Dalam sebuah
kehidupan, terkadang eksistensi dari sebuah lembaga manusia mengalami dinamika,
pasang surut, yang selalu tidak dapat diprediksi. Ada kalanya lembaga-lembaga
manusia seperti masyarakat, gereja, negara dan lainnya dihadapkan pada
kecenderungan melemah maupun menegang. Melemah, karena tak ada lagi orang yang
mengabaikan kaidah atau aturan lembaga itu. Menegang, jika kaidah-kaidah itu
tidak tumbuh bersama-sama dengan perkembangan manusia, tidak memiliki daya
hidup, sebab menghalang-halangi perkembangan. Akan tetapi kondisi semacam itu
justru menjadikan manusia memahami adanya pelemahan dan penegangan serta
dorongan untuk membangkitkan pengetahuan, dan memulihkan tujuan awal, tujuan
yang dicita-citakan sebelum melemah atau menegang. Demikian halnya dengan
lembaga agama. Ada banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk memurnikan ajaran
agama dari ajaran-ajaran yang dianggap melampaui ajaran pokok agama tersebut,
atau kerap disebut bid’ah (“ketter” dalam bahasa Belanda, “katharos” dalam
bahasa Yunani yang artinya “lebih murni). Misalnya Buddhisme sebagai pemurnian
Brahmanisme, dan juga bukan berarti Islam dianggap sebagai satu usaha Nabi
Muhammad untuk memurnikan Yahudi dan Nasrani. Dalam arti memulihkan
monotheisme, barangkali hal itu benar adanya karena Nasrani telah dipengaruhi
oleh paham Tritunggal atau Trinitas, dan juga karena kaum Nasrani memuliakan
orang suci.
Pada agama Nasrani,
kaum yang melakukan pembaruan disebut sebagai bid’ah. Dan dinamika naik
turunnya pemurnian agama Nasrani diawali dengan sejarah perahiban Barat. Biara
yang muncul di Syria dan Mesir, merupakan hasil dari tumbuhnya perkampungan
para rahib, dan mode inilah yang ditiru di dunia Barat. Adalah seorang pemuda
Italia yang pada abad keenam bermaksud menjauhkan diri dari hingar bingar dunia
dengan mendirikan sebuah biara di atas Monte Cassino. Ia memberlakukan tiga
aturan pokok, yakni harus hidup miskin, suci, dan patuh kepada pemimpin. Akan
tetapi, semakin terkenal suatu biara, maka, justru semakin besarlah derma yang
mengalir dari orang-orang kaya yang ingin diampuni dosanya kelak. Akibatnya,
aturan pokok harus suci dan hidup miskinpun ditinggalkan, dan gereja seolah menjadi cerminan gaya hidup
duniawi yang menyerahkan segenap pekerjaan pada bawahannya. Namun pada abad
kesepuluh, biara di Cluny kembali memberlakukan aturan yang semestinya, dan
memengaruhi kehidupan keberagamaan Nasrani di Eropa. Paus Gregorius VII turut
andil dalam gerakan pembaruan ini. Termasuk, yang ia inginkan adalah, agar
kedudukan Paus berada di atas kedudukan raja atau kaisar. Sekali lagi, pada
akhirnya, pihak gereja kembali terjun mengurusi perkara duniawi antara
kekuasaan kaisar dan Paus. Praktis, gereja kehilangan kewibawaan. Banyak muncul
gerakan bid’ah. Banyak yang menyeru untuk kembali pada gereja, namun banyak
pula yang menyuarakan keadilan duniawi. Selanjutnya, pada abad XIII juga muncul
gerakan pembaruan dari Fransiscus Assisi dan Dominicus yang mengembara sembari
memurnikan dan mengajarkan agama, serta hidup dari derma. Akan tetapi apa yang
mereka rintis sia-sia saja, karena tak lama, pengikut Franciscus ada yang
membuka pabrik bir, dan pengikut Dominicus ditakuti karena dianggap sebagai
pengejar kaum murtad dan pandai dalam menyihir.
Ketika waktu bergeser menuju Abad Pertengahan, pertentangan dalam gereja
semakin meruncing. Pendeta-desa hidup sederhana bersama masyarakat, sementara
pendeta di gereja menikmati kekayaan duniawi. Dan pada abad XIV-XV ketika
banyak wabah penyakit dan kemiskinan, muncul pembaharu lain seperti Wycliff di
Inggris dan Hus di Bohemen yang sama-sama bersuara tentang keburukan gereja,
trutama schisma atau perjuangan menduduki kursi Paus. Berkat dalih “bid’ah”,
Hus pun dihukum karena dianggap melakukan bid’ah. Konsili yang diselenggarakan
gereja tidak ada yang membuahkan hasil.
Pada tahun
1517, seorang pendeta Nasrani, Martin Luther, kembali berusaha memurnikan
ajaran Nasrani, mengembalikannya ke jaman rasul atau apostel-apostel terdahulu.
Pecahlah kaum Nasrani, dengan berbagai gerejanya seperti gereja Katholik,
gereja Yunani Orthodox dan gereja Protestan-Luther. Perkembangan Lutheranisme
selanjutnya tidak hanya menyoroti keburukan-keburukan dalam gereja Katholik
saja, melainkan juga dengan keadaan politik tanah Jerman dalam abad ke-16. Kaum tani yang merasa dirugikan dengan
perkembangan ekonomi di Jerman kemudian berlindung di belakang Luther, sebab
mereka mengharapkan Luther dapat menjadi penolong mereka. Luther bukan seorang demokrat. Dalam melawan Kaisar
yang beragama Katholik dan Paus, ia memanfaatkan bantuan raja-raja kecil di
Jerman. Maka tidak mengherankan jika ajaran gereja Luther menyesuaikan diri
dengan despotisme raja-raja kecil di Jerman.
Ada satu alat
yang dipergunakan untuk melawan kekuasaan raja yang beragama Katholik, yakni
apa yang dinamakan dengan Calvinisme (jiwa Eropa, bersifat kekotaan dan
borjuis). Jika pemuka gereja mengharuskan penafsiran Injil berada di tangan
mereka, tidak demikian halnya dengan Calvinis. Kaum Calvinis menghendaki Injil
menjadi pegangan seluruh umat Nasrani, tidak terbatas pada pemuka gereja saja.
Maka sebenarnya dampak dari gerakan mereka ini sangatlah menguntungkan,
terutama dalam hal pengembangan baca-tulis. Gereja Calvinis tidak mengenal
hirarki. Injil dapat ditafsirkan dengan bermacam cara, dan mazhab-mazhab atau
aliran dalam Nasrani menjadi berkembang, seperti aliran Lutheranisme dan
Calvinisme.
Konsep
“kesejahteraan akhirat” antara agama Katholik dengan Protestan (Lutheran) pun
berbeda. Jika agama Katholik saat itu menyatakan keharusan menjalankan iman dan
amal saleh, maka Luther dengan keras menentang adanya penebusan dosa lewat
perantara derma kepada gereja. Luther menekankan bahwa untuk mencapai tujuan akhirat,
maka yang diperlukan adalah iman. Calvinisme menyatakan bahwa untuk mencapai
tujuan akhirat, yang diperlukan adalah Rahmat Tuhan. Oleh sebab itu, mereka
memperkenalkan ajaran “Pilihan”. Artinya bahwa, di awal penciptaan alam, Tuhan
telah menentukan siapa yang terkutuk, siapa yang terpilih, siapa yang mendapat
rahmat Tuhan, dan siapa yang tidak. Mereka menganggap, putusan Tuhan tidak bisa
berubah. Sekali terkutuk, tetap terkutuk. Tidak mengherankan jika penganut
aliran Calvinisme berasal dari kalangan Paura.
Pada abad
16-17, kaum Calvinis menjadi golongan yang termodern. Satu yang unik bahwa,
negara Inggris dan Belanda yang menjadi basis Calvinisme, justru tidak banyak
yang memeluk aliran tersebut. Di Belanda, sepertiga penduduknya masih memeluk
agama Katholik. Kolonialisme yang terjadi sesudahnya juga berorientasi pada
keuntungan perdagangan. Namun tak dapat dielakkan pula pertentangan cara
berpikir antara kaum Katholik Feodal dengan Borjuis Protestan. Sebagai contoh,
gereja Katholik selalu menganggap ialah gereja yang benar, sebab itu selalu
bertugas menasranikan seluruh umat manusia. Tidak demikian halnya dengan
penganut Calvinisme. Ajaran mereka tentang “pemilihan takdir Tuhan” membawa
mereka terinspirasi pada kisah Perjanjian Lama, yang menobatkan bangsa Yahudi
sebagai bangsa pilihan, sehingga orang-orang Inggris dan Belanda yang menganut
Calvinisme pun selalu meninggikan dirinya di daerah tanah jajahan.
Dengan adanya
gerakan Protestantisme, dan Calvinisme, maka yang terjadi selanjutnya, gereja Katholik
berusaha memodernkan diri. Hal ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan
mereka atas “sempalan Nasrani” lainnya. Gerakan pembaharuan gereja Katholik
yang dinamakan “kontra reformasi” ini terjadi usai reformasi di daratan Eropa.
Pelopor pembaharuan tersebut adalah Ignatius Loyola, yang mendirikan militia
Christi (Tentara Kristus), sebagai pondasi mazhab Jesuit. Mazhab ini mengkritik cara-cara kerahiban
lama, bahkan pengikutnya diharuskan memegang peranan penting dalam masyarakat
luas. Tidak mengherankan jika antara tahun 1650-1750, ilmu pengetahuan
orang-orang Eropa diperoleh dari mazhab Jesuit tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar