C. Sriwijaya : Bukti Kegiatan
Maritim Cina-Asia Tenggara yang Tak Terbantahkan
Kerajaan Sriwijaya adalah suatu
kerajaan pantai, negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Sebagai
kerajaan pantai, ibukota Sriwijaya memang terletak di tepi air, penduduknya
terpencar di luar kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan
alang-alang. Jika sang raja keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung
sutera dan diiringi oleh orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya
sangat tangkas dalam peperangan, baik darat maupun di laut, keberaniannya tidak
ada bandingnya. Bahkan dikatakan oleh Macintyre bahwa warga negara Sriwijaya
merupakan komunitas yang termiliterisir (militarized community). Adapun awal
keberadaan Sriwijaya justru dapat dilacak dari berita Tionghoa yang menyebutkan
bahwa di Sumatra pada abad ke-7 sudah ada kerajaan-kerajaan antara lain
To-lang-po-hwa (Tulangbawang di Sumatra Selatan), Mo-lo-yeu (Melayu di Jambi,
Ki-li-p’i-che atau Che-lifo-che (Criwijaya) (Suroyo, 2007: 44-45). Menurut
berita Cina diperoleh informasi bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan
terpenting antara Asia Tenggara dengan Cina. Bahkan dengan penuh kebanggaan,
seorang Maharaja Sriwijaya menulis surat kepada Kaisar Cina dari dinasti Sung
pada tahun 1017 bahwa dirinya adalah “raja dari tanah-tanah kepulauan di
lautan”, king of the ocean lands. (Suroyo, 2007: 45-46).
Berita Cina menyebutkan bahwa
adat di Kan-to-li sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Ini berarti bahwa bagi
orang-orang Cina keadaan di ketiga tempat tadi sama. Besar kemungkinan bahwa
dunia perdagangan di Sumatra sejak semula telah terlibat langsung dengan
perdagangan di India. Letak Selat Malaka mengundang perdagangan di daratan Asia
Tenggara untuk meluas ke Selatan. Pada saat negeri Cina terbuka untuk
hasil-hasil Asia Tenggara, suatu hal yang baru terjadi setelah perdagangan
dengan India berkembang, penduduk Sumatra khususnya di pantai Timur, bahkan
awam lagi dalam perdagangan internasional (Suroyo, 2007: 46).
Demikian kuatnya Sriwijaya
sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai dari Selat Malaka hingga
Selat Sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas
Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai kedua Selat itu, yang harus dilalui
oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina. Perkembangan navigasi Arab,
dan perdagangan antara India dan Cina,
bersama-sama memberikan arti penting baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya
menjadi pelabuhan yang wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada
musim timur laut. Rupanya pada waktu inilah, berkembang perdagangan laut
sekaligus dalam mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina
(Suroyo, 2007: 52).
Bukti lain yang menguatkan
keintiman hubungan Sriwijaya-Cina adalah dengan banyaknya saudagar besar
berlogat Kanton, Chen Tsu-I, dan beberapa imigran Cina lainnya yang menetap di
Sriwijaya. Mereka rata-rata ingin memperoleh suaka politik di Palembang, akibat
pengejaran kaisar pertama rezim Ming. Hubungan Cina-Sriwijaya juga berhasil
menelurkan kegiatan perdagangan, pelatihan militer, pertukaran cinderamata,
hingga pembangunan kembali Kuil Tien Tjing sekitar tahun 1079 Masehi di Kanton.
(Qurtuby, 2003:74).
Duta-duta Muslim yang dikirim
oleh Sriwijaya ke Kekasiaran Cina antara abad 10 hingga 12 Masehi juga menjadi
bukti harmonisasi hubungan Sriwijaya-Cina dalam kegiatan perdagangan. Pengiriman
duta tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah, salah satunya adalah
Ts’eng-chi yang diduga berasal dari kata Arab Zanji yang berarti budak
perempuan negro. (Qurtuby, 2003:76).
D. Majapahit – Cina : Suatu
Harmonisasi
Hubungan Majapahit dengan
kekaisaran Cina tampaknya cukup baik, terbukti dengan banyak tersebarnya para
pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak
akhir abad XIV. Catatan dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa Laksamana
Cheng Ho, utusan dari dinasti Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara dan
negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina.pengakuan
tersebut dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang
dikunjungi Cheng Ho ke negeri Cina. Dengan armada jung Cina yang sangat besar
Cheng Ho mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi
Majapahit sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit
baru mengirim duta ke Cina pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad
XIV). Menurut Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi muhibah
Cheng Ho, pada tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik,
Surabaya, dan Canggu yang merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota
Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para
pedagang, baik pedagang dari “barat” (Timur Tengah), maupun para pedagang Cina
yang sebagian beragama Islam (Suroyo, 2007: 97-98).
E. Cina dan Asia Tenggara :
Sebuah Akulturasi
Salah satu bangsa Asia Tenggara
yang menjadikan Cina sebagai panutan budaya adalah Vietnam. Pelayaran mereka
pada abad ke-16 dan ke-17 tidak lagi ke Malaka melainkan ke Cina dan Champa.
(Reid, 2011:11). Pola kebudayaan Cina juga berpengaruh terutama dalam budaya
merebus air untuk teh dan kebiasaan meminum teh yang dimiliki bangsa Cina,
dimana pada abad ke-17 telah menyebar ke Vietnam dan pada sejumlah kecil
kalangan penguasa di Asia Tenggara lainnya. Kebudayaan ini bahkan menjadi suatu
“keharusan sopan santun untuk menghidangkan teh kepada setiap tamu mereka” di
kalangan elite Siam. (Reid, 2011:44).
Pohon pinang juga menyimpan peran
penting dalam hubungan kebudayaan Cina-Asia Tenggara. Sumber-sumber Cina sejak
dari zaman yang menyebutkan peran pohon pinang (sirih) dalam ritus perkawinan,
dan kata yang digunakan untuknya, pin-lang, tampaknya merupakan kata pinjam
orang Cina yang sudah lama sekali dari bahasa Melayu. Ma Huan yang juga singgah
di Jawa pada abad ke-15 menggambarkan orang-orang Jawa sebagai berikut :
“Lelaki dan perempuan mengambil buah pinang serta daun sirih, dan mencampurnya
dengan kapur, yang diperoleh dari kulit kerang; mulut mereka tak pernah lepas
dari kunyahan ini …. Apabila mereka menerima tamu yang sedang lewat, mereka
menjamunya bukan dengan teh, melainkan hanya dengan buah pinang.” (Reid,
2011:50).
F. Komunitas Islam Cina Asia
Tenggara
Keberhasilan ekspedisi Cheng Ho
mengakibatkan terbentuknya komunitas masyarakat Cina-Islam di negeri Cina.
Cheng Ho juga membentuk komunitas Cina-Islam di Sambas dan Palembang.
Barangkali di Palembang-lah masyarakat Cina-Islam di Nusantara yang pertama,
kemudian diteruskan ke Jawa, Semenanjung, dan Filipina. (Qurtuby, 2003:88).
Keberhasilan Cheng Ho dalam
membentuk komunitas Islam juga berimbas pada rekatnya hubungan sosial dan
solidaritas emosional dalam wilayah “jaringan Muslim” di pesisir Samudera
Hindia yang memang nampak solid waktu itu dan memegang peran yang cukup
signifikan, baik di dunia perdagangan maupun politik. Hal ini disebabkan pada
masa misi pelayaran tersebut berlangsung, agama Islam telah menguasai hampir di
setiap pos-pos strategis perdagangan. Bahkan di Palembang, arus niaga dan
politik juga dipegang seorang Muslim Cina peranakan dari Mojokerto yang bernama
Swan Liong, putra Raja Majapahit Wikramawardhana dengan putri Cina, Ni Endang
Sasmitapura. (Qurtuby, 2003: 90).
Keterlibatan muslim Cina dalam
khazanah Islam Nusantara juga nampak terlihat pada arsitektur Masjid Sekayu
(pada mulanya bernama Masjid Taqwa), yang di dalamnya terdapat lukisan atau
tulisan Cina yang berada di kerangka atap (blandar) masjid yang sampai sekarang
masih bisa disaksikan dengan cara memanjat ke atap dan membuka eternit. Masjid
ini diidentifikasi lebih tua dibanding Masjid Demak, tentu tetap dengan
arsitektur masjid kuno lainnya yang ditopang empat sokoguru berbahan dasar kayu
jati. Konon masjid ini dibangun oleh Mbah Kamal dan Mbah Dargo, arsitek yang
diutus Kesultanan Cirebon untuk membangun Masjid Demak. Akan tetapi dilihat
dari ornamen Cina pada masjid tersebut, kemungkinan besar Mbah Kamal dan Mbah
Dargo ini sebetulnya juga seorang Cina Islam. (Qurtuby, 2003:181). Tidak hanya
kedua tokoh tetsebut. Tokoh penyebar Islam di Jawa, Sunan Kalijaga, konon juga
berkebangsaan Cina, dengan nama asli Sa-It (sa=3, it=1), sebagai peringatan
atas usia ayahnya yang ke-31 tahun. Ada dugaan yang mengatakan jika Sunan
Kalijaga adalah Gan Si Cang seperti yang disebut dalam Malay Annals berdasarkan
kemiripan cerita antara sumber lokal Jawa tentang Sunan Kalijaga dengan sosok Gan Si Cang dalam Malay
Annals, ahli perkapalan Semarang yang turut membuat soko tatal Masjid Demak.
(Qurtuby, 2003:182). Begitupun dengan kawasan Pecinan di sekitar Masjid Demak,
kiranya makin menguatkan bukti bahwa masyarakat Cina mendominasi pesisir Jawa terutama
Demak. (Akasah, 2006:36).
Selain Masjid Sekayu, bukti
arkeologis yang menguatkan aktivitas pelayaran dan perdagangan bangsa Cina di
Nusantara adalah keberadaan komunitas Muslim Cina pada tahun 1700-an, ketika
mereka mendirikan beberapa masjid, sebut saja Masjid Kebun Jeruk di Jakarta
yang dibangun oleh Kapten Tamien Dosol Seeng. (Qurtuby, 2003:194). Kemudian
Masjid Angke yang didirikan oleh Gouw Tjay. Nama “angke” sendiri berasal dari
kata Cina yang artinya “kali/sungai yang suka banjir”. (Qurtuby, 2003:195).
Komunitas Cina-Islam di Jawa yang kemungkinan sudah memeluk Islam ketika ia
datang ke Nusantara, secara tidak langsung telah memegang peran penting dalam
mempelopori pendirian “Negara Islam Maritim” di sepanjang pesisir Jawa dan
menggusur kekuatan agraris di pedalaman. Kebanyakan dari mereka lalu mengadakan
perkawinan dengan perempuan lokal. Dari interaksi lewat perkawinan silang
inilah kemudian muncul istilah “Cina Peranakan”, sebagai imbangan dari “Cina
Totok”. (Qurtuby, 2003:93).
Di Asia Tenggara sendiri, seiring
dengan banyaknya jumlah orang Cina, orang Asia Barat, dan Eropa di
pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara setelah tahun 1500 jelas telah memperluas
pemakaian batu bata. Masjid Besar Pattani bahkan dibangun dengan tenaga kerja
Cina di penghujung abad ke-16. (Reid, 2011:78).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar