Minggu, 12 Mei 2013

PROTESTANTISME (Resensi dari buku "Aera Eropa" Peradaban Eropa sebagai Penjimpangan Dari Pola Umum, tulisan Prof. Dr. J.M. Romein)




Dalam sebuah kehidupan, terkadang eksistensi dari sebuah lembaga manusia mengalami dinamika, pasang surut, yang selalu tidak dapat diprediksi. Ada kalanya lembaga-lembaga manusia seperti masyarakat, gereja, negara dan lainnya dihadapkan pada kecenderungan melemah maupun menegang. Melemah, karena tak ada lagi orang yang mengabaikan kaidah atau aturan lembaga itu. Menegang, jika kaidah-kaidah itu tidak tumbuh bersama-sama dengan perkembangan manusia, tidak memiliki daya hidup, sebab menghalang-halangi perkembangan. Akan tetapi kondisi semacam itu justru menjadikan manusia memahami adanya pelemahan dan penegangan serta dorongan untuk membangkitkan pengetahuan, dan memulihkan tujuan awal, tujuan yang dicita-citakan sebelum melemah atau menegang. Demikian halnya dengan lembaga agama. Ada banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk memurnikan ajaran agama dari ajaran-ajaran yang dianggap melampaui ajaran pokok agama tersebut, atau kerap disebut bid’ah (“ketter” dalam bahasa Belanda, “katharos” dalam bahasa Yunani yang artinya “lebih murni). Misalnya Buddhisme sebagai pemurnian Brahmanisme, dan juga bukan berarti Islam dianggap sebagai satu usaha Nabi Muhammad untuk memurnikan Yahudi dan Nasrani. Dalam arti memulihkan monotheisme, barangkali hal itu benar adanya karena Nasrani telah dipengaruhi oleh paham Tritunggal atau Trinitas, dan juga karena kaum Nasrani memuliakan orang suci.

Pada agama Nasrani, kaum yang melakukan pembaruan disebut sebagai bid’ah. Dan dinamika naik turunnya pemurnian agama Nasrani diawali dengan sejarah perahiban Barat. Biara yang muncul di Syria dan Mesir, merupakan hasil dari tumbuhnya perkampungan para rahib, dan mode inilah yang ditiru di dunia Barat. Adalah seorang pemuda Italia yang pada abad keenam bermaksud menjauhkan diri dari hingar bingar dunia dengan mendirikan sebuah biara di atas Monte Cassino. Ia memberlakukan tiga aturan pokok, yakni harus hidup miskin, suci, dan patuh kepada pemimpin. Akan tetapi, semakin terkenal suatu biara, maka, justru semakin besarlah derma yang mengalir dari orang-orang kaya yang ingin diampuni dosanya kelak. Akibatnya, aturan pokok harus suci dan hidup miskinpun ditinggalkan, dan  gereja seolah menjadi cerminan gaya hidup duniawi yang menyerahkan segenap pekerjaan pada bawahannya. Namun pada abad kesepuluh, biara di Cluny kembali memberlakukan aturan yang semestinya, dan memengaruhi kehidupan keberagamaan Nasrani di Eropa. Paus Gregorius VII turut andil dalam gerakan pembaruan ini. Termasuk, yang ia inginkan adalah, agar kedudukan Paus berada di atas kedudukan raja atau kaisar. Sekali lagi, pada akhirnya, pihak gereja kembali terjun mengurusi perkara duniawi antara kekuasaan kaisar dan Paus. Praktis, gereja kehilangan kewibawaan. Banyak muncul gerakan bid’ah. Banyak yang menyeru untuk kembali pada gereja, namun banyak pula yang menyuarakan keadilan duniawi. Selanjutnya, pada abad XIII juga muncul gerakan pembaruan dari Fransiscus Assisi dan Dominicus yang mengembara sembari memurnikan dan mengajarkan agama, serta hidup dari derma. Akan tetapi apa yang mereka rintis sia-sia saja, karena tak lama, pengikut Franciscus ada yang membuka pabrik bir, dan pengikut Dominicus ditakuti karena dianggap sebagai pengejar kaum murtad dan pandai dalam menyihir.  Ketika waktu bergeser menuju Abad Pertengahan, pertentangan dalam gereja semakin meruncing. Pendeta-desa hidup sederhana bersama masyarakat, sementara pendeta di gereja menikmati kekayaan duniawi. Dan pada abad XIV-XV ketika banyak wabah penyakit dan kemiskinan, muncul pembaharu lain seperti Wycliff di Inggris dan Hus di Bohemen yang sama-sama bersuara tentang keburukan gereja, trutama schisma atau perjuangan menduduki kursi Paus. Berkat dalih “bid’ah”, Hus pun dihukum karena dianggap melakukan bid’ah. Konsili yang diselenggarakan gereja tidak ada yang membuahkan hasil. 

Pada tahun 1517, seorang pendeta Nasrani, Martin Luther, kembali berusaha memurnikan ajaran Nasrani, mengembalikannya ke jaman rasul atau apostel-apostel terdahulu. Pecahlah kaum Nasrani, dengan berbagai gerejanya seperti gereja Katholik, gereja Yunani Orthodox dan gereja Protestan-Luther. Perkembangan Lutheranisme selanjutnya tidak hanya menyoroti keburukan-keburukan dalam gereja Katholik saja, melainkan juga dengan keadaan politik tanah Jerman dalam abad ke-16.  Kaum tani yang merasa dirugikan dengan perkembangan ekonomi di Jerman kemudian berlindung di belakang Luther, sebab mereka mengharapkan Luther dapat menjadi penolong mereka. Luther  bukan seorang demokrat. Dalam melawan Kaisar yang beragama Katholik dan Paus, ia memanfaatkan bantuan raja-raja kecil di Jerman. Maka tidak mengherankan jika ajaran gereja Luther menyesuaikan diri dengan despotisme raja-raja kecil di Jerman.
Ada satu alat yang dipergunakan untuk melawan kekuasaan raja yang beragama Katholik, yakni apa yang dinamakan dengan Calvinisme (jiwa Eropa, bersifat kekotaan dan borjuis). Jika pemuka gereja mengharuskan penafsiran Injil berada di tangan mereka, tidak demikian halnya dengan Calvinis. Kaum Calvinis menghendaki Injil menjadi pegangan seluruh umat Nasrani, tidak terbatas pada pemuka gereja saja. Maka sebenarnya dampak dari gerakan mereka ini sangatlah menguntungkan, terutama dalam hal pengembangan baca-tulis. Gereja Calvinis tidak mengenal hirarki. Injil dapat ditafsirkan dengan bermacam cara, dan mazhab-mazhab atau aliran dalam Nasrani menjadi berkembang, seperti aliran Lutheranisme dan Calvinisme. 

Konsep “kesejahteraan akhirat” antara agama Katholik dengan Protestan (Lutheran) pun berbeda. Jika agama Katholik saat itu menyatakan keharusan menjalankan iman dan amal saleh, maka Luther dengan keras menentang adanya penebusan dosa lewat perantara derma kepada gereja. Luther menekankan bahwa untuk mencapai tujuan akhirat, maka yang diperlukan adalah iman. Calvinisme menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan akhirat, yang diperlukan adalah Rahmat Tuhan. Oleh sebab itu, mereka memperkenalkan ajaran “Pilihan”. Artinya bahwa, di awal penciptaan alam, Tuhan telah menentukan siapa yang terkutuk, siapa yang terpilih, siapa yang mendapat rahmat Tuhan, dan siapa yang tidak. Mereka menganggap, putusan Tuhan tidak bisa berubah. Sekali terkutuk, tetap terkutuk. Tidak mengherankan jika penganut aliran Calvinisme berasal dari kalangan Paura.

Pada abad 16-17, kaum Calvinis menjadi golongan yang termodern. Satu yang unik bahwa, negara Inggris dan Belanda yang menjadi basis Calvinisme, justru tidak banyak yang memeluk aliran tersebut. Di Belanda, sepertiga penduduknya masih memeluk agama Katholik. Kolonialisme yang terjadi sesudahnya juga berorientasi pada keuntungan perdagangan. Namun tak dapat dielakkan pula pertentangan cara berpikir antara kaum Katholik Feodal dengan Borjuis Protestan. Sebagai contoh, gereja Katholik selalu menganggap ialah gereja yang benar, sebab itu selalu bertugas menasranikan seluruh umat manusia. Tidak demikian halnya dengan penganut Calvinisme. Ajaran mereka tentang “pemilihan takdir Tuhan” membawa mereka terinspirasi pada kisah Perjanjian Lama, yang menobatkan bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan, sehingga orang-orang Inggris dan Belanda yang menganut Calvinisme pun selalu meninggikan dirinya di daerah tanah jajahan.

Dengan adanya gerakan Protestantisme, dan Calvinisme, maka yang terjadi selanjutnya, gereja Katholik berusaha memodernkan diri. Hal ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan mereka atas “sempalan Nasrani” lainnya. Gerakan pembaharuan gereja Katholik yang dinamakan “kontra reformasi” ini terjadi usai reformasi di daratan Eropa. Pelopor pembaharuan tersebut adalah Ignatius Loyola, yang mendirikan militia Christi (Tentara Kristus), sebagai pondasi mazhab Jesuit.  Mazhab ini mengkritik cara-cara kerahiban lama, bahkan pengikutnya diharuskan memegang peranan penting dalam masyarakat luas. Tidak mengherankan jika antara tahun 1650-1750, ilmu pengetahuan orang-orang Eropa diperoleh dari mazhab Jesuit tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar