. Maka dari itu sejarah kerajaan Mataram merupakan siklus revolusi istana yang dihadapi pada pertengahan abad  XVIII ini boleh dikata merupakan pergolakan besar yang terakhir. Paku Buwana I sendiri naik tahta Mataram sebagai Unsur penyimpang, dilegitimasikan dengan mitos bahwa sinar air mani dari jenazah Amangkurat I jatuh kepadanya (Lihat Babat Tanah Jawi).
Antara Mangkubumi dengan Mas Said terbentuk suatu persekutuan sehingga barisan pemberontak bertambah pengaruh serta ruang lingkup pengaruhnya. Sebagai lambang solidaritas Mas  Said diambil menantu oleh Mangkubumi. Daerah pesisir menjadi sasaran pasukan Mangkubumi : Grobogan, Demak, Juana, serta Jipang diserang dan diduduki. Kondisi rakyat dari daerah-daerah tersebut  memudahkan pula untuk menggabungkan diri pada barisan Mangkubumi. Pada tahun 1746 sudah ada sekitar tiga belas ribu anak buah, diantaranya 2.500 pasukan berkuda. Akhir tahun 1749 membawa perubahan pada jalannya perang. Paku Buwana I sudah mendekati ajalnya karena tidak mau disembuhkan dari penyakitnya yang parah. Mendengar berita tentang sakitnya Sunan maka Mangkubumi memproklamasikan diri sebagai raja Mataram. Maksudnya ialah untuk mendahului keponakannya yang baru berusia 16 tahun. Lokasi keraton ditetapkan di sebelah barat Kotagede, di desa Bering, yaitu Yogyakarta sekarang.  

17.  Perpecahan dan Kemunduran Kerajaan Cirebon
Sepeninggal Panembahan Girilaya berdasarkan kehendak terakhir, Cirebon diperintah oleh dua orang kakak0beradik, Martawijaya atau Panembahan Sepuh dan Kartwairya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh meninggal pada tahun 1697 dan timbullah perebutan kedudukan di antara kedua puteranya. Perselisihan tersebut dapat diselesaikan dengan pergeseran kedudukan VOC. Pada awal abad XVIII terus menerus timbul keresahan dan pergolakan oleh karena setiap kali seorang raja meninggal pecahlah lagi pertikaian sekitar kedudukan seperti pada tahun 1702. Pergolakan meledak lagi pada tahun 1715 dan 1733 dan kemudian menghapus sistem pergeseran dengan peraturan pergantian oleh putera laki-laki pada tahun 1752. Dan untuk meredakan ketegangan dipergunakan pemakaian gelar Sultan sejak 1729. Untuk mencegah pertumpahan darah maka pada 1768 kompeni mengurangi jumlah raja dan dikembalikan menjadi dua pada 1773. Persengketaan dan perpecahan sekitar pergantian tahta hanya memperkuat kedudukan VOC, sedang para raja semakin dikurangi kekuasaan dan hak miliknya. Jelas mereka sudah kehilangan suvereinitasnya.

18.  Madura
Setelah pemberontakan di bawah orang Melayu, Ince Kandur, dapat dipadamkan oleh Couper, pada akhirnya Perang Trunajaya, Madura kembali masuk lingkungan kekuasaan Mataram untuk kemudian diserahkan VOC. Cakraningrat lantas diangkat menjadi penguasa atas Arosbaya pada 1680 dan bergelar sebagai Pangeran Sampang yang meliputi Pamekasan, Sumenep dan kepulauan seanteronya. Susuhunan Mataram dan VOC dapat mempertahankan kedudukannya dengan nama Yudanegara. Dia memerintah dengan adil dan bijaksana. Akan tetapi dengan adanya politik adu domba oleh VOC maka permasalahan sekitar pergantian di daerah itu menjadi sumber ketegangan yang sewaktu-waktu pada meledak. Pada tahun 1686 partai Suderma  mengajukan tuntutan dan pada 1689 terlibat dalam gerakan Kapten Jonker dalm melarikan diri untuk memimpin gerakannya di Madura. Tujuannya untuk mengusir penguasa Sumenep dari kedudukannya namun perjuangannya gagal.
Madura Timur lantas mengalami pergolakan terus menerus dan pada 1702 Suderma berhasil melarikan diri dari Batavia lagi. Madura Barat juga tidak luput dari pergolakan. Ambisi Cakraningrat III untuk melebarkan sayap kekuasannya ke Madura Timur sekitar tahun 1717-1718 dan kemudian menunjuk Suradiningrat sebagai pengganti komandan kapal Oegsgeest dengan gelar Cakraningrat IV. Dalam perang Cina memiliki pengaruh besar akibat politik pecah belahnya.
Untuk memperkuat barisannya dia menerima bala bantuan pasukan Bali. Perjuangan Cakraningrat kemudian mencapai titik puncak sejak akhir tahun 1744. Cakraningrat yang terus bertahan di daerahnya sendiri akhirnya terdesak yaitu di Sampang, menyelamatkan diri ke Banjarmasin dan mencoba kontak dengan Inggris di Bengkulu. Oleh Sultan Banjarmasin ia diserahkan kepada VOC dan dibuang ke Tanjung Harapan sedang kedua putranya diselong ke Sailan.

Ava - SouthEast Asia in the Past (Disarikan dari buku D.G.E. Hall "HISTORY OF SOUTH EAST ASIA")


  • Latar Belakang Pendirian
Setelah Mongol meninggalkan Daratan Tinggi Burma dan melemahkan kekuasaannya di Yunnan memudahkan terbukanya jalan bagi pertumbuhan kegiatan Shan yang terletak jauh di Burma Utara, begitu pula dengan pendirian kerajaan baru yang beribukota di Che-lan dan meluaskan kekuasaannya ke daerah selatan. Raja Shan di Pinya dan Sagaing terus bertengkar dan peranh seorang Pinya yang bernama Narathu meminta bantuan orang-orang Maw-Shan untuk menyerang Sagaing pada tahun 1364. Penduduk banyak yang menyelamatkan diri ke hutan, dan orang Maw balik menduduki Pinya. Atas peristiwa itulah, seorang anak tiri pemimpin Sagaing, Thadominbya, mendirikan ibukota baru di Ava dan mulai membentuk negeri baru di sana.
  • Pengisahan Mengenai Kerajaan Ava
Ava, suatu kepanjangan tangan dari Im-Wa (jalan masuk ke danau), didirikan antara tahun 1364 sampai 1365. Sebagai ibukota daratan Burma dan ibukota seluruh Burma pada tahun 1364, nama Ava sering dihubungkan dengan pencitraan sebuah negeri. Oleh karena itu orang-orang Eropa banyak menyamakan Daratan Burma dengan Negeri Ava lewat pemerintahan Istana Ava, bahkan ketika ibukota sudah berpindah ke Amarapura atau Mandalay. Satu hal yang perlu diketahui bahwa Ava benar-benar didirikan oleh penduduk asli Burma, bukan oleh penduduk Shan. Ibukotanya mengikuti pola Pagan, dan pendirinya mencari dukungan penduduk Burma dengan menelusuri keturunan masing-masing warganya dari raja-raja Tagaung. Thadominbya membuat peraturan-peraturan yang mengikat distrik-distrik Burma di wilayah Selatan yang tidak dipengaruhi oleh infiltrasi Shan. Thadominbya mangkat ketika menderita cacar saat menyerang Sagu. Penggantinya, Myingyi Swasawke (1368-1401) dengan kuat meletakkan pemerintahannya dari dinasti Pagan.
Masuknya orang Shan ke Daratan Burma menjadikan terbentuknya pusat Burma baru di sungai Sittang, yang pada 1280 sebuah desa telahdibentengi di atas bukit sebagai pos untuk melawan penyerangan dari negeri-negeri Karen yang bertujuan untuk mencari budak. Pada awalnya, perkembangan kerajaan ini tidak terhambat, dan pada pertengahan abad XIV menjadi cukup kuat karena pemimpinnya, Thinkaba (1347-1358) menyatakankemerdekaannya dengan menerima gelar kerajaan dan membangun istana bergaya tradisional. Selama pemerintahan puteranya, Pyanchi (1458-1377), konsolidasi Sagaing dan Pinya membawa angin segar bagi imigran Burma yang akan menuju Toungon. Pyanchi yang membuat prasasti di Pagan menuliskan persembahan korban-korbannya di candi-candi di sana dan menyatakan penyambutannya atas pengungsi-pengungsi Shan. Negara baru ini selalu terganggu, dan Ava juga Pegu mencoba menghapus kemerdekaannya. Akan tetapi raja-rajanya ingin memainkan peranan penting dalam sejarah Burma kelak di kemudian hari.
Myingyi Swasawke sengat menginginkan penghidupan kembali politik tradisional Burma yakni menaklukkan orang-orang Mon di Selatan. Akan tetapi pada awal pemerintahannya, ancaman orang-orang Shan di perbatasan utara dan timur sangat membahayakan petualangannya ke Burma Pesisir. Terlebih Pyanchi di Toungoo bersahabat dengan orang-orang Mon. Hal itu menyebabkan beliau mengalami pemaksaan pelaksanaan politik damai dan mengadakan perundingan pada tahun 1371 dengan Raja Binnya U dari Pegu dan dipastikanlah perbatasan antara Burma dengan negeri Mon.
Sejak awal Myingyi telah masuk dalam hubungan dengan negeri-negeri Shan yang kuat dan gemar berperang. Tahun 1371 ia menolak menjadi penengah dalam pertikaian yang semakin memuncak antara Sawbwas dari Kale di lembah Sungai Chindwin dan Mohnyin di distrik Katha. Akan tetapi Mohnyin menyerang Myedu di distrik Swbo pada tahun 1373. Menjelang tahun tersebut, dinasti Mongol telah digantikan oleh dinasti Ming hinggs kekuatannya berdiri kuat di Yunnan sebagai tempat terakhir pertahanan orang-orang Mongol, negeri-negeri Shan dan di sekitar bagian utara Burma. Serangan Myodu adalah awal dari aksi-aksi penyerangan yang menghabiskan waktu panjang dari Mohnyin dan pada tahun 1383, dua tahun setelah perlawanan akhir Mongol di Yunnan, raja Ava mengirim utusan kepada wakil raja Ming untuk meminta bantuan.
China yang untuk kali pertama berhubungan dengan orang-orang Maw Shan memiliki keinginan yang sama dengan Myingyi Swasawke untuk menahan status quo mereka. Ia kemudian dianugerahi pengakuan resmi sebagai Gubernur Ava dan para wakil raja memerintahkan Mohnyin untuk menjaga perdamaian. Selama beberapa tahun perintah tersebut berandil juga, namun pada 1393 serangan Mohnyin mulai memasuki Sagaing. Saudara tiri raja, Thilawa, Kepala Jennethin, menyerang para perampok hingga beberapa tahun selanjutnya dan membuat semua bawahan orang Shan memperlakukan Ava dengan hormat.
Bantuan yang didapat dari Cina tahun 1383 menyebabkan Myingyi Swasawke mampu memperluas kekuasaan aliran Irrawaddhy sampai ke laut. Tahun 1377 ia mendalangi pembunuhan Pyanchi yang pro-Mon di Toungoo. Hal tersebut menyebabkan Razadarit yang naik tahta pada 1385 menawarkan penguasaan atas Pegu sebagai kerajaan bawahannya sebagai imbalan dalam bantuan ketika pemberontakan melawan sepupunya. Myingyi pun mendapatkan kesempatan emas untuk menghapus kemerdekaan Mon.
Ancaman tersebut tidak lantas menyebabkan orang-orang Mon menjadi lemah akan tetapi memperlihatkan keadaan yang lebih kuat meski Mon telah beberapa kali diserang oleh orang-orang Shan. Berikutnya imigran yang dicegat orang Mon bukanlah imigran Shan melainkan orang-orang burma yang terdesak ke delta Irrawaddhy. Seluruh prasasti di Daratan Burma dalam kurun waktu itu berbahasa Burma, dan sebelum peperangan panjang tersebut berakhir, kesusasteraan pribumi Burma telah lahir.
Pengganti Myingyi Swasawke, Minhkaung, memerintah dari tahun 1401 hingga 1422 berusaha sekuatnya untuk mengarahkan peperangan demi peperangan tersebut ke arah keberhasilan dan hampir menemui keberhasilan. Akan tetapi Razadarit, seorang lawan yang tangguh, mampu melemahkan kekuatan Burma dengan bantuan orang Arakan dan menimbulkan ketidakserasian antara orang-orang Ava dengan negeri-negeri di Shan utara. Tahun 1374 Myingyi telah enobatkan seorang pamannya di Arakan. Pada tahun 1381 ia mengirim puteranya akan tetapi puteranya ini tidak diterima dengan baik. Pada tahun 1404 sebagai hukuman atas serangan Arakan, ia mengirimkan pasukan yang berhasil menduduki ibukota akan tetapi rajanya melarikan diri ke Bengal dan puteranya menyelamatkan diri ke negeri Mon. Ia lantas menempatkan anak tirinya di singgasana, namun putera raja Arakan ternyata kembali dengan bantuan Mon dan membunuh raja boneka Burma tersebut. Burma berusaha untuk mengirimkan ekspedisi lain, dengan begitu terjadi peperangan yang silih berganti antara kedua belah pihak sampai tahun 1430 dan Narameikha (raja yang sebelumnya bersembunyi) berhaasil kembali dan mendapatkan mahkotanya (lagi) berkat bantuan Bengal.
Tahun 1406 setelah perdamaian dengan orang-orang Shan dilakukan, Minhkaung mencoba memprovokasi peperangan antara Kale dan Mohnyin. Dalam catatan China disebutkan bahwa ia mengirim pasukan dibawah pimpinan Nolota. Kaisar kemudian mengirimgubernurnya dari Ava, akan tetapi gubernur ini kurang dapat dipercaya sehingga ia menarik kembali pasukannya dan mengirimkan seorang utusan yang bertugas untuk mendamaikan. Komandan Burma tersebut mampu melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga pada 1416 Sawbwa hidup kembali dan sepupu Sawbwa yang telah mati dan pewarisnya kemudian berlindung di Nan-tien.
Sementara itu Sawbwa membalas dendam atas Mohnyin. Tahun 1413 beliau menyerang beberapa bangsa Ava dan mengirim beberapa tawanan ke Peking. Orang-orang Burma membunuhnya dan mengalahkan pasukannya di Wetwin (dekat Maymyo). Pada tahun berikutnya didesakkan Rezadarit di Pegu, iapun menyerang lagi, sementara pada waktu yang sama para pemimpin Shan dari Mawke dan Mawdon menyerang Myedu. Mereka didesak keluar tetapi pada tahun 1415 tentara Burma menyerang lagi dan justru mengancam Ava sendiri. Seorang putera Minhkaung dari seorang puteri  Maw, Minrekyawswa, pada saat itu hampir menang melawan orang Mon. Namun ia diundang kembali ke Ava berkenaan dengan ancaman Shan dan kemenangan atas orang-orang Mon yang lepas dari ancaman Burma. Dua tahun kemudian putera raja itu terbunuh dalam serangan di delta. Tekanan Shan menyebabkan serangan di delta semakin memperbesar resiko.
Hsinbyaskin Thihatu yang menggantikan ayahnya sebagai raja di Ava pada 1422 menyerang Shan melalui tipu isterinya dan dikeroyok oleh Sawbwanya Onbaung (Hsipaw) tahun 1426  lalu terbunuh. Sawbwa kemnobatkan pilihannya sendiri yaitu Kalekyetaungnyo. Akan tetapi ia diusir bersama orang-orang Shan On-baung, oleh seorang pemimpin Burma, Mohnyinthado yang memerintah dari tahun 1427 sampai 1440. Negeri dalam keadaan kacau, para penguasa feodal tidak terikat, dan diajak untuk menentang raja. Serangan On-Baung menyebabkannya harus meninggalkan Ava untuk sementara waktu. Ia sangat disibukkan oleh usaha-usaha perdamaian dan menjadi raja dalam persembunyian di Arakan serta mendirikan ibukota baru di Mohaung.
Di bawah putera Mohnyinthado, Minrekyawswa dan Narapati, keluarga Ava muncul kembali secara besar-besaran. Hal ini disebabkan oleh serangan China terhadap orang-orang Shan dan Maw. Dengan lenyapnya dinasti Kublai Khan pada tahun 1368 China tidak dapat lagi melintasi Asia Barat. Dalam usahanya untuk mencari tempat perdagangan baru, Ming menjadikan Shan Maw sebagai bawahannya. Hal ini mengakibatkan penyerangan dari tahun 1438 hingga 1465. Ada pula alasan bagi gerakan China tersebut untuk menghidupkan kembali kekaisaran tua Nanchan. Pada tahun 1441, Wang Chi, Presiden Dewan Perang, diangkat untuk memimpin pasukan yang bertujuan untuk mendesak Shan keluar dari Luch’uan. Beberapa dari mereka lari ke Hsen-wi, namun sebagian lagi berlindung di Mohnyin di bawah Thonganbawa. Sebuah prasasti di Pagoda Tupayon yang dibuat oleh Narapati di Sagaing menceritakan bahwa Thonganbwa lari sebelum Wang Chi ke Monhyin dan Kale, ditangak oleh orang-orang Burma dan dipersembahkan kepada raja mereka pada hari pelantikannya.
Pasukan Wang Chi yang berhasil menaklukkan Mohnyin kemudian menyerah ketika dihukum. Ketika Narapati menolak permintaannya, China maju menyerang daerah Burma. Peperangan terjadi di Tagaung dan menurut “Hmannan Yazawin” jenderal China terbunuh dan pasukannya diperlakukan dengan buruk tahun 1445. Tahun berikutnya China menyerang Ava dengan pasukan yang lebih besar dan hal ini menyebabkan Narapati menyetujui permintaannya. Narapati kemudian menerima China sebagai atasannya dan sebaliknya pasukan Yunnan membantunya mengalahkan pemimpin Yannethin yang memberontak. Tahun 1451 ia menerima stempel emas legitimasi atas “penentang-penentang Ava” dari China dan menerima sebidang wilayah Mohnyin tiga tahun kemudian.
Sementara itu Shan merasakan pengaruh tamparan China, dan raja Ava berusaha untuk mempertahankan beberapa kekuasaannya. Namun kemudian mengalami penyeimbangan karena negara yang secara terus menerus bertengkar dengan negara-negara Shan yang selalu diancam untuk melibatkan raja dalam berbagai pertikaian dan untuk mengampuni para pemimpin bawahan yang memberontak. Thihathura (1469-1481) adalah raja Ava yang terakhir dan semasa pemerintahannya terus dilanda kekacauan dan pemberontakan. Dalam masa tenggang, raja-raja Ava kemudian mengadakan hubungan dengan pusat Buddha Theravaddha yang ternama di Kandy, Ceylon.

Menyibak Rona Pemerintahan Republik Rakyat China

BAB I
PENDAHULUAN


A.        TUJUAN PENULISAN
  1. Melengkapi literatur mengenai pemerintahan Republik Rakyat China
  2. Menginspirasi generasi muda dalam pembangunan negara dan bangsa
  3. Memenuhi penugasan mata kuliah Sejarah Asia Timur
B.        METODE PENULISAN
            Metode Literatur
                        Dalam penulisan laporan, penulis menggunakan metode literatur sebagai     bahan penyusunan, yakni mempergunakan literatur yang koheren dengan tema            penulisan, dalam hal ini pemerintahan Republik Rakyat China.

C.        LATAR BELAKANG
            Republik Rakyat China (RRC) merupakan negara dalam jajaran belahan Asia yang memiliki penduduk terbanyak di dunia, dengan populasi melebihi 1,3 miliar jiwa, yang mayoritas merupakan suku bangsa Han. RRC sendiri adalah  negara terbesar di Asia Timur, dan ketiga terluas di dunia, setelah Rusia dan Kanada. RRC berbatasan dengan 14 negara: Afganistan, Bhutan, Myanmar, India, Kazakhstan, Kirgizia, Korea Utara, Laos, Mongolia, Nepal, Pakistan, Rusia, Tajikistan dan Vietnam.
            Dalam suatu pertikaian yang terus berlangsung, RRC menuntut hak memerintah atas Taiwan dan pulau-pulau sekitarnya yang tidak pernah dilepaskan oleh Republik China. Pemerintah RRC mendakwa bahwa Republik China merupakan suatu entitas yang tidak lagi wujud dan secara administratif meletakkan Taiwan sebagai provinsi ke-23 RRC.
            Berlatar dari masalah itulah maka penulis mencoba mengangkat kondisi pemerintahan Republik Rakyat China -ditinjau dari segi politik, ekonomi maupun sosial masyarakat- dan menyajikannya kepada pembaca dengan harapan, dapat dijadikan rujukan dalam upayanya mengkritisi kebijakan pemerintah, serta mencoba menganalogikan situasi pemerintahan Republik Rakyat China dengan Nusantara: Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D.        RUMUSAN MASALAH
            Setelah Perang Dunia II, Perang Saudara Cina antara Partai Komunis Cina dan Kuomintang berakhir pada 1949 dengan pihak komunis menguasai Cina Daratan dan Kuomintang menguasai Taiwan dan beberapa pulau-pulau lepas pantai di Fujian. Pada 1 Oktober 1949, Mao Zedong memproklamasikan Republik Rakyat Cina dan mendirikan sebuah negara komunis.
            Para pendukung Era Maoisme, yang terdiri dari kebanyakan rakyat Cina miskin dan lebih tradisionil atau nasionalis dan pemerhati asing yang percaya kepada komunisme, mengatakan bahwa di bawah Mao, persatuan dan kedaulatan Cina dapat dipastikan untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade terakhir, dan terdapat perkembangan infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan, yang mereka percayai telah membantu meningkatkan standar hidup rakyat. Mereka juga yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan penting dalam mempercepat perkembangan Cina dan menjernihkan kebudayaan mereka. Pihak pendukung juga ragu terhadap statistik dan kesaksian yang diberikan mengenai jumlah korban jiwa dan kerusakan lainnya yang disebabkan kampanye Mao.           Meskipun begitu, para kritikus rezim Mao, yang terdiri dari mayoritas analis asing dan para peninjau serta beberapa rakyat Cina, khususnya para anggota kelas menengah dan penduduk kota yang lebih terbuka pemikirannya, mengatakan bahwa pemerintahan Mao membebankan pengawasan yang ketat terhadap kehidupan sehari-hari rakyat, dan yakin bahwa kampanye seperti Lompatan Jauh ke Depan dan Revolusi Kebudayaan berperan atau mengakibatkan hilangnya jutaan jiwa, mendatangkan biaya ekonomi yang besar, dan merusak warisan budaya Cina. Lompatan Jauh ke Depan, pada khusunya, mendahului periode kelaparan yang besar di Cina yang, menurut sumber-sumber Barat dan Timur yang dapat dipercaya, mengakibatkan kematian 45 juta orang[2]; kebanyakan analis Barat dan Cina mengatakan ini disebabkan Lompatan Jauh ke Depan namun Mao dan lainnya mengatakan ini disebabkan musibah alam; ada juga yang meragukan angka kematian tersebut, atau berkata bahwa lebih banyak orang mati karena kelaparan atau sebab politis lainnya pada masa pemerintahan Chiang Kai Shek.
Setelah kegagalan ekonomi yang dramatis pada awal 1960-an, Mao mundur dari jabatannya sebagai ketua umum Cina. Kongres Rakyat Nasional melantik Liu Shaoqi sebagai pengganti Mao. Mao tetap menjadi ketua partai namun dilepas dari tugas ekonomi sehari-hari yang dikontrol dengan lebih lunak oleh Liu Shaoqi, Deng Xiaoping dan lainnya yang memulai reformasi keuangan.
            Pada 1966 Mao meluncurkan Revolusi Kebudayaan, yang dilihat lawannya (termasuk analis Barat dan banyak remaja Cina kala itu) sebagai balasan terhadap rival-rivalnya dengan memobilisasi para remaja untuk mendukung pemikirannya dan menyingkirkan kepemimpinan yang lunak pada saat itu, namun oleh pendukungnya dipandang sebagai sebuah percobaan demokrasi langsung dan sebuah langkah asli dalam menghilangkan korupsi dan pengaruh buruk lainnya dari masyarakat Cina. Kekacauan pun timbul namun hal ini segera berkurang di bawah kepemimpinan Zhou Enlai di mana para kekuatan moderat kembali memperoleh pengaruhnya. Setelah kematian Mao, Deng Xiaoping berhasil memperoleh kekuasaan dan janda Mao, Jiang Qing beserta rekan-rekannya, Kelompok Empat, yang telah mengambil alih kekuasaan negara, ditangkap dan dibawa ke pengadilan. Sejak saat itu, pihak pemerintah telah secara bertahap (dan telah banyak) melunakkan kontrol pemerintah terhadap kehidupan sehari-hari rakyatnya, dan telah memulai perpindahan ekonomi Cina menuju sistem berbasiskan pasar.
            Para pendukung reformasi keuangan – biasanya rakyat kelas menengah dan pemerhati Barat berhaluan kiri-tengah dan kanan – menunjukkan bukti terjadinya perkembangan pesat pada ekonomi di sektor konsumen dan ekspor, terciptanya kelas menengah (khususnya di kota pesisir di mana sebagian besar perkembangan industri dipusatkan) yang kini merupakan 15% dari populasi, standar hidup yang kian tinggi (diperlihatkan melalui peningkatan pesat pada GDP per kapita, belanja konsumen, perkiraan umur, persentase baca-tulis, dan jumlah produksi beras) dan hak dan kebebasan pribadi yang lebih luas untuk masyarakat biasa.
            Para pengkritik reformasi ekonomi –biasanya masyarakat miskin di Cina dan pemerhati Barat berhaluan kiri- menunjukkan bukti bahwa proses reformasi telah menciptakan kesenjangan kekayaan, polusi lingkungan, korupsi yang menjadi-jadi, pengangguran yang meningkat akibat PHK di perusahaan negara yang tidak efisien, serta telah memperkenalkan pengaruh budaya yang kurang diterima. Akibatnya mereka percaya bahwa budaya Cina telah dikorupsi, rakyat miskin semakin miskin dan terpisah, dan stabilitas sosial negara semakin terancam.
            Meskipun ada kelonggaran terhadap kapitalisme, Partai Komunis Cina tetap berkuasa dan telah mempertahankan kebijakan yang mengekang terhadap kumpulan-kumpulan yang dianggap berbahaya, seperti Falun Gong dan gerakan separatis di Tibet. Pendukung kebijakan ini –biasanya penduduk pedesaan dan mayoritas kecil penduduk perkotaan- menyatakan bahwa kebijakan ini menjaga stabilitas dalam sebuah masyarakat yang terpecah oleh perbedaan kelas dan permusuhan, yang tidak mempunyai sejarah partisipasi publik, dan hukum yang terbatas. Para pengkritik – umumnya minoritas dari rakyat Cina, para rakyat pelarian Cina di luar negeri, penduduk Taiwan dan Hong Kong, etnis minoritas seperti bangsa Tibet dan pihak Barat, mengatakan bahwa kebijakan ini melanggar hak asasi manusia yang dikenal komunitas internasional, dan mereka juga mengklaim hal tersebut mengakibatkan terciptanya sebuah negara polisi, yang menimbulkan rasa takut.

BAB II
PEMBAHASAN


            Bangsa China merupakan salah satu bangsa yang paling awal memasuki zaman sejarah. Dengan kemampuan menulisnya, bangsa China secara bertahap berhasil mengembangkan kebudayaan mereka menjadi terkemuka dibanding bangsa lainnya.
            Posisi bangsa China yang pertama kali memasuki era sejarah menyebabkan perkembangan China terbagi atas beberapa periode (periodisasi) yakni:
  1. Pra Sejarah
  2. Zaman Klasik
  3. Zaman Madya
  4. Zaman Pra Modern
  5. Zaman Modern
            Jika mencoba menelusuri jejak pemerintahan China sejak zaman klasik, barangkali tepat jika pemerintahan China di zaman tersebut menjadi pondasi berdiri tegaknya Republik Rakyat China di masa sekarang. Adalah pemerintahan dinasti Zhou, Qin, dan Han Barat yang memimpin China dalam pembabakan zaman klasik
            Pada zaman klasik, pemerintahan China menekankan pada sistem feodalisme atau sistem Fengjian yang dapat diterjemahkan sebagai pemerintahan yang berdasar pada sistem peminjaman tanah. Sebagai sistem pemerintahan, feodalisme dapat dipahami sebagai tata pemerintahan yang berbentuk hirarki peminjaman tanah (H. Purwanta, 2009:3). Raja sebagai penguasa tertinggi kemudian meminjamkan tanah kepada para anggota keluarga dan pembantunya yang setia. Bangsawan yang menerima pinjaman tanah itu (bangsawan feodal) meminjamkan tanah tersebut kepada pembantunya, dan proses tersebut terus berlangsung hingga tingkat terbawah, yaitu petani.
            Ketika masa kekuasaan dinasti Zhou berakhir dan digantikan dengan dinasti Qin, maka sistem pemerintahan sebelumnya pun mengalami pergeseran konsep, sehingga sering disebut sebagai masa uji coba penerapan sistem politik baru yang sewaktu-waktu dapat bersifat ekstrim. Pemerintahan dinasti Qin dilekatkan dengan penerapan hukum yang ketat dari aliran Faji yang berpendapat bahwa masyarakat menjadi lebih baik jika sanksi dan peraturan diberlakukan dalam skala nasional. Pada pemerintahan dinasti Qin pula kedudukan penguasa daerah merosot dan hanya bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Akibatnya penguasa daerah tidak lagi memiliki hak politik di daerahnya sendiri.
            Lebih lanjut pada pemerintahan dinasti Han Barat yang memerintah dari tahun 206 SM-8 Masehi memilih untuk bersikap eklektif. Dinasti Han tidak seutuhnya mengadopsi sistem feodal dinasti Zhou maupun pemerintahan sentralistik dinasti Qin, melainkan menggabungkan kedua sistem pemerintahan tersebut dalam wilayah yang berbeda. Selain sikap eklektif dituangkan dalam sistem pemerintahan, sikap tersebut juga berlaku pada bidang ideologi yang menggabungkan aliran Falji dengan Konfusianisme.
            Selanjutnya, dominasi kekuasaan politik sangat berpengaruh terhadap perkembangan China. Pada umumnya, kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan atau keputusan umum maupun akibat-akibatnya sesuai dengan tujuan dan kepentingan pemegang kekuasaan. Dilihat dari asal-usulnya, kekuasaan politik dibagi dua yakni kekuasaan politik yang diperoleh melalui persetujuan dan kekuasaan politik tanpa persetujuan. Sementara ditinjau dari kepercayaan tentang asal usul kekuasaan, penguasa China memiliki kekuasaan dan kedudukan tertinggi serta wewenang untuk memerintah seluruh permukaan bumi. Tentu tidak menutup kemungkinan jika penguasa China berada di bawah supremasi kekuatan politik lain. Maka beberapa aspek seperti pengalaman, warisan genetis, motivasi, tujuan atau cita-cita penguasa China yang kadang bertolakbelakang dengan realita kondisi bangsa, menjadi aspek yang penting dipertimbangkan dalam pembuatan keputusan politik.
A.        Kondisi Politik Pemerintahan China
            Menurut definisi resminya, RRC merupakan suatu negara komunis karena ia memang merupakan negara komunis pada abad ke-20 yang lalu. Secara resmi ia masih dikenal sebagai negara komunis, meskipun sejumlah ilmuwan politik kini tidak mendefinisikannya sebagai negara komunis. Tiada definisi yang tepat yang dapat diberikan kepada jenis pemerintahan yang diamalkan negara ini, karena strukturnya tidak dikenal pasti. Salah satu sebab masalah ini ada adalah karena menurut sejarahnya, China merupakan negara yang diperintah oleh para kaisar selama 2000 tahun dengan sebuah pemerintahan pusat yang kuat dengan pengaruh Kong Hu Cu. Setelah tahun 1911 pula, China diperintah secara otokratis oleh KMT dan beberapa panglima perang dan setelah 1949 pula didobrak partai komunis China.
            Rezim PRC sering dikatakan sebagai otokratis, komunis dan sosialis. Ia juga dilihat sebagai kerajaan komunis. Anggota komunis yang bersayap lebih ke kiri menjulukinya negara kapitalis. Memang, negara China semakin lama semakin menuju ke arah sistem ekonomi bebas. Dalam suatu dokumen resmi yang dikeluarkan baru-baru ini, pemerintah menggariskan administrasi negara berdasarkan demokrasi, meskipun keadaan sebenarnya di sana tidaklah demikian.
            Pemerintah RRC dikawal oleh Partai Komunis China (CCP). Walaupun terdapat sedikit-banyak gerakan ke arah liberalisasi, seperti pemilu yang sekarang diadakan di tiap kampung dan sebagian lagi di badan perwakilan menampakkan sikap tegas mereka dari masa ke masa, partai ini terus memiliki kawalan terutama atas pemilihan jabatan-jabatan pemerintahan. Walaupun negara menggunakan cara otokratis untuk mengusir elemen-elemen penentangan terhadap pemerintahannya, ia pada masa yang sama juga mencoba mengurangi penentangan dengan memajukan ekonomi, membenarkan tunjuk perasaan pribadi, dan melayani para penentang yang dianggap tidak berbahaya terhadap pemerintah secara lebih adil.
            Penyaringan terhadap dakyah-dakyah politik juga rutin, dan RRC secara berang menghapuskan protes atau organisasi apapun yang dianggapnya berbahaya terhadap pemerintahannya, seperti yang terjadi di Tiananmen pada tahun 1989. Akan tetapi, media republik rakyat ini semakin aktif menyiarkan masalah sosial dan menghebohkan gejala 'penyogokan' di peringkat bawahan pemerintahan. RRC juga begitu berhasil menghalangi gerakan informasi, dan ada masanya mereka terpaksa mengganti polisi mereka sebagai tindakan balas terhadap protes rakyat. Walaupun penentangan berstruktur terhadap CCP tidak dibenarkan sama sekali, demonstrasi rakyat semakin lama semakin kerap dan dibiarkan. Baru-baru ini, Hu Jintao yang ingin memopulerkan gambaran konservatif, meningkatkan pengawalan pemernitahan atas harian-harian, termasuk harian-harian luar termasuk New York Times. Namun tidak dinafikan ini kemungkinan juga bersumber dari sifat harian-harian Barat yang sering menyeleweng dalam memberi laporan yang sebenarnya dan bersifat angkuh dan biadab serta tidak faham sensitivitas negara Timur.
            Popularitas PKC di kalangan rakyat sukar diukur, karena tiada pemilu di tingkat nasional, dan apabila orang China ditanya secara pribadi, ada sebagian yang mendukung dan ada pula yang menolak. Secara umum, banyak dari mereka yang suka akan peranan pemerintah dalam usaha stabilitasi, yang memperbolehkan ekonomi maju tanpa masalah apapun. Antara masalah-masalah politik yang utama di China adalah jurang sosial di antara kaya dan miskin dan gejala suap yang berlaku karena biokrasi pemerintahan.
            Terdapat juga partai politik yang lain di RRC, walaupun mereka hanya sekadar sub-partai atau parti yang rapat dengan PKC. PKC mengadakan dialog dengan mereka melalui suatu badan perhubungan khusus, yang dinamai Dewan Perhubungan Cadangan Rakyat China (CPPCC) yang dipertimbangkan RRC. Cara ini lebih disukai pemerintahan dibandingkan pemilu. Kendati begitu, partai ini secara total tidak memberi kontribusi apapun terhadap pemerintahan. Fungsi badan perhubungan khusus ini lebih kepada muatan CPP, walau pegawai badan ini terbagi juga dalam berbagai tingkat pemerintahan.


B.        Hubungan Luar Negeri Pemerintah Republik Rakyat China
            Republik Rakyat China mempertahankan hubungan diplomatik dengan hampir seluruh negara di dunia, namun menetapkan syarat bahwa negara-negara yang ingin menjalin kerjasama diplomatik dengannya harus menyetujui klaim China terhadap Taiwan dan memutuskan hubungan resmi dengan pemerintah Republik China. China juga secara aktif menentang perjalanan ke luar negeri yang dilakukan pendukung kemerdekaan Taiwan seperti Lee Teng-hui dan Chen Shui-bian serta Tenzin Gyatso, Dalai Lama ke-14.
            Pada 1971, RRC menggantikan Republik China sebagai wakil untuk "China" di PBB dan sebagai salah satu dari lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. China juga pernah menjadi anggota Gerakan Non-Blok, dan kini tetap berperan sebagai anggota pengamat. Banyak dari kebijakan luar negerinya yang sekarang didasarkan pada konsep kebangkitan China yang damai.
            Hubungan China-Amerika telah dirusak beberapa kali dalam beberapa dekade terakhir. Titik-titik permasalahan termasuk pengeboman AS terhadap kedubes China di Belgrado pada tahun 1998 yang menewaskan tiga wartawan China, sebuah insiden yang disebut China sebagai kesengajaan namun oleh AS dinyatakan sebagai suatu kesalahan; jatuhnya pesawat AS di Tiongkok pada tahun 2001, di mana China menahan 24 awak pesawat tersebut dan merebut informasi yang sensitif dari pesawat tersebut, serta laporan Cox yang mengungkap aksi mata-mata China terhadap rahasia nuklir AS beberapa dekade sebelumnya.
            Hubungan China-Jepang seringkali dibelenggu masalah keengganan Jepang untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf terhadap kekejamannya atas rakyat China dan negara Asia lain semasa Perang Dunia II, terutama dalam Pembantaian Nanjing. Sebagian badan bukan dari Barat dan pemerintah Barat mengkritik China karena menafikan hak asasi manusia dan hubungan luar negerinya dengan pemerintah-pemerintah Barat terjejas oleh kejadian di Tian'anmen pada tahun 1989. Hak asasi manusia seringkali diungkit oleh pemerintahan-pemerintahan ini. Meskipun begitu, dengan pembangunan ekonomi China yang mendadak, pemerintahan-pemerintahan ini mulai menutup sebelah mata karena mau mengadakan hubungan perdagangan dengan China, sejajar dengan sikap hipokrit mereka. Ini dilihat semasa pemerintahan Bill Clinton di AS pada masa yang lalu, yang melihat isu hak azasi manusia tidak lagi ditekankan dalam perhubungan.
            Pada bulan Mei tahun 1999, suatu pesawat perang B-2 Stealth Bomber menjatuhkan tiga buah bom yang setiap masing-masing berbobot 900 kg atas kantor kedutaan besar China di kota Beograd semasa pergolakan Kosovo. Bom-bom ini membunuh tiga rakyat China yang bekerja di kedutaan terkait. Amerika Serikat yang enggan bertanggung jawab atas kejadian yang disifatinya sebagai 'bencana' itu mengatakan bahwa hal itu adalah kesalahan menggunakan peta lama yang memberi maklumat tidak betul tentang kedudukan bangunan itu sebagai pangkalan senjata pemerintahan Yugoslavia. Pemerintah RRC tidak puas dengan penjelasan ini dan mendakwa bahwa hal itu sengaja dilakukan. Pada bulan April tahun 2001 pula, kapal terbang pengintip milik Amerika bernama EP-3E Aries II yang berada di atas pulau Hainan di China bertemu dengan pesawat jet China yang memperhatikan gerak-gerinya. Pesawat Cina terkait terhempas dan pemandunya terbunuh saat kapal pengintai AS terpaksa mengadakan pendaratan darurat di pulau Hainan. Cerita Amerika dan China mengenai kejadian ini mengalami perbedaan versi. Versi Amerika menyatakan bahwa pesawatnya berada di atas lautan internasional sedangkan RRC mendakwa ia berada di atas Zona Ekonomi Eksklusifnya. Kedua belah pihak menyalahkan pihak lawan bertanggung jawab atas insiden ini. 24 anak kapal Amerika ditahan selama 12 hari sebelum dilepaskan dan kejadian ini memberi dampak pada hubungan diplomatik kedua negara. Amerika pula tidak sedikit pun meminta maaf atas kesalahan yang dilakukannya saat pemerintah RRC mengambil keputusan atas dasar kasihan melepaskan anak-anak kapalnya itu. Satu lagi perkara terkait dengan laporan Cox, yang mendakwa pengitipan RRC telah mengkompromi rahasia-rahasia nuklir Amerika Serikat selama beberapa dekade.
            Selain Taiwan, China terlibat dalam beberapa pertentangan wilayah lainnya:
  • Aksai Chin, dikuasai China, diklaim oleh India
  • Kepulauan Paracel, dikuasai China, diklaim oleh Vietnam dan Republik China
  • Kepulauan Spratly, dipertentangkan antara China, Taiwan, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam
  • Kepulauan Diaoyu/Kepulauan Senkaku, dikuasai Jepang, diklaim oleh Cina dan Republik China
  • Arunachal Pradesh/Tibet Selatan, dikuasai India, diklaim oleh China
            Pada tahun 2004, negara Rusia setuju untuk menyerahkan Kepulauan Yinlong dan sebagian Kepulauan Heixiazi kepada RRC, dan sekaligus menamatkan percekcokan perbatasan antara kedua negara itu. Kedua pulau ini terletak di antara persimpangan sungai Amur dan sungai Ussuri, dan sebelum itu diatur oleh Rusia dan dituntut oleh RRC. Perkara ini sepatutnya merapatkan dan mengeratkan persahabatan antara kedua negara, akan tetapi terdapat sedikit rasa tidak puas hati dari kedua belah pihak. Orang Rusia menyifati pemberian itu sebagai kelemahan pemerintahannya mempertahankan tanah yang dirampas semasa Perang Dunia II. Petani Cossack di Khabarovsk juga tidak suka dengan kehilangan tanah olahan mereka sementara berita tentang perjanjian ini di Cina Daratan disaring oleh pemerintah RRC. Sebagian komunitas China di Republik China dan orang China yang dapat mengatasi saringan ini mengkritik perjanjian ini dan menyifatinya sebagai pengakuan pemerintahan Rusia atas Mongolia Luar yang diserahkan oleh Dinasti Qing saat kalah perang di bawah Perjanjian Tidak Sama Rata termasuk Perjanjian Aigun pada tahun 1858 dan Konvensi Peking pada tahun 1860 masa terdahulu sebagai pengganti penggunaan ekslusif minyak mentah Rusia. Perjanjian ini telah disahkan oleh Kongres Nasional Rakyat China dan Duma Negara Rusia tetapi tidak terlaksana hingga kini.
C.        Isu-Isu Pemerintahan Republik Rakyat China
  1. Isu Hak Asasi Manusia
      Pemerintah RRC berpendapat bahwa hak asasi manusia sepatutnya mencakup kepuasan hidup dan kemajuan ekonomi. Dengan kata-kata berlainan, saat mengkaji dirinya, ia melihat kemajuan ekonomi dan kepuasan hidup rakyatnya sebagai meningkatkan situasi hak asasi manusianya, dan saat melihat situasi di negara-negara maju ia seringkali menotakan terdapat tingkat kriminalitas dan kemiskinan yang tinggi di tempat-tempat yang dikatakan mempunyai penghormatan terhadap hak asasi manusia yang tinggi. Praktek melihat HAM seperti ini, diamalkan di kebanyakan negara timur yang lain.
      Tetapi pemerintah Barat dan organisasi non-pemerintahan (NGO) mereka mengatakan bahwa penahanan secara sewenang-wenang dan menafikan hak tahanan untuk berkomunikasi dengan pihak luar, di samping pengakuan yang dipaksa, penyiksaan, dan pencabulan hak tawanan disamping menyekat kebebasan pers, bersuara, berkumpul, agama, privasi, dan hak pekerja adalah melanggar definisi hak asasi manusia mereka. Mereka mendakwa semua masalah ini bersumber pada keengganan kerajaan RRC memberikan hak menentang dan ketidaksempurnaan sistem kehakiman dalam melindungi hak asasi politik individu.
  1. Isu Etnis
      RRC mendakwa ia merupakan satu negara yang memiliki banyak bangsa dan suku dan memberikan hak otonomi di Daerah Administrasi Minoritas kapada etnik bangsa minoritasnya. Ia juga mengutuk secara resmi chuvanis Han dan memberikan hak istimewa kepada suku-suku lain untuk memasuki institusi pendidikan tinggi disamping menjadi pegawai pemerintahan. Akan tetapi ia berhadapan dengan gerakan merdeka di provinsi Xizang (Tibet) dan provinsi Xinjiang. Gerakan merdeka yang diwarnai aksi bicara para kritikus yang mengkritik dasar-dasar etnisnya dalam pemberlakuan sistem pemberian uang menggalakkan bangsa China Han berpindah ke kawasan lain sebagai perwujudan chauvanis dan penjajahan yang menyekat gerakan merdeka menuju keberhasilan. Bangsa China Han juga mengkritik dasar-dasar pemberian hak istimewa kepada etnik minoritas lain sebagai layanan kelas kedua terhadap mereka.
D.        Pembagian Wilayah Administratif
            Republik Rakyat China mempunyai kontrol administratif terhadap 22 provinsi (省); pemerintah RRC menganggap Taiwan (台湾) sebagai provinsi ke 23. Pihak pemerintah juga mengklaim Kepulauan Laut China Selatan yang kini masih diperebutkan. Selain dari provinsi-provinsi tersebut, terdapat juga 5 daerah otonomi (自治区) yang berisi banyak etnis minoritas; 4 munisipaliti (直辖市) untuk kota-kota terbesar China dan 2 Daerah Administratif Khusus (SAR) (特别行政区) yang diperintah RRC.
            Berikut adalah daftar wilayah pembagian administratif yang di bawah kontrol RRC.
1.         Provinsi
  • Anhui (安徽)
  • Fujian (福建)
  • Gansu (甘肃)
  • Guangdong (广东)
  • Guizhou (贵州)
  • Hainan (海南)
  • Hebei (河北)
  • Heilongjiang (黑龙江)
  • Henan (河南)
  • Hubei (湖北)
  • Hunan (湖南)
  • Jiangsu (江苏)
  • Jiangxi (江西)
  • Jilin (吉林)
  • Liaoning (辽宁)
  • Qinghai (青海)
  • Shaanxi (陕西)
  • Shandong (山东)
  • Shanxi (山西)
  • Sichuan (四川)
  • Yunnan (云南)
  • Zhejiang (浙江)
2.         Daerah otonomi
  • Guangxi (广西)
  • Mongolia Dalam (内蒙古)
  • Ningxia (宁夏)
  • Xinjiang (新疆)
  • Tibet (西藏)
3.         Kotamadya
  • Beijing (北京)
  • Chongqing (重庆)
  • Shanghai (上海)
  • Tianjin (天津)
4.         Daerah Administratif Khusus
  • Hong Kong (香港)
  • Makau (澳门)
5.         Dituntut oleh RRC, tetapi diperintah oleh Republik Cina
            Taiwan (台湾) (dipertikaikan)
6.         Dituntut Republik Cina, tetapi dilepaskan RRC
            Mongolia Luar (kini sebuah negara berdaulat yang dikenal sebagai Mongolia)


BAB III
PENUTUP



            Para pemimpin yang memulai langkah-langkah untuk mengubah masyarakat China setelah berdirinya RRC pada 1949 dibesarkan dalam lingkungan tua dan telah diajarkan norma hidup sesuai dengan lingkungan hidupnya. Meskipun mereka merupakan revolusioner yang mampu beradaptasi dengan zamannya, mereka tidak ingin mengubah budaya China secara besar-besaran. Sebagai pemerintah langsung, para pemimpin RRC mengganti aspek tradisional seperti kepemilikan tanah di desa dan pendidikan tetapi masih menyisakan aspek-aspek lainnya, misalnya struktur keluarga. Kebanyakan pemerhati luar berpendapat bahwa waktu setelah 1949 bukanlah sesuatu yang berbeda di RRC dibandingkan dengannya sebelum itu, malah merupakan penerusan cara hidup yang berpegang pada nilai-nilai lama masyarakat China. Pemerintah baru diterima tanpa protes apapun karena pemerintahan baru dianggap "mendapat mandat dari surga" untuk memerintah, mengambil-alih pucuk kepemimpinan dari kekuasaan lama dan mendapat rida para dewa. Seperti pada zaman lampau, pemimpin seperti Mao Zedong telah disanjung. Pergantian dalam masyarakat RRC tidak konsisten seperti yang didakwa.
            Sepanjang masa pemerintahan RRC, banyak aspek budaya tradisi China dianggap sebagai seni lukis, peribahasa, bahasa, dan sebagainya yang lain telah coba dihapus oleh pemerintah seperti yang terjadi pada Revolusi Kebudayaan karena didakwa kolot, feodal dan berbahaya. Semenjak itu, China telah menyadari kesalahannya dan mencoba untuk memulihkannya semula, seperti reformasi Opera Beijing untuk menyuarakan propaganda komunisnya. Dengan berlalunya waktu, banyak aspek tradisi China telah diterima kerajaan dan rakyatnya sebagai warisan dan sebagian jati diri China. Dasar-dasar resmi pemerintah kini dibuat berlandaskan kemajuan dan penyambung peradaban RRC sebagai sebagian identitas bangsa. Nasionalisme juga diterapkan kepada pemuda untuk memberi legitimasi kepada pemerintahan Partai Komunis China.


 
DAFTAR PUSTAKA


Purwanta, H. 2009. Sejarah Cina Klasik. Yogyakarta: Universitas Sanata Darma
www.wikipedia.org/Republik.Rakyat.China