(* penulis merupakan alumnus jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro)
Pada
periode yang lalu, sebagai mahasiswa Sejarah, saya melakukan penelitian
terhadap peran dalang wayang purwa dalam menyampaikan pesan-pesan
pembangunan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dengan mengambil
temporal 1980-an sampai 1998, penelitian saya fokuskan di Kota Semarang.
Kalau ditanya, kenapa Semarang? Maka saya katakan bahwa Semarang
merupakan ibukota provinsi sekaligus pusat pemerintahan Jawa Tengah.
Semarang juga berpenduduk suku Jawa terbanyak di Jawa Tengah, di luar
vorstenlanden seperti Surakarta.
Dan dari arsip-arsip yang saya
teliti, semangat Presiden Soeharto untuk menanamkan semangat cinta
Pancasila begitu tinggi. Tentu generasi yang lahir tahun 50-an hingga
80-an masih merasakan kewajiban mengikuti pendidikan Pedoman Penghayatan
dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan berbagai pola. Bukan hanya bagi
yang masuk perguruan tinggi maupun pegawai negeri, pelaku kesenian saat
itu juga wajib mengikuti sarasehan P4.
Badan Pembinaan Pendidikan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B-P7), sebagai
organ yang bertanggungjawab pada Pelaksanaan Pemasyarakatan dan
Pembudayaan P4, menggelar sarasehan bersama pihak-pihak yang diharapkan
mampu menjadi agen pemasyarakatan P-4 ke khalayak umum. Salah satu agen
pemasyarakatan P-4 adalah para seniman, yang ditatar untuk menjadi
penyuluh P-4.
Sebagai misal, penyelenggaraan Sarasehan Seniman dan
Seniwati yang dilaksanakan per-wilayah pembantu Gubernur Jawa Tengah
yang bertempat di Aula Sasana Krida Wiyata Kabupaten Pekalongan. Para
peserta sarasehan ada yang berasal dari kantor Depdikbud, staf
Pertunjukan Rakyat Kantor Deppen Kota Semarang, hingga Ketua Bidang
Pembinaan Masyarakat dan Seni Budaya DPD II Golkar Kodya Semarang.
(Sumber Arsip: Laporan Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat Pembantu
Gubernur Jawa Tengah wilayah Pekalongan tahun 1997, Arsip Provinsi Jawa
Tengah).
Sejak tahun 1989, dalang turut berperan dalam
pemasyarakatan dan pembudayaan P-4. Keterlibatan ini antara lain dapat
dilihat dalam Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989. Biro
Pendidikan DPD I Ganasidi Provinsi Jawa Tengah melalui R. Djoko Suranto,
SH, menjadi salah satu penatar bersama dengan perwakilan
instansi-instansi lain, termasuk perwakilan dari DPD Golkar. (Sumber
Arsip: Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran
Keputusan Kepala BP-7 propinsi Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989,
Arsip Provinsi Jawa Tengah.)
Dalam Jawaban Questioner Evaluasi
Pembudayaan P-4 di Dati II Se-Jawa Tengah Tahun 1995/1996 oleh BP7
tanggal 2 April 1996 juga diungkap bahwa gara-gara P-4 dan wayang kulit
menjadi salah satu jenis seni budaya yang selama ini dimanfaatkan
sebagai media pembudayaan P-4 di daerah responden dan dibina langsung
oleh Ganasidi.
Hal yang sama berlaku pula dalam Sarasehan Dalang
Indonesia yang diselenggarakan di TMII, 8-11 Februari 1996. Dalam
sarasehan tersebut, disampaikan bahwa fungsi seni pedalangan harus
menyentuh aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Para dalang harus memiliki keseragaman gaya, dengan materi bertumpu
kepada sepemahaman seperti yang terbungkus dalam P-4. Sarasehan ini
mempola pemahaman pikiran para dalang tentang P-4.
Di wilayah Kota
Semarang, sebagai locus penelitian saya, pernah dilangsungkan
pergelaran wayang kulit di Kelurahan Wonotingal, Kecamatan Semarang
Selatan, dengan dalang Ki Ngasiran Gondo Sugito. Kelurahan Wonotingal
mulai masuk dalam daftar desa atau kelurahan pelopor P-4 tingkat Pratama
tanggal 18 Desember 1988 dengan nomor registrasi
413.1.05/0839/88413.1.05/0839/88. (Sumber Arsip: Daftar Desa /Kelurahan
Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang, 1988, Arsip Provinsi Jawa
Tengah.)
Pancasila dalam Lakon Pewayangan
Pagelaran
wayang kulit pada era pemerintahan Presiden Soeharto mampu menjembatani
pesan-pesan pemerintah kepada masyarakat, terutama melalui adegan
gara-gara. Dalam adegan ini sering disuguhkan dialog yang mengulas
tentang program-program pembangunan seperti penghijauan, kebersihan,
panca usaha tani, kadarkum, kamtibmas, siskamling, PKK, P-4, modernisasi
desa, lumbung desa, kesadaran akan cinta Tanah Air (Ibu Pertiwi), dan
lain sebagainya.
Lakon-lakon yang dipergelarkan antara lain lakon
Sesaji Raja Suya. Lakon tersebut mengisahkan upaya Pandawa dalam
mempersatukan raja sewu negara untuk melaksanakan sesaji di kerajaan
Amarta. Tujuan persatuan ini adalah untuk menciptakan rasa persatuan dan
kesatuan, kerukunan, saling hormat-menghormati, dan bantu-membantu atas
dasar azas kekeluargaan. Kandungan lakon ini memiliki kesamaan visi
dengan cita-cita bangsa yang temuat dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk
membangun politik luar negeri yang bebas aktif serta ikut menciptakan
perdamaian dunia yang abadi yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial.
Selain itu, dalam naskah lakon
Kalingga Bawana yang ditulis alm Ki Soeparno Hadiatmodjo, pada janturan
jejer nagari Ngastina diuraikan pembukaan UUD 1945 yang digubah dalam
narasi sebagai berikut,
Saindenging jagad raya, kathah nagari
ingkang wus mandhiri, merdikengrat hambaudhendha nyakrawati; sayekti
kamardikan wenang kadarbe dening sagunging bangsa, racak samya nyingkiri
marang pakarti ingkang ngongasaken kasudiran, ngelar jajahan, dhemen
ngrupak pangwasaning liyan praja, nanging hanggung mangun karuntutan,
ngraketaken kakadangan, murih tentreming kanang rat.
Lamun
wonten satunggaling bangsa ingkang gendhak sikara, dhemen njajah liyan
praja kudu den brastha; awit cengkah kalawan reh kamanungsan miwah
trajuning adil.
Gragating bangsa ingkang nggayuh
kamardikan, kanthi tekad sawiji hanggolongaken kekuwatan linambaran
sucining ati jujuring pakarti. Gegayuhaning bangsa wus tekeng wanci,
kaparenging Hyang Widhi, uwal saking regemaning mungsuh, temah manggih
bagya mulya lair batin.
Wibawaning praja bisa ngayomi
kawula sanagara; pinarsudi murih mundhaking tataran gesanging kawula,
ingkang tansah makarti murih tentreming bebrayan bangsa saindenging
jagad raya.
Angger-anggering praja adhedhasar kasusilan lan pangaji-aji lire :
- Tansah nengenaken marang panembahe ingkang tumuju dhateng pangwasane Kang Hakarya Jagad.
- Tresna bangsa adhedhasar rasa kamanungsan miwah tepa salira.
- Tebih saking raos cecongkrahan, tansah golong gelenging tekad murih santosaning nagari.
- Samukawis ingkang dadya putusaning pranatan, adhedhasar kawicaksanan saha mupakating panemu.
- Lumadine marang bebrayan bisa warata, kanthi adil manut kandel tipising lelabuhan lan pepangkatane.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :
Di
seluruh dunia, banyak negara yang sudah mandiri, merdeka dari segala
yang membelenggu; sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa,
hingar bingar rakyat menolak perbuatan yang menjajah, suka mengganggu
penguasa negara lain, namun dapat mempererat persaudaraan untuk
mewujudkan ketenteraman.
Apabila ada satu bangsa yang bertikai,
suka menjajah rakyat lain maka harus dilawan; karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri keadilan.
Perjuangan bangsa dalam meraih
kemerdekaan, dengan satu tekad mengumpulkan kekuatan didasari oleh hati
yang suci dan perilaku yang jujur. Keinginan negara sudah tiba pada
waktunya, atas berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari penjajahan,
untuk meraih kebahagiaan dan kemuliaan lahir dan batin.
Negara
yang berwibawa dapat melindungi rakyat senegaranya; agar dapat
meningkatkan taraf hidup rakyatnya, yang selalu bertujuan untuk
mewujudkan ketenteraman kehidupan berbangsa di seluruh dunia.
Peraturan negara berdasarkan pengharapan sebagai berikut :
- Selalu tertuju pada Tuhan, Sang Penguasa Bumi. (Ketuhanan Yang MahaEsa)
- Ketenteraman bangsa atas dasar rasa kemanusiaan yang tepa slira. (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
- Jauh dari pertikaian, selalu bersatu untuk kejayaan negara. (Persatuan Indonesia)
- Apa
saja yang menjadi keputusan bersama, berdasarkan kebijaksanaan dan
permufakatan. (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan
dalam permusyawaratan perwakilan)
- Kemakmuran rakyat bisa merata secara adil atas dasar tekad dan derajat. (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia)
Janturan yang menjelaskan pemasyarakatan P-4 juga terdapat di dalam lakon Wahyu Panca Rasajati sebagai berikut,
…
Sesanti Bhineka Tunggal Eka, dadiya daya gesanging budaya, winata
paugeran lima, nenggih manembah mring Hyang Kawasa, rasa asih sesama,
kekadangan sami bangsa, sarasehan srana kang wicaksana, kinarya anggayuh
adil lan paramarta.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :
Dengan
berdasarkan Bhineka Tunggal Ika, jadilah kekuatan yang berbudaya,
tertata dalam lima peraturan, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Kuasa,
mengasihi sesama, persaudaraan dalam kehidupan berbangsa, bermusyawarah
secara bijaksana, berkarya untuk meraih keadilan dan kesejahteraan.
Dalam
naskah lakon Semar Mbabar Jatidiri diuraikan kondisi negara yang
memiliki dasar lima sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai
berikut,
… Anenggih nagari pundi ta kang Kaeka Adi Panca
Parasedya, Eka sawiji Adi linuwih, Panca Parasedya lire gegebengan
limang prakara sari-pathining budaya kang nyata dadya angger ugering
praja utama.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :
Syahdan
negara yang pantas disebut Kaeka Adi Panca Parasedya. Eka berarti satu,
Adi berarti keunggulan, Panca Parasedya berarti diikat oleh lima hal
sebagai perwujudan budaya yang menjadi peraturan sebuah bangsa.
Penutup
Contoh-contoh
tersebut menunjukkan eksistensi kesenian tradisional yang tumbuh dan
mengakar di masyarakat luas mampu menjadi sarana penyampaian kebijakan
dengan cara yang sederhana dan mudah diterima oleh khalayak. Demikian
halnya dengan wayang kulit purwa yang memiliki basis massa besar di Jawa
Tengah. Lakon-lakon yang dimodifikasi hingga lakon-lakon carangan pun
sedikit banyak menjadi sarana osialisasi KB, Repelita, modernisasi desa,
serta pemasyarakatan P-4.. Efektivitas dirasakan baik oleh para dalang,
pemerintah, maupun masyarakat umum.
Sebelum tulisan ini saya
akhiri, Pancasila juga pernah digunakan sebagai nama wayang jenis baru
yang diciptakan oleh Suharsono Hadisuseno, seorang pegawai Penerangan RI
dari Yogyakarta, dengan mengacu pada tokoh-tokoh Wayang Purwa. Wayang
Pancasila yang lahir pada era Presiden Soekarno itu (1948) kemudian
lebih dipergunakan untuk menyajikan cerita-cerita yang berhubungan
dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda dan
peristiwa-peristiwa kemerdekaan RI. Adapun tujuan pergelaran Wayang
Pancasila adalah untuk memberikan penerangan mengenai falsafah
Pancasila, Undang-Undang Dasar serta Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN).
Sumber:
"Pentas Wayang Kulit di Wonotingal", Suara Merdeka, 6 November 1992
.
Daftar Desa /Kelurahan Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang, 1988, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
Laporan
Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah
Tingkat II Se-Jawa Tengah Tahun 1997/1998, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I
Jawa Tengah Tahun 1997/1998, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
Surat
Dinas B.P7 DATI II Semarang kepada Kepala Kantor Deppen Kodya Semarang,
Ketua DPD II Golkar Kodya Semarang, dan Kepala Kantor Depdikbud Kodya
Semarang, 15 Januari 1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
Daftar
Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran Keputusan Kepala
BP-7 propinsi Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989, Arsip Provinsi
Jawa Tengah.
Laporan Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat
Pembantu Gubernur Jawa Tengah wilayah Pekalongan tahun 1997, Arsip
Provinsi Jawa Tengah.
Keputusan Kepala BP-7 Kabupaten Daerah
Tingkat II Pati Nomor 431/196/1995 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana
Lomba Dalang, Waranggono serta Sarasehan Seniman dan Penatar P-4
Kabupaten Pati tahun 1995/1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
S. Haryanto,
Pratinimba Adhiluhung(Jakarta: Djambatan, 1988).
Soeparno Hadiatmodjo,
Pakem Pedhalangan Lampahan Kalingga Bawana, Semarang, 1982.
Sutiyono, “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”,
Jurnal Imaji.