Senin, 22 Oktober 2012

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PANTAI UTARA JAWA - Tinjauan Proses Dinamika Sosial Kultural di Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah Abad XV Hingga Abad XXI (Bagian 4-Selesai)

BAB IV
SIMPULAN


            Sejak berdirinya kerajaan Demak, ternyata masyarakat pantai utara Jawa Tengah telah mengalami perkembangan yang pesat terutama dalam hal pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Demak sebagai awal peradaban Islam terbukti mampu meneruskan kejayaan kerajaan maritim di pesisir utara Jawa Tengah yang sebelumnya bercorak Hindu. Hingga penguasaan Belanda atas kota-kota di pantai utara Jawa Tengah pun kota-kota kuna seperti Jepara dan Semarang juga tetao difungsikan sebagai pelabuhan dagang yang melayani perdagangan baik domestik maupun internasional.
            7 unsur kebudayaan universal yang mewakili kebudayaan maritim di pesisir utara Jawa Tengah juga menunjukkan eksistensinya dalam dunia modern seperti saat ini. Tingginya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tidak lantas meninggalkan adat tradisi di lingkungannya yang telah tumbuh bertahun-tahun lamanya. Local genius masyarakat masih kental terasa, dan inilah yang menjadi kekhasan kebudayaan maritim di pesisir utara Jawa Tengah.
           



DAFTAR PUSTAKA

Akasah, Hamid, Arya Penangsang Perebutan Takhta Kesultanan Demak, (Demak: CV. Cipta Adi Grafika, 2010)
Baribin, Raminah, dkk., Inventarisasi Sastra Jawa Pesisir Sebelum Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992)
Hayati, Chusnul, dkk., Ratu Kalinyamat Biografi Tokoh Wanita Abad XVI dari Jepara, (Semarang: Jeda, 2007)
Horton, Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 1996)
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium, (Jakarta: Gramedia, 1992)
Kusnadi, Keberadaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, (Yogyakarta: Ar-RuzzMedia, 2009)
Krisprantono, “Perkembangan Tata Ruang Kota Semarang Ditinjau dari Kebijakan Politik Ekonomi Kolonial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)           
MC, Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009)
Mujianto, Yan, dkk. Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2120)
Prasetyo, Biondi Bintang, dkk., Teknik Tangkap Ikan Nelayan di Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa (Laporan Penelitian Sosial, Semarang, 2012)
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011)
Roesmanto, Totok, “Kesejarahan Kota Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Soemardjan, Selo, Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomu Universitas Indonesia, 1964)
Suliyati, Titiek, “Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Suprapti, Mc, dkk., Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Gilimanuk-Jepara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994)
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk., Sejarah Maritim Indonesia 1, (Semarang: Jeda, 2007)
Vlekke, Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2010)
Wahid, Idat Abdul , Pranata Sosial dalam Masyarakat Sunda, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003)
Wahono, dkk., Gaya Raham Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol), (Semarang: Museum Ronggowarsito, 2004)
WE, Soetomo, dkk., Pola Permukiman Tradisional Daerah Perkotaan Pantai Utara Jawa Tengah, (Semarang: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, 1993)
Yuliati, Dewi, “Industrialisasi dan Segregasi Sosial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PANTAI UTARA JAWA - Tinjauan Proses Dinamika Sosial Kultural di Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah Abad XV Hingga Abad XXI (Bagian 3-B)


B. Interpretasi 7 Unsur Kebudayaan Universal Terhadap Masyarakat Pantai
     Utara Jawa Tengah Hingga Abad XXI
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[1] Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [2] Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling konkret.[3]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[4] Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[5] Ketujuh unsur kebudayaan universal inilah yang akan dikaji dalam perkembangan kebudayaan masyarakat maritim, khususnya yang berlokasi di pesisir pantai utara Jawa Tengah hingga abad XXI.
1.      Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)
Kurang lebih hingga tahun 1993, kebutuhan masyarakat maritim terhadap teknologi seiring sejalan antara teknologi tradisional dengan teknologi modern. Hal ini terlihat dalam beberapa wujud teknologi yang dapat dikatakan cukup tradisional, antara lain :
a.       Teknologi mengambil air
Dalam mengambil air alat yang digunakan antara lain senggot (timba sumur yang terbuat dari bambu atau kayu) dengan ember dari bahan seng, tali, atau tampar. Sedang untuk mengambil air di sungai dapat berupa klenthing (terbuat dari tanah liat, bentuknya mirip kendi tetapi tidak ada mulut kendinya). Kondisi ini sejalan dengan teknologi modern seperti ember plastik, selang, pipa pralon agi yang menggunakan air PAM/ledeng, atau dinamo yang menggunakan tenaga listrik yang dihubungkan dengan sumur.
b.      Teknologi mengangkat barang
Barang yang diangkat, apabila barang tersebut merupakan barang kecil berupa butiran dalam jumlah yang banyak dapat digunakan bakul atau dapat juga memakai pikulan, yaitu dengan dua tempat dan dihubungkan dengan pemikul yang ditaruh di pundak. Untuk mengangkat barang, semacam kayu gelondong, digunakan tali yang berfungsi sebagai penarik dan kayu bentuk silinder yang digunakan untuk roda, selanutnya hanya tinggal mendorong dan memindahkan kayu yang berfungsi sebagai roda. Untuk mendorong kayu ini dapat menggunakan kayu yang berfungsi sebagai pengungkit. Kondisi ini sejalan dengan alat angkut modern seperti becak, truk, atau mobil lainnya.
c.       Teknologi transportasi
Teknologi transportasi tradisional yang masih bisa ditemui antara lain andong atau dokar, gerobak, sepeda, becak, dan lain-lain. Kondisi ini sejalan dengan alat transportasi modern seperti mobil, bus, dan lain-lain.
d.      Teknologi penerangan
Alat penerangan yang merupakan teknologi tradisional adalah lampu minyak yang bisa berupa sentir, teplok, ting, oncor, petromak, dan sebagainya. Kondisi ini sejalan dengan penerangan listrik modern seperti listrik yang diperoleh dari tenaga air maupun diesel.
e.       Pembuatan sarana transportasi
Pembuatan sarana transportasi yang masih tradisional adalah pembuatan jalan yang terbuat dari tanah liat dan bisa diberi kerikil atau batu kapur yang sering disebut kawur dengan cangkul sebagai peratanya. Kondisi ini sejalan dengan teknologi pembuatan jalan yang lebih modern yakni dengan pengaspalan yang menggunakan setum, pencampur aspal dan batu kerikil, dan lain sebagainya.[6]

            Selain itu, berdasar studi kasus yang dilakukan di Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa, diperoleh teknologi tangkap ikan yang merupakan hasil kolaborasi antara teknologi tradisional dengan teknologi modern sebagai berikut.
a.       Teknik Branjang
Teknik branjang merupakan salah satu teknik penangkapan ikan yang secara garis besar memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Teknik ini dikhususkan untuk penangkapan ikan teri. Dengan menggunakan kapal khusus teri (kapal branjang) yang rata-rata memiliki ukuran yang lebih besar guna menampugn ikan dengan tangkapan yang banyak dan membutuhkan  kapal yang lebih besar. Kapal branjang berukuran panjang sekitar 5 meter dengan lebar 3 meter dengan dilengkapi rolling atau katrol yang dipasang menggunakan bambu pada langit-langit kapal. Bambu ini berguna untuk pengangkatan jarring. Kapal branjang memiliki ciri khas tersendiri yakni pada bagian ujung kapal berbentuk runcing agar lebih mudah memecah ombak karena penangkapan teri biasanya dilakukan di tengah laut dengan perairan yang dalam. Selain itu kapal juga didesain untuk penggunaan branjang itu sendiri.harga kapal pun cukup mahal bisa menembus angka ratusan juta rupiah karena untuk memperolehnya pemilik harus membeli kapal di Jawa Timur.
Branjang sejatinya adalah jaring dengan sisi-sisi berbentuk persegi. Jaring ini lebarnya dapat mencapai 4x4 meter dan panjang 3 meter. Tentu saja jarring ini digunakan untuk menangkap ikan dengan jumlah yang besar. Pengangkatan jarring setelah terisi ikan dengan jumlah yang banyak menggunakan rolling yaitu alat semacam katrol untuk mempermudah pengangkatan atau memperingan beban ketika mengangkat jaring. Sangat efektif untuk menangkap ikan yang notabene hidupnya berkoloni atau berkelompok seperti teri. Pada saat ini belum ada modifikasi alat branjang karena masih cukup efisien. Masyarakat Mrican khsusunya para nelayan hampir di setiap perjalanannya dalam menangkap teri pasti memperoleh hasil sedikit atau banyak dalam menggunakan teknik branjang ini. Modal yang dikeluarkan pun sepadan dengan hasil yang didapat karena nelayan hanya harus menyiapakan solar untuk mesin kapal kira-kira untuk sekali perjalanan menangkap ikan membutuhkan 20 liter solar dan selain itu nelayan hanya cukup membawa lampu petromak atau genset untuk alat bantu penangkapan ikan.[7]
b.        Teknik Perawai
Teknik perawai atau disebut juga teknik pancing adalah salah satu metode penangkapan ikan yang sering di pakai oleh para nelayan di daerah Mrican. Teknik prawe sendiri banyak di minati para nelayan, karena memancing dengan teknik perawai tidak terlalu sulit dan mudah. Pengertian dari teknik prawe adalah teknik yang memekai alat jaring, yang di setiap jaring di beri kail yang disebarkan di tengah laut. Panjang jaring dari perawai 300 m, di sepanjang jaring di berikan kail untuk mengkaitkan ikan. Jarak kail ke kail 1 meter dan di setiap kail di berikan umpan. Upan yang sering di pakai para nelayan yaitu cumi. Biasanya para nelayan memasangkan kail sebanyak 100 kail. Di setiap ujung jaring diberikan tanda seperti tongkat neon, gunanya untuk memberi tanda dimana perawai dipasang. Penyebaran perawai dilakukan di tengah laut, kurang lebih 2 Km dari pesisir pantai. Setelah perawai disebarkan para nelayan menunggu kurang lebih 1 jam, sambil menuggu waktu pengangkatan perawai biasanya para nelayan memancing ikan dengan alat pancing biasa. Teknik perawai dilakukan pada malam hari, karena di saat malam hari ikan mulai mencari makan. Biasanya para nelayan Mrican melakukan spot penangkapan sebanyak 3 kali dengan lokasi yang berbeda-beda.[8]
c.         Teknik Selam
Teknik selam merupakan salah satu teknik tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di dusun Mrican yang mengandalkan kemahiran menyelam dan ketepatan membidik sasaran. Teknik selam sebenarnya digunakan sebagai selingan saat sedang paceklik ikan tetapi lama-kelamaan teknik selam digunakan sebagai sumber mata pencaharian karena penggunaan alat yang sederhana dan tidak menghabiskan banyak biaya.[9]

d.        Bubu (Perangkap Ikan)
Bubu sebenarnya termasuk trap atau alat perangkap ikan yang dipasang secara tetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan mempersulit ikan keluar. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami seperti bambu, kayu dan yang modern telah menggunakan kawat atau bahan buatan seperti jaring/jala. Terdapat beberapa jenis alat tangkap yaitu bubu dasar, bubu hanyut, sero, bagan dan jermal.
Bubu ini dibuat dari bahan bambu, rotan dan kawat. Bentuknya bermacam-macam ada yang silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang, segitiga memanjang, dan sebagainya. Dalam operasinya ada yang memakai umpan ada yang tidak. Biasanya terdapat 3 bagian bubu dasar yaitu bagian badan atau tubuh bubu. Terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan pemberat untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan.
Bagian kedua adalah bagian lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan yang terletak pada bagian sisi bawah bubu. Posisinya terletak di belakang mulut bubu.  Sedangkan mulut bubu berfungsi untuk masuknya ikan, posisinya terletak di depan badan bubu. Semakin ke dalam, semakin kecil diameter lubangnya.
Ukuran bubu bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran 3.5 m panjang 2 m lebar dan 75-100 cm. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar) bisa juga ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjangyang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan. Untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa hari setelah dipasang.[10]
2. Sistem Mata Pencaharian Hidup
            Sistem mata pencaharian yang biasa ditemui dan menjadi ciir khas dari masyarakat pesisir adalah nelayan. Meskpun demikian, di beberapa wilayah seprti Tegal, Jepara, Rembang, dan Pati, juga ditemui penduduk dengan bermata pecaharian sebagai pengusaha, pedagang, pegawai negeri sipil/ABRI, pensiunan, ada pula yang bergerak dalam jasa angkutan, sebagai buruh industri, buruh bangunan, petani, dan lain-lain.[11]
            Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia.[12] Karena masyarakat nelayan merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan antara lain, memiliki struktur relasi patron-klien yang sangat kuat; etos kerja tinggi; memanfaatkan kehidupan diri dan adaptasi optimal; kompetitif dan berorientasi prestasi; apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesukaran hidup; terbuka dan ekspresif; solidaritas sosial tinggi; sistem pembagian kerja berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan); dan berperilaku “konsumtif”.[13] Satu hal yang patut diperhatikan dalam pengembangan masyarakat nelayan adalah dalam segi pemberdayaannya. Program-program diklat kewirausahaan bagi generasi muda nelayan atau untuk masyarakat pesisir yang berminat menerjuni sektor usaha penangkapan, pengolahan, pemasaran/perdagangan ikan, dan jasa-jasa lainnya di kawasan pesisir, perlu digalakkan dngan harapan dapat mendorong proses kreatif peserta program untuk mengeksplorasi peluang-peluang usaha baru yang prospektif berbasis sumberdaya lokal. Penciptaan peluang-peluang usaha ini ditujukan untuk menampung jumlah tenaga kerja produktif yang terus bertambah di kawasan pesisir, mengikis kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan penduduk. Dengan demikian, dinamika ekonomi pesisir mampu berkembang sehingga akan berdampak tehadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan sosial masyarakat pesisir.[14]
3. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Lembaga (institution) merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur atau tersusun guna melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.[15]
            Selo Soemardjan dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi mengemukakan posisi penting lembaga dengan merujuk pada pendapat dari Gillin dan Gillin sebagai berikut,
A social institution is a functional configuration of culture patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social needs[16].
Dari penuturan Gillin dan Gillin tersebut, tidak berlebihan rasanya jika Soerjono Soekanto memberikan pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata sosial.Hal ini dikarenakan istilah social institution lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Selain itu dari apa yang didefinisikan Gillin dan Gillin mengenai social institution juga memperlihatkan kekhasan dari suatu masyarakat karena memuat pola-pola kebudayaan seperti tindakan, gagasan, dan sikap serta peralatan budaya yang memiliki keajegan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial.Sejalan dengan Gillin dan Gillin, Horton dan Hunt juga menegaskan bahwa lembaga adalah suatu sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.Dalam definisi tersebut, nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti; dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut.[17]Heztler juga memberikan batasan pranata sosial sebagai salah satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting.[18]
            Pranata atau lembaga sosial ketika diterapkan di dalam masyarakat pesisir, dapat dijumpai dalam stratifikasi masyarakat yang diberlakukan pada masa kolonialisme Belanda. Sebagai contoh, stratifikasi masyarakat Jepara dibedakan atas :
a.       Lapisan bangsawan pesisir, sebagai penguasa feodal yang memerintah dan berdagang
b.      Lapisan pegawai pemerintah kerajaan yang mengatur kepamongprajaan kerajaan dan kebandaran
c.       Lapisan rakyat, biasanya sebagai pedagang tengahan, pedagang kecil, pekerja kerajinan, nelayan dan tenaga bandar (tenaga buruh pelabuhan), sedangkan di daerah pelosok sebagai petani
d.      Penduduk asing dari berbagai kebangsaan berada pada perkampungan tersendiri dengan Kepala wijk (perkampungan) yang mereka pilih sendiri.[19]
Selain pola stratifikasi sosial masyarakat pesisir (Jepara) pada masa kolonial, organisasi sosial yang juga dikembangkan hingga tahun 1980-an antara lain PKK, LKMD, dan Karang Taruna, yang banyak membantu program kepala desa sehingga turut mampu menciptakan lingkungan yang teratur. Organisasi-organisasi tersebut bergerak di bidang kesenian, olahraga, kerohanian, dan sebagainya.[20] Sementara itu di Tegal terdapat organisasi baik yang bernafas politik maupun keagamaan antara lain organisasi seperti Aisyiah, Al-Hidayat, Fatayat,yang bergerak di dalam kegiatan-kegiatan sosial, pengajian dan lain-lain. Organisasi sosial lainnya seperti Rukun Kematian, Ikatan Remaja Masjid, jimpitan dan sinoman. Organisasi yang bergerak di bidang kesenian atara lain Samroh-Qasidah, Keroncong, Dangdut/Orkes Melayu, Karawitan, Tari, balo-balo, Kuntulan, Pencak Silat. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan latihan-latihan dan dipentaskan dalam berbagai acara baik di lingkungan sendiri maupun keluar di lingkungan masyarakat yang lebih luas.[21]
4. Bahasa
            Bahasa yang dipergunakan di masyarakat pesisir pantai utara Jawa tengah kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan.  Di dalam pergaulana antarmasyarakat, bahasa daerah sebagai bahasa komunikatif penduduk mendominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa resmi, misalnya rapat instansi, surat resmi, dan lain-lain. Tingkatan bahasa Jawa yang kerap dipakai dalam pergaulan sehari-hari antara lain bahasa Jawa ngoko untuk pergaulan dengan grade yang sama, lalu bahasa Jawa krama untuk peragulan dengan grade yang lebih tua atau lebih tinggi di atasnya.[22]
            Kebudayaan masyarakat pesisir dalam hal kebahasaan juga memunculkan banyak karya-karya sastra kuna yang mewakili penggunaan bahasa Jawa sekaligus menunjukkan eksistensi budaya Jawa di kalangan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Tengah. Karya sastra kuna tersebut antara lain Serat Babad Pengging era Kerajaan Demak yang menggunakan huruf Jawa, Serat Wali Sanga, dan lain sebagainya. Secara umum, bahasa Jawa yang termuat dalam naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Jawa yang disederhanakan, atau bahasa Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat (bukan lingkungan istana). Naskah yang berbentuk tembang macapat lebih banyak menggunakan variasi bahasa, baik pada pilihan kata maupun pada struktur kalimat karena pengaruh bentuknya yang harus mengindahkan guru lagu dan guru wilangan. Bisa dibilang bahkan tradisi penulisan karya sastra Jawa zaman Kartasura awal masih sama dengan tardisi penulisan sastra pesisiran, bahasa Jawa pesisiran yang digunakan dalam naskah-naskah ini hampir sama dengan bahasa Jawa baru atau bahasa Jawa zaman Kerajaan Surakarta, yang juga menggunakan kata-kata dialek pesisir (Banten, Cirebon, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya).[23]
5. Sistem Ilmu dan Pengetahuan
            Dalam hal ilmu dan pengetahuan, masyarakat pesisir utara Jawa Tengah nampak telah memiliki kesadaran akan perlunya pendidikan anak dan kebutuhan amsa depannya, sehigga hal ini menjadi perhatian khusus bagi para orang tua di lingkungan masyarakat setempat. Di sisi lain tingkat kemuajuan pendidikan masyarakat juga dipegaruhi oleh tingkat ekonomi masyarakat setempat serta pemenuhan sarana dan kesempatan bagi masyarakat. Sebagai contoh, menurut data setempat yang diperoleh dari Kelurahan Parenggan Kabupaten Pati menunjukkan bahwa penduduk yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan sejumlah 2.215 orang. menurut dat tersebut, penduduk yang tidak mendapat kesempatan atau tidak sekolah jumlahnya relatif sedikit dibandingkan mereka yang tamat sekolah, Kebanyakan mereka yang tidak sekolah adalah penduduk yang telah berusia lanjut. Tamatan Sekolah Dasar menduduki jumlah paling besar dibanding tamatan lainnya, dan hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan wajib belajar bagi pendidikan dasar berjalan dengan baik. Tamatan perguruan tinggi tercatat sejumlah 24 orang atau sekitar 2,43 %. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat cukup tinggi terhadap pendidikan tinggi, sehingga tercatat ada 24 cendekiawan dalam satu kelurahan.[24]

6. Kesenian
            Salah satu kekhasan yang dimiliki daerah pesisir terletak pada motif batik pesisiran Batik-batik yang dihasilkan dari daerah Pantai Utara seperti Pekalongan maupun Lasem ditukar tambah dengan barang lain di Batavia. Pada saat itu, kelompok penting pelanggan untuk batik ini adalah wanita-wanita Indo-Eropa. Pada saat itu kain batik berbentuk sarung dipakai di rumah bahkan juga sebagai suatu alternatif rok formal, sebagai ganti kerinduan katun berpola warna dari India. Pada sekitar tahun 1800 pedagang Cina dan pedagang Arab yang berada di pantai utara Jawa memborong batik buatan industri rakyat di daerah Pekalongan dan Lasem. Ramainya perdagangan tersebut lebih semarak lagi dengan robohnya industri tekstil dari India akibat adanya tekstil buatan mesin.[25]
            Gaya ragam hias batik daerah pesisiran adalah batik dengan berbagai motif yang dibuat di daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Pekalongan, Batang, Lasem (Rembang). Beberapa motif batik pesisiran pantai utara Jawa Tengah antara lain,
a.       Motif Largemak
Motif ini dominan dengan sayap-sayap dari burung puyuh. Motif ini memiliki ciri warna latar hijau dengan hiasan motif setangkai bunga berwarna merah, oranye, biru dan hijau, bagian tepi kain bermotif untu walang . Motif isen-isen barupa blarak sak imit, cecek renteng, dan kembang lombok. Ragam hias dominan pada kain burung hong dan bunga.
b.      Motif Seno
Seno berasal dari kata Jawa Kuna yang berarti anak. Seno kemungkinan juga diambil dari nama tokoh dunia pewayangan yaitu Onto Seno. Onto Seno disini dilukaiskan dengan kulit yang berwarna gelap. Oleh karena itu kain batik motif ini memiliki ciri warna gelap seperti latar biru tua, warna pelengkap biru muda dan hitam. Ragam hias dominan Parang dengan motif isen-isen berupa belah ketupat dan cecek renteng. Motif seperti ini biasanya dipakai oleh kalangan ningrat.[26]
7. Kepercayaan
            Kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir beragama Islam, meski tidak menutup dianutnya kepercayaan lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Kerohanian yang terdapat di pesisir utara Jawa Tengah misalnya Panggung Pesantren di Tegal. Panggung Pesantren yang mayoritas warga Indonesia asli atau pribumi yang taat pada tuntunan agama, yaitu Islam, yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Namun demikian bukan berarti warga Panggung Pesantren melarang agama lain, justru warga yang beragama non Islam dapat menyesuaikan diri. Warga Panggung Pesantren tidak hanya fanatik dalam melaksanakan sholat saja namun masih berusaha mempertahankan diri melaksanakan kebiasaan nenek moyangnya, antara lain :
a.       Rebo Wekasan, dengan mengadakan pengajian di lingkungan pesantren.
b.      Mengadakan selamatan atau tahlilan untuk 1 sampai 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak 1 hingga 3.
c.       Bersih kubur, membaca doa (tahlil di makam)
Selain itu warga Panggung juga masih memelihara makam mbah panggung, orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Panggung dan berhasil mengembangkan agama Islam di daerah ini. Pemeliharaan makam bukan berarti membuka peluang untuk mengajarkan syirik, musyrik maupun munafik, namun membawa masyarakat yang masih mempercayai adanya kekuatan yang ditinggalkan oleh mbah Panggung kepada para warganya. Justru kerap orang dari luar warga Panggung yang mengakui kekuatan tersebut, sehingga tugas juru kunci disini membawa agar orang yang akan nyekar atau nyepi tidak terlanjur menjadi syirik atau musyrik dengan meminta berkah dari makam mbah Panggung. Para peziarah datang tiap hari Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat Kliwon, atau hari lain sesuai keinginannya.[27]
Sementara itu di hampir seluruh masyarakat desa Tulakan Keling Jepara mengenal upacara tradisi tinggalan nenek moyang mereka yang disebut Jembul. Tradisi ini menurut penuturan warga mulai ada sejak zaman Ratu Kalinyamat, salah seorang raja perempuan yang berkuasa di wilayah tersebut. Tradisi Jembul saat ini berupa dua tandu usungan, yakni tandu usungan yang disebut dengan Jembul Yoni dan tandu usungan yang disebut dengan Jembul Lingga. pada tandu usungan jembul Yoni terdapat aneka makanan seperti jadah, gemblong, jenang, tape dan aneka jajan pasar lainnya. Di antara makanan yang ditata rapi ini terdapat hiasan belahan bambu, konon hiasan bambu ini dimaksudkan untuk melambangkan Adipati Arya Penangsang. Sangat berbeda penamplannya dibanding Jembul Lingga. Jembul yang satu ini sama sekali tidak dilengkapi dengan hiasan, bahkan di atas jembul ini cenderung terdapat nasi tumpeng komplit dengan aneka lautnya. Upacara tradisi Jembul dimulai dari Desa Sonder, desa di mana Ratu Kalinyamat memulai bertapa untuk melakukan protesnya. Di desa ini, seluruh peserta ritual memulai prosesinya dengan cara dhahar kembul alias makan bersama seluruh hasil bumi dan hasil pertanian mereka. Usai makan bersama, Kepala Desa Tulakang menyerahkan kepada 4 dusun yang ada di desa Tulakan untuk melanjutkan prosesi ritual di dusun masing-masing.[28]


[1] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 180.
[2] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 1.
[3] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[4] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 11.
[5] ibid., hlm. 13-19.
[6] Soetomo WE, dkk., Pola Permukiman Tradisional Daerah Perkotaan Pantai Utara Jawa Tengah, (Semarang: Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, 1993), hlm. 94.
[7] Biondi Bintang Prasetyo, dkk., Teknik Tangkap Ikan Nelayan di Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa (Laporan Penelitian Sosial, Semarang, 2012), hlm. 10.
[8] Biondi Bintang Prasetyo, dkk., op.cit., hlm. 12.
[9] ibid., hlm. 14.
[10] Biondi Bintang Prasetyo, dkk., op.cit., hlm. 16.
[11] Soetomo WE, dkk., op.cit., hlm. 71.
[12] Kusnadi, Keberadaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir, (Yogyakarta: Ar-RuzzMedia, 2009), hlm. 27.
[13] Kusnadi, op.cit., hlm. 39.
[14] ibid., hlm. 89.
[15]Paul B. Horton, Chester L. Hunt, Sosiologi Jilid 1, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 244.        
[16] Selo Soemardjan, Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomu Universitas Indonesia, 1964), hlm. 67.
[17] Paul B. Horton, Chester L. Hunt, op.cit., hlm. 245-246.
[18] Idat Abdul Wahid, Pranata Sosial dalam Masyarakat Sunda, (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2003), hlm. 9.
[19] Mc. Suprapti, dkk., op.cit., hlm. 42.
[20] Soetomo WE., dkk., op.cit., hlm. 108.
[21] ibid., hlm. 31.
[22] ibid., hlm. 106.
[23] Raminah Baribin, dkk., Inventarisasi Sastra Jawa Pesisir Sebelum Abad XX, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992), hlm. 71.
[24] Soetomo, WE, dkk., op.cit., hlm. 39
[25] Wahono, dkk., Gaya Raham Hias Batik (Tinjauan Makna dan Simbol), (Semarang: Museum Ronggowarsito, 2004), hlm. 77.
[26] Wahono, dkk., op.cit., hlm. 92.
[27] Soetomo WE, dkk., op.cit., hlm. 32.
[28] Wahyana Giri MC, Sajen dan Ritual Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 64.

KEBUDAYAAN MASYARAKAT PANTAI UTARA JAWA - Tinjauan Proses Dinamika Sosial Kultural di Pesisir Pantai Utara Jawa Tengah Abad XV Hingga Abad XXI (Bagian 3-A)


BAB III
DINAMIKA SOSIAL MASYARAKAT MARITIM PANTAI UTARA
 JAWA TENGAH ABAD XIX-XXI


A. Dinamika  Jepara Sebagai Kota Pesisir Utara Jawa Tengah Abad XIX-Awal Abad XX

Kota Jepara
            Menurut Serat Pustaka Raja Purwa, daerah Jepara dan Juwana adalah daerah kekuasaan milik Sandang Garba, seorang raja pedagang (koning der koopleiden). Ia adalah kakak dari penguasa Kahuripan dan Jenggala yaitu Dandang Gendis. De Graaf memperkirakan jika pada saat itu Jepara dan Juana sudah merupakan kota pelabuhan.[1] Berdasar ingatan yang samar-samar tentang peristwa-peristiwa sejarah dari zaman kuna, yaitu serangan Cina yang tiba-tiba pada tahun 1292, dapat diperkirakan bahwa kejayan Jepara sebagai kota pelabuhan dapat dianggap setara dengan Tuban dan Kahuripan di Delta Sungai Brantas, yang memang sudah terkenal sejak dulu.[2] Di awal abad XVI, Jepara telah menjadi pelabuhan dan bandar dagang sekaligus sebagai pusat perdagangan di pesisir utara Jawa Tengah. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Van Wales, bahwa sudah sejak kira-kira tahun 1500-an atau bahkan jauh sebelumnya Jepara sudah merupakan kota dagang yang penting.[3] Bersama Demak, pelabuhan Jepara pada saat itu terkenal sebagai gudang beras yang diperdagangkan dengan para pedagang luar daerah dan seberang lautan yang datang ke pelabuhan. Daerah-daerah yang menjadi tujuan pasokan beras dari Jepara adalah Banjarmasin, Maluku, dan kota-kota pelabuhan besar di Jawa Barat (Banten dan Jakarta-Batavia). Pada tahun 1615, Belanda memperkirakan bahwa mereka sanggup membeli 2.000 ton beras setiap tahun di Jepara, sedangkan di tahun 1648 mereka mengimpor 8.000 ton ke Batavia.[4] Sementara itu pada tahun 1613 oleh Gubernur Jenderal VOC yaitu Jan Pieter Both didirikan kantor VOC di Jepara dengan alasan bahwa kantor VOC di Gresik selalu mendapat gangguan dari para pedagang Islam yang menentang monopoli oleh VOC. Pada tahun 1615 VOC diberi izin oleh Mataram untuk mendirikan loji di Jepara dan selesai pada tahun 1618. Loji tersebut digunakan sebagai perwakilan perdagangan VOC di daerah itu.[5] Pada tahun 1680-an VOC memperoleh konsesi dalam bentuk sewa dari raja Mataram, Amangkurat II, untuk mendirikan benteng di pelabuhan Jepara. Pemilihan Jepara sebagai salah satu pusat kekuasaan VOC di samping Batavia pada waktu itu tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang menguntungkan. Alasan pertama, tentu VOC tinggal mewarisi sarana dan prasarana kota pelabuhan, termasuk pelabuhannya yang strategis, yang telah dibangun dan dikembangkan pada masa kejayaan Jepara di bawah pemerintahan Ratu Kalinyamat. Alasan kedua, bahwa Jepara pada saat itu masih memiliki daerah-daerah pedalaman yang banyak menghasilkan produk pertanian khususnya beras.[6] Kegiatan perdagangan yang berlangsung di Jepara diawasi oleh seorang pejabat Wedana-Bupati, sekaligus untuk mengawasi para bupati daerah Pesisiran Timur. Adapun tugas Wedana-Bupati Jepara sebagaimana diutarakan FA. Soetjipto adalah sebagai berikut.
a.       Mengkoordinir kabupaten-kabupaten di Pesisiran Timur
b.      Mengawasi tugas-tugas pegawai yang berhubungan dengan perdagangan ekspor impor
c.       Mengumpulkan bea cukai bandar-bandar pesisir, untuk sebagian disetorkan ke kas Kerajaan Mataram, bagi Kerajaan Mataram pelabuhan Jepara merupakan sumber penghasilan yang amat penting
d.      Melakukan tugas-tugas diplomatik dengan kekuasaan asung atau kekuasaan lain di Indonesia, dan
e.       Mempersiapkan perahu-perahu dan tenaga laskar untuk keperluan perang.[7]
Pada tahun 1697, Semarang mulai menggantikan kedudukan pelabuhan Jepara yang tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya sebagai pelabuhan ekspor produk-produk pertanian khususnya beras. Dinyatakan bahwa pelabuhan Jepara mengalami pendankalan yang serius sebagai akibat sedimentasi lumpur yang dibawa arus sungai. Pulau-pulau kecil seperti pulau Panjang dan Kelot yang secara alamiah berfungsi melindungi pelabuhan terhadap angin barat dan angin barat daya telah hilang tenggelam dalam laut. Oleh sebab itu pada tahun 1700-an pelabuhan Jepara sudah tidak aman lagi bagi kegiatan pelabuhan, khususnya bagi kaoal-kapal besar yang datang dari seberang laut atau kapal-kapal milik VOC. Lebih lanjut pada tahun 1743 raja Mataram Kartasura yakni Paku Buwana II menyerahkan hampir seluruh kota-kota pelabuhan milik Mataram dari Brebes sampai Pasuruhan (termasuk Jepara) kepada Kumpeni. Penyerahan dilakukan sebagai imbalan jasa terhadap Kumpeni yang telah membantu Paku Buwana merebut istana Mataram dari Sunan Kuning atau mas Garendi, pemimpin pemberontak dalam “perang Pacina”.[8]
            Jepara, pada tahun 1800-an, masih terpisah dari Pulau Kelor dan Benteng VOC masih berada di tepi pantai Jepara.  Pada abad XIX itu pulalah pelabuhan Jepara dikuasai oleh Belanda. Ketika Belanda membangun pelabuhan Semarang pada tahun 1874, peranan pelabuhan Jepara di pantai utara Jawa bagian Jawa Tengah mulai memudar. Pemudaran ini dipercepat oleh pembangunan jaringan jalan darat utama antara Semarang dengan Surabaya tanpa melalui Jepara.[9] Pada tahun 1930-an, jalan kereta api antara Pecangaan (di sebelah selatan Jepara) dengan Kudus dibangun. Sedangkan jalan antara Jepara-Pecangaan hanya berupa jalan tanah yang dipadatkan selebar 4-6 meter. Sementara sarana angkutan darat pada masa itu adalah gerobak sapi dan kereta kuda. Menjelang Jepang masuk pada tahun 1942, jalan antara Jepara dan Kudus dibangun dengan lebar 2-3 meter. Di kiri-kanan jalan raya antara Jepara-Semarang, Jepara-Kudus, dan Jepara-Demak masih terlihat pohon-pohon besar yang ditanam ketika jalan tersebut dibangun. Semua jaringan jalan tersebut menuju ke jalan raya utama Semarang-Surabaya. Ketika masa kemerdekaan, jalan-jalan raya dari Jepara mengalami perbaikan dan pengaspalan. Sarana angkutan darat meningkat, tetapi alat angkutan laut tradisional berupa perahu yang keluar masuk pelabuhan Jepara makin berkurang. Pelayaran tradisional ini menghubungkan Jepara dengan Kalimantan, Sulawesi, Madura, dan pelabuhan di pantai utara Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Juana, Tuban, dan Gresik.[10]
            Pada tahun 1981, pelabuhan Jepara dimasukkan ke dalam jalur pelayaran perintis. Kapal yang secara tetap singgah di pelabuhan Jepara kala itu dimiliki oleh dua perusahaan, yaitu kapal perintis milik Pelni, dan sebuah kapal dari pemerintah daerah. Berikut sajian data mengenai jumlah kapal yang masuk dan keluar pelabuhan Jepara, 1977-1982 yang dikutip dari arsip Kantor Syahbandar Pelabuhan Jepara tahun 1982.[11]
Tahun
Masuk
(Perahu)
Keluar
(Perahu)
1977
736
735
1978
426
426
1979
480
484
1980
488
488
1981
557
557
1982
585
585
Tabel 3.2
Jumlah Kapal yang Masuk dan Keluar Pelabuhan Jepara, 1977-1982
Adapun bukti dari masih berfungsinya pelabuhan Jepara untuk kepentingan kegiatan pelayaran dan perdagangan pada abad XX terlihat melalui data dari Kantor Bantu Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kabupaten II Jepara sebagai berikut.[12]
Jenis Produksi
1975
1977
1978
Beras (kg)
76.200
101.400
65.300
Gula pasir (kg)
7.950
7.920
6.400
Garam (kg)
49.600
34.800
239.700
Minyak/bensin (l)
6.655
6.300
39.100
Tembakau (ka)
60
-
-
Kelapa (butir)
26.725
28.740
63.825
Kopra (kg)
354.710
32.935
130.710
Totokimo (kg)
122.550
422.800
741.000
Genting (biji)
-
71.000
36.570
Ikan Asin (kg)
75.121
106.813
120.425
Lain-lain (kg)
24.455
16.360
16.972

Tabel 3.3
Prouksi Kabupaten Jepara dan Daerah Belakang yang Diperdagangkan Melalui Pelabuhan Jepara, 1975, 1977, dan 1978

B. Interpretasi 7 Unsur Kebudayaan Universal Terhadap Masyarakat Pantai
     Utara Jawa Tengah Hingga Abad XXI
Dalam ilmu antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[13] Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [14] Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling konkret.[15]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[16] Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[17] Ketujuh unsur kebudayaan universal inilah yang akan dikaji dalam perkembangan kebudayaan masyarakat maritim, khususnya yang berlokasi di pesisir pantai utara Jawa Tengah hingga abad XXI.
1.      Peralatan dan Perlengkapan Hidup (Teknologi)
Kurang lebih hingga tahun 1993, kebutuhan masyarakat maritim terhadap teknologi seiring sejalan antara teknologi tradisional dengan teknologi modern. Hal ini terlihat dalam beberapa wujud teknologi yang dapat dikatakan cukup tradisional, antara lain :
a.       Teknologi mengambil air
Dalam mengambil air alat yang digunakan antara lain senggot (timba sumur yang terbuat dari bambu atau kayu) dengan ember dari bahan seng, tali, atau tampar. Sedang untuk mengambil air di sungai dapat berupa klenthing (terbuat dari tanah liat, bentuknya mirip kendi tetapi tidak ada mulut kendinya). Kondisi ini sejalan dengan teknologi modern seperti ember plastik, selang, pipa pralon agi yang menggunakan air PAM/ledeng, atau dinamo yang menggunakan tenaga listrik yang dihubungkan dengan sumur.
b.      Teknologi mengangkat barang
Barang yang diangkat, apabila barang tersebut merupakan barang kecil berupa butiran dalam jumlah yang banyak dapat digunakan bakul atau dapat juga memakai pikulan, yaitu dengan dua tempat dan dihubungkan dengan pemikul yang ditaruh di pundak. Untuk mengangkat barang, semacam kayu gelondong, digunakan tali yang berfungsi sebagai penarik dan kayu bentuk silinder yang digunakan untuk roda, selanutnya hanya tinggal mendorong dan memindahkan kayu yang berfungsi sebagai roda. Untuk mendorong kayu ini dapat menggunakan kayu yang berfungsi sebagai pengungkit. Kondisi ini sejalan dengan alat angkut modern seperti becak, truk, atau mobil lainnya.
c.       Teknologi transportasi
Teknologi transportasi tradisional yang masih bisa ditemui antara lain andong atau dokar, gerobak, sepeda, becak, dan lain-lain. Kondisi ini sejalan dengan alat transportasi modern seperti mobil, bus, dan lain-lain.
d.      Teknologi penerangan
Alat penerangan yang merupakan teknologi tradisional adalah lampu minyak yang bisa berupa sentir, teplok, ting, oncor, petromak, dan sebagainya. Kondisi ini sejalan dengan penerangan listrik modern seperti listrik yang diperoleh dari tenaga air maupun diesel.
e.       Pembuatan sarana transportasi
Pembuatan sarana transportasi yang masih tradisional adalah pembuatan jalan yang terbuat dari tanah liat dan bisa diberi kerikil atau batu kapur yang sering disebut kawur dengan cangkul sebagai peratanya. Kondisi ini sejalan dengan teknologi pembuatan jalan yang lebih modern yakni dengan pengaspalan yang menggunakan setum, pencampur aspal dan batu kerikil, dan lain sebagainya.[18]

            Selain itu, berdasar studi kasus yang dilakukan di Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa, diperoleh teknologi tangkap ikan yang merupakan hasil kolaborasi antara teknologi tradisional dengan teknologi modern sebagai berikut.
a.       Teknik Branjang
Teknik branjang merupakan salah satu teknik penangkapan ikan yang secara garis besar memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Teknik ini dikhususkan untuk penangkapan ikan teri. Dengan menggunakan kapal khusus teri (kapal branjang) yang rata-rata memiliki ukuran yang lebih besar guna menampugn ikan dengan tangkapan yang banyak dan membutuhkan  kapal yang lebih besar. Kapal branjang berukuran panjang sekitar 5 meter dengan lebar 3 meter dengan dilengkapi rolling atau katrol yang dipasang menggunakan bambu pada langit-langit kapal. Bambu ini berguna untuk pengangkatan jarring. Kapal branjang memiliki ciri khas tersendiri yakni pada bagian ujung kapal berbentuk runcing agar lebih mudah memecah ombak karena penangkapan teri biasanya dilakukan di tengah laut dengan perairan yang dalam. Selain itu kapal juga didesain untuk penggunaan branjang itu sendiri.harga kapal pun cukup mahal bisa menembus angka ratusan juta rupiah karena untuk memperolehnya pemilik harus membeli kapal di Jawa Timur.
Branjang sejatinya adalah jaring dengan sisi-sisi berbentuk persegi. Jaring ini lebarnya dapat mencapai 4x4 meter dan panjang 3 meter. Tentu saja jarring ini digunakan untuk menangkap ikan dengan jumlah yang besar. Pengangkatan jarring setelah terisi ikan dengan jumlah yang banyak menggunakan rolling yaitu alat semacam katrol untuk mempermudah pengangkatan atau memperingan beban ketika mengangkat jaring. Sangat efektif untuk menangkap ikan yang notabene hidupnya berkoloni atau berkelompok seperti teri. Pada saat ini belum ada modifikasi alat branjang karena masih cukup efisien. Masyarakat Mrican khsusunya para nelayan hampir di setiap perjalanannya dalam menangkap teri pasti memperoleh hasil sedikit atau banyak dalam menggunakan teknik branjang ini. Modal yang dikeluarkan pun sepadan dengan hasil yang didapat karena nelayan hanya harus menyiapakan solar untuk mesin kapal kira-kira untuk sekali perjalanan menangkap ikan membutuhkan 20 liter solar dan selain itu nelayan hanya cukup membawa lampu petromak atau genset untuk alat bantu penangkapan ikan.[19]
b.        Teknik Perawai
Teknik perawai atau disebut juga teknik pancing adalah salah satu metode penangkapan ikan yang sering di pakai oleh para nelayan di daerah Mrican. Teknik prawe sendiri banyak di minati para nelayan, karena memancing dengan teknik perawai tidak terlalu sulit dan mudah. Pengertian dari teknik prawe adalah teknik yang memekai alat jaring, yang di setiap jaring di beri kail yang disebarkan di tengah laut. Panjang jaring dari perawai 300 m, di sepanjang jaring di berikan kail untuk mengkaitkan ikan. Jarak kail ke kail 1 meter dan di setiap kail di berikan umpan. Upan yang sering di pakai para nelayan yaitu cumi. Biasanya para nelayan memasangkan kail sebanyak 100 kail. Di setiap ujung jaring diberikan tanda seperti tongkat neon, gunanya untuk memberi tanda dimana perawai dipasang. Penyebaran perawai dilakukan di tengah laut, kurang lebih 2 Km dari pesisir pantai. Setelah perawai disebarkan para nelayan menunggu kurang lebih 1 jam, sambil menuggu waktu pengangkatan perawai biasanya para nelayan memancing ikan dengan alat pancing biasa. Teknik perawai dilakukan pada malam hari, karena di saat malam hari ikan mulai mencari makan. Biasanya para nelayan Mrican melakukan spot penangkapan sebanyak 3 kali dengan lokasi yang berbeda-beda.[20]
c.         Teknik Selam
Teknik selam merupakan salah satu teknik tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di dusun Mrican yang mengandalkan kemahiran menyelam dan ketepatan membidik sasaran. Teknik selam sebenarnya digunakan sebagai selingan saat sedang paceklik ikan tetapi lama-kelamaan teknik selam digunakan sebagai sumber mata pencaharian karena penggunaan alat yang sederhana dan tidak menghabiskan banyak biaya.[21]

d.        Bubu (Perangkap Ikan)
Bubu sebenarnya termasuk trap atau alat perangkap ikan yang dipasang secara tetap di dalam air untuk jangka waktu tertentu yang memudahkan ikan masuk dan mempersulit ikan keluar. Alat ini biasanya dibuat dari bahan alami seperti bambu, kayu dan yang modern telah menggunakan kawat atau bahan buatan seperti jaring/jala. Terdapat beberapa jenis alat tangkap yaitu bubu dasar, bubu hanyut, sero, bagan dan jermal.
Bubu ini dibuat dari bahan bambu, rotan dan kawat. Bentuknya bermacam-macam ada yang silinder, setengah lingkaran, empat persegi panjang, segitiga memanjang, dan sebagainya. Dalam operasinya ada yang memakai umpan ada yang tidak. Biasanya terdapat 3 bagian bubu dasar yaitu bagian badan atau tubuh bubu. Terbuat dari bambu dan dilengkapi dengan pemberat untuk menenggelamkan bubu ke dasar perairan.
Bagian kedua adalah bagian lubang tempat mengeluarkan hasil tangkapan yang terletak pada bagian sisi bawah bubu. Posisinya terletak di belakang mulut bubu.  Sedangkan mulut bubu berfungsi untuk masuknya ikan, posisinya terletak di depan badan bubu. Semakin ke dalam, semakin kecil diameter lubangnya.
Ukuran bubu bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang 1 m, lebar 50-75 cm dan tinggi antara 25-30 cm. Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran 3.5 m panjang 2 m lebar dan 75-100 cm. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar) bisa juga ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjangyang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan. Untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut. Pengambilan hasil tangkapan dilakukan 2-3 hari setelah bubu dipasang, kadang bahkan beberapa hari setelah dipasang.[22]
2. Sistem Mata Pencaharian Hidup
            Sistem mata pencaharian yang biasa ditemui dan menjadi ciir khas dari masyarakat pesisir adalah nelayan. Meskpun demikian, di beberapa wilayah seprti Tegal, Jepara, Rembang, dan Pati, juga ditemui penduduk dengan bermata pecaharian sebagai pengusaha, pedagang, pegawai negeri sipil/ABRI, pensiunan, ada pula yang bergerak dalam jasa angkutan, sebagai buruh industri, buruh bangunan, petani, dan lain-lain.[23]
            Secara geografis, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri atas kategori-kategori sosial yang membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Faktor kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung, menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim Indonesia.[24] Karena masyarakat nelayan merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur masyarakat pesisir, maka kebudayaan yang mereka miliki mewarnai karakteristik kebudayaan atau perilaku sosial budaya masyarakat pesisir secara umum. Karakteristik yang menjadi ciri-ciri sosial budaya masyarakat nelayan antara lain, memiliki struktur relasi patron-klien yang sangat kuat; etos kerja tinggi; memanfaatkan kehidupan diri dan adaptasi optimal; kompetitif dan berorientasi prestasi; apresiatif terhadap keahlian, kekayaan, dan kesukaran hidup; terbuka dan ekspresif; solidaritas sosial tinggi; sistem pembagian kerja berbasis seks (laut menjadi ranah laki-laki dan darat adalah ranah kaum perempuan); dan berperilaku “konsumtif”.[25] Satu hal yang patut diperhatikan dalam pengembangan masyarakat nelayan adalah dalam segi pemberdayaannya. Program-program diklat kewirausahaan bagi generasi muda nelayan atau untuk masyarakat pesisir yang berminat menerjuni sektor usaha penangkapan, pengolahan, pemasaran/perdagangan ikan, dan jasa-jasa lainnya di kawasan pesisir, perlu digalakkan dngan harapan dapat mendorong proses kreatif peserta program untuk mengeksplorasi peluang-peluang usaha baru yang prospektif berbasis sumberdaya lokal. Penciptaan peluang-peluang usaha ini ditujukan untuk menampung jumlah tenaga kerja produktif yang terus bertambah di kawasan pesisir, mengikis kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan penduduk. Dengan demikian, dinamika ekonomi pesisir mampu berkembang sehingga akan berdampak tehadap peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan sosial masyarakat pesisir.[26]
3. Sistem kekerabatan dan organisasi sosial
Lembaga (institution) merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur atau tersusun guna melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.[27]
            Selo Soemardjan dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi mengemukakan posisi penting lembaga dengan merujuk pada pendapat dari Gillin dan Gillin sebagai berikut,
A social institution is a functional configuration of culture patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social needs[28].
Dari penuturan Gillin dan Gillin tersebut, tidak berlebihan rasanya jika Soerjono Soekanto memberikan pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata sosial.Hal ini dikarenakan istilah social institution lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Selain itu dari apa yang didefinisikan Gillin dan Gillin mengenai social institution juga memperlihatkan kekhasan dari suatu masyarakat karena memuat pola-pola kebudayaan seperti tindakan, gagasan, dan sikap serta peralatan budaya yang memiliki keajegan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial.Sejalan dengan Gillin dan Gillin, Horton dan Hunt juga menegaskan bahwa lembaga adalah suatu sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.Dalam definisi tersebut, nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti; dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut.[29]Heztler juga memberikan batasan pranata sosial sebagai salah satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting.[30]
            Pranata atau lembaga sosial ketika diterapkan di dalam masyarakat pesisir, dapat dijumpai dalam stratifikasi masyarakat yang diberlakukan pada masa kolonialisme Belanda. Sebagai contoh, stratifikasi masyarakat Jepara dibedakan atas :
a.       Lapisan bangsawan pesisir, sebagai penguasa feodal yang memerintah dan berdagang
b.      Lapisan pegawai pemerintah kerajaan yang mengatur kepamongprajaan kerajaan dan kebandaran
c.       Lapisan rakyat, biasanya sebagai pedagang tengahan, pedagang kecil, pekerja kerajinan, nelayan dan tenaga bandar (tenaga buruh pelabuhan), sedangkan di daerah pelosok sebagai petani
d.      Penduduk asing dari berbagai kebangsaan berada pada perkampungan tersendiri dengan Kepala wijk (perkampungan) yang mereka pilih sendiri.[31]
Selain pola stratifikasi sosial masyarakat pesisir (Jepara) pada masa kolonial, organisasi sosial yang juga dikembangkan hingga tahun 1980-an antara lain PKK, LKMD, dan Karang Taruna, yang banyak membantu program kepala desa sehingga turut mampu menciptakan lingkungan yang teratur. Organisasi-organisasi tersebut bergerak di bidang kesenian, olahraga, kerohanian, dan sebagainya.[32] Sementara itu di Tegal terdapat organisasi baik yang bernafas politik maupun keagamaan antara lain organisasi seperti Aisyiah, Al-Hidayat, Fatayat,yang bergerak di dalam kegiatan-kegiatan sosial, pengajian dan lain-lain. Organisasi sosial lainnya seperti Rukun Kematian, Ikatan Remaja Masjid, jimpitan dan sinoman. Organisasi yang bergerak di bidang kesenian atara lain Samroh-Qasidah, Keroncong, Dangdut/Orkes Melayu, Karawitan, Tari, balo-balo, Kuntulan, Pencak Silat. Pada waktu-waktu tertentu mereka mengadakan latihan-latihan dan dipentaskan dalam berbagai acara baik di lingkungan sendiri maupun keluar di lingkungan masyarakat yang lebih luas.[33]
4. Bahasa
            Bahasa yang dipergunakan di masyarakat pesisir pantai utara Jawa tengah kebanyakan menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai tingkatan.  Di dalam pergaulana antarmasyarakat, bahasa daerah sebagai bahasa komunikatif penduduk mendominasi penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lebih banyak digunakan sebagai bahasa resmi, misalnya rapat instansi, surat resmi, dan lain-lain. Tingkatan bahasa Jawa yang kerap dipakai dalam pergaulan sehari-hari antara lain bahasa Jawa ngoko untuk pergaulan dengan grade yang sama, lalu bahasa Jawa krama untuk peragulan dengan grade yang lebih tua atau lebih tinggi di atasnya.[34]
            Kebudayaan masyarakat pesisir dalam hal kebahasaan juga memunculkan banyak karya-karya sastra kuna yang mewakili penggunaan bahasa Jawa sekaligus menunjukkan eksistensi budaya Jawa di kalangan masyarakat pesisir pantai utara Jawa Tengah. Karya sastra kuna tersebut antara lain Serat Babad Pengging era Kerajaan Demak yang menggunakan huruf Jawa, Serat Wali Sanga, dan lain sebagainya. Secara umum, bahasa Jawa yang termuat dalam naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa Jawa yang disederhanakan, atau bahasa Jawa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh rakyat (bukan lingkungan istana). Naskah yang berbentuk tembang macapat lebih banyak menggunakan variasi bahasa, baik pada pilihan kata maupun pada struktur kalimat karena pengaruh bentuknya yang harus mengindahkan guru lagu dan guru wilangan. Bisa dibilang bahkan tradisi penulisan karya sastra Jawa zaman Kartasura awal masih sama dengan tardisi penulisan sastra pesisiran, bahasa Jawa pesisiran yang digunakan dalam naskah-naskah ini hampir sama dengan bahasa Jawa baru atau bahasa Jawa zaman Kerajaan Surakarta, yang juga menggunakan kata-kata dialek pesisir (Banten, Cirebon, Tegal, Semarang, Gresik, Surabaya).[35]
5. Sistem Ilmu dan Pengetahuan
            Dalam hal ilmu dan pengetahuan, masyarakat pesisir utara Jawa Tengah nampak telah memiliki kesadaran akan perlunya pendidikan anak dan kebutuhan amsa depannya, sehigga hal ini menjadi perhatian khusus bagi para orang tua di lingkungan masyarakat setempat. Di sisi lain tingkat kemuajuan pendidikan masyarakat juga dipegaruhi oleh tingkat ekonomi masyarakat setempat serta pemenuhan sarana dan kesempatan bagi masyarakat. Sebagai contoh, menurut data setempat yang diperoleh dari Kelurahan Parenggan Kabupaten Pati menunjukkan bahwa penduduk yang memperoleh kesempatan untuk mengenyam bangku pendidikan sejumlah 2.215 orang. menurut dat tersebut, penduduk yang tidak mendapat kesempatan atau tidak sekolah jumlahnya relatif sedikit dibandingkan mereka yang tamat sekolah, Kebanyakan mereka yang tidak sekolah adalah penduduk yang telah berusia lanjut. Tamatan Sekolah Dasar menduduki jumlah paling besar dibanding tamatan lainnya, dan hal ini mengindikasikan bahwa pelaksanaan wajib belajar bagi pendidikan dasar berjalan dengan baik. Tamatan perguruan tinggi tercatat sejumlah 24 orang atau sekitar 2,43 %. Hal ini menunjukkan kesadaran masyarakat cukup tinggi terhadap pendidikan tinggi, sehingga tercatat ada 24 cendekiawan dalam satu kelurahan.[36]

6. Kesenian
            Salah satu kekhasan yang dimiliki daerah pesisir terletak pada motif batik pesisiran Batik-batik yang dihasilkan dari daerah Pantai Utara seperti Pekalongan maupun Lasem ditukar tambah dengan barang lain di Batavia. Pada saat itu, kelompok penting pelanggan untuk batik ini adalah wanita-wanita Indo-Eropa. Pada saat itu kain batik berbentuk sarung dipakai di rumah bahkan juga sebagai suatu alternatif rok formal, sebagai ganti kerinduan katun berpola warna dari India. Pada sekitar tahun 1800 pedagang Cina dan pedagang Arab yang berada di pantai utara Jawa memborong batik buatan industri rakyat di daerah Pekalongan dan Lasem. Ramainya perdagangan tersebut lebih semarak lagi dengan robohnya industri tekstil dari India akibat adanya tekstil buatan mesin.[37]
            Gaya ragam hias batik daerah pesisiran adalah batik dengan berbagai motif yang dibuat di daerah pesisir utara Pulau Jawa seperti Pekalongan, Batang, Lasem (Rembang). Beberapa motif batik pesisiran pantai utara Jawa Tengah antara lain,
a.       Motif Largemak
Motif ini dominan dengan sayap-sayap dari burung puyuh. Motif ini memiliki ciri warna latar hijau dengan hiasan motif setangkai bunga berwarna merah, oranye, biru dan hijau, bagian tepi kain bermotif untu walang . Motif isen-isen barupa blarak sak imit, cecek renteng, dan kembang lombok. Ragam hias dominan pada kain burung hong dan bunga.
b.      Motif Seno
Seno berasal dari kata Jawa Kuna yang berarti anak. Seno kemungkinan juga diambil dari nama tokoh dunia pewayangan yaitu Onto Seno. Onto Seno disini dilukaiskan dengan kulit yang berwarna gelap. Oleh karena itu kain batik motif ini memiliki ciri warna gelap seperti latar biru tua, warna pelengkap biru muda dan hitam. Ragam hias dominan Parang dengan motif isen-isen berupa belah ketupat dan cecek renteng. Motif seperti ini biasanya dipakai oleh kalangan ningrat.[38]
7. Kepercayaan
            Kepercayaan yang dianut oleh mayoritas masyarakat pesisir beragama Islam, meski tidak menutup dianutnya kepercayaan lain seperti Kristen Protestan, Katolik, Budha, dan Hindu. Kerohanian yang terdapat di pesisir utara Jawa Tengah misalnya Panggung Pesantren di Tegal. Panggung Pesantren yang mayoritas warga Indonesia asli atau pribumi yang taat pada tuntunan agama, yaitu Islam, yang diajarkan oleh nenek moyangnya. Namun demikian bukan berarti warga Panggung Pesantren melarang agama lain, justru warga yang beragama non Islam dapat menyesuaikan diri. Warga Panggung Pesantren tidak hanya fanatik dalam melaksanakan sholat saja namun masih berusaha mempertahankan diri melaksanakan kebiasaan nenek moyangnya, antara lain :
a.       Rebo Wekasan, dengan mengadakan pengajian di lingkungan pesantren.
b.      Mengadakan selamatan atau tahlilan untuk 1 sampai 7 hari, 40 hari, 100 hari, mendak 1 hingga 3.
c.       Bersih kubur, membaca doa (tahlil di makam)
Selain itu warga Panggung juga masih memelihara makam mbah panggung, orang yang dianggap sebagai cikal bakal masyarakat Panggung dan berhasil mengembangkan agama Islam di daerah ini. Pemeliharaan makam bukan berarti membuka peluang untuk mengajarkan syirik, musyrik maupun munafik, namun membawa masyarakat yang masih mempercayai adanya kekuatan yang ditinggalkan oleh mbah Panggung kepada para warganya. Justru kerap orang dari luar warga Panggung yang mengakui kekuatan tersebut, sehingga tugas juru kunci disini membawa agar orang yang akan nyekar atau nyepi tidak terlanjur menjadi syirik atau musyrik dengan meminta berkah dari makam mbah Panggung. Para peziarah datang tiap hari Rabu Pon, Kamis Wage, Jumat Kliwon, atau hari lain sesuai keinginannya.[39]
Sementara itu di hampir seluruh masyarakat desa Tulakan Keling Jepara mengenal upacara tradisi tinggalan nenek moyang mereka yang disebut Jembul. Tradisi ini menurut penuturan warga mulai ada sejak zaman Ratu Kalinyamat, salah seorang raja perempuan yang berkuasa di wilayah tersebut. Tradisi Jembul saat ini berupa dua tandu usungan, yakni tandu usungan yang disebut dengan Jembul Yoni dan tandu usungan yang disebut dengan Jembul Lingga. pada tandu usungan jembul Yoni terdapat aneka makanan seperti jadah, gemblong, jenang, tape dan aneka jajan pasar lainnya. Di antara makanan yang ditata rapi ini terdapat hiasan belahan bambu, konon hiasan bambu ini dimaksudkan untuk melambangkan Adipati Arya Penangsang. Sangat berbeda penamplannya dibanding Jembul Lingga. Jembul yang satu ini sama sekali tidak dilengkapi dengan hiasan, bahkan di atas jembul ini cenderung terdapat nasi tumpeng komplit dengan aneka lautnya. Upacara tradisi Jembul dimulai dari Desa Sonder, desa di mana Ratu Kalinyamat memulai bertapa untuk melakukan protesnya. Di desa ini, seluruh peserta ritual memulai prosesinya dengan cara dhahar kembul alias makan bersama seluruh hasil bumi dan hasil pertanian mereka. Usai makan bersama, Kepala Desa Tulakang menyerahkan kepada 4 dusun yang ada di desa Tulakan untuk melanjutkan prosesi ritual di dusun masing-masing.[40]










[1] A.M. Djuliati Suroyo, dkk., op.cit., hlm. 173.
[2] Chusnul Hayati, dkk., op.cit., hlm. 57.
[3] ibid., hlm. 59.
[4] Anthony Reid, op.cit., hlm. 28.
[5] Chusnul Hayati, dkk., op.cit., hlm. 69.
[6] ibid., hlm. 71.
[7] Mc. Suprapti, dkk., Studi Pertumbuhan dan Pemudaran Kota Pelabuhan: Kasus Gilimanuk-Jepara, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994),  hlm. 87.
[8] ibid., hlm. 73
[9]Mc. Suprapti, dkk., op.cit., hlm. 16.
[10] ibid., hlm. 17.
[11] Mc. Suprapti, dkk., op.cit., hlm. 35.
[12] ibid., hlm. 80.