Jumat, 30 Desember 2016

Tumbuh Kembang Anak Harus Berjalan di Rel yang Tepat

- Sebuah Catatan Akhir Tahun



DALAM banyak hal, sebuah organisasi atau lembaga misalnya, pemuda menempati peran penting. Pemuda memiliki kedudukan yang strategis. Biasanya, anak-anak muda selain dimintai dukungan tenaga, juga dimintai dukungan berupa gagasan. Ada pandangan, pemuda memiliki kecermelangan pikir dan lebih mudah menciptakan ide-ide kreatif.

Di Indonesia, anak-anak muda biasanya diwadahi dalam satu organisasi berjuluk Karang Taruna. Wadah ini bisa ditemui di berbagai tingkatan. Karang taruna biasanya menyelenggarakan pertemuan sebulan sekali, atau yang sering disebut dengan "arisan". Peran karang taruna di desa seringkali lebih terlihat mencolok dibanding di kota-kota besar. Ini karena pedesaan memiliki ikatan yang sangat kuat antarwarganya, atau yang biasa disebut gemeinschaft (paguyuban).

Suguhan berita-berita terorisme yang menghiasi headline surat kabar-surat kabar nasional tentu mendulang keprihatinan. Sebab, dalam berbagai kasus, terduga teroris merupakan warga Indonesia yang berusia produktif.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, anak-anak muda sering menjadi tumpuan berkat ide-idenya yang segar. Artinya, kemampuan berpikir anak muda teruji mumpuni karena belum terkontaminasi banyak problema. Dengan fakta umum inilah, gembong-gembong teroris rajin mencari bibit-bibit baru dari kaum muda untuk dicuci otak. Entah bagaimana prosesnya, mereka yang sudah dicuci otaknya kemudian mampu menjalankan misi bosnya.

Kondisi ini tentu sangat disayangkan. Siapa yang bertanggungjawab dan bersedia untuk disalahkan? Apakah orangtua? Atau lingkungan pergaulan?

Kalau melihat dari tahapan perkembangan anak, dalam ilmu Sosiologi, dikenal beberapa fase. Mulai dari game stage, play stage, sampai generalized others. Orang tua sebagai media sosialisasi primer, dalam pandangan saya, wajib memantau tumbuh kembang sang anak dalam fase-fase tersebut.

Pola pendidikan patut menjadi perhatian. Tentu yang dilakukan orang tua masa kini harus berbeda dengan pola pendidikan zaman dahulu. Anak-anak sekarang, meski baru usia balita, bisa dengan mudah mengakses internet. Tapi pelarangan bukan satu-satunya solusi terbaik. Karena jika anak dilarang, maka tumbuh kembang anak terhadap teknologi juga akan terlambat dibanding teman-temannya. Akibatnya, terjadi cultural lag.

Otomatis orang tua harus lebih rajin mengawasi putera-puterinya, terutama jika sudah masuk masa pubertas. Pada masa itulah seorang anak memasuki fase pencarian ideologi. Mana yang sesuai dengannya, itulah yang akan dia terapkan.

Orang tua harus memberikan pendidikan secara religius dan kultural. Kenalkan tentang keberagaman, tentang humanisme, tenggang rasa, tentang menghargai orang lain. Kenalkan pada guru mengaji atau pastur dan pendeta sekolah minggu yang bisa menumbuhkan kematangan pribadi bagi anak.


Sebab, pribadi yang matang bisa menjadi benteng untuk menangkal arus derasnya radikalisme. Dengan pribadi matang, seorang anak akan mampu berkata "ya" atau "tidak" pada pilihan yang datang. Dengan demikian, upaya rekrutmen bibit teroris dapat lebih mudah diminimalisasi.



30 Desember 2016
18:55

Kamis, 22 Desember 2016

BIAS (Cerita Bersambung)

(1)

Dia berlari menuju satu hati ke hati yang lainnya. Untuk berapa lama ia singgah, ia tak terlampau mempersoalkannya. Yang terutama, ada damai yang berserak barang sepersekian detik. Sebuah damai yang luput dalam kungkung lintas warsa.

Alam yang menaunginya hidup, seperti mengerti bagaimana dia harus berlari. Meski kadang hidup kurang memihaknya, namun toh nyatanya dia masih mampu menopang getir di atas kedua kakinya.


Jalan ini sudah dilewatinya berkali-kali. Orang boleh menyebutnya gila. Orang boleh memanggilnya sinting. Apalah daya satir-satir itu kalau dia sudah membulat tekad?

Jalan ini pernah mengantarkannya pada jurang yang dalam. Jalan ini juga yang mengantarkannya pada puncak paling curam. Tapi jalan ini mengerti harus kemana dia berjalan untuk menembus bayang yang menyenangkan.

Kadang dia harus terbangun dalam angan yang kosong. Tanpa sanak. Tanpa ibu. 
Kadang dia harus membelah kerasnya ego untuk melunakkan asa yang kosong akan belaian ayah ataupun ibu. Dia sedang mencoba melawan takdirnya sendiri.

bersambung


Senin, 19 Desember 2016

Kemana Perginya Roh Menurut Keyakinan Kejawen?

Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang, bisa terjadi, orang yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut. Roh halus ini juga dapat menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan jasmaniah. Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak dirasuki, sama sekali tidak mampu melakukan ini...

PATI adalah kekuasaan dan wewenang Tuhan dalam rangka menutup kehidupan seseorang. Manusia mati, sebaiknya dapat kembali pulang ke jagad asalnya.

Keyakinan Kejawen mengajarkan, tak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk halus (roh) yang disebut lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat tinggalnya. Beberapa dari sifat (kemampuan) spiritual dan mistisme gaib ternyata juga dapat dimiliki oleh orang yang meninggal.

Beberapa jam sebelum meninggal, tubuh seseorang dalam keadaan tidur secara organik. Rohnya, karena ingin mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau teman, daya pikirnya memiliki kekuatan untuk mewujudkan diri. Oleh karena itu orang ini dapat menampakkan diri kepada teman atau keluarga meskipun mereka berada di tempat yang jauh. Penampakan diri ini tampil sebagai orang yang masih hidup, namun tidak memiliki kemampuan bicara.

Orang yang dalam keadaan demikian juga dapat menulis menggunakan tangan orang yang tidak dikenal. Bahkan bisa saja tulisan tersebut menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh orang yang menulisnya. Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang bisa terjadi orang yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut. Roh halus ini juga dapat menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan jasmaniah. Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak dirasuki, sama sekali tidak mampu melakukan ini.

Ke Mana Perginya Roh?

Alam halus adalah alam tempat berdiam para roh. Tempat ini juga disebut sebagai daerah kelangitan atau Swarga. Di lingkungan bumi, terdapat dua wilayah yang disebut sebagai kehidupan nyata dan daerah astral. Kehidupan nyata berada pada bumi kita. Daerah astral terbagi dalam Kamaloka dan Naraka. Naraka terdiri atas tujuh bola (wilayah kehidupan) dan sesuai hukum pantulan, Kamaloka juga terdiri atas bola-bola.

Kamaloka sebagai tempat tinggal roh-roh yang sudah meninggal akan menjadi tempat bagi roh yang baru tiba sebagai sarana belajar untuk menanggalkan pikiran dan kesenangan (Kama). Roh yang sudah berhasil melepas sifat kebinatangannya, dan melalui kematian yang kedua, berpindah tempat ke bumi yang terletak pada lapisan langit pertama.

Ketika roh dan badan halus terlepas dari Wethala-nya pada hari ketiga hingga ketujuh, sifat dari badan halusnya tidak akan mengalami perubahan. Badan halus itu tetap berada dalam keadaan cenderung ke kehidupan yang ada sehingga menjadi terlalu besar untuk berpindah ke Kamaloka. Bagi manusia yang semasa hidupnya berlaku baik, proses perubahan badan halus dinamakan Iyatama. Dalam Iyatama, badan halus berubah menjadi bentuk yang sesuai untuk bertempat tinggal di dunia roh halus atau dunia kelangitan.

Sementara itu proses perubahan badan halus dari manusia yang selama hidupnya berbuat jahat dinamakan Dhruwan. Dalam Dhruwan, badan halus akan berubah bentuk kasar. Roh dengan badan halus yang “kasar” lebih cocok untuk tinggal di lingkungan Naraka (suatu lingkungan yang digambarkan memiliki kedudukan lebih rendah dan bumi tempat kehidupan nyata).

Menuju Kesempurnaan

Roh yang badan halusnya telah bebas dari hawa nafsu dan kesenangan dinamakan Moksha. Roh ini akan berpindah menuju ke kelangitan pertama.

Ada pula keadaan yang lebih tinggi dari Moksha, yaitu bila roh dapat mencapai lapisan langit yang keempat, yang kemudian sampai di daerah langit yang kelima. Di sini, roh dalam badan halus berubah dari “rupa” ke “arupa”. Keadaan ini dinamakan Saiyadiyam, yaitu mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. Bilamana roh telah sampai dalam keadaan ini maka setelah kematian dalam wujudnya akan sampai pada daerah di lelangitan kelima. Di wilayah lelangitan kelima, jiwa telah murni atau “arupa”.

Berdamai dengan Inspirasi

Oleh: Fadhil Nugroho Adi, S.Hum
Jurnalis, Alumnus Jurusan Sejarah Undip

(*Artikel ini telah dimuat di Jurnal Warta Arsip - Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jateng edisi kedua)


Ilustrasi: Tempo
A. Pengantar
Sebagai alumni jurusan Sejarah, setiap kali “musim” penulisan proposal skripsi, banyak di antara adik-adik angkatan yang mulai sibuk menanyakan hal yang sama kepada saya, “itu arsipnya di mana mas?” Sedemikian lekatnya arsip dengan kehidupan mahasiswa Sejarah, sampai-sampai ilmu tentang Kearsipan menempati posisi terfavorit untuk “membantu” penulisan sejarah.

Arsip, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, adalah  rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1]

Dari definisi arsip sebagaimana diatur dalam ayat tersebut, nampak bahwasanya arsip begitu erat kaitannya dengan keberlangsungan sebuah lembaga maupun perorangan. Arsip memiliki kekuatan memotret sebuah memori kolektif pada satu masa. Saking pentingnya, Sir Arthur Doughty pernah berkata, “Dari semua aset negara yang ada, arsip adalah aset yang paling berharga. Arsip merupakan warisan nasional yang perlu dipelihara dan dilestarikan. Tingkat keberadaan suatu bangsa dapat dilihat dari pemeliharaan dan pelestarian terhadap arsipnya.”[2]

Sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lalu memiliki keterkaitan dengan peristiwa di masa yang akan datang. Untuk itulah arsip dikelola secara profesional di bawah naungan lembaga kearsipan.

Bagi program studi yang berusaha menyajikan kejadian di masa lampau, arsip memiliki posisi tersendiri di hati mahasiswanya, khususnya mahasiswa jurusan Sejarah. Ini tak lepas dari jargon yang menjadi landasan penulisan sejarah, no document no history.

B. Arsip Sebagai Sumber Inspirasi
Ketika akan mengupas topik-topik khusus dalam sebuah penelitian sejarah, tak jarang para sejarawan pemula mengalami buntu pikir. Pasalnya, sebuah penelitian yang didasarkan pada alur berpikir sejarah, harus melewati fase-fase yang disebut dengan metode sejarah. Terkait fase inilah, arsip menjadi sumber utama yang tak boleh dilewatkan.

Pada fase pertama, peneliti sejarah dihadapkan pada tahapan yang disebut heuristik. Heuristik merupakan pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis dan lisan yang relevan. Oleh karena sumber sejarah dibagi atas, sumber primer dan sumber sekunder, arsip menempati porsi yang utuh sebagai sumber primer. Sumber primer adalah sumber yang dihasilkan oleh orang yang menjadi saksi dan sezaman dengan peristiwa yang akan dikisahkan.[3]

Dalam fase ini, lembaga kearsipan tidak hanya berfungsi sebagai penyedia data, namun juga sebagai sumber inspirasi. Pengguna dimudahkan dengan ketersediaan daftar arsip yang selanjutnya menjadi pembuka cakrawala berpikir.

Penyusunan daftar arsip yang sistematis sesuai skup spasial dan temporal, memudahkan pengguna menelusuri data-data yang diperlukan, baik berupa tulisan dan gambar. Dari data tersebut peneliti dimudahkan untuk memperoleh topik atau gagasan yang akan dikembangkan.

Selain memberikan inspirasi untuk menemukan gagasan yang belum pernah dijamah oleh peneliti manapun, arsip mampu memberikan inspirasi untuk melakukan penelitian lanjutan dari penelitian yang sudah ada. Sebagai contoh konkret, pada penelitian saya yang mengupas perpaduan kesenian dan politik pada masa Orde Baru, tercatat Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7) melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) turut mengemban misi sebagai agen sosialisasi melalui pergelaran seni. Jenis-jenis kesenian tradisional seperti karawitan, santi swaran, wayang (orang, kulit, golek), guyon maton, ndolalak, lagu pop, seni tari, macapat, sandiwara, ketoprak, memiliki kekuatan dalam menyampaikan propaganda pada era Orde Baru.[4]

Berpijak dari contoh kasus tersebut, peneliti pemula yang datang kepada saya untuk meminta rekomendasi tema penelitian, dengan mudah saya arahkan untuk meneruskan penelitian seputar pola pendidikan P4 di BP7. Dalam hal ini penelitian bisa dilanjutkan berdasarkan ketersediaan arsip dari lembaga yang sama yang berada di bawah lembaga kearsipan. Sehingga arsip benar-benar berperan sebagai penyumbang inspirasi peneliti pemula untuk meneruskan penelitian dengan sudut pandang yang berbeda.

Selain penyumbang gagasan bagi para peneliti pemula, pada tahapan yang lebih luas, arsip juga memberikan inspirasi bagi para pengambil kebijakan atau stakeholder untuk menentukan arah kebijakan ke depan. Pada era seperti sekarang yang membutakan generasi muda dari Pancasila –sehingga akhir-akhir ini mengemuka kasus-kasus seperti penyebutan bebek nungging terhadap sila kelima-, kebijakan pemimpin pendahulu yang mengedukasi rakyat seputar pendidikan Pancasila[5] harus menjadi cermin bagi kebijakan di masa yang akan datang. Selain pendidikan, latar belakang bagaimana sebuah peristiwa terjadi dan dinamika yang menyertainya, juga diperoleh dari apa yang diuraikan dalam arsip-arsip suatu lembaga pada masanya.

C. Penutup
Sebuah arsip mampu berperan sebagai inspirator apabila diwadahi dalam lembaga yang tepat. Dalam hal ini, lembaga kearsipan harus jemput bola untuk merawat arsip-arsip statis dari institusi atau perseorangan. Bukan hanya lembaga kearsipan di tingkat nasional, provinsi atau kabupaten/kota, namun lembaga kearsipan di tingkat kecamatan atau bahkan desa juga sama krusialnya. Maka dalam kesempatan ini saya mengapresiasi langkah Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Jawa Tengah yang telah melakukan bimbingan teknis (bintek) sekretaris desa, sebagai upaya meningkatkan keahlian sekretaris desa dalam mengelola arsip.

Lebih dari itu, lembaga kearsipan harus mengelola arsip-arsip yang diwadahinya dengan baik, tentu dengan memperhatikan kaidah-kaidah perawatan yang telah ditentukan. Penyediaan daftar arsip perlu dilakukan secara tematik agar mempermudah para peneliti pemula dalam memperoleh inspirasi.(***)




[1] UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
[2] Chusnul Hayati, "Pentingnya Dokumentasi dan Arsip Untuk Penulisan Sejarah Persyarikatan Muhammadiyah", dalam http://eprints.ums.ac.id/27019/1/Workshop_Pentingnya_Dokumentasi_dan_Arsip.doc.
[3]Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta: UI Press, 1986),  hlm. 35.              
[4] “Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah Tingkat II Se Jawa Tengah Tahun 1995/1996”, 1996, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1995/1996, hlm. 25, Kanwil Deppen Prov. Jateng, Arsip Provinsi Jawa Tengah.
[5] “Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jateng perihal Pembudayaan P-4 melalui Bhinekakarya Pancakarsa”, 16 Oktober 1991, Arsip Provinsi Jawa Tengah.