Minggu, 16 Desember 2012

SANGKAN PARANING DUMADI Telaah Alur Spiritualisme Jawa (3)


BAB III
SIMPULAN




            Kepercayaan spiritualisme Jawa yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk upacara tradisi dan slametan, sebenarnya patut jika dibaca dengan kacamata pemahaman sangkan paraning dumadi dan memayu hayuning jagad. Sehingga akan menjadi terasa jelas dan tidak mudah mendakwa bahwa laku budaya Jawa itu hanya klenik, takhayul atau gugon tuhon belaka. Kepercayaan agama Jawi memiliki pandangan tersendiri terhadap dunia roh, pembalasan amal baik buruk orang sesudah mati, sehingga bisa dikatakan pemeluk atau maneges budaya Jawa terikat dengan pranatanya yang memiliki kaitan dengan dunia gaib spiritualisme Jawa. Tentu jika dihadapkan pada kepercayaan agama, kebudayaan Kejawen terasa begitu berlawanan. Akan tetapi perlu dikaji ulang orientasi dari dilakukannya adat tradisi kebudayaan tersebut. Jika tujuannya untuk nguri-uri atau melestarikan kebudayaan Jawa, maka tentu tidak ada salahnya adat tradisi spiritualisme Jawa tetap dilaksanakan.






DAFTAR PUSTAKA


Hadiatmaja, Sarjana, Kuswa Endah, Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2009)
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002)
Mandali, Ki Sondong, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010)
MC, Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009)
Mujianto, Yan, dkk., Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2120)
Sedyawati, Edi, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010)
Suyono, Capt. R. P., Ajaran Rahasia Orang Jawa, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2008)
Witjaksono, Djoko Nugroho, dkk., Menyimak Budaya Jawa Tengah, (Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Provinsi Jawa Tengah, 1995)

SANGKAN PARANING DUMADI Telaah Alur Spiritualisme Jawa (2)


BAB II
PEMBAHASAN



A. Konsepsi Religi Jawa
            Sistem religi Jawa merupakan hasil olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritual” orang Jawa. Olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritual” tersebut melahirkan pemahaman adanya “maha kekuatan” yang “murba wasesa” (mengatur dan menguasai) seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya “realitas tertinggi” atau “sesembahan” yang disebut “Kang Murbeng Dumadi” (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya).
            Karena dasarnya telah berwujud hasil olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritaul” maka ada “perjalanan” menuju kesadaran “adanya” Realitas Tertinggi yang disebut “Kang Murbeng Dumadi” tersebut. Perjalanan menuju ksadaran dimaksud adalah suatu proses penalaran yang dibarengi dengan “laku kebatinan” yang dalam khasanah Jawa disebut “laku nawungkridha”. Hasilnya berupa deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai “tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine”.[1]
B. Sistem Keyakinan Agama Jawi
            Sistem budaya agamai Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang Jawa, terdapat berbagai keyainan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, keyakinan adanya konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan adalm, yakni adanya dewadewa tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya makhluk-makhluk halus penjelaan nenek moyang yang sudah meningga, yakni adanya roh-roh penjaga, yakin adanya setan, hantu dan raksasa, dan yakin adanya kekuatan-kekatan gaib dalam alam semesta ini.[2] Dari hasil kesusasteraan juga dapat ditinjau keterkaitan antara agami Jawi dengan unsur-unsur agama Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton Mataram pada abad XVI dan abad XVIII, seperti Serat Centhini, Primbon atau Suluk. Konsep keagamaan Jawa-Bai mengenai Tuhan yang dilambangkan sebagai Dewa Ruci juga dimasukkan dalam karangan yang emngandung pandangan magis-mistik yang sangat berorientasi kepada agami Jawi seperti Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco. Konsep mengenai Tuhan-Dewaruci juga banyak dijumpai dalam karya para puajangga keraton yang terkenal yang hidup dua abd sesudah itu, seperti Yasadipura I dan puteranya Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsito. Dalam gubahannya yang berjudul Serat Sasanasunu, Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai sifat Tuhan dan megenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia. Demikian halnya dengan keyakinan tentang Nabi Muhammad, sistem keyakinan agama Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah. Dalam setiap ritus dan upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, selain mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam bahasa Jawa dinyatakan sebagai Kanjeng Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah.[3] Dalam hal keyakinan terhadap tokoh-tokoh keramat, selain keyakinan terhdap dewa-dewa yang berperan sebagai pelindung manusia, agama Jawi banyak mengangkat guru-guru agama menjadi orang keramat dalam sistem keyakinan orang Jawa seperti Walisanga, tokoh penyebar Islam yang bersifat historis. Agama Jawi juga memiliki keyakinan tersendiri terhadap konsepsi penciptaan alam semesta yang dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni :
1.      Mite-mite yang mengandung unsur-unsur dominan Hindu-Budha.
2.      Mite-mite yang mengandung unsur-unsur sinkretik antara Agama Jawi dan Islam.
3.      Mite-mite dengan unsur magis-mistik.[4]

C. Laku Kebatinan Jawa
            Spiritualisme atau “laku kebatinan” berkaitan dengan pemahaman manusia akan “hakekat hidup”nya. Hal ini berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan, antara lain :
1.      Laku kebatinan sebagai bagian dari ritual panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi Jawa.
2.      Laku kebatinan yang berhubungan dengan menjaga “panunggalan semesta” yang berkaitan dengan mitologi Jawa.
3.      Laku kebatinan yang berhubungan dengan upaya mencapai tingkat “titah utama”.[5]
Spiritualisme keberadaban manusia, selanjutnya merupakan laku kebatinan untuk mencapai derajat “manusia utama” yang disebut “Insan Kamil” dalam khazanah lain. Laku kebatinan in lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut “Piwulang Kautaman”. Isi ajarannya tentang “budi pekerti luhur” yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita menjadi “titah utama”. Cukup luas cakupan laku spiritualisme keberadaban manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang “tata tentrem kerta raharja”. Termasuk dalam hal ini laku kebatinan untuk kepentingan mendapatkan berbagai “daya linuwih” untuk menunjang kehidupan duniawi.[6]
Laku kebatinan juga digunakan untuk mencari pesugihan, aji-aji, gendam, jimat, pusaka, dan sebagainya. Ilmu kebatinan jenis ini dalam Wedhatama dianggap kurang baik, karena dianggap melakukan persekutuan (kekarangan) dengan bangsa gaib, sebagaimana tercantum dalam pupuh Pangkur Wedhatama pada 9 berikut,
“Kekerane ngelmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning dagng kulup, yen kapengok pancabaya, ubayane mbalenjani”
(Pengaruh atau andalan ngelmu karang itu berteman atau menadakan perjanjian (minta pertolongan) kepada bangsa gaib. Yang seperti itu ibaratnya hanya bedak yang tidak masuk ke jiwa raga. Tempatnya masih di luar daging. Ketika digunakan untuk menghadapi bahaya, biasanya malah jadi hambar, tidak berdaya guna)[7]

            Laku kebatinan lain yang juga dipercaya dalam spiritualitas Kejawen terdiri atas tiga tingkatan, yaitu Maneges, Semedi, dan Wiridan.
1.      Maneges adalah perilaku kebatinan yang diwujudkan dalam kegiatan bertapa di tempat-tempat sepi yang bertujuan untuk meminta “petunjuk” Tuhan. Ada yang menyebutnya sebagai Sembah Jiwa kepada Tuhan.
2.      Semedi yang istilah populernya adalah meditasi, yaitu suatu kediatan kebatinan yang memiliki tujuan untuk mencapai ketenteraman batin dan menata dayaning urip (prana jati) agar dapat diberdayakan dalam menjalani hidup.
3.      Wiridan yaitu kegiatan batin dengan membaca atau melafalkan rapal (japa mantra) yang isinya untuk berserah diri kepada Tuhan. Umumnya dilakukan dengan rutin, dengan hitungan-hitungan tertentu.

Ada banyak tatacara maneges, semadi, dan wiridan. Setiap penekunan kebatinan Jawa memiliki tatacara sendiri. Ada yang mudah dijalankan, ada yang sangat sulit, bahkan mustahil. Ada yang hanya dilakukan begitu saja tanpa syarat dan sarana apa-apa, ada yang perlu ubarampe berupa sesaji dan membakar dupa.[8]
D. Sesajen dan Upacara Daur Hidup dalam Tradisi Jawa
            Sesaji dan slametan adalah sarana untuk berinteraksi dengan makhluk yang tidak kasat mata (gaib) dengan tujuan sama-sama berbakti kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi. Wujud upacara slametan mungkin berbeda-beda dari desa yang satu dengan desa yang lainnya. Hal itu terkait dengan kemakmuran dan luas atau sempitnyaa wilayah desa maupun kabuyutan masing-masing. Ada yang cukup berslametan berupa sesaji sederhana di tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh makhluk gaib. Ada juga yang disertai upacara yang memerlukan medium atau perantara antara manusia dengan para makhluk gaib yang menghuni suatu desa. Dukun, penari tayub atau ronggeng dan dalang menjadi medium terlebih dahulu. Artinya, makhluk gaib di desa tersebut dalam memberi jawaban ajakan pergaulan warga manusia melalui medium tersebut. Banyak juga medium yang berasal dari Ki Buyut desa itu sendiri.
Dalam kaitannya dengan upacara daur hidup, laku budaya slamtean juga dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi, upacara pengantin, dan untuk ngrukti layon. Sajen bahkan juga turut disertakan dalam selametan memule diri pribadi yang dilaksanakan setahun sekali pada hari kelahiran atau pada weton berdasar hitungan penanggalan Jawa. Ada beberapa pilihan dan alternatif uborampe , di antaranya berupa :
1.      Sega biru atau nasi biru dengan lauk kerbau satu
2.      Tumeng megana di dalamnya diisi daging ayam putih mulus dan pada bagian luar diberi gudangan manca warna
3.      Nasi kuning dengan lauk kerbau satu yang digoreng
4.      Nasi gurih dengan bumbu rempah-rempah dari telur ayam dimasak menggunakan kuali yang mash baru dan tempat memasaknya di tengah halaman dengan menggunakan kayu pelupuh. Ketika menyalakan api, wajib menggunakan merang. Uborampe  ini disertai dengan sayur 7 macam.
5.      Nasi lemak lauk ayam putih mulus
6.      Tumpeng lauk sayur dedaunan 7 macam tanpa bumbu atau tanpa rasa (anyepan)
7.      Nasi kebuli
8.      Kupat Luwar 70 buah disertai lauk berupa kerbau satu dijadikan 70 bagian
9.      Sego golong, pecel ayam, jangan menir dan masakan melukut
10.  Jenang abang, jenang cocor, jenang lemu, jenang lowok, jenang sumsum, jenang bening, jenang katul, jenang lahan, bubur jagung, abon, dan panjang
11.  Srabi abang putih, bikang abang putih, pasun abang putih, tumpi, sawutan, klepon, apem, pala, kembang pai, paksawutan angin, utri, brondong, kelapa wutuh, gedang mas 2 tangkep, tebu wulung 4 batang, cempaka 40 pasang.[9]
Adapun selamatan juga dilakukan pada masa kehamilan, dengan harapan memperoleh keselamatan hidup pada masa kehamilan. Hal ini dilakukan dengan mengadakan selamatan sesuai dengan usia bayi yang dikandung oleh soerang calon ibu. Adapun selamatan tersebut meliputi :
1.      Kehamilan satu bulan dengan sesaji berupa bubur sungsum yang dicampur dengan santan yang diberi gula jawa.
2.      Kehamilan dua bulan dan tiga bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng, gudhangan dan berbagai macam sambal. Adapun lauknya berupa sebutir telur yang dibelah menjadi lima bagian. Sesaji yang berupa jenang meliputi jenang merah, jenang merah puti, dan jenang bar-baro. Selain itu dilengkapi pula dengan jajan pasar dan empon-empon.
3.      Kehamilan empat bulan disebut ngupati. Sesajinya berupa nasi kuning dengan lauk daging kerbau semua bagian tetapi hanya sedikit saja. Perlengkapannya berupa ketupat sinta, jago, sido lungguh, dan luar.
4.      Kehamilan lima bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng dari nasi punar, nasi putih dan nasi asahan, enten-enten dan uler-uleran.
5.      Kehamilan tujuh bulan disebut tingkeban dan mitoni. Upacara tujuh bulan dalam masyarakat Jawa paling sering dilakukan di kalangan masyarakat jawa dibandingkan uacara kehamilan lainnya.
6.      Kehamilan bulan kesembilan dengan sesaji berupa jenang procot. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar bayi yang ada dalam kandungan dapat lahir dengan mudah tanpa halangan apapun. Jenang procot ialah jenang yang dibuat dari tepung beras yang diberi cairan gula kelapa dan pisang raja.[10]

Adapun ketika bayi dilahirkan, maka dalam adat Jawa juga banyak diselenggarakan upacara-upacara adat untuk menyambut kelahiran si jabang bayi, antara lain :
1.      Upacara Brokohan. Selamatan ini dilaksanakan pertama kali ketika bayi lahir dan dilaksanakan dengan tujuan memberitahukan kepada warga sekitar bahwa telah lahir seorang bayi dengan selamat. Tata cara pelaksanaan brokohan sama dengan mengadakan selamatan biasa. Adapun sesaji yang harus dipersiapkan yaitu sega asahan, daging kerbau siji artinya semua bagian badan kerbau sedikit-sedikit, pecel ayam, jangan menir, dan gudhangan.
2.      Upacara Sepasar atau Puputan. Sepasar merupakan satuan waktu bagi masyarakat Jawa dengan kurun waktu lima hari. Upacara sepasaran biasanya dilakukan bersamaan dengan puputan. Puputan merupakan peristiwa putusnya tali pusat bayi. Hal ini terjadi biasanya setelah bayi berumur lima hari sehingga kemudian pelaksanaannya dilaksanakan bersamaan dengan sepasaran. Namun jika bayi setelah sepasar belum puput maka pelaksanaan sepasaran bisa lebih dahulu atau dilakukan dengan menunggu uputan, tergntung kebijakan orang tua si bayi. Selamatan sepasaran atau puputan menggunakan sesaji makanan antara lain berupa nasi tumpeng dan golong yang dilengkapi denga lauk pauk yang terdiri atas panggang ayam, gudhangan, dan telur rebus; jajan pasar; dan jenang putih, merah putih, dan baro-baro. Pada pagi harinya setelah malam sepasaran diadakan bancakan. Bancakan merupakan kenduri kecil yang dibagikan untuk anak-anak. Adapun makanan tersebut berupa nasi tumpeng, gudhangan, dan telur rebus.


3.      Selapanan
Upacara selamatan selapanan diadakan setelah bayi berumur 35 hari, dengan sajiannya berupa nasi tumpeng, gudhangan, telur rebus, jenang merah, putih, merah putih, palang dan baro-baro, jajan pasar, dan inthuk-inthuk yakn tumpeng kecil yang ditaruh di dalam tempurung kelapa (bathok bolu) dilengkapi dengan telur rebus dan di ujung tumpeng ditancapkan bawang merah dan cabe merah. Upacara selapanan dilaksankan dengan maksud untuk menghormati roh-roh yang dianggap menjaga bayi dan saudara si bayi yang berjumlah tujuh.
4.      Tedhak Siten
Upacara tedhak siten dilaksanakan ketika anak sudah berumur 7 bulan atau 6 lapan. Tedhak artinya turun sedangkan siten berasal dari kata siti yang artinya tanah. Jadi tedhak siten adalah upacara turun tanah bagi anak untuk pertama kali. Upacara tedhak siten disebut juga upacara udhun-udhunan atau mudhun lemah. Latar belakang diadakannya upacara tedhak siten yaitu adanya kepercayaan masyarakat Jawa bahwa tanah mempunyai makna gaib dan dijaga oleh Bathara Kala. Untuk menghindari marabahaya maka diadakan upacara mengenalkan anak kepada Bathara Kala sebagai penjaga tanah agar tidak marah. Adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan weton atau hari lahir anak.
5.      Nyapih
Nyapih berasal dari kata sapih yang artinya pisah atau memisahkan. Upacara tersebut bertujuan untuk menyelamati anak pada saat anak tidak lagi menyusu ibunya. Anak disapih biasanya pada umur dua tahun dan disesuaikan dengan weton atau hari lahir anak.[11]
            Ketika anak telah menginjak usia remaja, maka upacara adat yang dilaksanakan antara lain :


1.      Sunatan atau Tetakan
Upacara sunatan merupakan upacara saat peralihan seorang anak laki-laki dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacara tersebut dilaksanakan pada saat seorang anak laki-laki berumur 12 tahun. Sunatan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai saat yang berbahaya karena anak berada dalam masa peralihan. Diyakini pada masa itu dilingkupi adanya gangguan kekuatan gaib yang harus disingkirkan. Untuk menyingkirkan gangguang tersebut dibuatlah selamatan. Bagi orang Jawa yang beragama Islam upacara sunatan disebut juga ngislamake. Adapun orang yang bertugas menyunat adalah bong supit, seorang laki-laki yang pekerjaannya menyunat.
2.      Tetesan
Dalam kehidupan masyarakat Jawa bila anak perempuan sudah berumur 8 tahun atau satu windu perlu disunati. Sunatan bagi anak perempuan tersebut disebut tetesan yang juga dilengkapi dengan selamatan.
3.      Perawatan pada waktu haid pertama
Anak perempuan pada usia 12-15 tahun biasanya akan mengalami menstruasi atau haid yang pertama kali. Dalam masyarakat Jawa terdapat adat bagi anak gadis tersebut dilarang keluar rumah selama tiga hari dan rambutnya digelung dengan benang lawe. Selama tiga hari itu pula tidak boleh mandi dan apabila duduk harus beralaskan kantong dari lawon yang berisi jamu galian.[12]

            Setelah menginjak fase remaja, maka selanjutnya fase perkawinan merupakan sebuah fas peralihan kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga. Perkawinan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan dalam menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang sangat selektif dan hati-hati baik pada saat pemilihan bakal menantu ataupun penentuan hari pelaksanaan perkawinan.
1.      Penentuan bakal menantu
Pasangan suami istri diharapkan hdiup bahagia harmonis selamanya seperti ungkapan Jawa “kaya mimi lan mintuna”. gar harapan tersebut dapat terwujud maka penentuan bakal menantu dalam masyarakat Jawa ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain bibit, bebet, bobot, dan pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman mencari jodoh berdasarkan nama, hari kelahiran, dan neptu. Pedoman tersebut dilakukan baik dari pihak pria maupun pihak wanita. Berdasarkan primbon Betalijemur Adammakna pedoman perjodohan berdasarkan nama dilakukan dengan cara menggabungkan nilai aksara pertama pada nama calon pengantin pria dengan nama calon pengantin perempuan kemudian dibagi 5 dan sisanya diperhitungkan sebagai lambang baik buruknya perjodohan tersebut. Sebagai contoh, seorang laki-laki bernama Bagus akan dijodohkan dengan seorang gadis bernama Niken. Perhitungannya:
Ba (dari Bagus) + Na (dari Niken) = 18 + 2 = 20
Untuk menemukan makna lambang perjodohan kemudian hasil penjumlahan dibagi 5 hasilnya 4 habis. Hal ini sama dengan sisa 5 yang lambangnya pati artinya hidupnya akan sengsara dan sering mendapat bencana kematian. Berdasarkan perhitungan tersebut maka perjodohan antara Bagus dengan Niken tidak baik atau keduanya tidak berjodoh.
2.      Nontoni
Nontoni adalah melihat dari dekat tentang keluarga dan pribadi gadis yang dicalonkan sebagai pasangan calon pengantin laki-laki. Pada saat nontoni tersebut keluarga pihak laki-laki dapat melihat calon pengantin wanita secara lahiriah serta dapat memperhatikan juga tentang bibit, bebet, dan bobotnya.
3.      Nglamar atau meminang
Peristiwa meminang dalam masyarakat Jawa biasanya dilakukan oleh congkok yang ditujukan kepada orang tua gadis yang akan dijodohkan. Hal ini dimaksudkan agar jika ditolak tidak terlalu menyakitkan hati keluarga pihak laki-laki. Jawaban atas lamaran tersebut sebenarnya bisa saja dijawab saat itu juga, namun biasanya keluarga dari pihak gadis memohon kelonggaran waktu untuk berpikir.


4.      Paningsetan
Upacara paningsetan bertujuan untuk memberi tanda secara simbolis bahwa gadis yang telah dilamar sebelumnya telah diikat untuk dijadikan istri. Dalam kesempatan tersebut keluarga pihak laki-laki memberikan barang-barang kepada keluarga pihak perempuan dan barang tersebut diistilahkan sebagai paningset. Barang-barang tersebut berupa seperangkat pakaian (sandhangan sapengadeg) dan kadang disertai pula dengan sepasang cincin.
5.      Rangkaian upacara pernikahan
Setelah pihak laki-laki memberikan paningsetan maka kemudian dilanjutkan dengan pasok tukon atau srah-srahan dengan tujuan meringankan kebutuhan hajatan perkawinan yang akan dilaksanakan. Kemudian menjelang saat perkawinan, calon mempelai perempuan dilarang untuk bertemu calon suaminya dan dilarang keluar rumah, atau disebut dengan tradisi pingitan yang berkisar selama 7 hari atau seminggu. Pada sekitar satu minggu sebelum upacara perkawinan, keluarga mempelai perempuan melakukan ritual tarub sebagai simbol dari harapan-harapan bagi mempelai berdua dalam menjalankan kehidupan rumah tangga dan untuk menghias rumah atau tempat tersebut supaya nampak indah dan megah. Hiasan utama dari tarub berupa bleketepe yang dibuat dari janur kuning dan tuwuhan. Kemudian dilanjutkan dengan upacara siraman dengan maksud mensucikan calon pengantin sebelum upacara perkawinan dan dapat dilaksanakan bersamaan untuk kedua mempelai namun secara terpisah. Jika dilakukan secara terpisah maka keluarga pihak calon mempelai pria terlebih dahulu meminta air sebagai syarat untuk melakukan upacara siraman kepada keluarga calon mempelai puteri. Kemudian pada malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk yang disebut malam midodareni. Sesaji yang disediakan ialah kembar mayang dan sirih dipajang di kamar pengantin, nasi wuduk dan ingkung ayam. Keesokan harinya kemudian dilaksanakan ijab dan panggih. Ijab adalah pengucapan kaul atau janji pernikahan yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan disaksikan wali dan keluarga baik dari pihak mempelai laki-laki maupun wanita. Upacara panggih dilakukan di depan gapuran pawiwahan dengan urutan : balangan gantal, midak wiji atau mecah wiji adi, mijikan, dilempari dengan bunga manca warna, sinduran, bobot timbang, nanem jero, kacar-kucur, dan dulangan.[13]

            Upacara daur hidup selanjutnya adalah upacara kematian. Dalam urusan kematian, jelas bahwa pati adalah kekuasaan dan wewenang Tuhan dalam rangka menutup kehidupan seseorang. Manusia mati, sebaiknya dapat kembali pulang ke jagad asalnya. Semua pinjaman (gadhuhan) yang berwujud raga hendaknya dapat kembali dengan sempurna kepada pemiliknya (asal-usulnya) yaitu jagad raya. Yang tadinya wujud tinggal “nama”, yaitu nama baik seseorang yang setelah meninggal dapat diteladani oleh anak-cucunya. Slametan untuk kematian adalah upacara pengembalian jasad pinjaman kepada pemiliknya. Sesaji juga merupakan perwujudan bakti dna hormat dari keluarga kepada leluhurnya yang sudah meningal. Sesajinya berwujud tumpeng sinigar yang dibelah membujur dan diletakkan saling membelakangi, yang merupakan perlambang bahwa jasad si mati akan lepas mengurai kembali kepada jagad raya. Urutan-urutan upacara sejak hari kematian (surtanah atau bedhah bumi) hingga 1000 hari sejak meninggal, merupakan simbol-simbol penggambaran proses kembalinya jasad menjadi unsur-unsur bumi di dalam kuburnya. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, penjelasan proses pengembalian jasad ini cukup gamblang dan dilengkapi dengan gambar-gambar.[14]

E. Konsep Agami Jawi kepada Kehidupan Sesudah Mati dan Alam Baka
            Keyakinan orang Jawa akan kehidupan sesudah mati pada umumnya orang Jawa berkeyakinan bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) yang disebut lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa dari sifat (kemampuan) spiritual dan mistisme gaib ternyata juga dapat dimiliki oleh orang yang meninggal. Beberapa jam sebelum meninggal, tubuh seseorang dalam keadaan tidur secara organik. Rohnya, karena ingin mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau teman, daya pikirnya memiliki kekuatan untuk mewujudkan diri. Oleh karena itu orang ini dapat menampakkan diri kepada teman atau keluarga meskipun mereka berada di tempat yang jauh. Penampakan diri ini tampil sebagai orang yang masih hidup, namun tidak memiliki kemampuan bicara. Orang yang dalam keadaan demikian juga dapat menulis menggunakan tangan orang yang tidak dikenal. Bahkan bisa saja tulisan tersebut menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh orang yang menulisnya. Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang bisa terjadi orang yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut yang tidak dipahami oleh orang yang tubuhnya digunakan. Roh halus ini juga dapat menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan jasmaniah. Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak dirasuki, sama sekali tidak mampu melakukan ini.[15]
            Mengenai kepercayaan terhadap alam baka, penganut Kejawen mempercayai alam semesta terdiri atas tiga daerah besar, yaitu daerah kehidupan, daerah astral, dan daerah halus. Daerah kehidupan adalah daerah dimana kita hidup. Daerah astral adalah daerah perlihan dimana badan halus manusia yang sudah meninggal asih melekat pada rohnya. Alam halus adalah alam tempat berdiam para roh. Tempat ini juga disebut sebagai daerah kelangitan atau Swarga. Di lingkungan bumi, terdapat dua wilayah yang disebut sebagai kehidupan nyata dan daerah astral. Kehidupan nyata berada pada bumi kita. Daerah astral terbagi dalam Kamaloka dan Naraka. Naraka terdiri atas tujuh bola (wilayah kehidupan) dan sesuai hukum pantulan, Kamaloka juga terdiri atas bola-bola. Bumi kita adalah bola kesatu di lingkungan Naraka dan bumi kesatu di Kamaloka. Bola kesatu di Naraka adalah bumi yang menjadi daerah kehidupan manusia. Bola kesatu di Kamaloka adalah bumi kita juga, namun di wilayah astral tempat roh berbadan halus hidup. Jadi, kedua bola kesatu tersebut adalah bumi, namun di wilayah kehidupan yang berbeda.[16]
            Tujuh bola di lingkungan Naraka dinamakan neraka-neraka hidup, juga disebut neraka yang berada di bawah bumi. Pantulan dari ketujuh bola ini ke daerah astral akan membentuk tujuh bola lain yang disebut bola-bola astral, yang karena hukum alam tidak saja terikat satu dan lainnya, tapi juga berhubungan dengan bola-bola di Naraka. Bola-bola astral ini bersama-sama membentuk satu bola yang dinamakan Kamaloka (tempat tinggal roh halus). Jarak dari bola kesatu dari Naraka dan bola kesatu dari Kamaloka adalah jalan astral. Jalan ini juga dinamakan jembatan Wot agil-agil. Wot agil-agil adalah jembatan yang terdiri atas rambut-rambut perempuan yang dipecah menjadi tujuh dan diikat menjadi satu. Sebenarnya jembatan ini adalah jembatan bayangan. Wot agil-agil dapat dianggap sebagai hukum alam yang akan membawakan roh sesudah kematian badaniahnya menuju suatu bola yang sesuai.[17]
            Kamaloka sebagai temat tinggal roh-roh yang sudah meninggal akan menjadi tempat bagi roh yang baru tiba sebagai sarana belajar untuk menanggalkan pikiran dan kesenangan (Kama). Roh yang sudah berhasil melepas sifa kebinatangannya, dan melalui kematian yang kedua, berpindah tempat ke bumi yang terletak pada lapisan langit pertama. Badan ini merupakan sebuah roh (ajal) yang disebabkan hukum alam ditarik ke alam dunia dan akan melebur di sana secara perlahan-lahan. Manusia yang selama hidupnya mengumbar hawa nafsu, terbiasa dengan cara hidup semacam itu, rohnya telah dihinggapi dengan berbagai keburukan. Setelah meninggalnya seseorang, keburukan ini memengaruhi badan halusnya. Ketika roh dan badan halus terlepas dari Wethala-nya pada hari ketiga hingga ketujuh, sifat dari badan halusnya tidak akan mengalami perubahan. Badan halus itu tetap berada dalam keadaan cenderung ke kehidupan yang ada sehingga menjadi terlalu besar untuk berpindah ke Kamaloka (tempat tinggal para roh halus di kelangitan).[18] Bagi manusia yang semasa hidupnya berlaku baik, proses perubahan badan halus dinamakan Iyatama. Dalam Iyatama, badan halus berubah menjadi bentuk yang sesuai untuk bertempat tinggal di dunia roh halus atau dunia kelangitan. Roh yang badan halusnya telah bebas dari hawa nafsu dan kesenangan dinamakan Moksha. Roh ini akan berpindah menuju ke kelangitan pertama. Sementara itu proses perubahan badan halus dari manusia yang selama hidupnya berbuat jahat dinamakan Dhruwan. Dalam Dhruwan, badan halus akan berubah bentuk kasar. Roh dengan badan halus yang “kasar” lebih cocok untuk tinggal di lingkungan Naraka (suatu lingkungan yang digambarkan memiliki kedudukan lebih rendah dan bumi tempat kehidupan nyata).[19]
            Ada pula keadaan yang lebih tinggi dari Moksha, yaitu bila roh dapat mencapai lapisan langit yang keempat, yang kemudian sampai di daerah langit yang kelima. Di sini, roh dalam badan halus berubah dari “rupa” ke “arupa”. Keadaan ini dinamakan Saiyadiyam, yaitu mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. Bilamana roh telah sampai dalam keadaan ini maka setelah kematian dalam wujudnya akan sampai pada daerah di lelangitan kelima. Di wilayah lelangitan kelima, jiwa telah murni atau “arupa”.[20]







[1] Ki Sondong Mandali, op.cit., hlm. 29.
[2] Djoko Nugroho Witjaksono, dkk., op.cit., hlm. 28.
[3] ibid., hlm. 29.
[4] Djoko Nugroho Witjaksono, dkk., op.cit., hlm. 31.
[5] Ki Sondong Mandali, op.cit., hlm. 82
[6] ibid., hlm. 84.
[7] Ki Sondong Mandali, op.cit., hlm. 87.
[8] ibid., hlm. 95.
[9]  Wahyana Giri MC, Sajen dan Ritual Orang Jawa (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm. 59.
[10] Sarjana Hadiatmaja, Kuswa Endah, Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2009), hlm. 102.
[11] Sarjana Hadiatmaja, Kuswa Endah, op.cit., hlm. 110.
[12] Sarjana Hadiatmaja, Kuswa Endah, op.cit., hlm. 114.
[13] Sarjana Hadiatmaja, Kuswa Endah, op.cit., hlm. 128.
[14] Ki Sondong Mandali, op.cit., hlm. 110.
[15] Capt. R. P. Suyono, Ajaran Rahasia Orang Jawa, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2008), hlm. 24.
[16] ibid., hlm. 61.
[17] Capt. R. P. Suyono, op.cit., hlm. 63.
[18] ibid., hlm. 72.
[19] Capt. R. P. Suyono, op.cit., hlm. 78.
[20] ibid., hlm. 81.