Jumat, 25 Mei 2012

Refleksi Kebangkitan Nasional dalam Kebangkitan Ummat


 Fadhil Nugroho Adi


Allah SWT telah berfirman dalam Q.S. Yusuf : 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal, al-Qur’an itu bukan cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman”. Niscaya kita perlu menyadari, bahwa Allah telah memerintahkan kita untuk mempelajari sejarah. Mengapa? Karena dengan mempelajari sejarah, kita mampu untuk mengambil ibrah atau pelajaran agar kita mampu menapak masa depan tanpa harus mengulang kesalahan yang sama. Bukankah tuntunan agama kita menyatakan, “Sesiapa yang harinya lebih baik dari kemarin maka dia beruntung. Dan siapa yang harinya sama dengan kemarin, maka dia tercela. Tapi, siapa yang harinya lebih buruk dari kemarin, maka dia terlaknat”. Oleh karenanya mari kita tilik sepintas lintasan sejarah, terutama sejarah umat Islam. Di sini penulis mencontohkan peristiwa sejarah pada masa Sultan Shalahudin Al-Ayyubi (1183-1193) dimana pada masanya terdapat seorang gubernur dari Arbela, Abu Sa’id al-Kaukabari, yang memprakarsai peringatan Maulid Nabi SAW karena keprihatinannya atas kondisi ummat Islam saat itu yang maju dalam segi kuantitas tapi miskin dalam kualitas. Saat itu ummat Islam tidak pernah menang ataupun untung. Dalam peperangan mereka selalu kalah, begitu pula dalam persaingan dagang merekapun merugi. Singkat kata mereka merugi dalam berbagai aspek kehidupan. Akan tetapi yang membedakan kondisi ummat pada saat itu adalah, ketika didengungkan peringatan Maulid Nabi, maka merekapun langsung menyambutnya secara antusias. Mereka bangkit. Kebangkitan ummat saat itu tidak berlangsung terlampau lama dan melahirkan kesejahteraan bagi ummat Islam sendiri. Nah sekarang coba kita tilik kondisi di negeri kita yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sudah berapa kalikah kita merayakan Maulid Nabi? Puluhankah? Atau ratusankah? Seringkali pastinya. Akan tetapi mengapa belum juga lahir kebangkitan ummat di Indonesia? Perlu diingat prediksi berbagai pihak di era 90-an yang menyatakan Islam akan bangkit dari dunia Timur menjelang abad 21, dengan harapan kebangkitan ummat akan terjadi di Indonesia.  Bagaimana jika nanti bangsa kita akan mengalami hal yang sama seperti Spanyol? Di sana Islam memimpin selama tujuh abad, namun pada paruh kedua penguasaan Kristen atas Spanyol, ummat Islam dimusnahkan dari bumi Spanyol dengan menggunakan berbagai cara: dimurtadkan, atau jika enggan, diusir! Bahkan di-inkuisisi (pembantaian). Maka patut kita jadikan renungan bersama terlebih dengan adanya pembantaian 200.000 ummat Islam di Bosnia dan bagaimana konflik berkepanjangan yang terjadi di Ambon ataupun peristiwa Poso.
            Sehingga apabila kita ingin mengembalikan kebangkitan ummat, mengharapkan kejayaan Islam dan menjadi ummat yang secara kaffah memegang amanat Allah, solusinya adalah Q.S. At-Tahrim ayat 6, “Jagalah dirimu dan keluargamu dari (jilatan api) neraka”. Saat ini kita juga perlu berkecimpung secara aktif dalam da’wah bil hal, menyerukan kebajikan dengan tindakan. Bukan kekerasan! Islam bukanlah agama kekerasan. Berjihadlah dengan pemikiran. Ghazwul fikr. Jihad dengan pena. Meluruskan fitnah dan hujatan terhadap Islam yang tiada henti menerpa eksistensi Islam di muka bumi. Mari, dengan bercermin kepada sejarah, kita syukuri nikmat iman dan Islam yang telah dikaruniakan kepada kita. Semestinyalah kita laksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah. Nyatakanlah yang haq itu haq, dan yang batil itu batil. Bangkitlah saudaraku, bangunlah. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S. Al-Muddatstsir ayat 1-3, “Hai orang-orang yang berselimut; Bangunlah, berilah peringatan; dan Tuhanmu agungkanlah”. Tiada nikmat yang lebih indah selain nikmat iman dan Islam. Hanya dengan kedua nikmat tersebut kita akan tergolong ummat yang memperoleh janji Allah di akhirat kelak. Karena Allah telah menurunkan agama yang haq bagi kita, dan satu-satunya agama yang haq adalah Islam. Allah telah menegaskan dalam Q.S. Ali-Imran ayat 85, “Siapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima (agama itu) darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. Wallahu waliyy at-taufiq.


Sumber:
Handono, Irena. 2005. Awas Bahaya Kristenisasi di Indonesia. Bekasi : Bima Rodheta.
Handono, Irena. 2012. Islam Dihujat Menjawab Buku The Islamic Invasion. Bekasi : Gerbang Publishing.

Senin, 21 Mei 2012

Seminar Nasional Kristologi dan Tabligh Akbar TRIO MUJAHID MUALLAF di Salatiga, 20 Mei 2012


Minggu, 20 April 2012, menjadi momen yang paling berharga bagi masyarakat muslim Salatiga. Pasalnya, tokoh besar Kristologi yang telah lama malang melintang di arena dkawah Islam mengunjungi kota kecil itu, tepatnya di Aula STAIN dan Masjid Agung Darul Amal Salatiga. Ya, siapa yang tak mengenal Trio Mujahid Muallaf. Manajemen dakwah yang digawangi Ustadzah Hj. Irena Handono (mantan Biarawati), Ustadz Insan L.S. Mokoginta (mantan Pastor), dan Ustadz Syamsul Arifin Nababan (mantan Pendeta). Sejatinya ketiga tokoh tersebut hadir pada acara Seminar Nasional Kristologi dan Tabligh Akbar akan tetapi Ustadz Syamsul Arifin Nababan tidak bisa hadir karena kondisi istri beliau yang tengah sakit. Acara yang pada sesi pertama dilangsungkan di Aula STAIN ini dimulai kurang lebih pukul 09.00 WIB ini dibuka terlebih dahulu dengan sambutan dari Ketua FKUB Salatiga, dilanjutkan sambutan dari Wakil Walikota Salatiga sekaligus membuka acara tersebut.  

Pembicara pertama, Hj. Irena Handono, mengungkap bagaimana kedok dan upaya Kristen untuk memurtadkan umat Islam berikut dalil pewaspadaan dari Al-Quran dan landasan Amanat Agung dalam Bible. Hadirin yang memenuhi ruang aula STAIN tampak begitu terperangah ketika menyaksikan strategi-strategi pemurtadan dan pendangkalan aqidah yang berlangsung di Jakarta dan Bekasi oleh Yayasan Mahanaim. Selanjutnya pembicara kedua, H. Insan L.S. Mokoginta, memaparkan bagaimana perbandingan agama antara Kristen dan Islam yang kerap dijadikan umpan bagi Kristen untuk memurtadkan umat Islam. Seluruh peserta seminar nampak riuh ketika beliau memaparkan ayat-ayat dalam Bible yang justru berbicara sendiri bahwa Yesus menentang penuhanan dirinya dan mengupas antara keaslian ajaran Yesus dengan ajaran Paulus yang sekarang justru banyak diikuti umat Kristen.

Jeda yang berlangsung selama lebih kurang 60 menit, dipergunakan peserta untuk makan siang dan melaksanakan shalat Dzuhur di Masjid Darul Amal, tak jauh dari lokasi seminar diselenggarakan. Tak sedikit pula yang langsung menyerbu stand penjualan produk-produk -buku dan VCD- Hj. Irena Handono dan H. Insan L.S. Mokoginta yang tidak bisa ditemui di toko-toko buku di kota-kota besar. Tak jarang dari mereka langsung memborong buku-buku dan VCD tersebut.

Sesi kedua dimulai pada pukul 13.00, kali ini bapak Walikota Salatiga berkesempatan hadir, begitu pula dengan ketua MUI Salatiga. Jama'ah yang hadir di Masjid Darul Amal kurang lebih berjumlah 1500 orang. Tabligh akbar pun berlangsung demikian lancar, terlebih ketika di awal acara pembawa acara mengajak seluruh jama'ah untuk bersama-sama melantunkan shalawat Nabi. Hj. Irena Handono dan H. Insan L.S. Mokoginta pun larut dalam kekhusukan tersebut.





Ustadz Insan L.S. Mokoginta kembali memaparkan trik-trik khusus untuk menghadapi serangan dari missionaris, sehingga umat Islam tidak perlu gentar menghadapi serangan mereka. Sementara Hj. Irena Handono memaparkan hujatan demi hujatan yang diterima umMat Islam. Hujatan tidak hanya bermuara pada ummat saja, melainkan Islam, Al-Qur'an, Nabi Muhammad dan ALLAH SWT juga kerap dijadikan objek hujatan orientalis Barat.

Dalam kesempatan tersebut juga dibuka tiga pertanyaan kepada para narasumber, dan terlihat begitu antusiasnya jama'ah dalam menyampaikan pertanyaan.

Acara berakhir kurang lebih pukul 15.45, dan dilanjutkan dengan shalat Ashar. Bunda Hj. Irena Handono dan ustadz Insan L.S. Mokoginta pun diserbu jama'ah, baik yang hanya sekedar berjabat tangan hingga yang meminta tanda tangan di buku beliau dan berfoto bersama. Ustadz Insan bergegas turun karena beliau harus segera kembali ke Jakarta, sementara bunda Hj. Irena Handono didampingi putri tercintanya, Sally Sety, bermalam terlebih dahulu di Salatiga.

Subhanallah, Alhamdulillah, semoga perjuangan Hj. Irena Handono dan H. Insan L.S. Mokoginta menjadi pijakan dakwah ummat Islam ! Semoga . #FNA


Jumat, 18 Mei 2012

Agenda Budaya Fakultas Ilmu Budaya UNDIP Semarang

Seminar Nasional Karakter Bangsa FIB Undip pada hari Rabu, 30 Mei 2012 menghadirkan Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno, SJ dari STF Driyarkara Jakarta, dimeriahkan LIVE ART PERFORMANCE oleh Didik Ninik Thowok..HTM: Umum 100rb, Mahasiswa 50ribu,  untuk pendaftaran dan dikirimi undangan resmi dari FIB hubungi Ana: 082133306888

Kamis, 17 Mei 2012

“STRATEGI TNI AL DALAM PENGAMANAN BATAS MARITIM NKRI”


“STRATEGI TNI AL DALAM PENGAMANAN 
BATAS MARITIM NKRI”
Penyusun :
FADHIL NUGROHO ADI
NIM. 13030110130054

___________________________________________________________________________
            Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di posisi silang dunia , yakni di antara dua samudera dan dua dunia dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Tentu keberadaan potensi alam tersebut harus memperoleh pengamanan sumber daya terutama pengamanan batas maritim NKRI. Dalam pengamanan ini diperlukan strategi khususnya di wilayah perbatasan yang berupa penetapan batas maritim dan sinergi pembangunan wilayah antara pusat dan daerah.
            Bicara maritim Indonesia, tak akan pernah bisa lepas dari sejarah yang menaunginya. sejak era prakolonialisme, Indonesia terkenal akan kekuatan maritimnya lewat kerajaan-kerajaan maritim besar di Nusantara sehingga dikenal di seantero Asia Tenggara. Seperti kita ketahui, kerajaan-kerajaan maritim tersebut antara lain kerajaan Sriwijaya yang memiliki kekuatan armada laut untuk menguasai jalur-jalur pelayaran maupun perdagangan sehingga mampu memperluas pengaruhnya hingga Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filipina. Ada juga kerajaan Singasari yang bahkan mengembangkan konsep wawasan kenegaraan “Cakrawala Mandala Dwipantara” beserta pengiriman armada laut yang besar (Ekspedisi Pamalayu) untuk menguasai seluruh area Laut Cina Selatan dan kerajaan di sekelilingnya. Tak kalah penting adalah kerajaan Majapahit yang kekuasaannya meliputi Sumatera, Semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua dan sebagian kepulauan Filipina dengan didukung angkatan lautnya sebagai upaya perpaduan potensi agraris dan sekaligus potensi maritim Majapahit. Masuk pada era kolonialisme, Portugis, Belanda, dan Inggris mewarnai atmosfir perdagangan di Nusantara. Mulai dari menjadikan Nusantara sebagai negara pemasaran hingga negara yang diperas dan dieksploitasi semena-mena oleh penjajah. Masuk era pasca-kolonialisme, masyarakat Indonesia saat itu perlu upaya rehabilitasi yang tidak mudah, utamanya mengembalikan psikologi demografis masyarakat Indonesia agar kembali menjadi negara yang bercirikan maritim. Adapun usaha-usaha tersebut antara lain berupa Deklarasi Djuanda tahun 1957 dengan hasil pentingnya “bahwa segala perairab di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk luas dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Indonesia selanjutnya memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 dan menjadi terkenalnya Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia . Berikutnya dalam UNCLOS 1982 yang menyatakan bahwa wilayah RI memiliki kewenangan untuk mendirikan zona tambahan selebar 12 mil lagi di luar laut wilayah yang 12 mil yang mengelilingi seluruh nusantara Indonesia, memiliki hak atas ZEEI selebar 200 mil, hak atas landas kontinen, hak untuk ikut bepartisipasi di laut bebas di luar ZEE, dan hak untuk ikut mengatur dan memanfaatkan dasar laut internasional di luar landas kontinen.
            Indonesia, dalam perkembangannya, di tengah pusaran arus globalisasi yang meningkatkan penetrasi asing dan lingkungan regional Asia Pasifik yang masih sangat dipengaruhi oleh kebijakan dan strategi Amerika Serikat, perlu mempertahankan ideologi nasionalnya dalam berbagai aspek seperti aspek politik, ekonomi, sosial budaya dan juga pertahanan dan keamanan. Untuk lingkungan daerah pemerintah menerapkan konsep desentralisasi kekuasaan melalui UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu, Indonesia juga memiliki masalah baru yang tak kalah penting dengan petahanan dan keamanannya yakni mengenai permasalahan perbatasan. Aspek penetapan batas wilayah merupakan komponen penting sebuah negara karena akan memengaruhi masalah kependudukan. Inilah yang mendorong timbulnya penetapan titik dasar yang telah dilaksanakan TNI AL pada tahun 1989 hingga 1995 melalui survey Hidro-Oseanografi. Permasalahan perbatasan menjadi hal yang tak kalah peliknya karena permasalahan tersebut tidak hanya menyangkut batas fisik melainkan cara hidup masyarakat di daerah tersebut semisal para nelayan tradisional. Contohnya adalah perbatasan RI-Malaysia berdasar Persetujuan antara Pemerintah RI dan Pemerintah Kerajaan Malaysia tertanggal 27 Oktober 1969 diratifikasi dengan Keppres Nomor 89 Tahun 1969 dan Penetapan garis Batas Laut Wilayah RI-Malaysia di Selat Malaka tertanggal 17 Maret 1970 diratifikasi dengan UU Nomor 2 Tahun 1971. Kemudian perbatasan RI-Thailand berdasar perjanjian landas kontinen di bangkok tertanggal 17 Desember 1971 iratifikasi Keppres Noor 21 Tahun 1972 mengenai batas landas kontinen di Utara Selat Malaka dan Laut Andaman. Perbatasan RI-India juga ditetapkan di Jakarta tertanggal 8 Agustus 1974 diratifikasi Keppres Nomor 51 Tahun 1974melalui perbatasan antara Pulau Sumatera dengan Nicobar dan dikembangkan pada 22 Juni 1978 (ratifikasi Keppres Nomor 25 Tahun 1978) dengan batas landas kontinen di daerah Barat Laut sekitar Pulau Andaman dan Nicobar. Perbatasan RI-Singapura dengan ratifikasi UU Nomor 7 tahun 1973 dengan penetapan 6 titik koordinat yang menjadi batas negara. Perbatasan RI-Vietnam disepakai dalam hal batas landas kontinen pada 26 Juni 2002 dn perjanjian perbatasan ZEE di Laut China Selatan tahun 2011. Perbatasan RI-Philipia berlansgung berkala, 3-4 bulan sekali, dan perkmbangan terakhir menunjukkan bahwa Philipina megakui secara penuh Pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Perbatasan RI-Republik Palau juga dilakukan dengan dasar batas Zone Perikanan / ZEE. Perbatasan RI-Papua Nugini yang ditetapkan sejak 22 Mei 1885, lalu perbatasan RI-Australia yang melakukan perjanjian batas landas kontinen yang dibuat pada 9 Oktober 1972 yang mencakup Pulau Ashmore, Cartier dan Pulau Christmas, dan terakhir berupa perbatasan RI-Timor Leste dan bukan perbatasan maritim.
            Akan tetapi perjanjian perbatasan tersebut tidak membuat Indonesia lepas tangan begitu saja karena masih lemahnya pengelolaan perbatasan dan masalah pulau terluar yang kerap menuai konflik. Hilangnya pulau-pulau meliputi hilang secara fisik (kasus Pulau Nipa), hilang secara kepemilikan (kasus Sipadan-Ligitan), hilang secara pengawasan (rawannya Pulau Batek, Pulau Fani, Pulau Fanildo dan Pulau Dana), dan hilang secara sosiologis (kasus Pulau Marore dan Pulau Miangas). Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan implementasi hukum mengenai UU No. 32 Tahun 2004. Selain itu karena kondisi kependudukan di kawasan perbatasan yang kurang kondusif berupa kesenjangan dan rendahnya tingkat pendidikan.
            Masalah-masalah yang terjadi di perbatasan maritim pada dimenis ruang memiliki cakupan berupa pantai atau pesisir, permukaan air, dalam air, dasar laut, hingga udara yang meliputi polusi udar, penyelundupan hingga black flight! Selain masalah berdasar dimensi ruang juga dapat diidentifikasi berdasar batasan masalahnya yakni mengenai kebebasan berlayar, praktek sosial, perompakan atau pembajakan, lingkunan hidup dan polusi, penyelundupan, aktivitas pelabuhan, terorisme maritim, kegiatan pertahanan keamanan, sumber daya, polusi udara, hingga survey atau penelitian.
            Lantas apa strategi TNI AL dalam pengamanan perbatasan ? Strategi pengamanan dibagi dalam dua kategori: internal dan eksternal. Secara internal dilakukan cara-cara seperti gelar operasi (wujud upaya preventif dan represif termasuk salah satunya pemberian sanksi), penjabaran konsep Penataan Daerah Operasi, Gelar Operasi Siaga Tempur Laut dan Operasi Laut Sehari-hari (bisa dilakukan dengan patroli keamanan laut, pameran bendera, operasi bhakti TNI AL, operasi Pasar Berjalan (Mobile Market) melalui kapal-kapalnya dan survey hidrografi. TNI AL tidak menutup koordinasi dengan instansi lain di sana. Sementara itu strategi eksternal TNI AL meliputi Strategy Partnership dengan negara-negara yang tergabung dalam ASEAN Regional Forum, antara lain RI-Singapura, RI-Malaysia, RI-Philipina melalui forum Joint Border Committee dan Joint Commission for Bilateral Cooperation, RI-Thailand, RI-Papua Nugini, dan RI-Timor Leste (permasalahan yang muncul dalam penyelesaian batas maritim adalah adanya enclave Oekusi di tengah wilayah Indonesia yang menjadi kenyataan spesifik dalam perbatasan Indonesia dengan Timor Leste dan adanya entrylexit point Alur Laut Kepulauan Indonesia), dan RI-Anggota ASEAN lainnya.
            TNI AL dalam upayanya untuk mengamankan wilayah perbatasan telah melakukan beberapa bentuk kegiatan seperti Patroli Keamanan Laut menggunakan kapal-kala perang RI di seluruh perairan Indonesia termasuk di pulau-pulau terpencil termasuk salah satunya dengan cara show of flag dengan beberapa kendala seperti kekuatan terbatas yang dimiliki TNI AL dan lemahnya penegakan hukum TNI AL. Kemudian melalui Survey Hidrografi dengan menarik garis-garis pangkal yang menghubungan titik-titik terluar atau base point. Lantas melalui Operasi Bhakti yang muncul sejak tahun 1980-an, lalu pengadaan Mobile Market  dengan menjual sembako murah, kemudian membangun pos pengamat di pulau-pulau beserta memenuhi alutsista TNI AL berdasar blue print Kebijakan Dasar Pembangunan Kekuatan TNI AL sampai dengan tahun 2013, menyusun Rancangan Postur TNI AL 2005 sampai  tahun 2024, menjabarkan postur TNI AL, mensosialisasikannya dan memberdayakannya. Tak lupa TNI AL juga melakukan perlindungan bilateral dan Committee Meeting dengan beberapa negara.
               

Jumat, 04 Mei 2012

Merunut Militerisme Dunia : Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian


Disusun Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
13030110130054

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Diponegoro Semarang
2012
2012
B
erbicara tentang perang tidaklah semata-mata membicarakan konflik kekerasan bersenjata antarnegara, tetapi juga intranegara. Jika dilihat dalam sejarah, maka, kemampuan saling membunuh pada manusia ternyata berhasil ditingkatkan, akan tetapi usaha untuk mmelihara ketenteraman dan perdamaian selalu mengalami kegagalan. Hal ini dengan begitu mudah dapat kita cemati dalam serangkaian perang penjajahan dalam proses bangsa-bangsa Eropa Barat merebut wilayah dan menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia: seluruh Amerika, seluruh Afrika, Asia, Autralia, Selandia Baru; munculnya militerisme Jerman dan berbagai peperangan yang dicetuskannya di Eropa; Perang Krimea; Perang Perancis-Prusia, Perang Jepang-Cina, Perang Jepang-Rusia, Perang Boer di Afrika Selatan, Perang Dunia I, Perang Dunia II, serangkaian Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, serangkaian Perang India-Pakistan, Perang India-RRC, Perang Kamboja dan ratusan perang serta kekerasan bersenjata lainnya di semua penjuru dunia, termasuk di tanah air kita sendiri. Selama tahun 1945 (seusai Perang Dunia II) sampai tahun 1983 saja, tercatat penggunaan kekuatan milter oleh 66 negara merdeka atau “dependent territories” dalam 105 peperangan yang menelan 16 juta korban (Sivard, 1983: 211 dalam A. Hasnan Habib, 1994: 4). Dari serangkaian peperangan tersebut sesungguhnya mengerucut pada dua macam situasi yang mengkibatkan kekerasan menjadi pilihan. Situasi tersebut antara lain tidak adanya alternatif lain untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang mengancam jiwa atau keselamatan diri sendiri -pada tingkat hubungan internasional masih berlangsung untuk mempertahankan integritas wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya-; dan situasi dimana kekerasan merupakan cara yang paling menguntungkan. Artinya bahwa, melalui proses analisis “cost-benefit”, kekerasan merupakan cara terunggul dari beberapa kemungkinan yang ada dan terjadi dalam keadaan kurang atau tidak adanya ketentuan atau prosedur penyelesaian sengketa, kurang tersedianya sarana mencegah kekerasan agresif atau kurang adanya rasa kebersamaan (sense of community) (Habib, A. Hasnan, 1994: 8).
            Suatu pendapat menyatakan bahwa perang adalah sesuatu yang normal dan -justru- juga ada baiknya. Mengapa? Inilah tampaknya sisi positif dari perang itu sendiri, yakni membuat manusia mengakui bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Perdamaian harus diusahakan, dan dipelihara kelestariannya (Budiman, Arief, 1994: 33). Akan tetapi pendapat ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam lagi, mengapa manusia masih terus berperang? Dan, apakah ini menjadi kodrat manusia untuk saling menghancurkan?
Jika dilihat dari anggapan Sigmund Freud, ternyata memang demikianlah adanya. Baginya, manusia di samping memiliki insting untuk hidup, juga memiliki insting untuk mati, alias menghancurkan hidupnya (Budiman, Arief, 1994: 33). Teori lain tentang perang dapat diambil dari teori tentang terjadinya imperialisme. Imperialisme sendiri dapat dijelaskan dengan tiga kelompok teori, yakni kelompok teori God, Glory dan Gold. Kelompok teori God atau Tuhan merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme didasarkan pada misi agama untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap masih biadab atau dalam kata lain, imperialisme sebagai misi penyebaran agama. Sementara kelompok teori Glory atau Kebanggaan menyatakan bahwa imperialisme adalah hasil dari dorongan untuk menunjukkan keperkasaan, dan kelompok teori Gold atau Emas merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme yang disebabkan oleh dorongan ekonomi, yakni untuk mencari emas seperti halnya orang-orang Spanyol dan Portugis yang berlayar ke benua Amerika, orang Belanda ke Indonesia, atau orang Inggris ke India dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Budiman, Arief, 1994: 34-35).
Mari kita coba meninjau kondisi di Indonesia, dimana tentara ternyata berfungsi sebagai kekuatan politik pada periode 1945-1965. Meskipun tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, namun dalam masa revolusi antara tahun 1945 hingga 1949 tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima azas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira menganggap bahwa peranan tentara memang diperlukan di bidang politik, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama (Crouch, Harold, 1999: 21). Dilihat dari kepentingan-kepentingan ektsramiliter, tentara Indonesia dalam arti tertentu adalah “tentara rakyat”. Pandangan politik tentara mencerminkan akar-akar budaya asal perwira, begitupun dengan perspektif-perspektif politik dan sosial korps perwira juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka sekalipun beberapa perwira merupakan kalangan bangsawan dan sebagian kecil yang memasuki lembaga-lembaga pendidikan setaraf universitas dan ada juga dari kalangan yang lebih rendah. Tentara juga berperan dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya membuka kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk memetik keuntungan pribadi. Apa akibatnya? Beberapa perwira angkatan darat menghendaki agar keadaan darurat perang terus diberlakukan (Crouch, Harold, 1999: 35-37).
Selanjutnya coba kita bandingkan peran militer yang ada dalam politik Muang Thai dengan peran tentara bayaran invasi militer Amerika Serikat. Di Muang Thai, elit-elit militer, yang seringkali merupakan elit yang berkuasa, tidak berminat untuk memperluas partisipasi politik. Apa alasannya? Mereka beralasan bahwa orang-orang Thai belum siap untuk ambil bagian dalam politik, belum tahu cara menggunakan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, dan dengan demikian dapat dengan mudah ditunggangi oleh kaum politiasi terpilah dan yang sedang bersaing, yang tentu hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri (Bunbonkarn, Suchit, 1990:4). Di samping itu kekekalan dominasi Angkatan Darat dalam politik di Muang Thai disebabkan oleh tidak adanya kesadaran politik di kalangan massa dan rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik seperti yang tercermin dalam sedikitnya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam setiap pemilihan umum sejak 1933 (Bunbonkarn, Suchit, 1990:5). Hal ini ternyata berlangsung hingga 1977, dimana sebuah analisa menunjukkan bahwa tingkat, bentuk, dan landasan partisipasi politik pada umumnya ditentukan oleh kepentingan elit-elit militer. Para elit militer tidak menginginkan partisipasi politik yang luas. Mereka tidak menghendaki itu. Mereka hanya menginginkan penghapusan partisipasi politik atau suatu partisipasi terbatas yang hanya memungkinkan beberapa kelompok pilihan untuk memasuki gelanggang politik di bawah pengawasan mereka (Bunbonkarn, Suchit, 1990:10). Tidak mengherankan jika sejak pemilihan umum tahun 1979 konflik antara golongan militer dan berbagai elit politik yang dipilih mengalami beberapa perubahan (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 11). Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi NO. 66/2523 -diumumkan pada 1980- dan memberikan suatu alasan pembenaran baru bagi keterlibatan pimpinan militer Thai dalam politik sehingga mendorong mereka untuk mengalahkan komunisme (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 133).
Militerisme politik yang terjadi di Muang Thai tadi akan tampak sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam keterlibatan tentara bayaran dalam invasi militer Amerika Serikat  ke kota-kota di Irak. Kemunculan konsep “tentara bayaran” ini muncul seminggu setelah berakhirnya masa kepemimpinan Donald Rumsfeld di Pentagon. Kondisi ini menyebabkan pasukan AS merasa sangat terperas oleh perang melawan teror sehingga Menteri Dalam Negeri Jenderal Colin Powell pun ikut angkat suara mengenai hal ini. Pemerintah Bush dan Pentagon kemudian membicarakan betapa pentingnya penambahan kekuatan militer (Scahill, Jeremy, 2010: 24). Pimpinan Blackwater, Erik Prince, inilah yang menggagas ide “brigade tentara bayaran” untuk kelengkapan militer konvensional AS (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Blackwater sendiri merupakan organisasi pasukan swasta yang bertugas untuk operasi-operasi agen-agen intelijen AS atau korporasi-korporasi atau individu-individu swasta dan pemerintah asing (Scahil, Jeremy, 2010: 19). Blackwater diposisikan Erik Prince sebagai perpanjangan tangan patriotisme militer AS, dan pada September 2005, ia mengeluarkan memorandum sekaligus instruksi kepada seluruh pegawai dan para tentara bayarannya untuk mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat dalam melawan semua musuh, asing maupun lokal (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Tampaknya apa yang terjadi dengan Blackwater tidak terlalu jauh berbeda dengan organisasi-organisasi non-militer yang kerap memisahkan jalur dari pondasi awal dengan pelaksanaannya.  Begitu sering proyek-proyek Blackwater yang paling ambisius dan rahasia memperlihatkan kenyataan yang sangat beda dan mengerikan. Tak heran jika Michael Ratner, Presiden Center for Constitutional Rights, menyatakan, “Semakin banyaknya penggunaan tentara sewaan, pasukan swasta, atau apa yang disebut sebagian orang sebagai ‘tentara bayaran’ menjadikan pertempuran sangat mudah dimulai dan diusahakan-hanya dibutuhkan uang dan bukan penduduk.” (Scahill, Jeremy, 2010: 27). Ungkapnya lagi, pengiriman pasukan Blackwater dalam lingkup domestik merupakan sebuah preseden buruk yang dapat merusak demokrasi AS. Ratner juga menyamakan Blackwater dengan pasukan kemeja coklat Partai Nazi. Mengapa? Karena kelompok paramiliter seperti Blackwater ini merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi hak-hak bernegara ! (Scahill, Jeremy, 2010: 29) Namun jangan disangka opini-opini miring seputar Blackwater menjadikannya berhenti beroperasi. Justru, pemberitaan yang begitu gencar mengenai tewasnya empat tentaranya di Fallujah pada 31 Maret 2004 mengantarkan Blackwater menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan memicu Blackwater ke arah jalur menuju sukses bertahun-tahun kemudian (Scahill, Jeremy, 2010: 31).
Apa yang bisa kita cermati dari bandingan tiga keterlibatan militer dalam tiga negara; Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat ? Dari sini ditarik suatu penyimpulan bahwa keterlibatan militer di masing-masing negara memiliki kepentingan yang berbeda pula. Di Indonesia, pada periode 1945-1949, tentara yang dekat dengan sebutan “tentara rakyat” memiliki akses untuk berperan dalam kegiatan ekonomi dan bisa memetik keuntungan pribadi. Sementara untuk Muang Thai, keberadaan pimpinan militer di sana justru secara langsung menginginkan penghapusan partisipasi politik warga Muang Thai. Inilah yang menyebabkan terjadinya crash antara elit militer dengan elit politik dan melahirkan Instruksi NO. 66/2523 di tahun 1980. Lebih lanjut di Amerika Serikat juga muncul golongan tentara swasta yang berkumpul dalam sebuah lembaga bernama Blackwater. Para tentara ini -sebenarnya- bekerja di luar pemerintah Amerika Serikat, yakni untuk korporasi-korporasi, individu swasta, badan intelijen, dan pemerintah asing. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Blackwater turut  menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat.
            Setelah kita mencoba membahas beberapa keterlibatan tentara-tentara dan elit militer di Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat, sekarang, coba kita amati kasus perang Teluk dan perang-perang di ASEAN yang penulis kutip dari tulisan Arief Budiman yang berjudul “Perdamaian, Perang dan Latar Belakang Ekonominya” dan dimuat dalam antologi bertajuk “Perang, Militerisme, dan Tantangan Peradaban”. Dari sini dapat kita cermati contoh kasus dari faktor terjadinya peperangan dan aliansi-aliansi di dalamnya.
Kasus Perang Teluk : Faktor Ekonomi sebagai Kekuatan Pendorong
            Perang Teluk dimulai dengan invasi tentara Irak ke Kuwait dengan dilatarbelakangi pengambilan provinsi secara tidak sah. Dasar yang dipakai Irak adalah prinsip keadilan dan kesatuan nasionalnya sebagai bangsa. Amerika dan sekutunya datang membela atas nama keadilan, yakni untuk menolong bangsa kecil yang lemah dari segi militer dari serbuan negara yang kuat. Dalam membela Irak, Amerika Serikat begitu bersemangat sehingga mau melibatkan ratusan ribu personel militernya serta dana bermiliar dolar. Ada apa dengan semangat ini? Tentu sangatlah beralasan dan alasan utamanya terletak pada penguasaan global terhadap sumber energi yang paling penting di dunia ini: minyak bumi. Jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka kepentingan ekonomi negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang akan sangat terancam. Aliansi antara dua kekuatan adidaya yakni Amerika Serikat dan Rusia pun dikibarkan dalam  usahanya mencari bantuan dana karena malfungsi Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang. Inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Teluk. Pada kenyataannya Saddam Husein berupaya mengalihkannya menjadi perang agama karena negara-negara sekutu yang menyerang Irak kebanyakan negara-negara Kristen atau perang nasionalisme Arab akan tetapi mengalami kegagalan karena kepentingan ekonomi negara-negara Arab yang berlainan sehingga memiliki kedekatan yang erat dengan negara-negara industri Barat.
Militer di Negara-Negara ASEAN
            Penulis akan mencoba memaparkan beberapa perang di ASEAN yang ditarik hingga tahun 1988 sebagai berikut.

Jumlah Perang
Perang
GNP/Kapita US$, 1987
Besar
Kecil
Eksternal
Internal
Indonesia
2
1
1
0
1
450
Malaysia
1
1
0
1
0
1.810
Filipina
4
2
2
0
4
590
Singapura
0
0
0
0
0
7.940
Thailand
3
2
1
2
1
850
Brunei Darussalam
0
0
0
0
0
15.390 (1988)
Jumlah
10
6
4
3
7


100%
60%
40%
30%
70%


            Dari tabel tersebut tampak bahwa di Asia Tenggara, 70% dari seluruh perang merupakan perang internal. Negara yang paling banyak mengalami peperangan adalah Filipina, sementara yang paling damai adalah Singapura dan Brunei Darussalam, kedua negara terdamai di ASEAN. Berikut tabel dana untuk militer di ASEAN hingga tahun 1986. Dari sini akan dilihat betapa Indonesia adalah negara yang paling banyak mengeluarkan dana untuk mesin perangnya karena Indonesia memiliki daerah yang paling luas dan penduduk yang paling banyak untuk dijaga.

Jumlah (juta US$)
US$/kapita militer
Indonesia
2.408 (1)
8.569,40  (4)
Malaysia
1.633 (2)
14.845,45 (3)
Filipina
373 (5)
3.300,88 (6)
Singapura
1.104 (4)
19.891,89 (2)
Thailand
1.971 (3)
7.699,22 (5)
Brunei Darussalam
322 (6)
78.536,58 (1)
           
            Terakhir, di ASEAN, mari kita tinjau jumlah personel militer di ASEAN hingga tahun 1987. Berikut tabel yang menjelaskan perbedaan jumlah tersebut.

Jumlah (ribu)
Presentase terhadap Militer di Dunia
Nomor Urut


Indonesia
248
1.10
1

Malaysia
113
0,44
3

Filipina
105
0,41
4

Singapura
55,5
0,21
5

Thailand
256
0,99
2

Brunei Darussalam
4,1
0,02
0


            Dari perbandingan antara Perang Teluk dengan beberapa perang yang ada di negara-negara ASEAN, dapat diambil simpulan bahwa Perang Teluk merupakan perang yang berlangsung karena faktor ekonomi, dimana perebutan sumber daya alam minyak menjadi pokok utamanya. Sedangkan perang-perang di ASEAN berlangsung karena upaya untuk mempertahankan keutuhan masing-masing negara. Inilah mengapa terdapat pembedaan skala perang, jumlah personel militer hingga dana untuk militer itu sendiri. Mengapa? Tentu karena disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya.
            Setelah kita kupas seluk-beluk tentara, elit-elit militer di berbagai negara termasuk perang-perang yang pernah berlangsung dengan kepentingan yang berbeda, kini penulis mencoba memaparkan analisa perbandingan upaya perdamaian di dunia internasional. Ada hal menarik yang patut dikomparasi lebih lanjut dalam tantangan perdamaian tersebut. Mengapa? Karena perdamaian banyak sekali menyangkut faktor serta kondisi-kondisi yang ada di dalamnya, termasuk masalah moral sebagai sarana untuk menciptakan perdamaian. Ada yang diusahakan melalui pengurangan persenjataan guna menghilangkan atau mengurangi senjata-senjata yang dibuat atau akan dibuat oleh manusia (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Pengurangan senjata atau dalam istilah asing disebut disarmament dibedakan atas dasar disarmament umum dan disarmament lokal; disarmament kualitatif dan kuantitatif. Pengurangan persenjataan ada yang berujung baik (biasanya disebabkan adanya perjanjian antara kedua belah pihak seperti antara Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1817 dan Perjanjian Pengurangan Persenjataan Angkatan Laut di Washington tahun 1992 antara Amerika Serikat dan Inggris Raya dengan Jepang, Perancis, dan Italia) , dan ada pula yang berujung kegagalan (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Selain dengan menggunakan pengurangan persenjataan, perdamaian juga biasa dilakukan dengan penyelesaian yudisial, yakni suatu tindakan yang dilakukan terhadap sengketa politik internasional melalui peradilan, misalnya melalui Mahkamah dan Peradilan Internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia II (Nasution, Dahlan, 1988 : 192). Tentunya keseluruhan bentuk perdamaian dilakukan dalam keamanan bersama yang ideal dan realistik. Dikatakan ideal jika satu kelompok negara yang bersatu dalam dua blok yang satu sama lain saling bertentangan. Dikatakan realistik jika keamanan bersama merupakan gabungan negara-negara yang bukan saja terdiri atas dua blok melainakan juga beberapa kelompok lainnya di luar kelompok negara tersebut (Nasution, Dahlan. 1988: 190-191). Berikut penulis kutipkan model keamanan bersama yang ideal dan realistik dalam bentuk diagram.











Keamanan bersama yang realistik


L
 



Keamanan bersama yang ideal

 




                                                        
Selain perdamaian menggunakan pengurangan senjata, ada pula perdamaian yang menggunakan jalan akomodasi yang sering disebut diplomasi. Tugas diplomasi antara lain:
1.      menentukan sasaran-sasarannya sesuai dengan kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
2.      menilai sasaran-sasaran dari bangsa-bangsa lain dan kekuatan aktual serta potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
3.      harus menetapkan sejauh mana tujuan-tujuan yang berbeda-beda ini dapat dibandingkan satu sama lain
4.      harus mampu mempergunakan cara yang paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya itu (Nasution, Dahlan, 1988: 211).
Ada banyak contoh usaha membangun perdamaian pascaperang tanpa kehadiran kesepakatan damai formal. Sebagai contoh, setelah kemenangan militer di satu pihak, atau ketika pertempuran mencapai jalan buntu atau mereda perlahan dan masuk ke dalam keadaan genting berupa kekerasan sporadis yang dilokalisasi (Miall, Hugh, 2000:298). Berikut penulis kutipkan enam misi PBB dalam pembangunan perdamaian pasca-penyelesaian dari tahun 1988-1998.
Negara
Pemerintah
Oposisi
Intervensi Pasukan PBB
Namibia
Afrika Selatan
SWAPO
UNTAG
Angola
MPLA
UNITA
UNAVEM
El-Salvador
ARENA
FMNL
ONUSAL
Kamboja
SOC
CDGK
UNTAC
Mosambique
FRELIMO
RENAMO
ONUMOZ
Bosnia-Herzegovina
Pemerintah RBH
(FBH)/RS
IFOR/SFOR, dsb

Dari sini dapat dilihat, jika kesepakatan perdamaian merupakan poin dimana  konflik diakhiri secara formal, proses penyelesaian terhadap akar penyebab merupakan hal penting dalam fase kesepakatan pasca-konflik atau fase pasca-penyelesaian. Pada tahun 1960-an, ada tiga jenis pendekatan untuk perdamaian, yakni:
1.      Usaha menjaga perdamaian yang ditujukan guna menghentikan atau mengurangi manifestasi kekerasan konflik melalui intervensi kekuatan militer dalam sebuah peran penengah antar pihak yang bertikai
2.      Penciptaan perdamaian yang ditujukan pada rekonsiliasi politik dan sikap strategis melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi, dan konsiliasi terutama pada level elit
3.      Pembentukan perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi (Miall, Hugh, 2000:299).


Sejatinya, peperangan merupakan hal yang wajar karena insting manusia untuk mempertahankan dirinya atau bahkan insting untuk mempertahankan hidup dan menghancurkannya. Akan tetapi jika peperangan terus berlanjut dan tidak menemukan titik damai, pun menyebabkan keresahan banyak kalangan, alangkah bijaksananya jika kepentingan-kepentingan yang menungganginya saling mengalah, dan berdamai..













Kepustakaan

Bunbonkarn, Suchit. 1990. Militer Dalam Politik di Muangthai 1981-1986. Penerjemah: Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Scahill, Jeremy. 2010. Blackwater: Membongkar Keterlibatan Tentara Bayaran dalam Invasi Militer Amerika Serikat. Penerjemah: Aang Muljanto, Winny Prasetyowati. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Diterjemahkan oleh Th. Sumarthana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Habib, A. Hasnan, et.al. 1994. Perang, Militerisme dan Tantangan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Miall, Hugh, et.al. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, Dahlan. 1988. Perang atau Damai dalam Wawasan Politik Internasional. Bandung: CV Remadja Karya.