Jumat, 20 Januari 2012

ETNOGRAFI - DUGDERAN: Harmonisasi Kehidupan nan Multikultur



Dalam buku Pengantar Ilmu Antropologi, Koentjaraningrat secara gamblang menjabarkan jika etnografi merupakan pokok karangan yang terpenting dari pengolahan dan analisa antropologi. Karangan ini bisa berwujud deskripsi mengenai kebudayaan atau suatu suku bangsa. Karangan etnografi , masih menurut Koentjaraningrat, mengambil pokok deskripsi berupa kesatuan kebudayaan dari suatu komunitas di satu daerah geografi ekologi atau di sebuah wilayah administratif tertentu dengan dasar tata-urut yang disarikan dari unsur-unsur kebudayaan. Tata urut tersebut acapkali disebut sebagai “kerangka etnografi”.
            Koentjaraningrat menyatakan bahwa seorang penulis etnografi dalam penulisan karangannya haruslah mendasarkan pada kerangka etnografi yang antara lain berupa:
  1. Lokasi, lingkungan alam, dan demografi
Dalam bab ini, seorang penulis etnografi hendaknya mampu melukiskan ciri-ciri geologi dan geomorfologi dari daerah lokasi dan penyebaran suku bangsanya juga keterangan mengenai ciri-ciri flora dan fauna di daerah yang bersangkutan. Data tersebut masih harus dilengkapi dengan data demografi mengenai jumlah penduduk.
  1. Asal mula dan sejarah suku bangsa
Dalam bab ini, seorang penulis etnografi hendaknya melengkapi tulisannya dengan keterangan mengenai asal-mula dan sejarah suku bangsa yang menjadi pokok deskripsinya. Tulisan para ahli pre-histori membantu para penulis etnografi dalam mengetahui zaman pre-histori suatu suku bangsa.
  1. Bahasa
Dalam bab ini, sebuah karangan etnografi hendaknya memberikan deskripsi tentang ciri-ciri terpenting dari bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa yang bersangkutan.
  1. Sistem teknologi
Dalam bab ini, sebuah karangan etnografi cukup membatasi bahasannya pada teknologi tradisional yakni teknologi yang belum terpengaruh kebudayaan Er-Amerika atau kebudayaan Barat.
  1. Sistem mata pencaharian
Dalam bab ini, penulis etnografi cukup membahas sistem mata pencaharian yang bersifat tradisional saja terutama dalam rangkaian perhatian mereka terhadap kebudayaan suku bangsa secara holistik misalnya, berburu dan meramu; beternak; bercocok tanam di ladang; menangkap ikan; dan bercocok tanam menetap dengan irigasi.
  1. Organisasi sosial
Dalam bab ini, penulis etnografi menjelaskan organisasi masyarakat yang diatur oleh adat-istiadat dan aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan pergaulan dari hari ke hari.
  1. Sistem pengetahuan
Dalam bab ini, karangan etnografi hendaknya menjabarkan bahan keterangan mengenai sistem pengetahuan dalam kebudayaan suku bangsa yang bersangkutan.
  1. Kesenian
Dalam bab ini kebanyakan para penulis etnografi pada masa akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 dalam karangan-karangan mereka sering memuat deskripsi mengenai benda-benda hasil seni pada benda alat-alat sehari-hari. Terdapat pula karangan mengenai seni musik, tari, dan drama.
  1. Religi
Dalam bab ini, para penulis etnografi sering menuliskan upacara-upacara keagamaan sebuah suku bangsa yang memiliki ciri khas tertentu dan berbeda dengan upacara-upacara keagamaan bangsa-bangsa Eropa.

            Dari definisi dan penjabaran kerangka etnografi tersebut, penulis akan mengambil aspek kesenian dan dalam hal ini berupa seni tradisi yang dilakukan setiap tahun menjelang bulan suci Ramadhan. Seni tradisi yang diberi nama:
DUGDERAN
            Dugderan adalah suatu upacara yang dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Tionghoa dan Arab. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan. Menurut sejarah upacara Dugderan diperkirakan mulai berlangsung sejak tahun 1881 di kala Semarang dipimpin oleh Bupati RMTA Purbaningrat. Upacara ini dilatarbelakangi oleh perbedaan pendapat dalam masyarakat mengenai awal dimulainya puasa pada bulan suci Ramadhan. Oleh karena itu dicapailah suatu kesepakatan untuk menyamakan persepsi masyarakat dalam menentukan awal Ramadhan yakni dengan menabuh bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten dan dibunyikan masing-masing tiga kali dan dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid.
            Perayaan multikultural ini semakin menarik minat masyarakat Semarang dan sekitarnya ditandai dengan makin banyaknya para pedagang yang menjajakan dagangannya yang beraneka ragam seperti minuman, makanan, dan mainan anak-anak seperti perahu-perahuan, celengan, seruling dan gangsing. Selain itu dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi.
           Dalam upacara dugderan yang dilaksanakan pada Ramadhan tahun 1433 Hijriyyah (tahun 2011) , dugderan diawali dengan upacara pembukaan pawai yang dilakukan di Balai Kota Semarang. Arak-arakan pawai terdiri atas kendaraan hias dari berbagai institusi pemerintahan seperti sekolah hingga pemerintah kota. Para pejabat eselon satu dan Denok-Kenang di kota Semarang mengikuti pawai dengan mengendarai delman. Termasuk pula walikota Semarang, H. Soemarmo HS, yang mengendarai delman berbentuk kereta kuda dan didatangkan langsung dari Surakarta.





            Arak-arakan pawai berjalan menyusuri sepanjang jalan Pemuda hingga memasuki area penyelenggaraan Dugderan yang bertempat di sekitar pasar Johar memanjang ke sekitar Masjid Agung Semarang atau lebih dikenal dengan Masjid Besar Kauman. Di sini, walikota Semarang yang bertindak sebagai Kanjeng Bupati disambut oleh para santriwan berbusana hijau yang menabuh rebana menyanyikan lagu-lagu berbahasa Arab.






            Di Masjid Besar Kauman, walikota Semarang selaku Kanjeng Bupati melakukan halaqoh dengan sejumlah ulama yang intinya memusyawarahkan awal kedatangan bulan suci Ramadhan. Setelah melakukan halaqoh, Kanjeng Bupati lantas membacakan hasil halaqoh tersebut di serambi masjid. Pembacaan hasil halaqoh tersebut dilanjutkan dengan pemberikan roti ganjel rel -roti yang berbahan wijen dan dan beraroma jahe khas Semarang- kepada kedua camat di kota Semarang. Penganan ini menjadi rebutan masyarakat saat dibagikan kepada masyarakat luas di panggung depan Masjid Besar Kauman.






           
            Usai melaksanakan shalat dzuhur berjama’ah di Masjid Besar Kauman, rombongan walikota beserta jajaran meninggalkan lokasi dan beriringan menuju Masjid Agung Jawa Tengah untuk kembali mengumumkan awal kedatangan bulan suci Ramadhan. Dengan demikian selesailah serangkaian acara dalam upacara untuk menyambut bulan suci Ramadhan yang dinamakan Megengan.
            Demikianlah seni tradisi Dugderan yang dilangsungkan di kota Semarang, upacara yang dilakukan menjelang bulan suci Ramadhan dengan Megengan sebagai puncaknya. Tradisi yang diwakilkan dengan Warak Ngendhog ini, menurut walikota Semarang, akan terus berlangsung selama masih ada Islam di muka bumi. Ya, inilah bentuk harmonisasi dalam kehidupan yang berlangsung dengan baik.