Minggu, 12 Mei 2013

KABINET KARYA, KABINET DJUANDA






Pada awal tahun 1957, tepatnya pada bulan Januari 1957, ketegangan politik bangsa kian memuncak ketika terjadi pengunduran diri beberapa menteri dari kabinet Ali II. Peristiwa ini berlangsung antara tanggal 9 hingga 15 Januari 1957. Ide untuk melakukan reshuffle memang sempat mengemuka, akan tetapi presiden tidak mengaktualisasikannya karena dipandang tidak dapat menjamin stabilitas pemerintahan dan keselamatan negara. Hingga pada akhirnya, kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden tertanggal 14 Maret 1957. (Sandra, 2007:114).
Sebelum kabinet menyerahkan mandatnya kepada presiden, sebenarnya telah beredar isu di kalangan masyarakat yakni konsep “Konsepsi Presiden”, yang menyatakan suatu gagasan mengenai rencana pembentukan kabinet gotong royong. Pada akhirnya gagasan tersebut terrealisasi pada tanggal 9 April 1957 dengan nama Kabinet Karya dan dipimpin oleh Perdana Menteri Djuanda. (Sandra, 2007:114). Kabinet ini banyak berisikan para ahli, yang meskipun sebagian anggota partai tetapi pengangkatannya tidak terikat oleh atau melalui partai. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional (tidak menurut UUD). Bahkan Masyumi menentang tindakan tersebut dengan memecat salah seorang anggotanya yang mau diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Karya. Sementara tokoh-tokoh PNI maupun NU menyatakan bahwa keadaannya tengah gawat (darurat). Bung Hatta sendiri juga menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional. Presiden memang berwenang menunjuk formatur, tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh sama dengan orang yang menjabat Presiden. (Moedjanto, 1992:103).
Bagaimanapun penilaian orang, Kabinet Karya harus tetap menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah ditetapkan presiden pada saat pembentukannya. Dapat dipahami bahwa kabinet yang baru ini bukan kepalang berat tanggungan yang harus dipikul. Usaha-usaha berat pun harus dilakukan guna mengatasi segala kesulitan yang berkecamuk di tengah-tengah masyarakat. Adapun program kabinet yang disusun Presiden, antara lain sebagai berikut :
1. Membentuk Dewan Nasional (sesuai dengan konsepsi Presiden) dan sejak Juni 1957 membentuk Depernas (Departemen Penerangan Nasional);
2. Normalisasi keadaan RI;
3. Melanjutkan pelaksanaan pembatalan KMB;
4. Perjuangan Irian Barat;
5. Mempercepat pembangunan. (Moedjanto, 1992:104).
Kedudukan Kabinet Karya saat itu memegang andil yang cukup besar bagi perkembangan kenegaraan di Indonesia, meskipun hanya bertahan selama 2 tahun saja. Pada masanya, banyak peristiwa yang turut menentukan kedudukan negara dan masyarakat Indonesia di kemudian hari, baik yang menyangkut sistem pemerintahan dan demokrasi maupun perjuangan menghaapi Belanda. Akan tetapi, kedudukan Kabinet Karya sendiri sebetulnya berada di persimpangan jalan. Artinya, sebagai suatu kabinet extra parlementer, kedudukannya memang kuat karena paelrmene tidak bisa menjatuhkannya. Namun, kedudukan tersebut tidak lantas membuatnya berada dalam posisi “aman” karena adanya peranan Presiden yang besar dan menentukan. Presiden dapat mengubah susunan kabinet jika dipandangnya perlu. Bahkan Presiden dengan kedudukannya yang baru sebagai Ketua Dewan Nasional -dibentuk pada bulan Mei 1957- memperoleh saluran resmi untuk memaksa kabinet menyetujui kehendaknya. Terlebih Kabinet Karya sendiri dibentuk atas dasar Undang-Undang Keadaan Darurat. (Moedjanto, 1992:104).
Dalam usahanya untuk menormalisasi keadaan sosial politik Indonesia, Kabinet karya menyelenggarakan Musyawarah Nasional di Jakarta pada bulan September 1957. Munas ini dihadiri oleh wakil-wakil pusat dan daerah-darah, serta Presiden Soekarno dan mantan Wakil Presiden Hatta. Dalam Munas tersebut dibahas mengenai hubungan antara pusat dan daerah yang berangsur-angsur dapat dipulihkan dan menuju satu titik keserasian. (Moedjanto, 1992:105).
Beberapa peristiwa penting pada masa kerja Kabinet Karya antara lain :
1. Perjuangan Irian Barat yang dipimpin oleh pemerinth dan digiatkan dalam aksi pembebasan Irian Barat. Aksi ini didukung oleh pihak militer dan alat-alat negara lainnya bersama-sama dengan berbagai organisasi massa, pemuda, wanita, veteran, ulama, petani, buruh, dan lain-lain. Pada pertengahan Oktober 1957 dibentuklah suatu panitia dengan nama Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, yang mempunyai cabang-cabangnya hingga daerah-daerah. Menteri Penerangan, Soedibjo, yang menjabat sebagai ketua Panitia Pembebasan Irian Barat pada tanggal 1 Desember 1957, dengan pengesahan Kabinet Karya, menginstruksikan kepada segenap kaum buruh yang tergabung dalam organisasi-organisasi buruh pada perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengadakan aksi mogok total pada tanggal 2 Desember 1957 selama 1 hari penuh. Imbas dari mogok kerja tersebut adalah serangkaian aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang berlangsung antara tanggal  3 hingga 13 Desember 1957. (Sandra, 2007:115).
2. Pendirian “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada tanggal 10 Februari 1958 dengan Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju Indonesia yang adil dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada Kabinet Karya yang berisi :
a. Pembubaran Kabinet Karya dan pembentukan Kabinet Kerja bercorak nasional di bawah pimpinan Hatta-Hamengku Buwana.
b. Presiden supaya kembali ke kedudukannya yang konstitusional.
c. Tuntutan supaya dipenuhi dalam waktu 5x24 jam, bila ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
Kabinet Karya dengan tegas menolak ultimatum tersebut dan menjawabnya dengan memecat perwira-perwira AD yang terlibat langsung seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan Lubis. (Moedjanto, 1992:106).
3. Pendirian “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) tepat setelah berakhirnya masa berlaku ultimatum “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. PRRI dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara -mantan Presiden PDRI- dan berkedudukan di Bukittinggi. Sepak terjang PRRI makin mengIndonesia ketika Permesta pada hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI, sehingga gerakan mereka disebut dengan PRRI-Permesta. Permesta berpusat di Manado, bermarkas di Markas Dewan Manguni yang didirikan pada tanggal 17 Februari 1958 di bawah pimpinan Mayor Somba. (Moedjanto, 1992:106).
4. Perjuangan pembebasan Irian Jaya dan penyatuannya ke dalam wilayah NKRI sebenarnya telah memberi kesadaran akan perjuangan pembentukan keutuhan wilayah negara. Kesadaran ini nampaknya turut mendorong Kabinet Karya untuk menentukan batas wilayah perairan atau laut teritorial Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada waktu air laut surut. Berikut kutipan Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah Perairan Negara Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Djuanda,
Dengan menteri, dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember 1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia.
Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri dari (berribu-ribu) pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri.
Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Republik Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939” Staatblaad 1939 No. 442) artikel 1 ayat (1) tidak lagi sesuai dngan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan teritorialnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka pemerintah menyatakan bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia dan dengan demikian bagian daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalam ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan territorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan selekas-lekasnya dengan undang-undang.
Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lauan yang akan diadakan dalam bulan Februari 1958 di Jenewa.
Jakarta, 13 Desember 1957.
Perdana Menteri
ttd.

H. Djuanda.

(dikutip dari Hamzah, 1988:129)

Selain keempat peristiwa besar dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut, dalam melaksanakan program pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang mengalami banyak kesukaran terutama dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1. Biaya menumpas pemberontakan PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan 1958 mencapai lebih dari Rp 5.000.000,00);
2. Kekurangan penerimaan karena sistem ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3. Defisit penerimaan yang begitu besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ; tahun 1958 Rp 7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4. Disiplin ekonomi masyarakat memang masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan pembangunan di berbagai bidang, misalnya pembukaan tanah pertanian di Sumatera Selatan dan penyelidikan berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk memajukan pertanian, berbagai waduk pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal, dan waduk Tabalong dan Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111). Selain itu, dalam usaha melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia, petani, koperasi dan konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang asing berdagang eceran di kota-kota kecil atau pedesaan. Dalam bulan November 1959 Keputusan Menteri Perdagangan tesebut ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh peraturan Kodam VI Siliwangi yang mengharuskan orang-orang asing pindah ke kota demi keamanan. (Moedjanto, 1992:111).
Berakhirnya masa kerja Kabinet Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke UUD 1945” pada tanggal 19 Februari 1959 yang digelontorkan Nasution dalam konferensi Komando Daerah Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada tanggal 19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk mengambil keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante harus menghadiri sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara setuju. Akan tetapi sampai tiga kali Konstituante mengadakan pemungutan suara, ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai, sehingga banyak anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante. Pihak yang pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan tanggal 5 Juli 1959 berisi :

1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pemakluman bahwa pembentukan MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. (Moedjanto, 1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal Indonesia berganti dengan demokrasi terpimpin. Kabinet Karya pun dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet Kerja.
______________
Daftar Acuan :
Hamzah, A., 1988. Laut, Teritorial, dan Perairan Indonesia: Himpunan
Ordonansi, Undang-Undang Dan Peraturan Lainnya. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
Moedjanto, G. 1992. Indonesia Abad ke-20 Jilid 2: Dari Perang Kemerdekaan pertama sampai PELITA III. Yogyakarta: Kanisius.
Sandra. 2007. Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia. Jakarta: Trade Union Rights Centre.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar