Pada awal tahun 1957, tepatnya
pada bulan Januari 1957, ketegangan politik bangsa kian memuncak ketika terjadi
pengunduran diri beberapa menteri dari kabinet Ali II. Peristiwa ini
berlangsung antara tanggal 9 hingga 15 Januari 1957. Ide untuk melakukan
reshuffle memang sempat mengemuka, akan tetapi presiden tidak
mengaktualisasikannya karena dipandang tidak dapat menjamin stabilitas
pemerintahan dan keselamatan negara. Hingga pada akhirnya, kabinet menyerahkan
mandatnya kepada presiden tertanggal 14 Maret 1957. (Sandra, 2007:114).
Sebelum kabinet menyerahkan
mandatnya kepada presiden, sebenarnya telah beredar isu di kalangan masyarakat
yakni konsep “Konsepsi Presiden”, yang menyatakan suatu gagasan mengenai
rencana pembentukan kabinet gotong royong. Pada akhirnya gagasan tersebut
terrealisasi pada tanggal 9 April 1957 dengan nama Kabinet Karya dan dipimpin
oleh Perdana Menteri Djuanda. (Sandra, 2007:114). Kabinet ini banyak berisikan
para ahli, yang meskipun sebagian anggota partai tetapi pengangkatannya tidak
terikat oleh atau melalui partai. Sebagian besar masyarakat menganggap bahwa
tindakan Presiden inkonstitusional (tidak menurut UUD). Bahkan Masyumi
menentang tindakan tersebut dengan memecat salah seorang anggotanya yang mau
diangkat menjadi menteri dalam Kabinet Karya. Sementara tokoh-tokoh PNI maupun
NU menyatakan bahwa keadaannya tengah gawat (darurat). Bung Hatta sendiri juga
menganggap bahwa tindakan Presiden inkonstitusional. Presiden memang berwenang
menunjuk formatur, tetapi dengan pengertian, yang menjadi formatur tidak boleh
sama dengan orang yang menjabat Presiden. (Moedjanto, 1992:103).
Bagaimanapun penilaian orang,
Kabinet Karya harus tetap menjalankan fungsinya sebagaimana yang telah
ditetapkan presiden pada saat pembentukannya. Dapat dipahami bahwa kabinet yang
baru ini bukan kepalang berat tanggungan yang harus dipikul. Usaha-usaha berat
pun harus dilakukan guna mengatasi segala kesulitan yang berkecamuk di
tengah-tengah masyarakat. Adapun program kabinet yang disusun Presiden, antara
lain sebagai berikut :
1. Membentuk Dewan Nasional
(sesuai dengan konsepsi Presiden) dan sejak Juni 1957 membentuk Depernas
(Departemen Penerangan Nasional);
2. Normalisasi keadaan RI;
3. Melanjutkan pelaksanaan
pembatalan KMB;
4. Perjuangan Irian Barat;
5. Mempercepat pembangunan.
(Moedjanto, 1992:104).
Kedudukan Kabinet Karya saat itu
memegang andil yang cukup besar bagi perkembangan kenegaraan di Indonesia,
meskipun hanya bertahan selama 2 tahun saja. Pada masanya, banyak peristiwa
yang turut menentukan kedudukan negara dan masyarakat Indonesia di kemudian
hari, baik yang menyangkut sistem pemerintahan dan demokrasi maupun perjuangan
menghaapi Belanda. Akan tetapi, kedudukan Kabinet Karya sendiri sebetulnya
berada di persimpangan jalan. Artinya, sebagai suatu kabinet extra parlementer,
kedudukannya memang kuat karena paelrmene tidak bisa menjatuhkannya. Namun,
kedudukan tersebut tidak lantas membuatnya berada dalam posisi “aman” karena
adanya peranan Presiden yang besar dan menentukan. Presiden dapat mengubah
susunan kabinet jika dipandangnya perlu. Bahkan Presiden dengan kedudukannya
yang baru sebagai Ketua Dewan Nasional -dibentuk pada bulan Mei 1957-
memperoleh saluran resmi untuk memaksa kabinet menyetujui kehendaknya. Terlebih
Kabinet Karya sendiri dibentuk atas dasar Undang-Undang Keadaan Darurat.
(Moedjanto, 1992:104).
Dalam usahanya untuk menormalisasi
keadaan sosial politik Indonesia, Kabinet karya menyelenggarakan Musyawarah
Nasional di Jakarta pada bulan September 1957. Munas ini dihadiri oleh
wakil-wakil pusat dan daerah-darah, serta Presiden Soekarno dan mantan Wakil
Presiden Hatta. Dalam Munas tersebut dibahas mengenai hubungan antara pusat dan
daerah yang berangsur-angsur dapat dipulihkan dan menuju satu titik keserasian.
(Moedjanto, 1992:105).
Beberapa peristiwa penting pada
masa kerja Kabinet Karya antara lain :
1. Perjuangan Irian Barat yang
dipimpin oleh pemerinth dan digiatkan dalam aksi pembebasan Irian Barat. Aksi
ini didukung oleh pihak militer dan alat-alat negara lainnya bersama-sama
dengan berbagai organisasi massa, pemuda, wanita, veteran, ulama, petani,
buruh, dan lain-lain. Pada pertengahan Oktober 1957 dibentuklah suatu panitia
dengan nama Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, yang mempunyai
cabang-cabangnya hingga daerah-daerah. Menteri Penerangan, Soedibjo, yang
menjabat sebagai ketua Panitia Pembebasan Irian Barat pada tanggal 1 Desember
1957, dengan pengesahan Kabinet Karya, menginstruksikan kepada segenap kaum
buruh yang tergabung dalam organisasi-organisasi buruh pada
perusahaan-perusahaan Belanda untuk mengadakan aksi mogok total pada tanggal 2
Desember 1957 selama 1 hari penuh. Imbas dari mogok kerja tersebut adalah
serangkaian aksi pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda yang berlangsung
antara tanggal 3 hingga 13 Desember
1957. (Sandra, 2007:115).
2. Pendirian “Gerakan Perjuangan
Menyelamatkan Negara Republik Indonesia” pada tanggal 10 Februari 1958 dengan
Husein sebagai ketuanya. Tujuan gerakan ini adalah “menuju Indonesia yang adil
dan makmur”. Gerakan tersebut mengirimkan ultimatum kepada Kabinet Karya yang
berisi :
a. Pembubaran Kabinet Karya dan
pembentukan Kabinet Kerja bercorak nasional di bawah pimpinan Hatta-Hamengku
Buwana.
b. Presiden supaya kembali ke
kedudukannya yang konstitusional.
c. Tuntutan supaya dipenuhi dalam
waktu 5x24 jam, bila ditolak akan mengambil gerakan sendiri.
Kabinet Karya dengan tegas
menolak ultimatum tersebut dan menjawabnya dengan memecat perwira-perwira AD
yang terlibat langsung seperti Husein, Simbolon, Jambek, dan Lubis. (Moedjanto,
1992:106).
3. Pendirian “Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia” (PRRI) tepat setelah berakhirnya masa berlaku
ultimatum “Gerakan Perjuangan Menyelamatkan Negara Republik Indonesia”. PRRI
dipimpin oleh Syafrudin Prawiranegara -mantan Presiden PDRI- dan berkedudukan
di Bukittinggi. Sepak terjang PRRI makin mengIndonesia ketika Permesta pada
hari berikutnya mendukung dan bergabung dengan PRRI, sehingga gerakan mereka
disebut dengan PRRI-Permesta. Permesta berpusat di Manado, bermarkas di Markas
Dewan Manguni yang didirikan pada tanggal 17 Februari 1958 di bawah pimpinan
Mayor Somba. (Moedjanto, 1992:106).
4. Perjuangan pembebasan Irian
Jaya dan penyatuannya ke dalam wilayah NKRI sebenarnya telah memberi kesadaran
akan perjuangan pembentukan keutuhan wilayah negara. Kesadaran ini nampaknya
turut mendorong Kabinet Karya untuk menentukan batas wilayah perairan atau laut
teritorial Indonesia dari 3 mil menjadi 12 mil, dihitung dari garis pantai pada
waktu air laut surut. Berikut kutipan Pengumuman Pemerintah Mengenai Wilayah
Perairan Negara Republik Indonesia yang ditandatangani pada tanggal 13 Desember
1957 oleh Perdana Menteri Djuanda,
Dengan menteri, dalam sidangnya pada hari Jum’at tanggal 13 Desember
1957 membicarakan soal wilayah perairan Negara Republik Indonesia.
Bentuk geografi Indonesia sebagai suatu Negara kepulauan yang terdiri
dari (berribu-ribu) pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri.
Bagi keutuhan teritorial dan untuk melindungi kekayaan Negara Republik
Indonesia semua kepulauan serta laut terletak di antaranya harus dianggap
sebagai kesatuan yang bulat.
Penentuan batas lautan teritorial seperti termaktub dalam “Territoriale
Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939” Staatblaad 1939 No. 442) artikel 1
ayat (1) tidak lagi sesuai dngan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
karena membagi wilayah daratan Indonesia dalam bagian-bagian terpisah dengan
teritorialnya sendiri-sendiri.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu maka pemerintah menyatakan
bahwa segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau
yang termasuk Negara Indonesia dengan tidak memandang daratan Negara Indonesia
dan dengan demikian bagian daripada wilayah pedalaman atau Nasional yang berada
di bawah kedaulatan mutlak Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan
pedalam ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Penentuan batas lautan territorial (yang lebarnya 12 mil) diukur dari
garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara
Indonesia.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas akan selekas-lekasnya dengan
undang-undang.
Pendirian pemerintah tersebut akan diperhatikan dalam konferensi
internasional mengenai hak-hak atas lauan yang akan diadakan dalam bulan
Februari 1958 di Jenewa.
Jakarta, 13 Desember 1957.
Perdana Menteri
ttd.
H. Djuanda.
(dikutip dari Hamzah,
1988:129)
Selain keempat peristiwa besar
dan penting pada masa kerja Kabinet Karya tersebut, dalam melaksanakan program
pembangunan Indonesia, Kabinet Karya memang mengalami banyak kesukaran terutama
dalam hal pembiayaan. Kesulitan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara
lain:
1. Biaya menumpas pemberontakan
PRRI-PERMESTA begitu besar (sampai pertengahan 1958 mencapai lebih dari Rp
5.000.000,00);
2. Kekurangan penerimaan karena
sistem ekonomi barter dan merebaknya penyelundupan;
3. Defisit penerimaan yang begitu
besar. Pada tahun 1958 kurang lebih Rp 9.500.000,00 ; tahun 1958 Rp
7.911.000,00 ; sehingga berakibat inflasi karena pemerintah hanya mampu
menutupinya dengan uang muka (pinjaman) dari Bank Indonesia.
4. Disiplin ekonomi masyarakat
memang masih kurang.
Kabinet Karya juga mengadakan
pembangunan di berbagai bidang, misalnya pembukaan tanah pertanian di Sumatera
Selatan dan penyelidikan berbagai daerah untuk transmigrasi. Untuk memajukan
pertanian, berbagai waduk pun dibangun misalnya waduk Cacaban di dekat Tegal,
dan waduk Tabalong dan Balangan di Kalimantan Selatan. (Moedjanto, 1992:111).
Selain itu, dalam usaha melindungi pengusaha-pengusaha kecil bangsa Indonesia,
petani, koperasi dan konsumen, Menteri Perdagangan Rachmat Mulyomiseno
mengeluarkan Surat Keputusan tertanggal 14 Mei 1959, yang isinya melarang orang
asing berdagang eceran di kota-kota kecil atau pedesaan. Dalam bulan November
1959 Keputusan Menteri Perdagangan tesebut ditingkatkan menjadi Peraturan
Pemerintah (PP) No. 10 Tahun 1959 yang kemudian diikuti oleh peraturan Kodam VI
Siliwangi yang mengharuskan orang-orang asing pindah ke kota demi keamanan.
(Moedjanto, 1992:111).
Berakhirnya masa kerja Kabinet
Karya berawal dari diterimanya gagasan “kembali ke UUD 1945” pada tanggal 19
Februari 1959 yang digelontorkan Nasution dalam konferensi Komando Daerah
Militer pada bulan yang sama. Menurut putusan sidang Kabinet Karya pada tanggal
19 Februari 1959, Presiden akan menyampaikan amanat kepada Konstituante berisi
permintaan agar UUD 1945 diundangkan kembali. Merujuk pada UUDS 1950, untuk
mengambil keputusan dalam suatu kasus, minimal dua pertiga anggota Konstituante
harus menghadiri sidang, dan dua pertiga dari mereka itu memberikan suara
setuju. Akan tetapi sampai tiga kali Konstituante mengadakan pemungutan suara,
ternyata mayoritas yang diperlukan tidak pernah tercapai, sehingga banyak
anggota yang tidak mau lagi menghadiri sidang-sidang Konstituante. Pihak yang
pro bersama pihak militer kemudian mendesak Presiden Soekarno untuk
mengundangkan kembali UUD 1945 dengan dekrit. Dekrit Presiden yang disampaikan
tanggal 5 Juli 1959 berisi :
1. Pembubaran Konstituante.
2. Berlakunya kembali UUD 1945.
3. Pemakluman bahwa pembentukan
MPRS dan DPAS akan dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya. (Moedjanto,
1992:114).
Dengan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 maka sistem demokrasi liberal Indonesia berganti dengan
demokrasi terpimpin. Kabinet Karya pun dibubarkan dan digantikan oleh Kabinet
Kerja.
______________
Daftar Acuan :
Hamzah, A., 1988. Laut,
Teritorial, dan Perairan Indonesia: Himpunan
Ordonansi, Undang-Undang Dan
Peraturan Lainnya. Jakarta: CV. Akademika Pressindo.
Moedjanto, G. 1992. Indonesia
Abad ke-20 Jilid 2: Dari Perang Kemerdekaan pertama sampai PELITA III.
Yogyakarta: Kanisius.
Sandra. 2007. Sejarah Pergerakan
Buruh Indonesia. Jakarta: Trade Union Rights Centre.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar