Sabtu, 17 Desember 2011

Menginternalisasi Nilai-Nilai Nasionalisme Kamboja : Dulu, Kini dan Nanti





BAB I
PENDAHULUAN


A.        LATAR BELAKANG
            Kamboja adalah sebuah negara berbentuk monarki konstitusional di Asia Tenggara yang beribukotakan di Pnom Penh. Negara ini merupakan penerus Kekaisaran Khmer yang pernah menguasai seluruh Semenanjung Indochina antara abad ke-11 dan 14.Kamboja berbatasan dengan Thailand di sebelah barat, Laos di utara, Vietnam di timur, dan Teluk Thailand di selatan. Kamboja memiliki bahasa resmi berupa bahasa Khmer dan beragama resmi Buddha Theravaddha. Sungai Mekong dan Danau Tonle Sap melintasi negara ini. Menjelang kemerdekaannya, Negara Kesatuan Republik Indonesia banyak membantu negara Kamboja ini. Buku - buku taktik perang karangan perwira militer Indonesia banyak digunakan oleh militer Kamboja. Oleh karenanya, para calon perwira di militer Kamboja, wajib belajar dan dapat berbahasa Indonesia.
            1. Sejarah Negara Kamboja
                        Perkembangan peradaban Kamboja terjadi pada abad 1 Masehi. Selama      abad ke-3, 4 dan 5 Masehi, negara Funan dan Chenla bersatu untuk membangun           daerah             Kamboja. Negara-negara ini mempunyai hubungan dekat dengan China dan         India. Kekuasaan dua negara ini runtuh ketika Kerajaan Khmer dibangun dan berkuasa pada             abad ke-9 sampai abad ke-13.
                        Kerajaan Khmer masih bertahan hingga abad ke-15. Ibukota Kerajaan         Khmer terletak di Angkor, sebuah daerah yang dibangu pada masa kejayaan      Khmer. Angkor Wat, yang dibangun juga pada saat itu, menjadi simbol bagi      kekuasaan Khmer.
                        Pada tahun 1432, Khmer dikuasai oleh Kerajaan Thai. Dewan Kerajaan      Khmer memindahkan ibukota dari Angkor ke Lovek, dimana Kerajaan mendapat keuntungan besar karena Lovek adalah bandar pelabuhan. Pertahanan Khmer di        Lovek akhirnya bisa dikuasai oleh Thai dan Vietnam, dan juga berakibat pada             hilangnya sebagian besar daerah Khmer. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1594.       Selama 3 abad berikutnya, Khmer dikuasai oleh Raja-raja dari Thai dan Vietnam           secara bergilir.
                        Pada tahun 1863, Raja Norodom, yang dilantik oleh Thai, mencari perlindungan   kepada Perancis. Pada tahun 1867, Raja Norodom menandatangani    perjanjian dengan pihak Perancis yang isinya memberikan hak kontrol provinsi           Battambang dan Siem Reap yang menjadi bagian Thai. Akhirnya, kedua daerah ini             diberikan pada Kamboja pada tahun 1906 pada perjanjian perbatasan oleh Perancis            dan Thai.
                        Kamboja dijadikan daerah Protektorat oleh Perancis dari tahun 1863 sampai           dengan 1953, sebagai daerah dari Koloni Indochina. Setelah penjajahan Jepang    pada 1940-an, akhirnya Kamboja meraih kemerdekaannya dari Perancis pada 9            November 1953. Kamboja menjadi sebuah kerajaan konstitusional dibawah          kepemimpinan Raja Norodom Sihanouk.
                        Pada saat Perang Vietnam tahun 1960-an, Kerajaan Kamboja memilih         untuk   netral. Hal ini tidak dibiarkan oleh petinggi militer, yaitu Jendral Lon Nol dan Pangeran Sirik Matak yang merupakan aliansi pro-AS untuk menyingkirkan        Norodom Sihanouk dari kekuasaannya. Dari Beijing, Norodom Sihanouk             memutuskan untuk beraliansi dengan gerombolan Khmer Merah, yang bertujuan    untuk menguasai kembali tahtanya yang direbut oleh Lon Nol. Hal inilah yang             memicu perang saudara timbul di Kamboja.
                        Khmer Merah akhirnya menguasai daerah ini pada tahun 1975, dan             mengubah format Kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja yang        dipimpin oleh Pol Pot. Mereka dengan segera memindahkan masyarakat perkotaan ke wilayah pedesaan untuk dipekerjakan di pertanian kolektif. Pemerintah yang             baru ini menginginkan hasil pertanian yang sama dengan yang terjadi pada abad     11. Mereka menolak pengobatan Barat yang berakibat rakyat Kamboja kelaparan             dan tidak ada obat sama sekali di Kamboja.
                        Pada November 1978, Vietnam menyerbu RD Kamboja untuk        menghentikan genosida besar-besaran yang terjadi di Kamboja. Akhirnya, pada      tahun 1989, perdamaian mulai digencarkan antara kedua pihak yang bertikai ini di      Paris. PBB memberi mandat untuk mengadakan gencatan senjata antara pihak        Norodom Sihanouk dan Lon Nol.
                        Sekarang, Kamboja mulai berkembang berkat bantuan dari banyak pihak    asing setelah perang, walaupun kestabilan negara ini kembali tergoncang setelah   sebuah kudeta             yang gagal terjadi pada tahun 1997



2. Pembagian Daerah Administratif Kamboja
            Kamboja dibagi menjadi 20 provinsi (khett) and 4 kota praja (krong). Daerah Kamboja kemudian dibagi menjadi distrik(srok), komunion (khum), distrik besar (khett), and kepulauan(koh).
a.       Kota Praja (Krong):
1)      Phnom Penh
2)      Sihanoukville (Kampong Som)
3)      Pailin
4)      Kep
b.      Provinsi (Khett):
c.       Kepulauan (Koh):
1)      Koh Sess
2)      Koh Polaway
3)      Koh Rong
4)      Koh Thass
5)      Koh Treas
6)      Koh Traolach
7)      Koh Tral
8)      Koh Tang

3. Kondisi Geografis Kamboja
            Kamboja mempunyai area seluas 181.035 km2. Berbatasan dengan Thailand di barat dan utara, Laos di timurlaut dan Vietnam di timur dan tenggara. Kenampakan geografis yang menarik di Kamboja ialah adanya dataran lacustrine yang terbentuk akibat banjir di Tonle Sap. Gunung tertinggi di Kamboja adalah Gunung Phnom Aoral yang berketinggian sekitar 1.813 meter di atas permukaan laut.



4. Perekonomian Negara Kamboja
            Perekonomian Kamboja sempat turun pada masa Republik Demokratik berkuasa. Tapi, pada tahun 1990-an, Kamboja menunjukkan kemajuan ekonomi yang membanggakan. Pendapatan per kapita Kamboja meningkat drastis, namun peningkatan ini tergolong rendah bila dibandingkan dengan negara - negara lain di kawasan ASEAN. PDB bertumbuh 5.0% pada tahun 2000 dan 6.3 % pada tahun 2001. Agrikultur masih menjadi andalan utama kehidupan ekonomi masyarakat terutama bagi masyarakat desa, selain itu bidang pariwisata dan tekstil juga menjadi bidang andalan dalam perekonomian di Kamboja.
            Perlambatan ekonomi pernah terjadi pada masa Krisis Finansial Asia 1997. Investasi asing dan turisme turun dengan sangat drastis, kekacauan ekonomi mendorong terjadinya kekerasan dan kerusuhan di Kamboja.

5. Kebudayaan Kamboja
            Budaya di Kamboja sangatlah dipengaruhi oleh agama Buddha Theravada. Diantaranya dengan dibangunnya Angkor Wat. Kamboja juga memiliki atraksi budaya yang lain, seperti, Festival Bonn OmTeuk, yaitu festival balap perahu nasional yang diadakan setiap November. Rakyat Kamboja juga menyukai sepak bola (diunduh dari wikipedia.org pada tanggal 30 November 2011).

B.        RUMUSAN MASALAH
            Bahasan yang diangkat dalam makalah Sejarah Asia Tenggara bagian negara Kamboja ini adalah:
1.      Bagaimana kondisi Kamboja pra-kemerdekaan ?
2.      Upaya apa yang dilakukan Kamboja untuk meraih kemerdekaan ?
3.      Bagaimana kondisi kamboja pasca-kemerdekaan ?
4.      Apa yang dilakukan Kamboja untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan?






C.        TUJUAN PENULISAN
            Penulisan makalah berjudul “Menginternalisasi Nilai-Nilai Nasionalisme Kamboja : Dulu, Kini dan Nanti” bertujuan:
1.      Menjabarkan kondisi Kamboja pra-kemerdekaan
2.      Menjabarkan upaya yang dilakukan Kamboja untuk meraih kemerdekaan
3.      Menjabarkan kondisi Kamboja pasca-kemerdekaan
4.      Menjabarkan upaya yang dilakukan Kamboja untuk mempertahankan kedaulatan














BAB II
MASA NASIONALISME AWAL, KEMERDEKAAN,
DAN ISU-ISU POLEMIK DI AWAL BERDIRINYA NEGARA KAMBOJA

            Kamboja atau Kampuchea merupakan negara di Asia Tenggara yang semula berbentuk Kerajaan di bawah kekuasaan Dinasti Khmer di Semenanjung Indo-China antara Abad Ke-11 dan Abad Ke-14. Rakyat Kamboja biasanya dikenal dengan sebutan Cambodian atau Khmer, yang mengacu pada etnis Khmer di negara tersebut. Negara anggota ASEAN yang terkenal dengan pagoda Angkor Wat ini berbatasan langsung dengan Thailand, Laos dan Vietnam. Sebagian besar rakyat Kamboja beragama Buddha Theravada, yang turun-temurun dianut oleh etnis Khmer. Namun, sebagian warganya juga ada yang beragama Islam dari keturunan muslim Cham.
            Kamboja menghebohkan dunia ketika komunis radikal Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berkuasa pada tahun 1975. Saat itu, Pol Pot memproklamirkan Kamboja sebagai sebuah negara baru. Ia menyebut tahun 1975 sebagai "Year Zero". Segala sesuatunya ingin dibangun dari titik nol. Tanggal 17 April 1975 dinyatakan sebagai Hari Pembebasan (Liberation Day) dari rezim Lon Nol yang buruk dan korup. Ternyata, pembebasan yang dijanjikan Pol Pot justru merupakan awal masa kegelapan bagi rakyat Kamboja.
1. Nasionalisme yang Tumbuh Dalam Tubuh Bangsa Kamboja
            Nasionalisme tumbuh pelan di Kamboja. Pertumbuhan itu antara lain berkat Lembaga Agama Buddha yang dibentuk di Phnom Penh tahun 1930. Pernah pula timbul insiden penentangan terhadap pemerintahan Prancis, dipelopori pemuda-pemuda Buddha (1942), yang cukup mengejutkan penguasa Prancis yang selama itu terbiasa dengan sikap adem ayem masyarakat Kamboja. Generasi pimpinan yang ada di bawah Prancis umumnya tidak merasa tertantang mengadakan perlawanan karena rakyatnya tidak tertarik pada politik dan tinggal terpencar.
            Keadaan berubah berbarengan dengan bangkitnya semangat kemerdekaan di Asia Tenggara setelah Perang Dunia II. Kamboja pun ingin merdeka dan itu diperolehnya secara penuh pada 1953. Radikalisme mekar. Semula setiap kelompok mencobakan ide-idenya untuk membentuk Kamboja yang ideal bagi masyarakatnya, di tengah kenyataan-       kenyataan yang saling bertentangan. Banyak orang menjadi kaya luar biasa karena memanfaatkan kesempatan dagang semasa perang Vietnam--termasuk pengusaha dan militernya—sedangkan rakyat kebanyakan hidup melarat. Sikap feodalistik Sihanouk, yang de jure hanya beberapa tahun absen dari panggung kekuasaan sejak dinobatkan Prancis tahun 1941, tidak membantu keadaan. Suasana demikian menyuburkan gagasan-gagasan komunistis. Belum lagi campur tangan negara-negara besar yang tidak mau lepas tangan dari wilayah tersebut, dan campur tangan negara-negara tetangga yang memiliki kaitan sejarah.
            Cekcok internal maupun intervensi luar di masa lalu rupanya meninggalkan sisa-sisa sampai sekarang. Karena letak geografisnya, wilayah perbatasan Kamboja sekarang rawan untuk masuknya kejahatan transnasional, antara lain pencucian uang dan lalu lintas obat terlarang. Seperti di Indonesia, korupsi dan mafia hukum masih marak. Kesejahteraan ekonomi rakyatnya tercermin dari GDP per kapita yang pada 2005 kira-kira kurang dari separuhnya Indonesia, dan sekitar sepertujuh Thailand.
            Itulah gambaran suatu negara yang di masa lalu tidak dibiarkan damai dengan dirinya sendiri. Pelajaran yang bisa kita petik dari sejarah masa lalu negara tetangga itu: rasa curiga-mencurigai mudah tumbuh dalam masyarakat yang sering lebih percaya pada pengaruh luar--dari mana pun datangnya--daripada pada bangsanya sendiri.
2. Merebut Kemerdekaan dari Penjajahan Perancis
            Pada tanggal 9 November 1953, Perancis mengakhiri penjajahannya di Kamboja yang telah berlangsung sejak tahun 1863 dan Kamboja pun menjadi sebuah negara berdaulat. Setahun kemudian mantan pemimpin negara kawasan Indo-China itu, Raja Norodom Sihanouk, kembali dari pengasingannya di Thailand. Sihanouk kemudian membentuk partai politik dan menggelar pemilihan umum (pemilu). Setelah memenangkan pemilu ia berhasil mengusir orang-orang komunis dan memperoleh seluruh kursi pemerintahan.
            Pada tahun 1955, untuk melepaskan diri dari segala bentuk pelarangan yang dibuat untuk raja oleh perundang-undangan Kamboja, Norodom Sihanouk mengembalikan tahta kepada ayahnya, Norodom Suramarit. Ia kemudian memasuki dunia politik. Selama pemilihan berturut-turut, pada tahun 1955,1958, 1962 dan 1966, partai bentukan Norodom Sihanouk selalu memenangkan kursi mayoritas di parlemen.
            Pada bulan Maret 1969, Pesawat Amerika mulai mengebom Kamboja untuk menghalangi jejak dan penyusupan dari tentara Vietkong. Pengeboman tersebut berakhir sampai tahun 1973.
            Pada tahun 1970, ketika Sihanouk sedang berada di Moskow dalam sebuah kunjungan kenegaraan, Marsekal Lon Nol melakukan kudeta di Phnom Penh. Lon Nol lalu menghapus bentuk kerajaan dan menyatakan Kamboja sebagai sebuah negara republik. Sihanouk tidak kembali ke negaranya dan memilih menetap di Peking, China. Ia memimpin pemerintahan dalam pelarian dan Khmer Merah merupakan bagian dari pemerintahan tersebut.
3. Polemik Khmer Merah
            Khmer Merah (Bahasa Perancis: Khmer Rouge) adalah cabang militer Partai Komunis Kampuchea (nama Kamboja kala itu). Pada tahun 1960-an dan 1970-an, Khmer Merah melakukan perang gerilya melawan rezim Shihanouk dan Marsekal Lon Nol. Pada 17 April 1975, Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan dan menjadi pemimpin Kamboja.
            Hanya dalam beberapa hari saja, rezim baru ini telah menghukum mati sejumlah besar rakyat Kamboja yang tadinya bergabung dengan rezim Lon Nol. Penduduk Phnom Phen dan juga penduduk di provinsi lain terpaksa keluar dari kota dan pindah ke daerah-daerah penampungan. Phnom Phen menjadi kota mati. Seluruh perekonomian di seluruh negeri berubah di bawah garis keras komunis, Uang hilang dari peredaran. Akibat dari semua itu adalah terjadinya kelaparan dan wabah penyakit di daerah tersebut.
            Selama 44 bulan berikutnya, jutaan orang Kamboja menjadi korban teror dari Khmer Merah. Para pengungsi yang berhasil lari ke Thailand menceritakan kekejaman kelompok ini yang antara lain menghukum mati anak-anak hanya karena mereka tidak lahir dari keluarga petani. Selain itu orang-orang keturunan Vietnam dan Cina juga turut diteror dan dibunuh. Siapa saja yang disangka sebagai orang yang berpendidikan, atau menjadi angota dari keluarga pedagang pasti dibunuh dengan cara dipukul sampai mati, bukan dengan ditembak dengan dalih untuk menghemat amunisi.
4. Tragedi Tragis “Killing Fields”
            Masa empat tahun Pol Pot dan Khmer Merahnya berkuasa di Kamboja, adalah masa yang membuat seluruh dunia geger. Khmer Merah berupaya mentransformasi Kamboja menjadi sebuah negara Maois dengan konsep agrarianisme. Rezim Khmer juga menyatakan, tahun kedatangan mereka sebagai "Tahun Nol" (Year Zero). Mata uang, dihapuskan. Pelayanan pos, dihentikan. Kamboja diputus hubungannya dengan luar negeri. Hukum Kamboja juga dihapuskan.
            Rezim Khmer Merah dalam kurun waktu tersebut diperkirakan telah membantai sekitar dua juta orang Kamboja. Ada sekitar 343 "ladang pembantaian" yang tersebar di seluruh wilayah Kamboja. Choeung Ek adalah "ladang pembantaian" paling terkenal. Di sini, sebagian besar korban yang dieksekusi adalah para intelektual dari Phnom Penh, yang di antaranya adalah: mantan Menteri Informasi Hou Nim, profesor ilmu hukum Phorng Ton, serta sembilan warga Barat termasuk David Lioy Scott dari Australia. Sebelum dibunuh, sebagian besar mereka didokumentasikan dan diinterogasi di kamp penyiksaan Tuol Sleng. Penjara S-21 atau Tuol Sleng adalah organ rezim Khmer Merah yang paling rahasia. Pada 1962, penjara S-21 merupakan sebuah gedung SMA bernama Ponhea Yat. Semasa pemerintahan Lon Nol, nama sekolah diubah menjadi Tuol Svay Prey High School.
            Tuol Sleng yang berlokasi di subdistrik Tuol Svay Prey, sebelah selatan Phnom Penh, mencakupi wilayah seluas 600 x 400 meter. Setelah Phnom Penh jatuh ke tangan Khmer Merah, sekolah diubah menjadi kamp interogasi dan penyiksaan tahanan yang dituduh sebagai musuh politik. Di “ladang pembantaian” ini, para intelektual diinterogasi agar menyebutkan kerabat atau sejawat sesama intelektual. Satu orang harus menyebutkan 15 nama orang berpendidikan yang lain. Jika tidak menjawab, mereka akan disiksa. Kuku-kuku jari mereka akan dicabut, lantas direndam cairan alkohol. Mereka juga disiksa dengan cara ditenggelamkan ke bak air atau disetrum. Kepedihan terutama dirasakan kaum perempuan karena kerap diperkosa saat diinterogasi. Setelah diinterogasi selama 2-4 bulan, mereka akan dieksekusi di Choeung Ek. Sejumlah tahanan politik yang dinilai penting ditahan untuk diinterogasi sekitar 6-7 bulan, lalu dieksekusi.
            Haing S Ngor yang masa itu berprofesi sebagai seorang dokter adalah segelintir intelektual yang berhasil lolos dari buruan rezim Khmer Merah. Haing dianugerahi Piala Oscar tahun 1984 atas perannya di film "The Killing Fields". Dalam film itu, ia memerankan tokoh Dith Pran, jurnalis Kamboja yang selamat dari pembantaian. Namun malang, Haing tewas terbunuh di kediamannya di Los Angeles, AS, ketika melawan perampokan yang dilakukan tiga pecandu narkoba pada 1996 (diunduh dari mediaindonesia.com pada 4 Desember 2011).
















BAB III
KAMBOJA DALAM PERSPEKTIF KEMERDEKAAN
DAN UPAYA MEMPERTAHANKANNYA

            Praktis, hanya sekitar 20 tahun setelah merdeka, rakyat Kamboja mencicipi masa damai. Setelah itu, hidup mereka diwarnai oleh perang demi perang, bahkan menjelang pemilu pekan ini. 1953: Kamboja merdeka. Tujuh tahun kemudian, Norodom Sihanouk ditunjuk oleh Dewan Nasional sebagai kepala negara, menggantikan ayahnya yang meninggal. Di bawah pemerintahannya, Kamboja menjalin hubungan baik dengan Cina dan Vietnam. Maret 1970: Perdana Menteri Kamboja, Letjen. Lon Nol, melakukan kudeta ketika Sihanouk sedang dalam perjalanan ke luar negeri. Sihanouk diadili in absentia dengan tuduhan menghasut tentara Kamboja untuk bergabung dengan musuh, dan menghasut komunis untuk melakukan agresi. Sihanouk yang berada di Beijing minta perlindungan dari pemerintah Cina dan bersama Partai Komunis Kamboja, yang populer disebut Khmer Merah, mendirikan Barisan Persatuan Nasional Kamboja. April 1975: Khmer Merah, dengan dukungan Vietnam Utara, merebut Phnom Penh. ''Sejarah 2.000 tahun Kamboja telah berakhir.'' Kamboja, dengan arsitek Pol Pot, ditarik ke titik nol, untuk memulai membangun negara komunis menurut konsep mereka: negara tanpa kelas. Milik pribadi disita, pejabat tinggi dan perwira militer yang berkuasa pada zaman Lon Nol dieksekusi, agama Budha dilarang, hubungan antaranggota keluarga dibatasi atau diputuskan sama sekali. Inilah lembaran hitam sejarah Kamboja, tanah air menjadi ''ladang pembantaian'': diperkirakan tiga dari tujuh juta penduduk Kamboja meninggal karena kelaparan atau dieksekusi.
            Hubungan diplomatik antara Kamboja dan Vietnam putus karena Pol Pot memilih Cina sebagai negara induk. Pendudukan beberapa wilayah Vietnam oleh tentara Kamboja menyulut permusuhan yang pecah menjadi perang pada 1977. Januari 1979: Vietnam berhasil menguasai Phnom Penh. Republik Rakyat Kamboja diproklamasikan, Heng Samrin diangkat sebagai presiden rezim baru ini. Pemimpin Khmer Merah dan pengikutnya lari ke hutan. Sihanouk pun keluar dari Kamboja. September 1981: Berdiri pemerintahan koalisi Republik Demokratik Kamboja oleh tiga pemimpin faksi: Sihanouk, Khieu Samphan, dan Son Sann, yang bertemu di Singapura. Mereka disatukan oleh semangat yang sama, anti-Vietnam. 22 Juni 1982: Pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja resmi berdiri di Kuala Lumpur. Sihanouk terpilih sebagai presiden, Khieu Samphan wakil presiden, dan Son Sann perdana menteri. Juli 1987: Sementara perang saudara terus berjalan, terobosan mencari perdamaian muncul dari Indonesia. Mochtar Kusuma Atmadja, waktu itu menteri luar negeri, mengusulkan sebuah cocktail party untuk mempertemukan faksi-faksi Kamboja dengan pemerintah Vietnam. September 1987: Ada tanda-tanda pihak Khmer Merah siap maju ke meja perundingan, bila tentara Vietnam ditarik pulang.
            Desember 1987: Sihanouk bertemu dengan Hun Sen di Fere-en-Tardenois, timur laut Paris. Pertemuan ini menelurkan empat kesepakatan: penyelesaian Kamboja harus melalui jalan politik, semua faksi harus dilibatkan, perlu diadakan pertemuan internasional untuk menjamin kesepakatan yang dicapai, dan perlunya pertemuan lanjutan. Mei 1988: Di bawah tekanan pemerintah Uni Soviet, Vietnam mulai memulangkan 50.000 pasukannya. Vietnam juga menyatakan kesediaan untuk hadir dalam pertemuan informal yang akan dilangsungkan di Jakarta. Diperkirakan, sekitar 50.000 pasukan Vietnam mati dalam perang selama sembilan tahun. 25 Juli 1988: Jakarta Informal Meeting I berlangsung di Bogor. Sihanouk, yang mengundurkan diri sebagai presiden pemerintahan koalisi dua mingu sebelumnya, hadir sebagai tamu Presiden Soeharto. Hun Sen mengusulkan dibentuknya dewan rekonsiliasi nasional, diadakannya pemilihan umum, dan komisi internasional untuk mengamati penarikan mundur pasukan Vietnam. Faksi lain menentang pemilihan umum dilaksanakan di bawah kekuasaan rezim Phnom Penh. Mei 1989:            Pertemuan informal tentang Kamboja kembali berlangsung di Jakarta, dengan hasil pembentukan suatu Dewan Nasional Tertinggi yang anggotanya mewakili tiap faksi dengan ketua Norodom Sihanouk. Juli 1989: Berlangsung Konferensi Internasional tentang Kamboja di Paris dengan hasil pengiriman misi PBB untuk menyelidiki kemungkinan gencatan senjata, dan dikirimkannya pasukan penjaga perdamaian. Januari 1990: Dewan Keamanan PBB menerima rencana perdamaian Australia yang mengusulkan adanya badan pengawas untuk gencatan senjata, pemerintah sementara PBB untuk Kamboja, dan pelaksanaan pemilu. Oktober 1991: Keempat faksi yang bertikai sepakat menandatangani perjanjian damai di Paris. Agustus 1992: Pemerintahan transisi PBB (UNTAC) resmi bertugas di Kamboja dan menyiapkan pemilihan umum. Januari 1993: Khmer Merah menolak menyerahkan senjata, sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Paris. Bahkan kemudian faksi ini menyatakan tak akan ikut dalam pemilu, karena masih adanya tentara Vietnam di Kamboja. Bentrok senjata antara pasukan Hun Sen dan Khmer Merah timbul lagi. April 1993: Kampanye untuk pemilu mulai berlangsung. Khmer Merah yang tak ikut pemilu melakukan teror dengan membunuhi orang Vietnam yang masih tinggal di Kamboja. Terjadi pengungsian orang Kamboja keturunan Vietnam. 23-28 Mei 1993: Pemilu Kamboja diharapkan berlangsung, tapi dibayangi kembalinya perang saudara. Liston P. Siregar (dicuplik dari Tempo, 29 Mei 1998).
1. Warisan Perang Saudara di Kamboja
            Isolasi dan sikap anti-asing yang dilakukan pemerintah Kamboja sekarang banyak bersumber dari tradisi negara tersebut. Sejarah Kamboja diwarnai oleh agresi demi agresi, yang akhirnya membuat wilayah bekas kerajaan Khmer yang besar dulu sekecil batas Kamboja sekarang. Yang paling banyak mengganggu Kamboja sepanjang sejarahnya adalah ambisi teritorial dari dua tetangganya: Vietnam dan Muangthai. Vietnam menurut Kamboja telah mencaplok daerah kaya peninggalan kerajaan Khmer di sekitar delta Mekong. Muangthai pada masa perang dunia II mengambil beberapa propinsi Kamboja, dengan restu tentara Jepang waktu itu. Bisa dimaklumi bahwa zaman Sihanouk ditandai oleh usahanya untuk menjaga tapal batas wilayah negaranya, memelihara netralitas Kamboja dan mengusahakan pengakuan internasional atas keutuhan nasional negaranya. Akibatnya juga, Kamboja menjalankan politik berdasarkan sifat-sifat nasionalisme yang kuat, bahkan pernah memutuskan hubungan diplomatik dengan Amerika, tahun 1963. Kejadian di atas terjadi sebelum mulainya perang saudara di sana. Perang Saudara yang kemudian berlangsung dengan getir dan brutal membuat tradisi isolasi dan nasionalisme Kamboja menjadi seradikal sekarang. Perang saudara tersebut, umumnya dianggap mulai berlangsung pada bulan Maret 1970, setelah Lon Nol mengambil alih kekuasaan dari Sihanouk. Tetapi, perang saudara dapat dikatakan sudah mulai sejak April 1967. Ketika itu, pemimpin sayap kiri dari front persatuan SANGKUM yang didirikan Sihanouk, minggat dan masuk hutan. Pemimpin tersebut (namanya Khieu Samphan), pernah jadi Menteri dalam pemerintahan Sihanouk dan waktu itu anggota Parlemen. Berturutan, juga ikut minggat dua pemimpin lainnya, Hou Yuon dan Hu Nim. Ketiga orang tersebut masih muda, lulusan Universitas Sorbonne dan dikenal sangat kuat nasionalismenya. Tesis Khieu Samphan bahkan mengecam akibat kolonialisme Perancis terhadap perekonomian Kamboja setelah merdeka.
            Mereka bergabung dengan petani-petani yang waktu itu juga memberontak pajak berat dan kehidupan sulit, di propinsi Battambang. Lazimnya, mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai" dan sekarang menduduki jabatan teras dalam politik Kamboja. Khieu Samphan adalah Presiden Kampuchea, Hou Yuon menjadi Menteri Dalam Negeri dan Keamanan, sedangkan Hu Nim menjabat Menteri Penerangan. Polarisasi Namun, perang saudara antara periode 1967 dan 1970 belumlah ditandai oleh skala yang cukup besar, karena Sihanouk masih berkuasa. Operasi militer walaupun sering tapi tidak intensif. Intrik politik di Phnom Penh lebih menarik daripada bertempur di Battambang. Perang saudara yang benar-benar getir dan kejam, baru mulai setelah kudeta Lon Nol akhir Maret 1970.   Kudeta tersebut benar-benar mempertajam polarisasi di antara rakyat Kamboja. Di satu pihak, ada golongan Lon Nol. Di lain pihak, ada Sihanouk yang karena tekadnya untuk membalas dendam, tidak mempunyai pilihan lain tapi bergabung dengan grup "Tiga Serangkai". Dengan demikian, terbentuklah Front Persatuan Nasional Kampuchea, berintikan grup gerilya dari "Tiga Serangkai" dan Sihanouk serta pengikut-pengikutnya.      Popularitas Sihanouk di kalangan rakyat desa memberi jaminan kepada Front Kampuchea (UNK) untuk mendapatkan calon-calon anggota tentaranya. Mulailah perang saudara yang getir untuk masa lima tahun, Maret 1970 sampai April, 1975. Mungkin dalam sejarah modern tidak banyak perang saudara yang segetir nasib rakyat Kamboja. Paling tidak, dibandingkan dengan apa yang terjadi di negara tetangganya (Laos dan Vietnam), perang saudara di Kamboja suatu rekor. Pertama, di Kamboja yang bertempur adalah sesama bangsa, tidak banyak orang asing yang mati di gelanggang. Ini berbeda den8an di Vietnam Selatan dulu, di mana banyak orang Amerika, Pilipina, Korea Selatan dan Australia ikut bertempur. Juga berbeda dengan di Laos, di mana banyak orang Muangthai diterbangkan untuk melawan Pathet Lao. Memang pernah tentara-tentara Amerika dan Vietnam Selatan/Thieu bertempur pada periode antara Mei sampai Juli, 1970. Setelah itu tidak ada keterlibatan langsung di medan perang, paling-paling bantuan diberikan dalam bentuk pemboman, politik, bantuan militer dan keuangan. Perbedaan lainnya adalah mengenai sifat perang saudara itu sendiri. Di Vietnam, sering sekali terjadi perundingan, yang berarti adanya ruangan bernafas untuk pasukan di medan pertempuran. Bahkan gencatan senjata sudah hal yang biasa. Demikian pula di Laos, gencatan senjata dan pemerintahan koalisi adalah jalan keluar politik yang cukup dikenal.
            Sebaliknya, di Kamboja tidak pernah ada gencatan senjata dan perundingan damai antara kedua pihak yang bertentangan. Benar-benar perang habis-habisan, yang kalah hancur, yang menang bersorak, walaupun mungkin dengan hati pedih. 240.000 Setahun Karena sifatnya yang demikian, korban-korban yang jatuh juga tidak tanggung-tanggung. Mungkin korban yang paling banyak dalam sejarah perang saudara di zaman sekarang. Selama periode 1970 sampai 975, kedua pihak (Lon Nol dan FUNK) mengakui jatuhnya korban 600 ribu jiwa di tiap golongannya. Dengan begitu, yang meninggal seluruhnya adalah 1,2 juta jiwa penduduk dewasa, atau kira-kira 13% dari seluruh penduduk Kamboja, yang jumlahnya sekitar 8 juta jiwa. Ini jauh di atas prosentase perang Vietnam yang lamanya 30 tahun atau perang Laos yang lamanya 20 tahun. Dan perang saudara Kamboja hanya berlangsung lima tahun. Jadi, rata-rata sekitar 240 ribu orang terbunuh setahunnya.            Akibat lainnya dapat dilihat dari meningkatnya jumlah pengungsi di kota Phnom Penh. Kota yang tadinya berpenduduk sekitar 300 ribu jiwa, pada akhir perang saudara berpenghuni lebih dari dua juta orang. Kebanyakan pengungsi adalah anak-anak dan orangtua, atau mereka yang mencoba bersembunyi dan tidak terlibat dalam usaha saling membunuh bangsanya sendiri. Dengan memahami sifat getir dan brutal dari perang saudara itu saja, barangkali mudah dimengerti mengapa Kamboja yang sekarang benar-benar menjalankan politik isolasi dan anti-asing. Tentulah "Tiga Serangkai" dan teman-temannya menyadari betapa besarnya peranan negara-negara asing dalam membuat Kamboja mengalami perang saudara segetir itu. Mungkin sekali, dengan politik isolasi tersebut, mereka sedikit banyak-berusaha mencegah terjadinya lagi perang saudara sambil mencoba membangun suatu solidaritas baru di antara rakyat yang pernah bertempur satu sama lain, dengan tradisi nasionalisme yang radikal dan sikap anti-asing sebagai salah satu pilarnya yang terkuat (dicuplik dari Tempo, 21 Mei 1977).

2. Intervensi Vietnam dan Upaya Menuju Perdamaian
            Pada tanggal 25 Desember 1978, setelah beberapa pelanggaran terjadi di perbatasan antara Kamboja dan Vietnam, tentara Vietnam menginvasi Kamboja. Tanggal 7 Januari 1979, pasukan Vietnam menduduki Phnom Penh dan menggulingkan pemerintahan Pol Pot. Pemerintahan boneka lalu dibentuk di bawah pimpinan Heng Samrin, mantan anggota Khmer Merah yang telah membelot ke Vietnam. Namun pemerintahan baru ini tidak diakui oleh negara-negara Barat. Sementara Pol Pot dan para pengikutnya lari ke hutan-hutan dan kembali melakukan taktik gerilya dan teror. Pol Pot yang bernama asli Saloth Sar akhirnya meninggal di tengah hutan pada 15 April 1998 karena serangan jantung.
            Pada tahun 1982, Tiga kelompok (faksi) yang masih bertahan di Kamboja yaitu Khmer Merah, dan Front kemerdekaan nasional, netral, kedamaian dan kerja sama Kamboja (FUNCINPEC) pimpinan Pangeran Sihanouk, serta Front nasional kebebasan orang-orang Khmer yang dipimpin oleh perdana menteri yang terdahulu yaitu Son Sann, membentuk koalisi yang bertujuan untuk memaksa keluar tentara Vietnam. Tahun 1989, tentara Vietnam akhirnya mundur dari Kamboja.
            Tahun 1992, PBB (UNTAC), mengambilalih sementara pemerintahan negara ini. Tahun berikutnya, PBB menggelar pemilu demokratis yang dimenangkan oleh FUNCINPEC. Faksi ini kemudian membentuk pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Kamboja (CPP) pimpinan Hun Sen.
            Sekarang, Kamboja telah berkembang pesat berkat bantuan dari negara-negara asing. Negara ini bahkan telah menggelar persidangan terhadap seorang mantan pemimpin Khmer Merah atas dakwaan melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Rakyat di kota dan desa juga telah hidup tenang walaupun dihantui bahaya ranjau darat yang masih banyak bertebaran di seluruh penjuru negeri (diunduh dari www.asiamaya.com/panduasia/cambodia).

3. Hubungan Bilateral Kamboja dengan Negara ASEAN (Indonesia)
            Hubungan bilateral bidang kebudayaan antara Indonesia – Kamboja sesungguhnya sudah terjalin lama sejak abad 8 – 9 masehi pada masa Raja Syailendra di Nusantara yang membangun Candi Borobudur dan Raja Jayawarman dari Kamboja yang membangun Candi Angkor. Dalamperjalanannya, hubungan antara kedua negara mengalami pasang – surut.Hubungan tersebut terputus karena masing – masing mengalami penjajahan dalam waktu yang lama sampai akhirnya kedua negara mencapai kemerdekaan masing – masing pada tahun 1945 dan 1953.Sejak itu, dirintis oleh Presiden RI pertama, Sukarno, dan Raja pertamaKamboja pasca kemerdekaan, Pangeran Norodom Sihanouk, hubungan mesra Indonesia-Kamboja kembali terjalin hingga sekarang.Untuk lebih mempererat hubungan kedua Negara dan mendekatkan kedua rakyat Indonesia – Kamboja, dari hasil kunjungan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ke Kamboja pada Maret 2006 telah menggagas perlunya dikembangkan kerja sama “Trail of Civilization”. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, antara Indonesia dan Kamboja juga diperlukan sebuah payung kerja sama di bidang kebudayaan agar dapat terjalin komunikasi dan hubungan bilateral yang efektif.
a.      Penandatanganan MoU Kebudayaan RI - Kamboja
Penandatanganan MoU bidang Kebudayaan RI-Kamboja dilaksanakan pada tanggal 26 Februari 2009 di Bali oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Bpk. Jero Wacik, dan Menteri Kebudayaan dan Kesenian Kerajaan Kamboja, Mr. Him Chhem, merupakan perwujudan dari komitmen kedua negara untuk melakukan kerja sama yang lebih konkrit dalam bidang kebudayaan khususnya yang menyangkut dengan Warisan Budaya Dunia. Kerja Sama bidang Kebudayaan RI-Kamboja, mencakup beberapa hal sebagai berikut :
1. Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan;
2. Pendidikan dan Pelatihan;
3. Promosi Bersama Bidang kebudayaan dan Kesenian;
4. Warisan Budaya Dunia;
5. Seminar/Dialog Kebudayaan dan Kesenian;
6. Pertukaran Informasi Kebudayaan;
7. Berbagai kerja sama yang menyangkut bidang kebudayaan yang disepakati
    oleh kedua belah pihak.
b.      Senior Official Meeting
      Sebagai upaya mengefektifkan implementasi MoU, mendahului penandatanganan MoU, Indonesia-Kamboja telah menyelenggarakan Senior Official Meeting (SOM) pada tanggal 25 Februari 2009 yang masing-masing dipimpin oleh Dirjen Sejarah dan Purbakala, Hari Untoro Drajat, dan Mr Seng Soth, Counsellor pada Menteri Kebudayaan dan Kesenian Kamboja. Adapun kesepakatan yang didapatkan pada SOM tersebut adalah :
1. Plan of Action
·         Program kegiatan disusun untuk periode waktu jangka pendek (2009-2011) dan menengah (2009-2014);
·         Program kegiatan tidak saja mencakup kerja sama kebudayaan yang bersifat bendawi tetapi juga kebudayaan yang bersifat non bendawi;
·         Seminar hubungan kebudayaan Indonesia-Kamboja, termasuk dalam hal ini adalah di bidang penanggulangan perdagangan ilegal benda cagar budaya (illicit trafficking on cultural properties);
·         Program kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi teknis Kamboja di bidang cultural heritage management;
·         Program pertukaran tenaga ahli di bidang cultural heritage management antara kedua negara;
·         Program pertukaran misi kebudayaan dan promosi kebudayaan terpadu, termasuk di dalamnya adalah joint cultural performance;
·         Program pertukaran informasi dan pembelajaran di bidang investasi pemanfaatan warisan budaya dunia.
2. Indonesian Technical Assistance for Safeguarding Angkor (ITASA)
      Kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka alih teknologi (transfer on knowhow technology) di bidang konservasi dan pemugaran peninggalan sejarah dan purbakala bagi para teknisi Kamboja. Pelaksanaan kegiatan dilakukan di Indonesia dalam bentuk basic and advance training course, masing-masing selama 3 (tiga) buan dilanjutkan dengan on site training course di kawasan candi Angkor, Kamboja. Pendidikan dan pelatihan di Kamboja dilaksanakan pada tahun 1995-2000, dengan dukungan dana dari APBN.

3. Kerja Sama Trail of Civilization
      Kerja sama Trail of Civilization merupakan kerjasama yang berbasis kebudayaan. Kerjasama itu terwujud atas inisiatif Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada saat kunjungan kerja ke Kamboja tahun 2006.
      Pada tahun 2007 telah dilaksanakan kegiatan Trail of Civilization yang menghasilkan Action Plan dan Deklarasi Borobudur yang ditandatangani oleh 6 (enam) Menteri Pariwisata ASEAN yaitu Indonesia, Kamboja, Laos PDR, Mynamar, Thailand, dan Viet Nam di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
      Untuk putaran kedua tuan rumah penyelenggaran Trail of Civilization yang sedianya oleh Myanmar, karena berbagai hal kondisi dalam negeri yang memburuk, maka Indonesia mengharapkan Pemerintah Kamboja dapat menggantikan untuk penyelenggaraannya. Hal ini akan segera dikonsultasikan oleh pihak Kamboja dengan instansi terkait di Kamboja (dikutip dari Laporan Kegiatan Penandatanganan MoU Kebudayaan Indonesia-Kamboja pada 26 November 2009 di Bali, Indonesia)