Minggu, 12 Mei 2013

Rumpun Bambu Beralas Perahu : Menelusuri Jejak Interaksi Kemaritiman Cina-Asia Tenggara (4)


C. Sriwijaya : Bukti Kegiatan Maritim Cina-Asia Tenggara yang Tak Terbantahkan

Kerajaan Sriwijaya adalah suatu kerajaan pantai, negara perniagaan dan negara yang berkuasa di laut. Sebagai kerajaan pantai, ibukota Sriwijaya memang terletak di tepi air, penduduknya terpencar di luar kota, atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratapkan alang-alang. Jika sang raja keluar, ia naik perahu dengan dilindungi payung sutera dan diiringi oleh orang-orang yang membawa tombak emas. Tentaranya sangat tangkas dalam peperangan, baik darat maupun di laut, keberaniannya tidak ada bandingnya. Bahkan dikatakan oleh Macintyre bahwa warga negara Sriwijaya merupakan komunitas yang termiliterisir (militarized community). Adapun awal keberadaan Sriwijaya justru dapat dilacak dari berita Tionghoa yang menyebutkan bahwa di Sumatra pada abad ke-7 sudah ada kerajaan-kerajaan antara lain To-lang-po-hwa (Tulangbawang di Sumatra Selatan), Mo-lo-yeu (Melayu di Jambi, Ki-li-p’i-che atau Che-lifo-che (Criwijaya) (Suroyo, 2007: 44-45). Menurut berita Cina diperoleh informasi bahwa Sriwijaya adalah salah satu pusat perdagangan terpenting antara Asia Tenggara dengan Cina. Bahkan dengan penuh kebanggaan, seorang Maharaja Sriwijaya menulis surat kepada Kaisar Cina dari dinasti Sung pada tahun 1017 bahwa dirinya adalah “raja dari tanah-tanah kepulauan di lautan”, king of the ocean lands. (Suroyo, 2007: 45-46).
Berita Cina menyebutkan bahwa adat di Kan-to-li sama dengan adat di Kamboja dan Campa. Ini berarti bahwa bagi orang-orang Cina keadaan di ketiga tempat tadi sama. Besar kemungkinan bahwa dunia perdagangan di Sumatra sejak semula telah terlibat langsung dengan perdagangan di India. Letak Selat Malaka mengundang perdagangan di daratan Asia Tenggara untuk meluas ke Selatan. Pada saat negeri Cina terbuka untuk hasil-hasil Asia Tenggara, suatu hal yang baru terjadi setelah perdagangan dengan India berkembang, penduduk Sumatra khususnya di pantai Timur, bahkan awam lagi dalam perdagangan internasional (Suroyo, 2007: 46).

Demikian kuatnya Sriwijaya sehingga mempunyai kekuasaan yang cukup luas mulai dari Selat Malaka hingga Selat Sunda. Sriwijaya berusaha mempertahankan hegemoni perdagangan atas Indonesia, dengan mengawasi dan menguasai kedua Selat itu, yang harus dilalui oleh semua perjalanan laut antara India dan Cina. Perkembangan navigasi Arab, dan perdagangan antara India  dan Cina, bersama-sama memberikan arti penting baru bagi selat itu. Di sini, Sriwijaya menjadi pelabuhan yang wajar bila disinggahi oleh kapal-kapal dari Cina pada musim timur laut. Rupanya pada waktu inilah, berkembang perdagangan laut sekaligus dalam mempertahankan hubungan teraturnya dengan India dan Cina (Suroyo, 2007: 52).
Bukti lain yang menguatkan keintiman hubungan Sriwijaya-Cina adalah dengan banyaknya saudagar besar berlogat Kanton, Chen Tsu-I, dan beberapa imigran Cina lainnya yang menetap di Sriwijaya. Mereka rata-rata ingin memperoleh suaka politik di Palembang, akibat pengejaran kaisar pertama rezim Ming. Hubungan Cina-Sriwijaya juga berhasil menelurkan kegiatan perdagangan, pelatihan militer, pertukaran cinderamata, hingga pembangunan kembali Kuil Tien Tjing sekitar tahun 1079 Masehi di Kanton. (Qurtuby, 2003:74).

Duta-duta Muslim yang dikirim oleh Sriwijaya ke Kekasiaran Cina antara abad 10 hingga 12 Masehi juga menjadi bukti harmonisasi hubungan Sriwijaya-Cina dalam kegiatan perdagangan. Pengiriman duta tersebut juga disertai dengan sejumlah hadiah, salah satunya adalah Ts’eng-chi yang diduga berasal dari kata Arab Zanji yang berarti budak perempuan negro. (Qurtuby, 2003:76).


D. Majapahit – Cina : Suatu Harmonisasi

Hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina tampaknya cukup baik, terbukti dengan banyak tersebarnya para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV. Catatan dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho, utusan dari dinasti Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara dan negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina.pengakuan tersebut dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang dikunjungi Cheng Ho ke negeri Cina. Dengan armada jung Cina yang sangat besar Cheng Ho mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi Majapahit sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit baru mengirim duta ke Cina pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad XIV). Menurut Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi muhibah Cheng Ho, pada tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Surabaya, dan Canggu yang merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik pedagang dari “barat” (Timur Tengah), maupun para pedagang Cina yang sebagian beragama Islam (Suroyo, 2007: 97-98).

E. Cina dan Asia Tenggara : Sebuah Akulturasi

Salah satu bangsa Asia Tenggara yang menjadikan Cina sebagai panutan budaya adalah Vietnam. Pelayaran mereka pada abad ke-16 dan ke-17 tidak lagi ke Malaka melainkan ke Cina dan Champa. (Reid, 2011:11). Pola kebudayaan Cina juga berpengaruh terutama dalam budaya merebus air untuk teh dan kebiasaan meminum teh yang dimiliki bangsa Cina, dimana pada abad ke-17 telah menyebar ke Vietnam dan pada sejumlah kecil kalangan penguasa di Asia Tenggara lainnya. Kebudayaan ini bahkan menjadi suatu “keharusan sopan santun untuk menghidangkan teh kepada setiap tamu mereka” di kalangan elite Siam. (Reid, 2011:44).

Pohon pinang juga menyimpan peran penting dalam hubungan kebudayaan Cina-Asia Tenggara. Sumber-sumber Cina sejak dari zaman yang menyebutkan peran pohon pinang (sirih) dalam ritus perkawinan, dan kata yang digunakan untuknya, pin-lang, tampaknya merupakan kata pinjam orang Cina yang sudah lama sekali dari bahasa Melayu. Ma Huan yang juga singgah di Jawa pada abad ke-15 menggambarkan orang-orang Jawa sebagai berikut : “Lelaki dan perempuan mengambil buah pinang serta daun sirih, dan mencampurnya dengan kapur, yang diperoleh dari kulit kerang; mulut mereka tak pernah lepas dari kunyahan ini …. Apabila mereka menerima tamu yang sedang lewat, mereka menjamunya bukan dengan teh, melainkan hanya dengan buah pinang.” (Reid, 2011:50).

F. Komunitas Islam Cina Asia Tenggara

Keberhasilan ekspedisi Cheng Ho mengakibatkan terbentuknya komunitas masyarakat Cina-Islam di negeri Cina. Cheng Ho juga membentuk komunitas Cina-Islam di Sambas dan Palembang. Barangkali di Palembang-lah masyarakat Cina-Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan ke Jawa, Semenanjung, dan Filipina. (Qurtuby, 2003:88).

Keberhasilan Cheng Ho dalam membentuk komunitas Islam juga berimbas pada rekatnya hubungan sosial dan solidaritas emosional dalam wilayah “jaringan Muslim” di pesisir Samudera Hindia yang memang nampak solid waktu itu dan memegang peran yang cukup signifikan, baik di dunia perdagangan maupun politik. Hal ini disebabkan pada masa misi pelayaran tersebut berlangsung, agama Islam telah menguasai hampir di setiap pos-pos strategis perdagangan. Bahkan di Palembang, arus niaga dan politik juga dipegang seorang Muslim Cina peranakan dari Mojokerto yang bernama Swan Liong, putra Raja Majapahit Wikramawardhana dengan putri Cina, Ni Endang Sasmitapura. (Qurtuby, 2003: 90).

Keterlibatan muslim Cina dalam khazanah Islam Nusantara juga nampak terlihat pada arsitektur Masjid Sekayu (pada mulanya bernama Masjid Taqwa), yang di dalamnya terdapat lukisan atau tulisan Cina yang berada di kerangka atap (blandar) masjid yang sampai sekarang masih bisa disaksikan dengan cara memanjat ke atap dan membuka eternit. Masjid ini diidentifikasi lebih tua dibanding Masjid Demak, tentu tetap dengan arsitektur masjid kuno lainnya yang ditopang empat sokoguru berbahan dasar kayu jati. Konon masjid ini dibangun oleh Mbah Kamal dan Mbah Dargo, arsitek yang diutus Kesultanan Cirebon untuk membangun Masjid Demak. Akan tetapi dilihat dari ornamen Cina pada masjid tersebut, kemungkinan besar Mbah Kamal dan Mbah Dargo ini sebetulnya juga seorang Cina Islam. (Qurtuby, 2003:181). Tidak hanya kedua tokoh tetsebut. Tokoh penyebar Islam di Jawa, Sunan Kalijaga, konon juga berkebangsaan Cina, dengan nama asli Sa-It (sa=3, it=1), sebagai peringatan atas usia ayahnya yang ke-31 tahun. Ada dugaan yang mengatakan jika Sunan Kalijaga adalah Gan Si Cang seperti yang disebut dalam Malay Annals berdasarkan kemiripan cerita antara sumber lokal Jawa tentang Sunan  Kalijaga dengan sosok Gan Si Cang dalam Malay Annals, ahli perkapalan Semarang yang turut membuat soko tatal Masjid Demak. (Qurtuby, 2003:182). Begitupun dengan kawasan Pecinan di sekitar Masjid Demak, kiranya makin menguatkan bukti bahwa masyarakat Cina mendominasi pesisir Jawa terutama Demak. (Akasah, 2006:36).

Selain Masjid Sekayu, bukti arkeologis yang menguatkan aktivitas pelayaran dan perdagangan bangsa Cina di Nusantara adalah keberadaan komunitas Muslim Cina pada tahun 1700-an, ketika mereka mendirikan beberapa masjid, sebut saja Masjid Kebun Jeruk di Jakarta yang dibangun oleh Kapten Tamien Dosol Seeng. (Qurtuby, 2003:194). Kemudian Masjid Angke yang didirikan oleh Gouw Tjay. Nama “angke” sendiri berasal dari kata Cina yang artinya “kali/sungai yang suka banjir”. (Qurtuby, 2003:195). Komunitas Cina-Islam di Jawa yang kemungkinan sudah memeluk Islam ketika ia datang ke Nusantara, secara tidak langsung telah memegang peran penting dalam mempelopori pendirian “Negara Islam Maritim” di sepanjang pesisir Jawa dan menggusur kekuatan agraris di pedalaman. Kebanyakan dari mereka lalu mengadakan perkawinan dengan perempuan lokal. Dari interaksi lewat perkawinan silang inilah kemudian muncul istilah “Cina Peranakan”, sebagai imbangan dari “Cina Totok”. (Qurtuby, 2003:93).

Di Asia Tenggara sendiri, seiring dengan banyaknya jumlah orang Cina, orang Asia Barat, dan Eropa di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara setelah tahun 1500 jelas telah memperluas pemakaian batu bata. Masjid Besar Pattani bahkan dibangun dengan tenaga kerja Cina di penghujung abad ke-16. (Reid, 2011:78).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar