Sabtu, 31 Maret 2012

TANGIBLE dan INTANGIBLE Warisan Budaya Indonesia


Penulis : Fadhil Nugroho Adi - jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang

Dalam keanekaragaman warisan budaya, kita mengenal adanya warisan budaya berupa warisan budaya benda (Tangible cultural heritage) maupun warisan budaya tak benda (Intangible cultural heritage). Keduanya membentuk sinergi yang sangat baik bagi kemajuan suatu bangsa. Bagaimana tidak? Ketika sebuah bangsa memiliki serba-serbi warisan budaya yang khas dan menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa asing, maka bangsa tersebut akan mendapatkan citra sebagai bangsa adiluhung di mata dunia. Tak terkecuali bangsa kita, bangsa Indonesia. Sungguh, keanekaragaman budaya yang dimiliki bermacam suku bangsa yang membentang dari Sabang hingga Merauke menjadi pesona yang seolah tak pudar dimakan usia. Tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan. Akan tetapi di lain sisi, keanekaragaman warisan budaya bak menjadi sebilah mata pisau yang memiliki dua mata sisi. Selain keuntungan, tentu di balik keuntungan tersebut terselip konsekuensi yang tidak ringan. Konsekuensinya adalah, kita sebagai bangsa Indonesia, berkewajiban untuk menjaga bermacam warisan budaya tersebut agar tidak punah dan parahnya lagi bila sampai direbut bangsa lain. Hal ini jangan sampai terjadi.
            Lantas, langkah apa yang harus ditempuh untuk meng-counter kepunahan dan klaim bangsa lain atas warisan budaya kita? Salah satunya melalui proses inventarisasi warisan budaya. Kali ini penulis akan mencoba menginventarisasi warisan budaya tangible maupun intangible, khususnya yang terdapat di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya.
A.  WARISAN BUDAYA BENDA (TANGIBLE CULTURAL HERITAGE)
Tangible cultural heritage memiliki aneka macam bentuk. Warisan budaya benda dapat dijumpai pada masa pra-sejarah maupun pada masa sejarah. Berikut pemaparannya.
1.     ERA PRA-SEJARAH
a.        Stone Ball
Stone Ball ditemukan di daerah Sangiran, Kabupaten Sragen. Batu ini berfungsi untuk berburu binatang sebagai sasaran. Stone Ball merupakan peninggalan kala Plestosen Bawah yang diwakilkan dengan keberadaan Pithecanthropus Mojokertensis. Pithecanthropus Mojokertensis hidup pada masa 2,5 hingga 1,2 juta tahun lalu. Hal ini didasarkan atas perbandingan penanggalan pada formasi Pucangan.
b.        Kapak Perimbas
Kapak Perimbas berasal dari Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga. Kapak ini berfungsi untuk alat pemukul dan pemotong. Kapak perimbas diduga kuat dibuat pada zaman Palaeolithikum (zaman batu tua).
c.        Lumpang Batu
Lumpang Batu berasal dari Kabupaten Pekalongan. Lumpang batu berfungsi untuk menghaluskan biji-bijian dan jenis makanan lainnya, pada masa berburu dan mengumpul makanan tingkat lanjut. Temuian ini terdapat pada zaman Post-Plestosen dimana telah berkembang tiga tradisi pokok pembuatan alat-alat di Indonesia, yaitu tradisi serpih bilah, tradisi alat tulang dan tradisi kapak genggam Sumatera.
d.        Batu Pipisan
Batu Pipisan berasal dari Treten, Candimulyo, Kabupaten Magelang. Batu pipisan berfungsi sebagai menghaluskan biji-bijian dan pembuatan jamu.
e.        Manik-manik
Manik-manik berasal dari Kabupaten Banjarnegara. Manik-manik berfungsi sebagai perhiasan dan secara religi juga sebagai bekal kubur. Pemberian bekal kubur menunjukkan suatu kepercayaan bahwa roh orang yang meninggal akan menempuh perjalanan panjang menuju dunianya yang baru, dan karenanya membutuhkan bekal agar dapat sampai dengan selamat.
f.         Arca Perwujudan Nenek Moyang
Arca perwujudan ini dipengaruhi oleh budaya Polynesia yang bermigrasi dari China selatan sebelum padi menggantikan umbi sebagai tanaman utama yang dibudidayakan. Arca ini ditemukan di Sukawera, Cilongok, Banyumas dan berfungsi sebagai media pemujaan roh nenek moyang.
g.        Beliung
Beliung ditemukan di daerah-daerah seperti Sumatera, Jawa, Cirebon, Bogor, dan daerah lainnya. Beliung berfungsi sebagai alat pertanian pada masa neolitik atau bercocok tanam.
h.        Belincung
Belincung berasal dari daerah Sempor, Kebumen. Belincung dipergunakan untuk alat pertanian pasa masa bercocok tanam.
i.         Kapak Lonjong
Kapak lonjong ditemukan di Irian Jaya. Kapak ini bentuk umumnya lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajamnya. Alat ini juga berfungsi sebagai alat pertanian.
j.         Gelang Batu
Gelang batu berasal dari Bobotsari, Kabupaten Purbalingga. Gelang batu berfungsi sebagai perhiasan.
k.        Situs Megalitik “Terjan”
Situs megalitik ini terletak di desa Terjan, kecamatan Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Situs ini disebut sebagai “Makam Mbah Dresmo” oleh penduduk sekitar. Peninggalan-peninggalan masa prasejarah yang diketemukan di situs megalitik Terjan antara lain berupa menhir, arca batu dalam bentuk kepala binatang, tahta batu, kerangka manusia yang membujur barat laut-tenggara dan dalam keadaan miring ke kanan, beberapa pecahan gerabah berwarna kemerahan, umak batu bermotif pola hias Hindu dan tatanan batu monolith oval yang serupa dengan “watu kandang” di Matesih.
l.         Situs Megalitik “Plawangan”
Situs megalitik ini berada di pinggir jalan raya Semaang-Surabaya dan berupa dataran landai dari pantai melesap ke pedalaman. Hasil temuannya adalah tulang rangka manusia, tempayan, fragmen perunggu, fragmen tulang, fragmen gigi serta gerabah berhias.
m.      Situs Megalitik “Matesih”
Situs Matesih terletak di wilayah kacamatan Matesih, kabupaten Karanganyar. Di situs ini banyak terdapat peninggalan megaliik berupa menhir dan susunan batu gelang yang menghasilkan temuan kereweng dan manik-manik.
n.        Situs Megalitik “Mujan”
Situs Mujan berada di Desa Mujan, kecamatan Bobot Sari, kabupaten Purbalingga. Situs ini memiliki empat buah menhir yang berlokasi di tengah-tengah pemukiman penduduk, tidak jauh dari sungai Klawing di selatan dan pegunungan Pelir dan Pelana di Utara.
o.        Situs Patiayam
Situs Patiayam terletak di desa Terban, kecamatan Jekulo, kabupaten Kudus. Fosil-fosil yang ditemukan di Patiayam antara lain fosil Elephantidae, Stegodonidae, Bovidae, Cervidae, Crocodilidae, dan Felidae.


2.     ERA SEJARAH (HINDU-BUDDHA-CHINA-ISLAM)
a.        Puncak Mahkota
Puncak mahkota memiliki bentuk alas melengkung seperti bulan sabit dengan empat kuku pada bagian permukaan tengah. Puncak mahkota ditemukan di dukuh Ngabean, desa Sawangargo, kecamatan Salaman, kabupaten Magelang, Biasanya digunakan sebagai hiasan kepala raja.
b.        Perhiasan Telinga
Ditemukan di dukuh Kuncen, desa Koen, kecamatan Jatipura, kabupaten Wonogiri. Bentuk dasarnya huruf “U” bercelah. Bagian ujun berupa profil kepala naga dan dikerjakan dengan cara pengukiran. ola hias naga dalam kesenian Indonesia kuno melambangkan kekuatan.
c.        Cincin Stempel
Mata cincin yang berbentuk elips dan ujungnya meruncing bertingkat dua. Bagan permukaan datar bertuliskan huruf Dewanagari berbahasa Jawa Kuna dengan huruf terbalik. Kemungkinan digunakan untuk pengesahan dari penguasa. Cincin ini ditemukan di dukuh Platar, desa Pujiharjo, kecamaan Gandrugmangu, kabupaten Cilacap.
d.        Mata Uang Piloncito
Mata uang ini ditemkan di desa Wonoboyo, kecamatan Jogonalan, kabupaten Klaten. Mata uang emas ini berbentuk persegi, berukuran rata-rata 8 mm x 6 mm dengan berat rata-rata 2,5 gram. Salah satu sisinya terdapat tulisan huruf Prenagari “Ta” (Tahil). Pada masa Jawa Kuna alat ini digunakan untuk alat tukar yang bernilai dan biasa dibagikan oleh raja kepada pejabat saat penetapan sima.
e.        Kuwera
Arca Kuwera ditemukan di Kabupaten Klaten. Kuwera digamarkan duduk di atas padmsana dengan sikap lalitasana, kaki bertumpu pada pundi-pundi uang. Di belakang kepala terdapat prabha yang dilengkap payung (chattra). Kuwera diyakin sebagai dewa kemakmuran.
f.         Tiga Arca Dhyani Buddha Satu Lapik
Tiga arca ini ditemukan di dukuh Rejoso, desa Rejoso, Kecamatan Jogonalan, kabupaten Klaten. Arca-arca ini terdiri atas dua arca Dhyani Aksoya dan satu arca Dhyani Budha Amithaba. Arca ini sekarang berada di Museum Ronggowarsito Semarang dan kondisi koleksi masih terrawat baik.
g.        Masjid Agung Keraton Surakarta

Masjid ini dibangun oleh SISKS Paku Buwana III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka, berarsitektur Jawa Belanda. Masjid ini sudah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya dengan SK Mnediknas no. 299/M/1999. Masjid Agung selalu mengadakan tradisi sekaten saat bulan Maulud Nabi Muhammad SAW.
h.        Klenteng Hok Ling Bio
Klenteng ini berlokasi di desa Langgar Dalem (Kudus Kulon), Kecamatan Kota. Klenteng ini menghadap ke Barat dengan motif hias fauna gambaran naga dan singa. Klenteng ini menandaskan bahwa proses akulturasi berjalan baik dan toleransi antar umat beragama tetap terjaga hingga sekarang.
i.         Masjid Langgar Dalem
Masjid ini berloasi di desa Langgar Dalem, kecamatan Kota, Kabupaten Kudus. Langgar Dalem berasal ari kata langgar atau musholla. Dalem dalam bahawa Jawa berarti rumah. Dimungkinkan Langgar Dalem adalah tempat tinggal Sunan Kudus sehingga Langgar Dalem artinya, Musholanya rumah Sunan Kudus.
j.         Sumur Gentong
Sumur Gentong berlokasi di desa Loram Wetan, kecamatan Jati, kabupaten Kudus. Sumur gentong ini bentuknya seperti gentong bak air yang dibuat dari tanah liat atau terrakota. Di sekitar sumur ditemukan juga uang logam kuno tahun 1717 dan uang emas logam bertuliskan ZEELANDIA 1738. Sumur gentong terdiri atas empat susun.
k.        Masjid dan Makam Mantingan Jepara
Makam Mantingan terletak sekitar 5 km dari kota Jepara, di desa Mantingan, kecamatan Tahunan, kabupaten Jepara. Di sini terdapat makam tooh-tokoh penting dalam sejarah yaitu makam Ratu Kalinyamat, Sultan Hadlirin, Dewi urian, dan Murtasiah beserta pejabat kerajaan. Masjid Mantingan sejak awal berdirinya difungsikan sebagai pusat aktivitas penyebaran agama Islam di pesisir utara pulau Jawa. Masjid dan makam Mantinan ini telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya dengan SK Mendiknas No. 299/M/1999 Jkt, 29 November 1999.


B.   WARISAN BUDAYA TAK BENDA (INTANGIBLE CULTURAL HERITAGE)
Intangible cultural heritage dapat dibagi ke dalam beberapa kategori. Ada yang berupa kepandaian, dan ada pula yang bersumber dari folklore atau tradisi-tradisi lisan. Berikut pemaparannya.
1.     BATIK
Batik sebagai warisan budaya baru-baru ini dicatumkan dalam warisan budaya dunia oleh UNESCO. Hal ini dikarenakan tradisi membatik dan cara pengerjaannya yang sedemikian rumitnya juga karena kekhasan dalam pengerjaannya. Sebagai awalan, bolehlah kita kenali peralatan pokok membatik khususnya batik tulis yang tidak banyak mengalami perubahan. Peralatan tersebut adalah:
a.       Canting Tulis. Canting terdiri atas badan atau awak-awak atau nyamplung, cucuk atau cerat dan tangkai.
b.      Wajan. Wajan merupakan tempat untuk mencairkan lilin dan bisa terbuat dari logam ataupun tanah liat.
c.       Anglo. Anglo merupakan alat untuk menjaga kestabilan suhu pemanas lilin, biasa terbuat dari tanah liat dan berbahan bakar arang.
d.      Tepas. Tepas adalah alat yang dipakai untuk membesarkan bara api di anglo. Tepas terbuat dari bambu yang dibelah tipis.
e.       Kuas. Kuas adalah alat yang terbuat dari kayu kecil dngn bentuk silinder sepanjang 1-30 cm yang di ujungnya terdapat serabut kecil dari ijuk atau rbut sintetis dengan ukuran 0,5-1 cm. Alat ini berfungsi untuk membuat batik gaya abstrak atau menutup blok yang besar.
f.       Lilin atau Malam. Lilin berfungsi untuk menutup bidang atau pola batik terhadap warna-warna yang tidak diinginkan.
g.      Saringan malam. Saringan malam berfungsi untuk menyaring malam panas yang banyak kotorannya. Saringan malam berbentuk lingkaran mencekung dan berbingkai.
h.      Clemek. Clemek adalah alat penutup paha pembatik agar tidak terkena tetesan malam panas saat canting ditiup.
i.        Dingklik atau lincak. Dingklik atau lincak fungsinya adalah sebagai tempat duduk pembatik, bisa terbuat dari kayu maupun plastik.

Batik menjadi salah satu benda cagar budaya warisan dunia dikarenakan proses pembuatannya yang tidak mudah. Dalam batik tulis, seorang pembatik pertama kali haus memegang alat batik berupa canting. Cara memegangnya pun tidak boleh sembarangan, yakni, semua jari-jari diletakkan pada tangkai canting dengan jari telunjuk berada di atas. Jika canting telah terisi malam, maka canting diusahakan dalam keadaan horizontal agar caian lilin dalam awak-awak atau nyamplung tidak tumpah.
Setelah canting dipegang dengan benar maka canting dicelupkan dalam wajan yang berisi cairan malam mendidih. Jika bagian awak-awak tadi sudah penuh maka canting baru diangkat dan siap untuk ditorehkan ke atas kain. Akan tetapi sebeum ditorehkan, canting tersebut harus ditiup terlebih dulu pada bagian cucuknya sampai terdengar suara angin yang keluar dari nyamplung. Peniupan ini bertujuan agar cairan yang berada di ujung cucuk tidak cepat menetes sebelum ditempelkan pada kain mori dan untuk mengontrol lubang cucuk tersumbat oleh maam yang telah mengental.
Cairan malam di canting yang telah siap dituliskan pada kain maka telapak tangan kiri pengobeng dengan keadaan terbuka berad di balik kain. Telapak tangan dimaksudkan sebagai alas dari kain yang akan ditulis dan dipakai untuk menggerakkan atau menggulung bagian kain yang telah dibatik ke balik gawangan.

2.      KERIS

Beberapa waktu yang lalu keris juga dinobatkan UNESCO sebagai benda cagar budaya warisan dunia. Diakuinya keris sebagai benda cagar budaya warisan dunia terletak pada kekhasan cara pembuatannya yang tidak dimiliki oleh benda pusaka lainnya. Keputusan UNESCO tersebut tertanggal 25 November 2005 “The Indonesia Keris a Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”.
Sebelum membuat keris, empu terlebih dahulu mempersiapkan bahan baku, sarana, dan peralatan yang akan digunakan, antara lain:
a.       Besalen, tempat kerja, bengkel kerja
b.      Peralatan kerjanya selain berupa ububan dan paron atau besi landasan tempa, palu besar 5 kg, 3 kg, dan 1,5 kg, palu kecil untuk empu, 3 buah capit, gergaji besi, pahat besi, paju, dan berbagai macam bentuk dan ukiran kayu
c.       Tenaga pembantu yang biasa disebut panjak, antara 2-3 orang
d.      Arang kayu jati kualitas terbaik, sekitar 3 kuintal
e.       Bahan baku keris berupa besi empa, baja, dan bahan pamor. Masing-masing memiliki berat tersendiri.
Cara membuatnya adalah:
a.       Pertama, besi tempa dibersihkan terlebih dahulu. Besi tempa yang suda bersih dari kotoran dan sedikit kandungan karbonnya akan lebih mudah dan cepat membara bila dipanaskan
b.      Besi yang sudah dibersihkan ditekuk menjadi seperti bentuk U dan diantara sisi yang membentuk huruf U idselipkan bahan pamor dengan ketipisan 3 mm, lalu panaskan keduanya bersama-sama
c.       Bahan besi yang sudah menjepit kepingan pamor lalu ditempa lagi sampai bentuknya memanjang lagi, dan ditekuk lagi menjadi bentuk huruf U. Terus demikian hingga bila keris itu berkualitas baik tekukannya bisa mencapai ratusan jumlahnya.
d.      Setelah calonan keris selesai maka proses selanjutnya adalah anggrabahi atau menipiskan bilah keris
e.       Membuat ricikan keris menggunakan alat-alat kikir halus
f.       Membuat ganja dan harus dihaluskan
g.      Menyepuh keris, dengan memanaskan keris lagi namun tidak sampai membara dan ketika membara keris tersebut segera dimasukkan ke dalam larutan sepuhan dan harus cepat-cepat diangkat lagi.
h.      Sekarang, keris baru itu tinggal dipercantik engan cara mewaranginya lalu mengolesi permukaannya dengan minyak keris untuk menampilkan keindahan pamornya.

3.     UPACARA TRADISI
Upacara tradisi juga merupakan warisan budaya tak benda. Upacara tradisi ini diciptakan para leluhur selain untuk menghormti para pendahulu, tentu upacara tradisi dimaksudkan sebagai modal sosial agar kehidupa senntiasa tertib damai atau guyub rukun, gotong royong, kebersamaan serta menjalani kehidupan yang sangat demokratis.
Penulis akan mencoba untuk mengangkat salah satu upacara tradisi yang terdapat di Jatinom, Klaten, Jawa Tengah, yakni tradisi Saparan YaQowiyu.
Tradisi Saparan YaQowiyu merupakan sebuah tradisi yang masih dilestarikan masyarakat Jatinom dalam rangka memperingati haul Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di wilayah itu. Ikon dari kegiatan ini adalah ritual penyebaran kue apem yang diperebutkan pengunjung. cara diadakan tiap Jumat yang paling dekat dengan tanggal 15 bulan Sapar pada penanggalan Hijriyyah.
Prosesi ini dimulai dengan nyekar ke makam Ki Ageng Gribig, dilanjutkan dengan pengajian di Masjid Gedhe peninggalan sang kyai. Puncak acara dimulai dengan shalat Jumat. Usai shalat, Gunungan Lanang yang dikenal dengan nama Ki Kiyat dan Gunungan Wadon yang dikenal dengan sebutan Nyi Kiyat diarak menuruni tangga menuju panggung di lapangan Sendang Plampeyan tempatnya di selatan masjid yang ada di pinggir Kali Soka.
Arak-arakan terdiri atas peraga Ki Ageng Gribig, Bupati, Muspida, Kyai Kiyat dan Nyai Kiyat,putri domas dan para pengawal. Kemudian paraga Ki Ageng Gribig memimpin doa bersama. Selanjutnya Ki Ageng Gribig menyerahkan apem yang diletakkan dalam panjang ilang (semacam keranjang yang terbuat dari janur) kepada bupati. Bupati pun kemudian mengawali upacara penyebaran dengan melempar apem kepada pengunjung. Disusul dengan petugas yang berada di dua menara melemparkan ribuan apem kepada pengunjung.

4.     SENI TARI KERATON
Seni tari yang berasal dari empat keraton di Jawa Tengah mempunyai dua gaya yang dikembangkan di keraton Surakarta dan yang dikembangkan di keraton Yogyakarta. Secara mum perbedaan dari kedua gaya tersebu dapat dilihat pada:
a.       Irama, kecepatan, serta lagu-lagu dan iringan gamelan
b.      Gaya pakaian serta tata rias wajah
c.       Tarian gaya Surakarta dianggap lebih halus dan lebih feminin

Dalam ulasan mengenai seni tari keraton penulis akan mengambil contoh salah satu jenis tarian yang dianggap keramat, yakni tari Bedhaya.
Tarian upacara dengan latar belakang keramat ini terutama merupakan tarian wanita. Tidak lebih dari 50 tahun lalu, tarian ini hanya boleh dipentaskan di keraton saja. Tari Bedhaya adalah suatu jenis tarian bersama yang ditarikan oleh tujuh atau sembilan penari wanta berdasarkan cerita lengkap yang diambil dari mitologi, cerita sejarah, atau cerita sepik. Para penari berpakaian seragam semua, dan selama pementasan tidak diadakan dialog. Jaln cerita diucapkan oleh seorang dhalang yang secara berganti-ganti menerangkannya dalam bentuk prosa dan dalm bentuk nyanyian yang diiringi oleh suatu paduan suara atau gerong serta gamelan.
Tari Bedhaya yang digemari adalah tari Bedhaya Ketawang. Konon untuk menarikannya, para penari harus menjalani laku berupa puasa selama empat puluh hari. Disebutkan pula bahwa irama gending Bedhaya disenangi oleh Kanjeng Ratu Kidul sehingga tiap kali Bedhaya dipentaskan (terutama dalam upacara penobatan raja baru) Kanjeng Ratu Kidul selalu ikut menghadiri.


Tari Bedhaya






DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Jawa Tengah Bagian Proyek Pembinaan Permuseuman Jawa Tengah. 1995. Menyimak Budaya Jawa Tengah Lewat Koleksi Museum Negeri Jawa Tengah Ronggowarsito.
Dharsono, dkk. 2011. Sejarah Tosan Aji (Keris). Semarang: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus. 2009. Benda Cagar Budaya: Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kudus.
MC, Wahyana Giri. 2010. SAJEN dan Ritual Orang Jawa. Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Seksi Kesejarahan Bidang Kesejarahan dan Kepurbakalaan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah. 2011. Sejarah Wisata Religi Jawa Tengah.
Wahono, dkk. 2004. Gaya Ragam Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol). Semarang:  UNNES Press.
___________. 2004. Artefak Batu Masa Prasejarah-Hindu Budha (Koleksi Museum Jawa Tengah Ronggowarsito). Semarang: UNNES Press.
___________. 2003. Peninggalan Budaya Logam pada Masa Lampau  (Koleksi Museum Ronggowarsito). Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Museum Jawa Tengah Ronggowarsito.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar