Senin, 09 Juni 2014

Menyibak Majapahit, Napak Tilas Kejayaan Nusantara




 Sumber gambar : sugionosejarah.wordpress.com



Berbicara tentang Indonesia, negeri yang termahsyur semenjak era pelayaran dan perdagangan pada masa kerajaan-kerajaan kuna di Asia Tenggara ini telah menunjukkan keeksistensiannya sebagai negeri maritim yang memiliki kerajaan-kerajaan kuna dengan armada laut yang kuat. Hal ini terlihat semenjak abad ke-5 dan ke-6 Masehi ketika penduduk Sumatera yang mendiami ujung barat Indonesia turut melibatkan diri dalam perdagangan antara Cina dan India. Begitupun pada abad ke-7 Masehi, pedagang Arab yang datang dari India juga melakukan transaksi perdagangan dengan beberapa wilayah di Nusantara hingga Cina Selatan. Salah satu kerajaan bercorak maritim yang bertahan hingga empat abad adalah Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan Sriwijaya yang berdiri sejak abad 7 hingga 11 Masehi merupakan masa keemasan perdagangan dengan corak maritim. Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan dan pelayaran internasional, sehingga merupakan salah satu pusat perdagangan terpenting antara Asia Tenggara dan Cina. Sementara itu Jawa sejak abad ke-8 Masehi telah memperlihatkan kemajuan dalam sektor perdagangan. Letak pelabuhan-pelabuhan di Jawa bisa dikatakan sangat strategis karena berada di tengah-tengah antara pulau-pulau penghasil rempah-rempah dan kayu harum, serta Sriwijaya sebagai pusat perdagangan internasional.

            Kerajaan-kerajaan kuna bercorak Hindu-Buddha ternyata hanya mengalami masa kejayaan selama kurang lebih sepuluh abad, terhitung sejak abad V Masehi hingga XV Masehi. Mangkatnya Raja Hayam Wuruk pada tahun 1389 menyebabkan kemerosotan pada kerajaan Majapahit, bersamaan dengan arus kedatangan penyebaran Islam di Pulau Jawa. Putra Raja Brawijaya, Raden Patah, yang memeluk agama Islam kemudian mendirikan pusat kerajaan baru sebagai pengganti Kerajaan Majapahit di pesisir pantai utara Jawa Tengah, yakni Kerajaan Demak. Kerajaan Demak pun semakin memperluas wilayah kekuasaannya khususnya ke daerah pantai (kota-kota pelabuhan) utara Pulau Jawa hingga pulau Sumatera. Kota-kota pelabuhan seperti daerah-daerah timur Demak, Cirebon, dan Palembang telah menjadi penguasaan Demak sejak abad ke-16 Masehi. Sebagai ibukota kerajaan, Demak betul-betul strategis dan menguntungkan baik untuk perdagangan maupun pertanian. Kapal-kapal dagang dari Semarang banyak melalui Demak sebagai jalan pintas untuk berlayar ke Rembang, mengingat posisi Demak yang berada di tepi selat di antara pegunungan Muria dan Jawa yang dapat dilayari.

A. Singhasari sebagai Fajar Majapahit
Keberadaan Kerajaan Singhasari sebagai peletak dasar fondasi kekuatan negara maritim berdiri di Jawa Timur pada abad XIII. Singhasari mampu melakukan ekspansi ke beberapa daerah di kepulauan Nusantara, semisal pulau Sumatera, Semenanjung Malaka, Kalimantan Barat, dan pulau Bali. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa Kerajaan Singhasari didirikan oleh Ken Angrok, seorang yang dipercaya sebagai pembunuh yang pintar dan memiliki keunggulan kekuasaan di timur pegunungan Kawi. Tidak mustahil kemudian kerajaan Kediri mampu dikalahkan oleh pemberontakan Angrok pada tahun 1222. Kemenangan Ken Angrok atas Kediri mengantarkannya untuk membangun kerajaan baru Singhasari yang kekuasaannya meliputi Tumapel, Kediri, Kahuripan, dan seluruh  daerah Sungai Brantas dari hulu hingga hilir (pelabuhan Ujung Galuh). Posisi kerajaan Singhasari di hulu Sungai Brantas tak pelak menjadikannya sebagai letak yang strategis, mengingat sungai pada masa itu menjadi prasarana lalu lintas utama untuk transportasi perdagangan, transportasi manusia, bahkan angkutan militer untuk kepentingan perang. Pelabuhan Ujung Galuh yang dimiliki Singhasari merupakan pelabuhan internasional tempat pertemuan dan transaksi produk-produk lokal dengan produk-produk dari luar pulau maupun komoditi dari luar Nusantara seperti Cina dan India. Tidak berlebihan sekiranya Singhasari disebut sebagai kerajaan yang kaya, dan bahwa sebagian dari kekayaan yang dihasilkan oleh arus perdagangan barat-timur di Asia bagian selatan dari Kepulauan Rempah-Rempah ke pelabuhan-pelabuhan Malaya pastilah mengalir ke dalam perbendaharaan istana.
            Kerajaan Singhasari berada pada puncak kejayaan ketika dipimpin oleh Kertanegara, raja kelima dan terakhir Singhasari. Pada masa Kertanegara, Singhasari mampu menjadi basis ekonomi pertanian yang menghasilkan beras, ternak, dan hasil hutan dan diperdagangkan melalui jalur Sungai Brantas, dipasarkan ke pulau-pulau di Nusantara dan negeri-negeri lain melalui pelabuhan laut Ujung Galuh. Secara religi, Kertanegara yang dikenal menganut kepercayaan Siwa-Buddha juga melakukan ekspansi keagamaan ke luar Jawa. Kertanegara mendirikan patung berwujud dirinya dengan prasasti bertuliskan “demi raja dan keluarga istana, dan kesatuan kerajaan”. Patung yang dianggap sebagai bagian dari kekuatan gaib penolak bala untuk menghilangkan akibat jahat dari pembagian Bharada atas negerinya juga didatangkan dari Jawa dan didirikan di kaki pegunungan di jantung Sumatera.
            Keruntuhan Kerajaan Singhasari pada mulanya berawal dari ekspansi politik yang dilakukan Kublai Khan terhadap seluruh negeri-negeri selatan di seberang lautan (Nan-Yang) atau setidaknya menuntut pengakuan atas kekuasaannya dengan mengirimkan duta-duta dari negeri-negeri selatan tersebut untuk menghadap Kaisar Tiongkok. Kondisi yang timbul selanjutnya di dalam kerajaan Singhasari nampak begitu rumit dengan pemberontakan Jayakatwang, raja Kediri, yang melakukan sebua mendadak ke istana Kertanegara pada tahun 1294, justru ketika kekuatan militer utama Singhasari tengah berada di Melayu. Raja Kertanegara dan keluarganya pun terbunuh. Di tahun yang sama, utusan dari Mongol datang dengan tujuan menghukum Kertanegara yang menolak tunduk pada Kaisar Tiongkok, namun Kertanegara telah terbunuh oleh Jayakatwang. Wijaya, menantu Kertanegara berhasil menyelamatkan diri, dan dialah yang akan membuat sejarah baru dan membangun kerajaan baru, melanjutkan kejayaan Singhasari di Nusantara.

B. Imperium Majapahit Dan Kejayaan Nusantara
Setelah Wijaya berhasil meloloskan diri dari pemberontakan Jayakatwang terhadap kerajaan Singhasari ia mendirikan pusat kerajaan Majapahit yang terletak di bagian hilir Kali Brantas, Jawa Timur, pada tahun 1293. Lokasi pusat kerajaan Majapahit meliputi lembah sungai dan dataran delta yang merupakan timbunan lumpur sungai berupa abu vulkanik dari gunung berapi yang tersebar di sekitarnya, sehingga tanah di sekitar Majapahit merupakan tanah dengan tingkat kesuburan tinggi. Majapahit memiliki potensi sumberdaya alam yang menguntungkan, loksi strategis, akses ke laut yang mudah, sehingga kerajaan yang melanjutkan penguasaan wilayah-wilayah ahsil ekspansi Singhasari ini semakin memantapkan dirinya sebagai kerajaan berwawasan Nusantara terbesar di Nusantara selama abad XIV. Majapahit melakukan konsolidasi baik internal maupun eksternal. Konsolidasi internal dilakukan ke wilayah intinya (Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura) melalui penumpasan berbagai pemberontakan.  Konsolidasi eksternal dilakukan dengan memantapkan pengakuan kekuasaan Majaphit di daerah-daerah melalui peningkatan aktivitas pelayaran dan perdagangan, mengontrol zona perdagangan jaringan Laut Jawa dan Selat Malaka dan menempatkan pejabat Majaphit di daerah “seberang lautan”. Imperium Majapahit telah menjadi kekuatan besar. Ibukota telah berkembang pesat dan tumbuh dari satu desa menjadi kota besar. Majapahit memang telah menjadi penguasa banyak daerah di berbagai pulau di Nusantara. Beberapa sumber sejarah lokal menyebutkan kesaksian atas kebesaran Kerajaan Majapahit, demikian pula dengan jalinan hubungan diplomatik Majapahit dengan negeri-negeri asing di luar Nusantara semisal hubungan Majapahit dengan kekaisaran Cina. Hubungan ini menjadi penting berkaitan dengan para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV.
Secara ekonomis, perdagangan laut yang melibatkan Kerajaan Majapahit memiliki andalan ekspor yaitu beras yang dapat diperdagangkan di pulau-pulau sebelah timur, khususnya kepulauan Maluku, dan ke barat yaitu kota-kota pelabuhan seperti Palembang, Melayu, dan Pasai. Sementara secara militer, Kerajaan Majapahit dikenal memiliki armada maritim yang kuat terlihat dengan dilakukannya empat ekspedisi laut untuk menundukkan kekuasaan di daerah. Ekspedisi militer pertama dilakukan di bawah pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi dengan Bali sebagai tujuannya pada tahun 1343. Ekspedisi militer kedua adalah penaklukkan Dompo (Sumbawa) sebelum tahun 1365, lalu penyerbuan ke Palembang tahun 1377. Dikisahkan dalam historiografi tradisonal bahwa Majapahit juga diberitakan menyerang kerajaan Pasai (kira-kira pertengahan abad XIV) dan Singapura (Tumasik) kira-kira pada perempat akhir abad XIV.
Kemunduran Kerajaan Majapahit dimulai ketika kerajaan-kerajaan pantai yang memiliki pelabuhan-pelabuhan internasional menjadi semakin kaya dan jaya. Majapahit juga memiliki ideologi tandingan baru yakni Islam, dan sekaligus melepaskan diri dari kekuasaan pusat Majapahit. Secara internal terjadi pula konflik-konflik perebutan tahta antarkeluarga kerajaan, demikian halnya dengan pemberontakan para kepala daerah yang antara lain disebabkan oleh semakin beratnya besaran pajak dari pemerintah pusat pasca segregasi kota-kota pelabuhan. Kejatuhan Majapahit diidentifikasi berlangsung pada tahun 1478 Masehi (1400 Çaka) berdasar Candra Sengkala “sirna ilang kertaning bhumi”dalam Babad Jawa.
Untuk hubungan Majapahit dengan penguasa negeri seberang, sebut saja kekaisaran Cina, tampaknya cukup baik, terbukti dengan banyak tersebarnya para pedagang Cina yang bermukim di kota-kota pelabuhan Majapahit, setidaknya sejak akhir abad XIV. Hubungan Cina-Jawa yang sempat vakum akibat tragedi “potong kuping” yang dilakukan Kertanegara telah kembali menghangat justru pada masa Raja Hayam Wuruk di Majapahit. Ekspedisi Cheng Ho dan Kekaisaran Ming ke Jawa berlangsung pada masa Hayam Wuruk (1351-1389 Masehi). Catatan dinasti Ming (Ming Shih) menyatakan bahwa Laksamana Cheng Ho, utusan dari dinasti Kaisar Yung Lo, mengunjungi Nusantara dan negeri-negeri lain untuk menuntut pengakuan kemaharajaan Cina. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan pengiriman duta besar dari negeri-negeri yang dikunjungi Cheng Ho ke negeri Cina. Dengan armada jung Cina yang sangat besar Cheng Ho mengunjungi Nusantara antara tahun 1405 dan 1415. Ia mengunjungi Majapahit sebanyak 3 kali, yaitu pada tahun 1405, 1408, dan 1415. Majapahit baru mengirim duta ke Cina pada masa pemerintahan raja Hayam Wuruk (akhir abad XIV). Menurut Ma Huan, juru bicara Cheng Ho yang sering mengikuti misi muhibah Cheng Ho, pada tahun 1415 pelabuhan-pelabuhan Majapahit adalah Tuban, Gresik, Surabaya, dan Canggu yang merupakan pelabuhan sungai di dekat ibukota Majapahit. Pelabuhan-pelabuhan tersebut sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang, baik pedagang dari “barat” (Timur Tengah), maupun para pedagang Cina yang sebagian beragama Islam.


Referensi :
Qurtuby, Sumanto Al. 2003. Arus Cina-Islam-Jawa : Bongkar Sejarah atas Peranan         Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI.     Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya Press.
Suroyo, A.M. Djuliati, dkk. 2007. Sejarah Maritim Indonesia I : Menelusuri Jiwa
Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17. Semarang: Penerbit JEDA.  

Vlekke, Bernard H.M. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Kunstvereeniging Sobokartti dan Demokratisasi Seni Indonesia



Kunstvereeniging Sobokartti dan Demokratisasi Seni Indonesia
Oleh : Fadhil Nugroho Adi
Pemerhati Sejarah Kebudayaan Indonesia
Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang



Ketika saya menyimak pembicaraan Karsten tentang maket  javaanse schouwburg dengan Mangkunagara VII yang tertulis dalam surat Karsten kepada Mangkunagara VII tertanggal 15 Oktober 1924, sejenak saya tertegun dengan kearifan lokal bangsa kita yang mampu berakulturasi, zaman demi zaman. Pada gilirannya, pola pikir sejarah atau historical mindedness kita akan menempatkan diri kita pada dekade 1800-an, satu abad lebih awal sebelum proses diaspora kebudayaan keraton tergambar dengan jelas melalui perkumpulan seni Sobokartti di Semarang. Lorong-lorong sejarah itu akan mengantarkan kita pada satu peristiwa yakni apa yang disebut dengan sistem cultuurstelsel yang berjalan dari tahun 1830 hingga 1870-an. Barangkali ungkapan Van Soest memberikan gambaran lebih jauh kepada kita mengenai kondisi pelaksanaan sistem cultuurstelsel (yang dialihbahasakan menjadi “tanam paksa”) seperti “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya”. (Booth, Anne, 1988 : 39). Kondisi tersebut perlahan menyurut seiring dengan dicanangkannya Agrarische Wet pada  tahun 1870, dan ditambah dengan tulisan-tulisan kritis bangsa Eropa yang dengan tegas menolak pemberlakuan sistem cultuurstelsel yang dinilai menyengsarakan rakyat bumiputera itu. Masyarakat Belanda menjadi sadar akan sisi buruk kolonialisme di Hindia Belanda melalui tulisan anggota parlemen W.R. van Hoevel Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet  mengenai kelaparan di Jawa pada tahun 1845. Lebih berpengaruh lagi adalah tulisan Edward Douwes Dekker Max Havelaar yang menceritakan dengan rinci penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera. Selain itu ada pula artikel Een Eereschuldyang ditulis Conrad Theodor van Deventer dan tulisan-tulisan Pieter Brooshooft (redaktur utama Samarangsche Courant yang kemudian menjadi harian De Locomotief) yang membuka mata publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Ia memperkenalkan stilah “ethische politiek”  pada 1901 dalam pamflet yang ia tulis dalam harian De Locomotief  : De ethische koers in de koloniale politiek.
Di tahun 1901 pula, Ratu Wilhelmina menyerukan dimulainya Ethische Politiek atau Politik Etis, yang dikenal dengan slogan “irigasi, imigrasi, edukasi”. Politik Etis -yang juga dikenal dengan Politik Balas Budi- pada dasarnya memiliki dua tujuan. Pertama, menyatukan seluruh kepulauan Nusantara dibawah kekuasaan langsung pemerintah Belanda, dan kedua, mempersiapkan rakyat Hindia Belanda agar suatu saat mampu menyelenggarakan pemerintahan sendiri namun tetap di bawah kendali Belanda. Satu hal yang tidak dapat dilepaskan dari kondisi tersebut adalah munculnya gagasan mengenai Ethische Rihcting, yang memiliki arti bahwa bangsa bumiputera dan bangsa Belanda harus bersatu karena perasaan saling membutuhkan, dan pandangan bahwa Timur dan Barat harus saling melengkapi untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik di masa yang akan datang. Pada saat yang bersamaan, para penggagas Etnische Richting mulai memiliki minat yang tinggi terhadap seni Nusantara. Dari sanalah kemudian Sobokartti digagas, setelah sebelumnya di Yogyakarta, dibentuk organisasi Kridha Beksa Wirama (KBW) yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Organisasi ini merupakan suatu bentuk demokratisasi seni keraton yang pertama di Jawa. Perlu dipahami bahwa pada tahun-tahun tersebut, produk kebudayaan keraton seperti tari-tarian, wayang, gamelan, hingga pemakaian busana bukanlah produk budaya yang dapat dinikmati masyarakat luas di luar tembok keraton. Produk-produk budaya tersebut bahkan diatur dalam peraturan khusus yang dikeluarkan raja, semenjak Mataram pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Proses demokratisasi seni keraton kemudan meluas, tidak hanya di wilayah Vorstenlanden saja melainkan meluas hingga wilayah pesisir pantai utara Jawa, tepatnya di kota Semarang. Diaspora kebudayaan berlangsung di Semarang, dan hal ini tidaklah mengherankan sebab Semarang merupakan kota pelabuhan yang penting dalam kegiatan perdagangan. Di kalangan masyarakat kolonial, Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama, diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang, Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi terbanyak dalam pameran itu.
Adalah Volkskunstvereeniging Sobokartti yang didirikan atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember 1920 di Semarang. Pertemuan pembentukan Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A. Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari keraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar De Locomotief”. Dalam pertemuan itu ditetapkan nama Volkskunstvereeniging ”Sobokartti” yang berarti “tempat berkarya. Di awal pendiriannya, para anggota perkumpulan seni Sobokartti yang berjumlah ratusan berasal dari berbagai kalangan di Semarang: Jawa, Belanda, dan Tionghoa. Tujuan dari didirikannya Sobokartti, sebagaimana yang dicuplik dari Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1929 – 50, adalah menampilkan pertunjukan wayang wong dan tarian Jawa di teater prosenium yang jauh dari kesan “pertunjukan eksklusif pendapa rumah para bangsawan.” 

Pada awalnya, kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1931 selesai dibangun gedung teater di Karrenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti. Gedung ini adalah rancangan Thomas Karsten yang memadukan konsep seni pertunjukan Jawa yang biasa dipentaskan di pendapa dengan konsep pementasan teater Barat. Karsten berpendapat bahwa konsep pendapa memang tidak bisa dipisahkan dari seni pertunjukan Jawa yang tidak mengenal pemisahan ketat antara penonton dan pelakon. Sebaliknya, seni pertunjukan Barat justru berusaha menciptakan sebuah ‘dunia” yang sepenuhnya terpisah dari penonton. Karena itu Karsten berpendapat panggung prosenium bukan tempat yang cocok untuk pementasan teater Jawa seperti wayang orang. Demikian halnya dengan teater pendapa konvensional di istana dan rumah bangsawan yang acapkali mengabaikan kenyamanan bagi penonton. Bagi Karsten yang berpandangan sosialis, situasi semacam ini sangat sulit ia terima. Oleh sebab itu ia mendesain gedung teater Jawa yang juga mengalami demokratisasi. Konsep bangunan yang memadukan pendapa Jawa dan teater Barat itulah yang saat ini masih bisa dijumpai di gedung Sobokartti, Semarang. Prototipe gedung teater Jawa (javaanse schouwburg) atau teater rakyat (volkstheater) ini diharapkan Karsten bisa menjadi acuan dalam mendirikan gedung pertunjukan di berbagai tempat yang sesuai dengan karakter seni pertunjukan Jawa, sekaligus mereduksi kesenjangan sosial yang terjadi di kehidupan kita pada umumnya. Amatlah relevan bila kita mencoba menerapkan konsep teater Karsten dalam masyarakat kita hari ini. Di saat realita sosial semakin memburam dan ketika retorika politis tiada henti menggema di seantero Nusantara, sudah semestinya diperlukan pembangunan berwawasan budaya di negeri kita. Dan inilah wujud baru demokratisasi seni Indonesia.




RATU KALINYAMAT : SEBUAH LAMBANG KEBESARAN DAN KESETIAAN WANITA




Berbicara mengenai tokoh perempuan, rasanya belum lengkap jika tidak menengok deretan sejarah Indonesia pada masa kedatangan dan persebaran Islam yang berlangsung sekitar abad XV hingga XVI Masehi. Pada masa itu pula, Jepara, telah menjadi saksi dari kebesaran seorang pemimpin wanita, yang memiliki hegemoni kuat dalam politik dan perekonomiannya.

Jepara merupakan daerah yang mempunyai peran penting dalam sejarah. Kegemilangan dalam sejarah tersebut terutama berlangsung pada abad XVI, pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat adalah raja dari Jepara yang memerintah dari tahun 1549 hingga 1579. Beberapa sumber sejarah mengidentifikasi nama sesungguhnya dari Ratu Kalinyamat yakni Retna Kencana, puteri Sultan Trenggono. Babad Demak Jilid II juga mengidentifikasi Ratu Kalinyamat sebagai puteri sulung Sultan Trenggana yang berarti menyanding gelar Ratu Pembayun. Adapun gelar ratu yang disematkan di depan namanya, menunjukkan bahwa di lingkungan istana, Ratu Kalinyamat memiliki kedudukan yang cukup tinggi dan menentukan. Lazimnya gelar itu hanya dipakai oleh orang-orang tertentu, misalnya seorang raja wanita, permaisuri, atau puteri sulung raja. Pernyataan mengenai Ratu Kalinyamat sebagai Ratu Pembayun ini memiliki kesesuaian dengan sumber Portugis. Seorang musafir Portugis yang bernama Fernao Mendez Pinto (1510-1583) menerangkan, ketika ia datang di Banten pada tahun 1544, datanglah utusan Raja Demak, seorang wanita bangsawan tinggi bernama Nyai Pombaya. Besar kemungkinan yang dimaksudkan adalah Ratu Pembayun. Dengan demikian gelar ratu itu diperoleh dari ayahnya, dan bukan berasal dari suaminya yang hanya seorang penguasa daerah setingkat adipati.
Ratu Kalinyamat dikenal sebagai seorang tokoh wanita yang tidak hanya berparas cantik, tetapi juga berkepribadian gagah berani seperti yang dilukiskan sumber Portugis sebagai De Kranige Dame (seorang wanita yang pemberani). Selain itu orang Portugis, De Couto, dalam bukunya juga mengakui kebesaran Ratu Kalinyamat dengan suatu ungkapan Rainba de Jepara, senbora paderosa e rica yang berarti Ratu Jepara,seorang wanita kaya dan berkuasa.
Diperkirakan bahwa selama menjadi penguasa Jepara, Ratu Kalinyamat tidak tinggal di Kalinyamat, akan tetapi di sebuah tempat semacam istana di kota pelabuhan Jepara. Sumber-sumber Belanda awal abad ke-17 menyebutkan bahwa di kota pelabuhan terdapat semacam istana raja (koninghof). Hal ini berarti bahwa Ratu Kalinyamat sebagai tokoh masyarakat bahari memang tinggal di kota pelabuhan, sementara itu daerah Kalinyamat hanya dijadikan sebagai tempat peristirahatan.
Pada masa pemerintahan Ratu Kalinyamat, Jepara menjadi pusat ekonomi yang besar. Hal ini terbukti ketika Jepara memegang peranan penting dalam bidang politik dan pertahanan. Pada masa itu pula, Jepara menjadi bandar perdagangan yang banyak menjaring pedagang dari berbagai suku bangsa. Kebanyakan dari pedagang tersebut ada yang tinggal sementara maupun menetap. Di bidang politik dan pertahanan, pelabuhan Jepara dipercaya sebagai pusat pengiriman ekspedisi-ekpedisi militer untuk turut memperluas kekuasaan ke Bangka dan Kalimantan Selatan yaitu Tanjung Pura dan Lawe. Demikian halnya pada tahun 1550, ketika Raja Johor meminta bantuan armada perang kepada Jepara untuk melakukan perang jihad melawan Portugis di Malaka. Jepara mengirimkan 40 buah kapal dengan kapasitas angkut 1000 orang prajurit bersenjata. Pada tahun 1573 Ratu Kalinyamat sekali lagi diminta oleh Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh untuk menggempur Portugis di Malaka. Armada yang dikirim sekitar 300 buah kapal, 80 buah kapal masing-masing berbobot 400 ton.

Di sektor perekonomian, di wilayah kekuasaan Ratu Kalinyamat terdapat empat kota pelabuhan sebagai pintu gerbang perdagangan di pantai utara Jawa Tengah bagian timur. Pintu gerbang perdagangan tersebut antara lain Jepara, Juana, Rembang, dan Lasem. Oleh karena itu wajar apabila Ratu Kalinyamat dikenal sebagai orang yang kaya raya. Kekayaannya diperoleh melalui perdagangan internasional, terutama dengan Malaka dan Maluku. Jepara merupakan pensuplai beras yang dihasilkan di daerah hinterland. Selain berperan sebagai pelabuhan transito, pelabuhan Jepara juga menjadi pengekspor gula, madu, kayu, kelapa, kapok, dan palawija. Sumber Portugis menyebutkan pula bahwa pada masa kekuasaan Ratu Kalinyamat, Jepara juga menjalin hubungan dengan para pedagang di Ambon. Beberapa kali para pemimpin pelaut atau pedagang Ambon di Hitu minta bantuan Ratu Jepara untuk melawan orang-orang Portugis. Hal ini merupakan indikasi bahwa Jepara juga mempunyai jaringan perdagangan dengan Ambon. Selain itu, hubungan baik yang terjalin antara Jepara dengan beberapa wilayah di Nusantara seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten, dan Cirebon, menegaskan bahwa misi diplomatik yang dibawa Ratu Kalinyamat telah berhasil ditunaikan. Tidaklah berlebihan jika sosoknya dikenal sebagai seorang ratu yang mempelopori hubungan internasional secara damai.

Selain memiliki pengaruh yang kuat dalam bidang politik maupun ekonomi, Ratu Kalinyamat juga digambarkan sebagai sosok wanita yang begitu menyimpan kesetiaan kepada suami. Barangkali masih jelas di benak kita, sebagaimana yang dituturkan dalam Babad Tanah Jawi, Ratu Kalinyamat melakukan mertapa awewuda wonten ing redi Danaraja, kang minangka tapih remanipun kaore (bertapa dengan telanjang di gunung Danaraja, yang dijadikan kain adalah rambutnya yang diurai). Tindakan ini dilakukan untuk mohon keadilan kepada Tuhan dengan cara menyepi di Gunung Danaraja. Ia memiliki sesanti, baru akan mengakhiri pertapaanya apabila Arya Penangsang telah terbunuh. Pernyataan Babad Tanah Jawi tersebut, dikatakan Chusnul Hayati, merupakan suatu kiasan yang memerlukan interpretasi secara kritis. Historiografi tradisional memuat hal-hal yang digambarkna dengan simbol-simbol dan kiasan-kiasan. Dalam bahasa Jawa kata wuda (telanjang) tidak hanya berarti tanpa busana sama sekali, tetapi juga memiliki arti kiasan yaitu tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus. Ratu Kalinyamat tidak menghiraukan lagi untuk mengenakan perhiasan dan pakaian indah seperti layaknya seorang ratu. Pikirannya ketika itu hanya dicurahkan untuk membinasakan Arya Penangsang. Di Gunung Danaraja itu lah Ratu Kalinyamat menyusun strategi untuk melakukan balas dendam kepada Arya Penangsang. Hal ini ia lakukan semata-mata untuk membuktikan kesetiaannya kepada suaminya, Sultan Hadlirin, yang dibunuh oleh Arya Penangsang.



Ratu Kalinyamat diperkirakan meninggal dunia sekitar tahun 1579. Ia dimakamkan di dekat makam Pangeran Kalinyamat di desa Mantingan. Semasa hidupnya, Ratu Kalinyamat membesarkan tiga orang pemuda. Yang pertama adalah adiknya, yaitu Pangeran Timur Rangga Jumena putera bungsu Sultan Trenggana yang kemudian menjadi bupati Madiun. Yang kedua adalah keponakannya, yaitu Arya Pangiri, putra Sunan Prawata yang kemudian menjadi bupati Demak. Sedangkan yang ketiga adalah sepupunya, yaitu Pangeran Arya Jepara putra Ratu Ayu Kirana (adik Sultan Trenggana). Selepas kepemimpinan Ratu Kalinyamat, pelabuhan Jepara perlahan kehilangan otonominya sebagai pelabuhan yang kuat. Kehadiran VOC lambat laun menjadikan pelabuhan Jepara sebagai sumber eksploitasi kekayaan kolonial.