Kamis, 12 Juli 2012

Tanam Paksa - Sengsara Bermata Dua di Tanah Jawa


Fadhil Nugroho Adi
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
E-mail : adiyond@ymail.com
___________________________________________________________________


Menyaksikan diorama penindasan rakyat pribumi dalam film Max Havelaar ini nyaris membuat bergidik siapapun yang menyaksikannya. Lihat saja, penderitaan tumpah akibat kebengisan kumpeni dan bupati di sana! Yang mengherankan, tak ada sama sekali rasa persamaan nasib antara kaki tangan bupati dengan rakyat jelata yang secara nyata berasal dari kaum yang sama : pribumi. Kekejaman mereka justru lebih menggila. Kekerasan berlangsung begitu mengerikan. Pemaksaan atas hak milik pun mematikan produktivitas rakyat di sana. Asisten residen hanya menjadi hiasan di sana akibat perbedaan pandangan yang begitu tajam. Sungguh ironis !


Film yang mengambil latar tanam paksa di bawah kepemimpinan Van Den Bosch ini ber-alur kilas balik atau flash back. Diawali dengan penggambaran situasi masyarakat Lebak yang hidupnya di bawah tekanan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Kerbau yang menjadi tumpuan penghidupan mereka direbut paksa oleh demang (diperankan oleh Maruli Sitompul) beserta pasukannya, dan sama sekali mereka tidak bisa melawannya. Pilihannya nyawa atau membayar pajak kepada penguasa. Sudah pasti bisa ditebak jawabannya. Kekurangan ekonomi-lah yang menyebabkan mereka terpaksa menyerahkan kerbau tersebut kepada raden demang.
Di lain tempat, jauh letaknya di seberang sana tepatnya di negeri Belanda, Max Havelaar (diperankan oleh Peter Faber) yang sudah habis masa pengabdiannya sebagai asisten residen di Nusantara menemui sahabat lamanya. Ia menyerahkan sekumpulan tulisan dengan meyakinkan bahwa apa yang ia tulis mengenai kopi. Ya, masyarakat Eropa memang begitu antusias dengan minuman pekat itu -sekaligus sebagai komoditi ekspor yang paling banyak ditanam di Nusantara-. Alangkah terkejutnya sahabat Havelaar ini karena tulisan Havelaar tidak melulu berkisah tentang kopi melainkan gambaran kesengsaraan rakyat di Nusantara. Kekerasan, tindak pelecehan seksual, dan kasus-kasus lain juga menjadi bahan penulisan Havelaar yang juga mencengangkan sahabat Havelaar itu. Di kemudian hari tulisan ini diterbitkan dan menggegerkan penduduk daratan Eropa serta menjadi senjata ampuh untuk menggulingkan Van Den Bosch -sekaligus pendiskreditan Belanda-serta melabeli Belanda sebagai negara penjajah yang kejam.
Pengisahan secara utuh kondisi sosial-masyarakat di Lebak diawali dengan jamuan makan malam yang diadakan bupati (diperankan oleh Adendu Soesilaningrat) dengan mengundang asisten residen, Slottering (diperankan oleh Joop Admiraal). Jamuan makan malam itu terrasa hangat, terlebih dengan suguhan tari-tarian. Akan tetapi pujian dan rasa hormat asisten residen terhadap bupati tidak relevan dengan apa yang menimpanya. Slottering diberi kudapan, dan ia memakannya. Ia tidak sadar bahwa kudapan itu telah diracun. Racun itu menjalar begitu cepat terlebih ia penderita penyakit limpa. Tim dokter tidak mampu mengobatinya, dan Slottering pun meninggal dunia -saat itu istri Slottering (diperankan oleh Rima Melati) tengah mengandung-. Sang istri tampaknya mencium keanehan penyebab kematian suaminya. Sekuat apapun desakan sang istri kepada dokter untuk menyelidikinya, dokter tetap akan menulis laporan bahwa Slottering meninggal karena gagal limpa dan laporan inilah yang terdengar ke kantor residen. Residen (diperankan oleh Carl van der Plas) beserta jajarannya pun harus segera memutuskan pengganti asisten residen di Lebak.
Waktu bergulir, dan Max Havelaar datang ke Nusantara, dengan Sulawesi sebagai tujuannya. Max Havelaar datang beserta istri (diperankan oleh Sacha Bulthuis) dan putera semata wayangnya. Keberpihakan Havelaar terhadap pribumi terlihat ketika seorang pria -nampaknya ia pejabat pribumi- di sana melakukan tindak pelecehan seksual terhadap wanita dari kalangan rakyat biasa. Di situlah Havelaar menampar lelaki tadi dan segera saja ia mendapatkan simpati dari rakyat di sana.
Kekosongan jabatan asisten residen di Lebak menyebabkan Havelaar dipindahtugaskan ke Jawa. Pada mulanya sang istri menolak pemindahan tersebut -karena tempatnya jauh dari pantai- namun lama kelamaan ia menyukainya. Suasana yang asri, udara yang sejuk dan iklim masyarakatnya yang tenang-lah penyebabnya.
Di Lebak, Havelaar bersikap sama dengan apa yang ia lakukan di Sulawesi. Bukan lagi-lagi tamparan, melainkan keberpihakannya terhadap kaum pribumi sekaligus kesederhanaan sikap yang dimilikinya, jauh dari kesan kumpeni yang sewenang-wenang. Sikapnya ini begitu kentara ketika ia banyak menolak pengiriman tenaga-tenaga rakyat yang dipersiapkan bupati untuknya. Baginya, ia tidak butuh dilayani selama ia masih sanggup mengerjakannya sendiri. Bahkan untuk menata rumah pun ia ikut turun tangan bersama sang istri dibantu para penduduk pribumi. Havelaar kerap berkeliling Lebak dengan menunggangi kudanya. Ia begitu memperhatikan nasib rakyat jelata. Ini terlihat ketika raden demang tidak membayar kerbau yang ia beli dari rakyat jelata, Havelaar dengan tegas melarang penjualan kerbau jika memang mereka tidak menghendaki menjualnya.
Keberpihakan Havelaar terhadap rakyat pribumi ternyata menimbulkan keresahan di kalangan pejabat pribumi itu sendiri. Pernah ia “dikirimi” sekarung ular yang bisa menjalar dengan cepat ke kediamannya. Ia juga nyaris mengalami hal yang sama seperti Slottering ketika bupati mengundangnya makan malam bersama. Beruntung, nyonya Slottering melarang Havelaar untuk pergi ke sana. Dari situlah terungkap bahwa kematian Slottering akibat diracun dan dibawalah kasus ini ke Residen, akan tetapi Residen bersikap acuh dan tak mau tahu.
Havelaar sebenarnya mengerti penderitaan rakyatnya. Apalah dayanya jika perjuangannya tidak mendapat jalan terang dari bupati yang bersekongkol dengan demang untuk menjatuhkan dirinya. Havelaar bahkan sempat diminta untuk berpindahtugas ke Ngawi akan tetapi ia menolak karena ia belum melakukan perubahan besar di Lebak. Terdorong oleh rasa geram atas ketidakadilan yang dialami masyarakat di Lebak menyebabkan Havelaar bertekad untuk melaporkan masalah ini kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sang istri yang teramat mencintainya berat untuk melepas Havelaar sebab ia tahu resiko yang musti dihadapi sang suami. Akan tetapi atas nama keadilan Havelaar, istri, dan puteranya, melawat ke Bogor untuk menjumpai Gubernur Jenderal.
Sayangnya impian Havelaar untuk bisa duduk bersama dengan Gubernur Jenderal untuk membicarakan kesengsaraan rakyat Lebak menemui jalan buntu. Tak ada asa yang bisa terwujud. Tak ada harapan yang bisa dirajut. Pemerintah kolonial Hindia Belanda nampak memihak bupati ketimbang asisten residennya sendiri. Havelaar begitu terpukul. Terpuruk. Benarlah rakyat musti memikul derita atas nama sang Raja !
Bertolak dari kisah Max Havelaar dalam film yang berjudul sama ini bisa ditarik satu garis kesimpulan, bahwa apa yang dituangkan sebenarnya hanya segelintir dari kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan akibat sistem tanam paksa di Jawa. Barangkali benar ungkapan Van Soest yang dimuat dalam tulisan R.E. Elson bertajuk Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa, “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya” (Booth, Anne, 1988 : 39). Tanam paksa, menurut Ricklefs, dalam prakteknya tidak pernah ada sistem sama sekali. Terdapat banyak variasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dalam pelaksanaan rencana-rencana Van Den Bosch tersebut di Jawa (Ricklefs, M.C., 2005: 261). Sebagai contoh, dengan mengambil latar tempat yang sesuai dengan kiprah Max Havelaar yakni di Lebak, Banten, di sana telah terdapat kelaziman kaum tani menyerahkan hasil budidaya ke pabrik kopi untuk pengolahan taraf terakhir (Booth, Anne, 1988 : 44). Akan tetapi kaum tani tersebut diharuskan bekerja empat atau lima kali lebih lama daripada jam kerja yang dituntut dalam masa sebelum tahun 1830 dan imbalan yang diterima sama sekali tidak seimbang dengan tambahan waktu dan jerih payah yang dituntut dari mereka, dan bahkan jauh di bawah harga pasaran dari hasil budidaya itu (Booth, Anne, 1988 : 45). Keadaan tersebut masih ditambah lagi dengan kesulitan-kesulitan sebagai dampak budidaya paksa erhadap pertanian tanaman pangan. Pertama, hari kerja yang dituntut untuk budidaya paksa sering tidak menyisakah waktu untuk penggarapan tanaman pangan, msialnya penanaman tebu dan nila yang acapkali mengganggu kegiatan penanaman dan pemeliharaan padi; kedua, budidaya yang menggunakan jumlah besar dari tanah sawah misalnya tebu dan nila; ketiga, tanah sawah harus disediakan untuk budidaya ekspor pada masa tertentu; keempat, tanaman ekspor yang ditanam pada lahan diutamakan dalam hal pembagian air irigasi; kelima, padi yang ditanam pada lahan bekas budidaya tebu dan nila tidak memberi hasil panen yang maksimal; dan keenam, sistem tanam paksa melipatgandakan terhadap kebutuhan hewan ternak kaum petani (Booth, Anne, 1988: 47-48). Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pihak luar dan dapat diselesaikan di dalam desa tanpa mengubah keutuhan desa jutsru dapat memberi peran kepada desa sebagai penyambung atau tussen schakel antara sistem tanam paksa dan rakyat sebagai penanam. Keadaan tersebut berdampak:
1.      Proses mengarahkan desa ke luar mengalami keterlambatan, begitu pula dengan modernisasinya. Gejala-gejala komersialisasi, diferensiasi, dan spesialisasi tidak bisa dilakukan dalam sistem yang feodal dan sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada investasi yang kembali ke penghasil sendiri.
2.      Sistem tanam paksa lebih memperkuat perkembangan desa yang terarah ke dalam karena bisa difungsikan sebagai alat produksi yang efektif.
3.      Peranan kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat diperolehnya dukungan dari penguasa di atasnya, baik Belanda maupun pribumi (Kartodirdjo, Sartono, 1992 : 311).
Mengenai ketundukan bupati kepada kolonial, sementara bupati adalah orang pribumi, Ricklefs menandaskan bahwa Bealanda sebelumnya tidak pernah tertarik untuk “memodernkan” para bupati karena mereka bermanfaat dengan status tradisional mereka. Terlebih tingkat pendidikan mereka begitu rendah. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati untuk kepentingannya sendiri, menyalahgunakan status mereka, dan memudahkan mereka untuk melakukan penyelewengan, sementara ketika penyelewengan-penyelewengan menjadi jelas dan para bupati tidak bermanfaat lagi maka pemerintah mulai melangkahi mereka (Ricklefs, M.C., 2005: 279). Inilah mengapa gubernur jenderal Hindia Belanda terkesan tidak peduli dengan misi keadilan yang dibawa Havelaar. Padahal seorang asisten residen, dalam pelantikannya, selalu membawa sumpah untuk melindungi rakyatnya, tak terkecuali Max Havelaar.
Siapa Douwes Dekker ?
Douwes Dekker, sang penulis Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli (“dia yang telah banyak menderita”, nama samaran yang mencerahkan!) adalah seorang pejabat di administrasi kolonial. Ia bertugas sebagai asisten residen di Jawa Barat tempat ia berkonflik dengan atasannya. Ia menuduh mereka membiarkan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan bupati Lebak, orang yang seharusnya ia kontrol dalam pemerintahan kabupatennya. Dekker berniat untuk memperbaiki penyalahgunaan wewenang dan mengajukannya langsung kepada Gubernur Jenderal, dengan harapan bahwa Gubernur Jenderal akan menyetujui rencananya. Akan tetapi ia justru disalahkan dan dipindahtugaskan ke pos yang kurang menyenangkan. Iapun mengundurkan diri. Douwes Dekker berusaha sekeras mungkin bersikap adil kepada orang miskin tapi ia tidak punya kebijaksanaan untuk melangkah dengan taktis. Max Havelaar inilah sebagai wujud pemberontakan pikirannya yang menjadi bestseller dalam waktu singkat. Gayanya, kekuatan penggambarannya atas hubungan sosial di Indonesia dan kebaruan pendekatannya menandai titik balik dalam sastra Belanda dan tetap menjadi sastra Belanda klasik abad ke-19.
Max Havelaar lebih daripada sekedar kritik terhadap pemerintahan kolonial dalam bentuk sastra, juga merupakan satir tanpa simpati terhadap suatu jenis borjuasi Belanda, yang saleh dan bahkan moralistik di antara sesama mereka, tapi merogoh setiap sen yang bisa mereka peras dari Hindia sambil dengan seenaknya mengabaikan kondisi parah orang Indonesia yang memeras keringat untuk memproduksi kekayaan itu.
Ekspresi sentimen yang keras menjadikan Max Havelaar menjadi pendakwaan atas sistem pemerintahan yang ada dan pada akhirnya membantu mempersiapkan latar belakang bagi kaum liberal yang ingin melakukan usaha serius memasukkan prinsip mereka ke dalam pemerintahan kolonial (Vlekke, H.M. Bernard, 2010 :  340-342).




Kepustakaan

Booth, Anne,dkk (sunt). 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium  Sampai Imperium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Vlekke, H.M. Bernard. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.



Sabtu, 07 Juli 2012

Kampoeng Salatiga : Studi Kasus Studi Kasus Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Aspek Pariwisata (Bagian 2)


BAB III
PENUTUP


A. Simpulan
Upaya pemajuan kepariwisataan Salatiga serta pelestarian bangunan cagar budaya Salatiga telah dilakukan Komunitas Kampoeng Salatiga dalam even Salatiga Lawasan ini berlangsung selama dua hari, tepatnya dari tanggal 30 hingga 31 Juli 2011 bekerjasama dengan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga. Ditambah dengan pawai wisata sepeda onthel komunitas dalam rangka HUT Kota Salatiga tahun 2011 melibatkan 17 Komunitas di Salatiga dan diikuti sekitar 800 peserta pawai. Kemudia observasi sejarah bekerjasama dengan FKIP Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana, lalu audiensi bersama Walikota dan Dishubkombudpar Kota Salatiga serta penjualan merchandise yang mengusung konsep Kesejarahan dan kekhasan kota Salatiga.
Konsep-konsep yang digunakan dalam pengelolaan kepariwisataan di Salatiga di antaranya menggunakan konsep perrencanaan dan pembangunan kepariwisataan, serta tak lupa mengaplikasikan konsep 5 M + 2 yang meliputi Manpower, Machine, Methods, Materials, Media, Motivation, dan Money.
B. Saran
            Usai makalah ini didiskusikan dengan beberapa kelompok maka masukan-masukan yang kami peroleh antara lain:
1.      Mengapa orang-orang Belanda memilih Salatiga sebagai tempat tinggal? (Rosyid Hikmatiar)
2.      Keunikan apa yang ada di Salatiga, sehingga bisa menarik wisatawan (Jon Hadi Pakpahan)
3.      Ketika terbentur pada masalah perizinan, dan masalah teknis wisatanya, apa yang harus dilakukan ?(Ade Imani Arsyad)
4.      Bagaimana dengan sistem ganti rugi jika terjadi kerusakan? Dan bagaimana bila rumah walikota dijadikan objek wisata, bagaimana dengan pariwisata itu sendiri? (Biondi Bintang Prasetyo)

Jawaban :
1.      Karena orang-orang Belanda mencari tempat tinggal yang lebih sehat dan lebih sejuk dibandingkan kota2 utama. Alasan lainnya karena di Salatiga terdapat Garnisun atau anggota militer, sehingga orang Belanda merasa lebih nyaman berada di Salatiga
2.      Untuk saat ini, Salatiga mulai menggalakkan kegiatan benuansa kebudayaan di sana. Apalagi Salatiga dijuluki sebagai Indonesia kecil, disebut multikultur karena disana banyak sekali suku bangsa seperti China, Arab, Belanda, Inggris.
3.      Terjadi benturan apalagi untuk bangunan kuno dikenakn pajak yang tinggi. Namun baru-baru ini muncul wacana untuk menurunkan pajak. Masalah teknisnya bisa diselesaikan karena akan dilakukan kerjasama dengan komunitas-komunitas, dan bisa menjadi profit yang baik bagi pemerintah.
4.      Semua ditanggung pemerintah, dan si pemakai. Mengenai privasi, rumah walikota hanya bisa dilihat dari luarnya saja, tidak bisa sampai di dalam rumah. Akan tetapi sebelumnya mereka harus mengajukan izin kepada instansi yang bersangkutan.


DAFTAR PUSTAKA


Siswokartono, Soetomo. 2011. Pembangunan Kepariwisataan Tourism Development. Semarang: STIEPARI Press.
Witjaksono, Djoko. Presentasi Pembangunan Pemugaran dan Masa Depan Kota, Dinas Budpar Provinsi Jawa Tengah.
www.pemkot-salatiga.go.id

Kampoeng Salatiga : Studi Kasus Studi Kasus Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Aspek Pariwisata (Bagian 1)


ABEL JATAYU PRAKOSA
FADHIL NUGROHO ADI
RENDRAWATI
RISDA GUNTARI

Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
____________________________

 

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Salatiga adalah Staat Gemente yang dibentuk berdasarkan Staatblad 1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Salah satu kota kecil yang terletak di provinsi Jawa Tengah ini mempunyai luas wilayah ± 56,78 km², terdiri atas  4 kecamatan, 22 kelurahan, berpenduduk 176.795 jiwa. Berada pada jalur regional Jawa Tengah yang menghubungkan kota regional Jawa Tengah yang menghubungkan kota Semarang dan Surakarta, mempunyai ketinggan 450-800 meter dari permukaan laut dan berhawa sejuk serta dikelilingi oleh keindahan alam berupa gunung (Merbabu, Telomoyo, Gajah Mungkur). Kota Salatiga dikenal pula sebagai kota pendidikan, olah raga, perdagangan, dan transit pariwisata.
Kota yang dijuluki sebagai kota pendidikan ini memiliki 4 perguruan tinggi ternama, antara lain Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi AMA (STIE AMA) Salatiga, Sekolah Tinggi Bahasa Asing Satya Wacana (STiBA SW), dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) yang kerap dijuluki sebagai "Indonesia Mini" dikarenakan mahasiswanya terdiri dari berbagai suku di Indonesia dan berragam budaya Nusantara sering menjadi kegiatan rutin tahunan dilaksanakan oleh UKSW.
Sejak masa penjajahan Belanda Kota Salatiga kerap digunakan sebagai daerah peristirahatan, karena memang Salatiga berhawa sejuk, sehingga banyak bangunan kuno peninggalan belanda terdapat di Salatiga dan sampai sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan kuno tersebut dapat dilihat dengan keberadaan Bangunan Cagar Budaya (dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya), antara lain Kantor Walikota Salatiga        yang terletak di jalan Letjend. Sukowati No. 51 Salatiga dengan kondisi bangunan yang terrawat dengan baik, bentuk bangunan masih asli dengan estetika bangunan berciri arsitektur neo klasik/renaissance. Di gedung yang merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya inilah, Walikota Salatiga sehari-hari menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan sebagai seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Ada juga Gedung Perhutani di jalan Diponegoro No. 82 Salatiga yang terrawat dengan baik, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bercirikan arsitektur kolonial. Gedung ini juga sering dipakai untuk latihan dan pertandingan bulu tangkis. Gedung Denhubrem 073/Makutarama Salatiga di jalan Diponegoro No.86 Salatiga juga merupakan Bangunan Cagar Budaya dengan kondisi bangunan yang terrawat dengan baik, dan bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bercirikan arsitektur barrock dan art nouveau. Ada pula kompleks Roncalli (Asrama Pastor dan Bruder) Salatiga di jalan Diponegoro No.90 Salatiga; kompleks Rumah Dinas Dan Rem 073/Makutarama Salatiga di jalan Diponegoro No.97 Salatiga; rumah tinggal drg. Ceplis S. Supriyati (Apotik Denta)     di jalan Muh. Yamin No.29 Salatiga; rumah tinggal di jalan Diponegoro No.109; Kantor Pos Salatiga di jalan Muh. Yamin No.3 Salatiga;  serta rumah tinggal Dr. R. Hasmo Sugiyarto yang terletak di jalan Muh. Yamin No.4 Salatiga dengan kondisi yang terrawat baik, serta bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bercirikan arsitektur art deco. Tak ketinggalan Gedung LPIA Salatiga di jalan Diponegoro No.101 Salatiga dan rumah tinggal di jalan Muh. Yamin No.5 Salatiga        yang masih terpelihara dengan baik, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bercirikan arsitektur kolonial.[1]
Oleh karena itu, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, peemrintah banyak memanfaatkan bangunan-bangunan lawa tersebut dengan dijadikan kantor-kantor pemerintahan. Akan tetapi pengelolaan bangunan yang dipasrahkan pemerintah tersebut tidak serta merta mendapat reaksi positif dari masyarakat. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai sejarah dan sikap apriori masyarakat terhadap peninggalan kolonial. Untuk menghilangkan sikap tersebut, salah satu komunitas yang memiliki kesadaran sejarah dan memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan Bangunan Cagar Budaya serta menjadikannya sebagai modal kepariwisataan Salatiga tersebut adalah Kampoeng Salatiga. Komunitas ini mutlak diperlukan, karena bagaimanapun kota tanpa keanekaragaman artefak kesejarahan dan variasi budaya, layak disebut sebagai “Kota Gila”.[2]

B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam “KAMPOENG SALATIGA Studi Kasus Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Aspek Pariwisata” adalah:
1.      Bagaimana pengelolaan yang dilakukan komunitas Kampoeng Salatiga terkait dengan keberadaan Benda Cagar Budaya di Salatiga?
2.      Bagaimana upaya Kampoeng Salatiga untuk memajukan kepariwisataan kota Salatiga?
3.      Konsep manajerial apa sajakah yang diperlukan untuk  mengelola kepariwisataan kota Salatiga?

C. Tujuan Penulisan
            Makalah bertajuk “KAMPOENG SALATIGA Studi Kasus Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Aspek Pariwisata” ini bertujuan untuk :
1.      Menjabarkan pengelolaan yang dilakukan komunitas Kampoeng Salatiga terkait dengan keberadaan Benda Cagar Budaya di Salatiga
2.      Menjabarkan upaya-upaya yang dilakukan Kampoeng Salatiga untuk memajukan kepariwisataan kota Salatiga
3.      Menjelaskan konsep-konsep manajerial yang diperlukan untuk  mengelola kepariwisataan kota Salatiga



BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengelolaan
1.      Kampoeng Salatiga
Kampoeng Salatiga merupakan komunitas yang mendasarkan diri pada Sejarah, Seni dan Budaya sebagai fokus gerakan. Cinta sejarah, Cinta budaya, Cinta kota menjadi semboyan dalam gerakan komunitas ini. Kampoeng Salatiga terdiri dari anak-anak muda dengan berbagai latar belakang profesi dan keahlian berbeda-beda; ilmu sejarah, IT, web developer, pendidik, etnomusikologi, seni musik, dan lainnya, yang berkumpul dalam sebuah wadah.
Kesadaran membangun komunitas ini berawal dari keprihatinan terhadap kondisi nasionalisme anak muda yang kian hari kian menipis terkikis, bahkan mungkin hilang. Kehidupan perkotaan yang merasuki kota Salatigapun menjadi salah satu kambing hitam dalam permasalahan ini. Maka untuk mengembalikan kesadaran masyarakat pada kiblat nasionalisme kebangsaan yang dibangun para pendiri bangsa, tak lain dan tak bukan melalui penggalian, pendokumentasian dan pempublikasian sejarah pada umumnya dan sejarah kota Salatiga pada khususnya. Hal ini diharapkan dapat mengembalikan citra kota dan bangga akan identitas kota, dengan tidak hanya melihat sisi ekonomi namun kedepan pembangunan yang mempertimbangkan berbagai sisi secara komprehensif dan berkelanjutan, sehingga penataan kota dan citra kota Salatiga sebagai kota pendidikan dan kebudayaan dapat terwujud.
Alasan yang kedua, melihat pada potensi anak muda serta lesunya kepariwisataan yang ada di Salatiga membawa komunitas Kampoeng Salatiga untuk menawarkan alternatif wisata lain. Wisata sejarah yang dikemas sedemikian rupa diharap dapat menjadi daya tarik tersendiri terhadap sejarah kota selain memiliki nilai edukasi-historis dan pencitraan terhadap kota. Selain itu pencarian terhadap ikon baru kepariwisataan Salatiga sangat diharapkan dari kemunculan Kampoeng Salatiga.
Ketiga, seni dan budaya menjadi fokus perhatian dalam komunitas Kampoeng Salatiga. Hal ini berdasarkan pada penggalian musik dan kebudayaan masa lalu untuk menciptakan kebudayaan yang menyesuaikan jamannya. Sebagai contoh musik tradisional “ciblon”, yakni permainan musik anak-anak yang dimainkan saat mereka mandi di kali dengan cara memukul-mukulkan tangan mereka ke permukaan air kolam atau kali sehingga dihasilkan bunyi yang memiliki kekhasannya. Selain itu musik keroncong yang terancam punah, menjadi fokus perhatian untuk dilestarikan. Meski demikian, seni dan budaya yang dimaksudkan tak hanya berpusat pada seni dan budaya masa lalu di kota Salatiga, namun memiliki cakupan yang cukup luas untuk mewadahi komunitas-komunitas musik yang selama ini telah berdiri di Salatiga tanpa mencampuri organisatoris mereka.
Terakhir, berkaca pada apa yang telah dilakukan oleh Y.B.Mangunwijaya dengan rumah singgah kali codenya, Kampoeng Salatiga mencitakan sebuah idealisme Kampoeng Sejarah, seni dan Budaya yang dapat menularkan kepada generasi selanjutnya lewat edukasi alternatif nonformal yang kemudian hari dapat menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap Kota dan Bangsanya. Tujuan terkahir ini menjadi alasan kuat untuk menjadikan Kampoeng Salatiga ikon sekaligus motor penggerak bagi perubahan Salatiga yang lebih baik.
Di Kampoeng Salatiga, masyarakat dapat menikmati sajian makanan seraya duduk berbincang tentang apapun, sejarah, seni, budaya, humaniora dan apapun yang menjadi kesukaan mereka seraya menikmati masa lalu dari beberapa peninggalan sejarah yang berhasil dikumpulkan dan direproduksi ulang.
Nampaknya, ketika kota tak lagi dapat diubah, perubahan itu mungkin diawali dari sebuah komunitas yang dibangun diatas dasar idealismenya sehingga di kemudian hari komunitas tersebuat akan membawa dampak perubahan tatanan masyarakat dan kota, inilah cita yang mendasari terbentuknya Komunitas Kampoeng Salatiga.
2.      Struktur Organisasi Kampoeng Salatiga
Bertindak sebagai penasehat Komandan KODIM 0714/SALATIGA, sebagai Koordinator Umum Andre Sutantyo, S.Si dari Program Magister Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana. Koordinator Bidang Keuangan dipegang oleh Bernadeta Desinova Kr., S.Si, dan koordinator bidang IT dan website dijabat oleh Fandi Kurniawan, sementara bidang Desain dan Kreatif dipegang oleh Theresia Ayuk Trisnamurti; Bangkit Dandy Yanuar, mahasiswa jurusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta; dan Priska, mahasiswi Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Kristen Satya Wacana. Albertus Raprika Bangkit N., mahasiswa jurusan Musik Murni ISI Yogyakarta; Asfrigaluh, mahasiswi dari jurusan Etnomusikologi ISI Solo; Erik Kado, mahasiswa jurusan Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana; Wikan Setiadji dari jurusan Pedalangan ISI Solo; dan Tiara, siswi SMA N 1 Salatiga, tergabung dalam bidang Kesenian.
      Bidang Administrasi dan Humas dikendalikan oleh Eko Maryati, S.Psi, Abel Jatayu Prakosa dari jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro menjabat sebagai Koordinator Bidang Sejarah dengan membawahi Awang Wahid, Benedictus Fendy P.P., S.Pd, Irmawati Oktaviani dari SMK N 2 dan Rian dari Universitas Gajah Mada jurusan Psikologi sebagai anggota.
3.      Kegiatan-Kegiatan Kampoeng Salatiga sebagai Upaya Pemajuan Kepariwisataan
a.      Salatiga Lawasan
Kegiatan bertajuk Salatiga Lawasan ini berlangsung selama dua hari, tepatnya dari tanggal 30 hingga 31 Juli 2011. Kegiatan tersebut berupa pameran foto dan barang antik tentang Salatiga di GPD bekerjasama dengan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Salatiga.
b.      Wisata Sejarah Sepeda Onthel Kuno.
Pawai komunitas dalam rangka HUT Kota Salatiga tahun 2011 melibatkan 17 Komunitas di Salatiga dan diikuti sekitar 800 peserta pawai.


c.       Observasi Sejarah
Observasi Sejarah bekerjasama dengan FKIP Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana melibatkan Komandan Korem 073/Makutarama dalam memberikan materi karakter kebangsaan di aula Makorem 073 yang diikuti sekitar 120 mahasiswa.
d.      Audiensi
Audiensi bersama Walikota dan Dishubkombudpar Kota Salatiga juga pernah diprakarsai Kampoeng Salatiga terkait Benda Cagar Budaya di Kota Salatiga.
e.       Penjualan Merchandise Salatiga
Merchandise yang mengusung konsep Kesejarahan dan kekhasan kota Salatiga ini bisa didapatkan dengan mudah di Kampoeng Salatiga.

B. Perrencanaan
1.      Perrencaan Konsep Manajemen Kepariwisataan
Manajemen adalah suatu proses, yang terdiri dari kegiatan pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengkoordinasian dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Planning atau perencanaan merupakan penggambaran tentang apa, bagaimana, mengapa, dan kapan dilakukannya aktivitas, kemudian ditetapkan siapa yang melakukan, bagaimana pembagian kerja, pembagian wewenang, tanggung jawab serta pertanggung jawaban dari masing-masing kegiatan.Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan. Sedangkan Manfaat perencanan, antara lain :
a.       Dapat memberikan arah dan tujuan yang hendak dicapai perusahaan.
b.      Dapat ditentukan suatu suatu pedoman sebagai standar untuk mengurangi ketidakpastian
c.       Dapat diukur berhasil tidaknya suatu kegiatan, untuk memeudahkan pengawasan
d.      Dapat membantu menemukan peluang dimasa yang akan datang
e.       Menciptakan efisiensi biaya[3]
Dalam hal perencanaan konsep dalam manajemen kepariwisataan diperlukan pemahaman mendalam terhadap kepariwisataan sebagai sebuah fenomena. Kepariwisataan sebagai sebuah fenomena artinya bagaimana supaya kepariwisataan menjadi kebutuhan mutlak manusia, yang membutuhkan, yaitu manusia yang melakukan perjalanan serta kebutuhan yang ada di sekitar daerah tujuan wisata atau atraksi wisata. [4]
Oleh sebab itu, dari titik pemahaman tersebut maka perhatian dalam perrencanan manajemen kepariwisataan harus memperhatikan faktor-faktor:
a.       Diversitas atau keberagaman. Artinya, suatu daerah dengan daerah yang lain jangan menggarap atraksi wisata yang sama. Misalnya daerah A menggarap pantai, daerah B juga menggarap pantai, daerah C juga ikut menggarap pantai, hendaknya dihindarkan.
b.      Memperhatikan jarak tempuh wisatawan, artinya di mana pintu gerbang pariwisata (bandara, pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bus, dan sebagainya) serta sarana dan pra sarana, dengan durasi tempuh dan fasilitas transportasi pendukungnya.
c.       Mempersiapkan fasilitas pendukung yang memadai (hotel, restoran, komunikasi, kantor pos, penerangan atau listrik, air bersih, kesehatan, pemandangan wisata, alat-alat pengamanan, toko cinderamata, dan lain-lain) tergantung kebutuhan dan permintaan wisatawan.[5]
2.      Perrencanaan Kepariwisataan Kampoeng Salatiga
Berdasarkan konsep perrencanaan dalam manajemen kepariwisataan tersebut, Kampoeng Salatiga telah memiliki rancangan perrencanaan untuk memajukan sektor pariwisata Salatiga sekaligus menumbuhkan rasa handarbeni terhadap peninggalan bersejarah kota Salatiga. Perrencanaan tersebut meliputi:
a.       Seminar nasional, dengan mengangkat tema-tema mengenai pelestarian Benda Cagar Budaya serta pengenalan konsep sejarah kota dan tata ruang kota yang baik.
b.      Wisata sejarah, dengan memberi jangka waktu secara kontinyu, sehingga bisa mewujudkan cita-cita dan tujuan utama Kampoeng Salatiga dalam mencintai sejarah kotanya sendiri.
c.       Karnaval budaya, dengan menyajikan kegiatan-kegiatan yang sukses dilaksanakan Kampoeng Salatiga ke dalam satu paket khusus dan dilakukan pada even tertentu. Selain itu karnaval budaya juga akan menghadirkan penganan khas Salatiga seperti enting-enting gepuk, abon sapi dan masih banyak lagi. Selan itu Kampoeng Salatiga juga bisa memanfaatkan kedai-kedai yang telah banyak dikenal wisatwan seperti di sepanjang Jalan Jendral Sudirman yang terdapat penjaja wedang ronde khas Salatiga dan di sepanjang Jalan Fatmawati (Blotongan) yang banyak menyediakan menu khas sate kambing.
d.      Perluasan area penjualan merchandise Salatiga. Hal ini dilakukan karena kekhasan yang dimilki merchandise tersebut, yakni dengan mengangkat sejarah kota Salatiga dan Benda Cagar Budaya yang ada di dalamnya. Tentu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, area penjualan dapat dikembangkan di gerbang pariwisata seperti kantor-kantor agen perjalanan, terminal bus, dan tidak menutup peluang untuk menjual produk-produk tersebut di perguruan-perguruan tinggi Salatiga.

C. Pengembangan
            Pengembangan kepariwisataan, dalam hal ini terutama di Salatiga, harus memenuhi rumus D = f (P+M). D berarti Development, f berarti function, P berarti Planning, dan M berarti management. Artinya bahwa, suatu pengembangan atau pembangunan tidak boleh melupakan fungsi perencanaan dan pengelolaan. Tanpa fungsi perencanaan dan pengelolaan yang baik, maka pembangunan itu akan tidak berhasil, bahkan akan menyebabkan pemborosan.[6]
            Secara umum, dalam pengembangan kepariwisataan tersebut harus memenuhi unsur 5 M + 2, yakni:
a.       Manpower (Tenaga kerja). Adalah segala hal permasalahan yang terkait dengan aspek tenagakerja dilihat dari aspek : lemahnya pengetahuan, kurang ketrampilan, pengalaman, kelelahan, kekuatan fisik, lambatnya kecepatan kerja, banyak tekanan kerja, stress dan sebagainya.
b.      Machine (Mesin, peralatan, infrastruktur). Adalah segala masalah yang terkait dengan aspek peralatan, mesin maupun physical tools lainnya. Misalnya : perawatan mesin-mesin, fasilitas pendukung mesin, ketidaklengkapan mesin/peralatan, pengkalibrasian mesin/tools yang tidak standar, daya tahan mesin yang lemah, kesulitan dalam penggunaan mesin, mesin tidak user-operability, dan lain-lain.
c.       Methods (Metode dan prosedur kerja). Adalah segala hal masalah terkait dengan metode dan prosedur kerja. Misalnya prosedur kerja tidak ada, prosedur kerja tidak jelas, metode sulit dipahami, metode tidak standar, metode tidak cocok, metode yang bertentangan dengan metode lainnya dan lain-lain.
d.      Materials (material bahan baku utama, bahan baku penolong).Berkaitan dengan ketersediaan bahan baku utama atau bahan baku penolong yang terkait dengan akar masalah, dengan melihat aspek: kualitas bahan baku tidak sesuai standar, bahan baku tidak lengkap, kuantitas bahan baku tidak seragam, ukuran dan spesifikasi tidak standar dan seterusnya.
e.       Media (media, lingkungan kerja, waktu kerja). Yakni melihat aspek tempat kerja, waktu, lingkungan yang tidak mendukung. Biasanya yang termasuk kategori ini adalah : tempat yang kurang bersih, keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan kurang terang, ventilasi dan peredaran udara buruk, faktor kebisingan suara, faktor lantai yang licin/bergelombang/tidak rata, dan lain-lain.
f.       Motivation (motivasi, soft competency). Ini terkait dengan sikap kerja, perilaku kerja, budaya kerja yang tidak benar ataupun tidak kondusif. Bisa digolongkan seperti : tidak kreatif, tidak proaktif, tidak mau bekerjasama, dan lainnya.
g.      Money (uang dan finansial). Terkait dengan aspek keuangan dan finansial yang belum mendukung dan mantap. Misalnya : ketidaktersediaan anggaran.[7]
Dalam memenuhi unsur 5 M + 2 tersebut, Kampoeng Salatiga berusaha mewujudkannya antara lain dengan usaha-usaha sebagai berikut:
a.       Manpower. Kampoeng Salatiga, seperti yang telah dijelaskan dalam struktur organisasi, menggerakkan elemen masyarakat dari kalangan pelajar, mahasiswa, sekaligus pejabat daerah terkait sebagai penanggungjawab.
b.      Machine. Kampoeng Salatiga dalam hal ini menggunakan peralatan ataupun teknologi komputerisasi, terutama untuk pembuatan desain merchandise dan terkait.
c.       Methods. Kampoeng Salatiga telah menggunakan prosedur kerja yang jelas, terbukti dengan pembagian kerja ke dalam bidang-bidang tertentu seperti yang telah dijelaskan di dalam struktur organisasi Kampoeng Salatiga.
d.      Materials. Dalam hal ini Kampoeng Salatiga tentunya memanfaatkan bangunan-bangunan cagar budaya sebagai tujuan pokok organisasi yakni melestarikan sejarah kota dan memajukan kepariwisataan.
e.       Media. Kampoeng Salatiga telah menggunakan media seperti internet untuk mempublikasikan kegiatannya, begitu pula dengan beberapa banner sehingga membendung banyak pengunjung terutama dari kota Salatiga sendiri.
f.       Motivation. Dukungan kepada Kampoeng Salatiga mengalir dari banyak kalangan seperti Kepala Danrem dan Walikota Salatiga serta warga masyarakat kota Salatiga.
g.      Money. Untuk menambah pemasukan dana organisasi, Kampoeng Salatiga telah banyak melakukan usaha mandiri seperti penjualan merchandie, pin Salatiga, maupun kas pribadi.
Dari analisa tersebut, tetap sebuah pengembangan kepariwisataan harus didukung oleh partisipasi masyarakat setempat karena akan menjadi prasyarat utama keengganan menerima perubahan yang harus diwaspadai dengan studi psikososial dan tata nilai budaya masyarakat yang ada. Jika hal ini dikesampingkan dan diabaikan maka akan muncul kegagalan yang tidak diharapkan. Dengan demikian sikap kehati-hatian studi kelayakan awal yang mendalam akan banyak menolong para perrencana pembangunan pariwisata menuju tingkat keberhasilan.[8]