Rabu, 15 Mei 2013

Pengembangan Uraian J.M. Romein dalam Aera Eropa pada BAB V tentang Nasrani




Pada permulaan tahun masehi, di Romawi, perang saudara berkecamuk begitu hebat. Perpecahan inipun menyebabkan Romawi beralih status. Semula Romawi berstatus Republik, namun pada akhirnya Romawi menyandang status Kekaisaran. Ketika itu dewa-dewa menjadi objek pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Tak heran pada masa itu begitu banyak digelar ritual maupun upacara-upacara persembahan guna menghormati para dewa. Akan tetapi, tidak dipungkiri bahwa dewa-dewa yang mereka sembah, yang tercipta hanya karena rekaan mereka, tidak mampu menjawab berbagai rahasia hidup, rahasia maut, ketidakabadian, penderitaan manusia, dan segala yang dialami manusia di muka bumi. Oleh sebab itu banyak di antara mereka yang melepaskan diri dari kebudayaan tersebut dan mencari ketenangan spiritual di wilayah lain. Sebut saja Dewa Mithras yang dipuja di Asia Depan dan Mesir, dan Dewi Kesuburan Cybele di Asia Kecil, juga menjadi objek sesembahan bangsa Romawi. Kendati demikian, mereka sesungguhnya tetap menyimpan harapan ketenteraman dan kedamaian yang membebaskan mereka dari kesengsaraan. Moksa pun menjadi tujuan akhir mereka.  

Misteri - misteri seputar kehidupan dan kehidupan sesudah mati kemudian terjawab dengan hadirnya agama Nasrani (Kristen) yang memiliki kesamaan corak dengan misteri-misteri tersebut. 

Semisal pada konsep pengkultusan Putra Tuhan yang disalib, meninggal, lalu dibangkitkan kembali dan menjamin kebahagiaan abadi kepada orang saleh sebagai hiburan atas kesengsaraan di dunia. Atau pada konsep 25 Desember, menurut Muhammad Ali Zenjibari dalam bukunya Islam and Christian : A Comparative Study menuliskan bahwa dewa-dewa pagan seperti Bacchus, dewa Yunani; Osiris, dewa Mesir; Attis, dewa Phrygia; Quetzacoati, dewa Phoenica dan Mexico, semuanya dilahirkan pada tanggal 25 Desember. Oleh karena kelahiran mereka jatuh pada 25 Desember, sehingga orang tua mereka harus melakukan upacara perkawinan mereka pada tanggal 25 Maret. Sampai di sini setidaknya kita perlu melihat praktek paganisme kuno di era modern yang mengidentikkan musim semi sebagai musim kebangkitan dan kehidupan. Dengan demikian, dewa-dewa diciptakan atau hamil pada bulan Maret, atau musim semi, dan dilahirkan pada bulan Desember. (Zenjibari, 2001:75).

Zenjibari juga memiliki pemahaman mengenai konsep kebangkitan Putra Tuhan sebagaimana yang dikatakan Romein, musim semi mencirikan kebangkitan jiwa dari kafan kematian dalam tubuh orang mati dan dianggap paganisme sebagai “cara penggambaran proses spiritual selama kelahiran jiwa”. Musim semi juga dianggap membawa semangat baru, sebagaimana musim dingin membawa kematian tumbuh-tumbuhan dan benda-benda alam. Dingin melambangkan kematian dan awal dari kehangatan, sementara sinar matahari dalam musim semi menandakan datangnya kehidupan dan semangat baru dalam seluruh tubuh makhluk. Jadi, teori dan konsep pagan kuno ini diizinkan masuk ke dalam agama Kristen oleh orang-orang Romawi. Alhasil, dalam musim semi yang sama, laki-laki yang dinisbatkan sebagai Putra Tuhan (Yesus) pun bangkit dari kematian, sebagaimana Paskah, dewi musim semi memperoleh kembali kehidupannya pada setiap musim semi yang sama. (Zenjibari, 2001:78). Demikian halnya dengan kepercayaan trinitas yang saat itu begitu populer di Mesir dengan unsur “tiga dalam satu”: Iziris, Auzuris, Huris. Atau Zeus-Poseidon-Pedos pada bangsa Yunani dan Jupiter-Nipton-Pluton pada bangsa Romawi. (Idris, 1991:44).

Meskipun demikian, misteri-misteri yang berkembang pada spiritualitas paganisme bangsa Romawi nampaknya masih sulit disamakan dengan konsep misteri yang ditawarkan agama Nasrani. Agama Nasrani mewarisi agama Yahudi yang monotheisme. Perjanjian Lama, kitab suci agama Yahudi, pun dimasukkan ke dalam Bibel. Perjanjian Lama atau yang disebut sebagai Old Testament atau Kitab Tenakh, terdiri atas tiga bagian, yakni Tora, Nebiim, dan Ketubim. Tora atau Taurat memuat lima kitab, yaitu Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, dan Ulangan. Sementara Nebiim berarti kitab nabi-nabi terkemudian, yang terdiri atas kitab nabi Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, Yoel, Amos, Obaja, Yunus, Mikha, Nahum, Habakuk, Zefanya, Hagai, Zakaria dan Maleakhi. Ketubim berarti pujian, terdiri atas kitab-kitab Zabur atau Mazmur, Amsal Sualiman, Ayub, Kidung Agung, Rut, Ratapan, Pengkhotbah, Ester, Daniel, Ezra, Nehemia, Tawarikh I, dan Tawarikh II. (Handono, 2011:9). Tidak hanya Perjanjian Lama. Keempat Injil yang masing-masing ditulis oleh Matius, Markus, Lukas, Yohannes dimasukkan ke dalam Perjanjian Baru, bersama dengan 13 surat Pulus, 3 surat Yohannes, 1 surat Yakobus, 1 surat Yudas, 2 surat Petrus, 1 surat Lukas kepada orang Ibrani, dan Wahyu kepada Yohannes. (Handono, 2011:9).

Bangsa Yahudi yang telah lama mengharapkan kehadiran Messias atau Juru Selamat. Yesus-lah yang dinisbatkan sebagai Kristos (yang diurapi minyak, juru selamat, diambil dari bahasa Yunani). Agama Kristen memang baru muncul sekitar 30 atau 40-50 Masehi. Ada pula yang mengatakan tahun 80 Masehi. Kemunculannya juga bukan di Nazareth atau Betlehem, melainkan di Antiokhia. Injil menyebutkan, “Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antikohia-lah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen…” (Kisah Para Rasul 11:26). (Handono, 2005:14).

Ketika agama Kristen menyentuh Yunani-Romawi, lalu Syria dan Iskandaria, banyak mengambil unsur Yahudi, bukan agama Yunani karena mereka telah meninggalkan polytheisme lama, melainkan aliran Stoa atau Plato. Keempat evangelis yang menyusun empat Injil dalam Perjanjian Baru, kemungkinan berasal dari lingkungan Nasrani-Yunani. Yohannes juga terpengaruh paham-paham mistik aliran Neo-Platonisme. Satu yang perlu diingat bahwa agama Nasrani adalah transedent, yakni berpaling dari dunia, dan ditujukan kepada surga. 

Di bawah kekuasaan kerajaan Romawi, agama Kristen semakin memperlihatkan eksistensinya. Jumlah pengikutnyapun bertambah. Namun demikian, kaisar-kaisar Romawi yang menyembah banyak dewa, lama kelamaan merasa bahwa agama Kristen adalah ancaman bagi bangsanya. Agama Kristen yang menekankan pada monotheisme mulai mendapat banyak tuntutan terutama pada masa pemerintahan kaisar Decius dan Diocletianus pada abad ketiga. Baru pada abad keempat, sang kaisar, Konstantin, mulai menyerah pada perkembangan agama Kristen yang begitu pesat itu. Pada suatu pertempuran, Konstantin melihat salib di angkasa dengan tulisan In hog sicno vinces (dengan tanda ini engkau akan menang). Konstantin lalu memeluk agama Kristen, dan menjadikan agama itu sebagai agama negara. Ketuhanan Yesus lalu diputuskan pada tahun 325 Masehi pada Konsili Nicea, dan Ketuhanan Roh Kudus juga diputuskan pada tahun 381 Masehi di bawah kepemimpinan Konstantin. (Cahyono, 2005:12). Bangsa Romawi kemudian memberikan sumbangsih kepada agama Kristen berupa jiwa organisasi Romawi, yang menjadikan agama itu memiliki kekhasan dibanding agama lain. Bentuk itu ialah apa yang disebut dengan organisasi gereja. Vatikan-lah yang menjadi pusat organisasi agama Kristen (Kristen-Katholik). Agama Kristen lalu merambah ke berbagai daerah, hingga hirarki organisasi gereja –dari atas ke bawah : Paus, Biskop, Pastur, Kapellanus-. Orang pertama yang menyusun dengan rapi sistem kepausan dan ikut mendukungnya adalah Gregory I (540-609 Masehi). Ketika pengaruh gereja makin luas, Paus diangkat sebagai sumber kekuasaan agama dan dunia, dan menerima kekuasaan tak terbatas. Melanggar titah dan perintahnya adalah dosa besar. Ia mempunyai hak dalam menyusun undang-undang. Para kaisar tidak memiliki jalan lain, selain takluk dan tunduk kepadanya. Semua orang tunduk dalam masalah agama dan dunia kepada lapisan Pastur dan susunan kepegawaian. Mereka seperti bentuk sebuah piramida dan Paus berada di puncaknya. Maka semakin rusaklah keadaan masyarakat. Peristiwa ini terjadi hingga sampai menimbulkan pertentangan antara Paus dan para ilmuwan. (Idris, 1991:80).  

Pada abad keempat dan kelima, kerajaan Romawi terpecah-pecah akibat serbuan bangsa barbar Jerman dan Slavia. Mereka mendirikan kerajaan-kerajaan baru dalam kerajaan Romawi dan kemudian menduduki Roma. Pada tahun 1054, Patriarch Konstantinopel memisahkan diri dari Gereja dan mengepalai gereja, yang kini bernama Gereja Yunani-Orthodox. 

Kristen tidak hanya mengukuhkan kekuatannya dalam hal organisasi saja, melainkan juga dalam bidang pendidikan. Sejak abad keenam, muncul organisasi perbiaraan yang membantu Gereja dalam menyiarkan agama dan peradaban. Biara juga mampu menjadi penggerak pengerjaan tanah dan penegakan industri. Biara kemudian memiliki kekuatan untuk menahan aliran-aliran bid’ah, bekerjasama dengan organisasi kerahiban. Sebagai contoh, kasus pemusnahan aliran bid’ah pernah terjadi pada tahun 385 Masehi, orang-orang Kristen pertama yaitu Priscillianus dari Spanyol dan enam pengikutnya dipancung di Trier-German atas perintah Gereja karena dituduh bid’ah. Kemudian Sekte Manichaean yang dibasmi karena dinyatakan bid’ah atas praktek pengendalian kelahiran yang tidak diajarkan oleh Gereja Katholik. Pembasmian dilakukan seiring dengan kampanye besar-besaran ke seluruh kekaisaran Romawi antara tahun 372 dan 444 Masehi. Ribuan orang menjadi korbannya. (Handono, 2008:40). Baru pada abad ke-16 pertentangan semakin menghebat, hingga menimbulkan gerakan Protestantisme yang berujung pada pembentukan Gereja-Gereja Protestan, sebagai wujud protes terhadap Roma.
Pada agresi Eropa, agama Kristen –Katholicisme, Yunani Orthodoxisme dan Protestantisme- menyimpan peran yang begitu besar. Hal ini disebabkan, orang-orang Eropa yang mayoritas beragama Kristen itupun bersatu terhadap serangan dunia luar. Selain itu, agama Kristen selalu menjadi dalih bagi apa yang dilakukan oleh kaum agressor. Sejarah penemuan daerah baru, yang juga berarti pendudukan daerah lain oleh bangsa Eropa, selalu menuai masalah. Agama Kristen-lah yang menjadi dalihnya. Ratu Spanyol, Victoria, pada tahun 1540 mengatakan bahwa bangsa Spanyol memang berhak menaklukkan daerah-daerah yang tidak memeluk agama Kristen, dengan kewajiban mengKristenkan daerah yang ditaklukkannya dan mendidik penduduknya ke arah yang lebih baik.

Agresi yang mengatasnamakan Kristen berlangsung kira-kira tahun 1100, ketika Perang Salib berawal. Terutama sekali Perang Salib ini dilatarbelakangi oleh perluasan daerah perdagangan di belahan timur Eropa, yang ketika itu banyak dikuasai bangsa Arab. Kristenisasi yang pada mulanya menjadi tujuan utama pun dikesampingkan. Justru orang-orang Eropa banyak menerima ilmu atas peradaban Arab dan Byzantium yang telah maju.

Tahun 1450 bangsa Portugis memulai dengan menaklukkan Afrika. Sementara bangsa Spanyol sendiri telah berhasil menaklukkan Amerika Selatan setelah tahun 1500-an. Pada abad ke-19, ketika imperialisme dan kolonialisme mencapai puncaknya, nampaknya kristenisasi bukanlah topik utama yang mereka pentingkan. Misi mereka adalah membawa peradaban kepada daerah-daerah yang dianggap masih terbelakang.

* * *

KEPUSTAKAAN
Cahyono, Salim Rusydi. 2005. Mencari Domba Tersesat. Bekasi: Bima Rodheta.
Handono, Irena. 2005. Awas Bahaya Kristenisasi di Indonesia. Bekasi: Bima Rodheta.
_____________. 2008. Menyingkap Fitnah dan Teror. Bekasi: Gerbang Publishing.
_____________. 2011. Bibel Bukan Injil. Bekasi: Gerbang Publishing.
Idris, Ahmad. 1991. Sejarah Injil dan Gereja. Jakarta: Gema Insani.
Romein, J. M. 1956. Aera Eropa: Peradaban Eropa Sebagai Penjimpangan dari Pola Umum. Jakarta: NV. Ganaco.
Zenjibari, Muhammad Ali. 2001. Islam and Christian : A Comparative Study. Qum : Ansariyan Publications.


PERGERAKAN KEBANGSAAN DI BALI : PERANG BULELENG 1846






Pergerakan kebangsaan di Bali bermula ketika perundingan yang dilakukan antara Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Made Karangasem pada tanggal 8 Mei 1845 mengalami kegagalan. Perundingan tersebut merupakan tindak lanjut dari penyelesaian masalah pengesahan kontrak tertanggal 8 Mei 1843 mengenai penghapusan hukum tawan karang yang ternyata dilanggar melalui perampasan perahu Makassar dan perahu Mayang oleh penduduk di sekitar Sangsit (di daerah Buleleng) dan Perancak (di daerah Jembrana). Kegagalan ini masih ditambah dengan aksi Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik di hadapan umum yang menentang otoritas dan wibawa pemerintah Hindia Belanda hingga dianggap sebagai suatu penghinaan terbuka terhadap pemerintah Hindia Belanda. Kondisi ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil tindakan militer terhadap Raja Buleleng apabila misi Komisaris Pemerintah J. F. T. Mayor tidak berhasil.
Di Buleleng, Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik sadar dan yakin bahwa selepas tindakannya yang melecehkan pemerintah Hindia Belanda tidak lantas membuat Belanda diam dan bertekuk lutut. Gusti Ketut Jelantik lantas merancang siasat pertahanan dan peperangan terhadap Belanda dan memerintahkan rakyat yang tinggal di pantai Buleleng untuk membangun kubu-kubu pertahanan yang dapat dipergunakan untuk menghalang-halangi pendaratan musuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak tanggal 8 Mei 1845 kedua belah pihak telah bersiap untuk menghadapi suatu peperangan dan dari sinilah nasib Kerajaan Buleleng akan ditentukan.
Perlu menjadi catatan bahwa sikap permusuhan Belanda tidak hanya ditujukan kepada kerajaan Buleleng saja, melainkan juga kepada kerajaan Karangasem, mengingat kapal Atut Rachman, kapal dagang Belanda, karam dan dirampas oleh penduduk sesuai dengan ketentuan hukum tawan karang. Padahal seperti telah disinggung sebelumnya, hukum tawan karang dihapus sesuai dengan perjanjian 1 Mei 1843. Oleh sebab itu Belanda menuntut Raja Karangasem untuk membayar ganti rugi dan mengadakan pemeriksaan terhadap kapal yang dirampas tersebut. Akan tetapi Gusti Gde Ngurah Karangasem menolak dan memilih solider dengan Raja Buleleng sehingga pemerintah Hindia Belanda memperlakukan Kerajaan Karangasem sama dengan Kerajaan Buleleng dan menganggap keduanya sebagai musuh sekaligus sebagai target ekspedisi militer mereka untuk memaksakan kemauan pemerintah Hindia Belanda.
Pada akhirnya, setelah tekanan politik yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Karangasem mengalami kebuntuan, maka pada tanggal 6 Februari 1846 Gubernur Jenderal J.J. Rochussen memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap kedua kerajaan tersebut dengan berlandaskan surat keputusan tanggal 6 Februari 1846 NO: La K. Ultimatum tersebut kurang lebih memuat lima hasil keputusan Gubernur Jenderal atas dasar permufakatan dengan Panglima Angkatan Laut Kerajaan dan Panglima Angkatan Darat Kerajaan di Hindia Belanda beserta nasehat Dewan Hindia. Surat keputusan tersebut juga memuat lampiran instruksi yang terdiri atas 14 pasal untuk Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor, dengan stretching sesaat setelah Angkatan Perang Belanda tiba di pantai Buleleng Komisaris Pemerintah menyerahkan manifesto atau ultimatum tersebut kepada Raja Buleleng dan ditunggu tiga kali dua puluh empat jam jawaban dari Raja Buleleng mengenai tuntutan-tuntutan yang dimuat dalam ultimatum tersebut. Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak dapat diperoleh jawaban yang memuaskan, maka pasukan-pasukan mulai diturunkan dari kapal-kapal pengangkutan untuk melancarkan serangan terhadap pelabuhan Buleleng dan menduduki tempat tersebut dengan mendirikan bivak berkapasitas satu kompi pasukan untuk menduduki dan mengamankan pabean Buleleng, sementara yang lain meneruskan serangkan menuju kota Singaraja sebagai tempat kedudukan dan kekuasaan raja.

Pada tanggal 17 Februari 1846 Gubernur Jenderal/Menteri Negara pun kembali mengeluarkan satu surat keputusan No: LaO yang memberi petunjuk-petunjuk terakhir pelaksanaan aksi militer yang akan dilakukan terhadap Buleleng dan Karangasem. Disebutkan pula perintah bahwa Angkatan Perang Belanda yang diperintahkan untuk melaksanakan ekspedisi militer tersebut selambat-lambatnya pada pertengahan bulan April sudah siap meninggalkan Batavia untuk selanjutnya menuju ke Bali.
Perlu menjadi catatan bahwa Bali pada saat itu memiliki lima kerajaan yakni Kerajaan Buleleng, Karangasem, Tabanan, Badung, dan Bangli dengan dipimpin Dewa Agung yang berkedudukan di Klungkung. Akan tetapi hubungan antarkerajaan tidak berlangsung harmonis. Perselisihan, percekcokan dan cemburu-mencemburui antara raja-raja di Bali pada abad kesembilan belas sering menimbulkan ketegangan bahkan peperangan antarmereka sehingga membuka kesempatan bagi kekuasaan asing untuk menanamkan pengaruhnya di pulau tersebut. Demikian halnya dengan kasus Kerajaan Buleleng dan Karangasem. Tiga kerajaan tersebut, meski telah diinstruksikan oleh Dewa Agung, menolak mengirimkan pasukannya ke Buleleng dan Karangasem dalam usahanya memerangi serangan Belanda.
26 Juni 1846 armada Hindia Belanda mencapai pantai Buleleng. Ultimatum yang sebelumnya diberikan kepada Raja Buleleng tertanggal 24 Juni 1846 ternyata dibalas oleh Raja Buleleng bahwasanya ultimatum tersebut tidak dapat segera diberikan. Raja Buleleng meminta penangguhan hingga sepuluh hari untuk berunding dengan Dewa Agung, akan tetapi permintaan tersebut ditolak oleh Komisaris J.F.T Mayor. Demikian pula ketika Raja Buleleng akan mengadakan perdamaian dengan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen, permintaan tersebut ditolak hingga akhir batas ultimatum tertanggal 27 Juni 1846.
Begitulah, mulai tanggal 27 Juni 1846 oleh panglima pasukan ekspedisi diberikan perintah untuk mengadakan segala persiapan pendaratan, yang ditentukan akan dilakukan pada tanggal 28 Juni 1846 dini hari di salah satu tempat di sekitar pantai Buleleng dengan tujuan dalam waktu singkat menguasai desa Buleleng. Pada 28 Juni 1846 dini hari, pasukan Belanda didaratkan di sebelah timur, di sebuah sawah di desa Buleleng. Meriam-meriam terbidik untuk menghancurkan pertahanan di pantai dan konsentrasi pasukan Bali. Pihak Belanda mengakui jika pendaratan dan serangan pasukan pendaratan itu mendapat perlawanan yang hebat dari pasukan Bali. Siasat Belanda kala itu adalah menyerang Desa Buleleng dari belakang dengan mengadakan gerakan pasukan melalui kampung Jawa, akan tetapi justru banyak korban berjatuhan dari pasukan Belanda. Kondisi ini dinayatakan dengan “babak pertama pertempuran untuk menguasai Buleleng sama sekali tidak menguntungkan Angkatan Perang Belanda”. Belanda lantas membakar sebagian Desa Buleleng dengan tujuan agar pasukan Bali yang bersembunyi akan keluar dari tempat persembunyiannya. Dalam kondisi genting itulah, meriam-meriam diarahkan ke perkampungan penduduk, dan banyak korban berjatuhan dari rakyat Bali. Dengan demikian pada siang harinya Desa Buleleng dapat dikuasai oleh tentara Belanda.
Dari kalangan pasukan Bali jatuh korban lebih dari seratus orang, sedang di pihak Belanda jatuh korban seorang perwira dan 9 orang bintara dan prajurit. Dua perwira mengalami luka-luka, begitupun dengan 49 bintara dan prajurit. Dan setelah pasukan pendaratan diberi istirahat pada tanggal 28 Juni 1846, maka ditentukan oleh panglima bahwa esok harinya pasukan pendaratan akan bergerak ke Singaraja untuk menguasai kota tersebut. Maka pada tanggal 29 Juni 1846 pasukan menuju kota Singaraja namun ternyata pasukan Bali tidak memberi perlawanan dan kota Singaraja dikosongkan. Raja dan pembesar kerajaan meninggalkan kota Singaraja, dan istana raja (puri) pun dikosongkan. Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Gubernur Jenderal tertanggal 27 Februari 1846 maka istana Raja dan bangunan di sekitarnya dihanguskan, meskipun pembakaran ini semestinya tidak diizinkan. Barang-barang yang diketemukan di istana raja dikuasai sebagai milik pemerintah Hindia Belanda.

Oleh karena Raja Buleleng dan Raja Karangasem mengundurkan diri ke pedalaman di salah satu tempat kurang lebih 5 kilometer dari kota Singaraja, maka G.P. King, utusan Komisaris Pemerintah Mayor sekaligus sebagai peninjau dan pengantar pasukan Selaparang, mengundang keduanya untuk bertolak ke Singaraja guna mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah. Akhirnya pada 5 Juli 1846 Raja Karangasem tiba di Buleleng, dan Raja Buleleng tiba pada tanggal 9 Juli 1846. Keduanya lalu bersedia mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor untuk memperoleh penyelesaian politik dalam masalah perang ini, namun Gusti Ketut Jelantik tidak menyertai kedua raja tersebut dalam perjalanannya ke Buleleng. Dalam pembicaraan antara kedua raja dengan Komisaris Pemerintah, keuda raja dipaksa untuk menandatangani suatu perjanjian yang sudah dirumuskan terlebih dahulu di Batavia, sehingga dengan demikian jelaslah bahwa pembicaraan tersebut bukan merupakan suatu perundingan dari dua pihak yang memiliki kedudukan yang sederajat, namun lebih merupakan suatu “diktat” karena kemauan pihak pemenang dipaksakan terhadap pihak yang kalah. Pada tanggal 9 Juli 1846, Raja Buleleng dan Raja Karangasem menandatangani perjanjian tersebut bertempat di Buleleng. Ada dua perjanjian yang harus ditandatangani. Perjanjian pertama merupakan ulangan dari perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tahun 1841 dan 1843, sementara perjanjian yang kedua adalah suatu pernyataan bahwa sebagai akibat dari ekspedisi militer Belanda, yang baru berlangsung sekaligus berakhir dengan kekalahan mereka, maka kedua kerajaan tersebut menurut hukum perang menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini diatur juga masalah pampasan perang yang harus dibayar oleh kedua kerajaan tersebut kepada pemerintah Hindia Belanda. Raja Buleleng harus membayar tiga perempat dari jumlah ganti rugi perang, sedangkan Raja Karangasem hanya diwajibkan membayar seperempat jumlah tersebut. Akan tetapi perlawanan belum usai. Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik, yang sebenarnya merupakan jiwa utama perlawanan terhadap Belanda, tidak tinggal diam dan bertekuklutut. Setelah ternyata sebagai akibat tekanan militer pihak Belanda dengan persenjataannya yang kuat menyebabkan Buleleng tidak dapat dipertahankan, Gusti Ketut Jelantik pun memerintahkan agar pasukan Bali mengundurkan diri sampai ke salah satu tempat di timur kota Singaraja, yakni Jagaraga. Di sinilah nanti pertempuran melawan Belanda masih berlangsung sengit, hingga berlanjut dengan perang Kusamba dan diakhiri dengan Perdamaian Kuta 1849.

Ikhtisar dari “Bali Pada Abad XIX”, tulisan Ide Anak Agung Gde Agung, diterbitkan oleh Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1988.

Volkskunstvereeneging Sobokartti


“…….Volkskunstvereeneging Sobokartti,
perkumpulan sekaligus gedung kesenian di Semarang yang digagas oleh beberapa tokoh kebudayaan di awal abad ke 20, seperti KGPAA Mangkunagoro VII dan Ir. Thomas Karsten, merupakan wujud demokratisasi kraton-kraton Jawa berupa diijinkannya kesenian kraton diajarkan dan digelar di luar dinding kraton.
Pada awalnya kegiatan-kegiatan Sobokartti dilakukan di paseban Kabupaten Semarang dan di Stadstuin. Tapi pada 1930 berhasil dibangun gedung kesenian di Karenweg (sekarang Jalan Dr. Cipto), yang diberi nama Volkstheater Sobokartti. Gedung ini adalah rancangan Thomas Karsten, yang memadukan konsep seni pertunjukan Jawa yang biasa dipentaskan di pendopo dengan konsep pementasan teater barat.
Seiring berjalannya waktu, gedung sekaligus perkumpulan seni Sobokartti banyak mengalami dinamika dalam perjalanannya meneguhkan eksistensi seni, yang merupakan wujud diaspora kebudayaan kraton di pesisir utara Jawa.
Berdasarkan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Semarang Nomor 646/50 tanggal 4 Februari 1992 tentang: Konservasi Bangunan-Bangunan Kuno/ Bersejarah di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang, Gedung Kesenian Sobokartti ditetapkan sebagai bangunan yang dilindung Undang-Undang Monumen (Monumenten Ordonantie) Stbl. 1931 Nomor 238 juncto Instruksi Menteri Dalam negeri Nomor Pem. 35/1/7 tanggal 5 Februari 1960.
Sempat mengalami tidur panjang, Sobokartti kini mulai berbenah diri. Tak dapat disangkal, keberadaannya sungguh mewarnai perjalanan sejarah Indonesia, dan menjadi satu apresiasi tersendiri dari segi pelestarian seni mapun  segi arsitektural.
Melestarikan Sobokartti, menapak sejarah perjalanan keagungan seni …..”

 BERMINAT UNTUK MEMPEROLEH FILM DOKUMENTER SOBOKARTTI PRODUKSI MAHASISWA JURUSAN S-1 SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG ...?
Silakan hubungi langsung 0857-2588-4599, cukup membayar ongkos Rp 20.000,00 (belum termasuk ongkos kirim) untuk satu keping DVD....

Minggu, 12 Mei 2013

PROTESTANTISME (Resensi dari buku "Aera Eropa" Peradaban Eropa sebagai Penjimpangan Dari Pola Umum, tulisan Prof. Dr. J.M. Romein)




Dalam sebuah kehidupan, terkadang eksistensi dari sebuah lembaga manusia mengalami dinamika, pasang surut, yang selalu tidak dapat diprediksi. Ada kalanya lembaga-lembaga manusia seperti masyarakat, gereja, negara dan lainnya dihadapkan pada kecenderungan melemah maupun menegang. Melemah, karena tak ada lagi orang yang mengabaikan kaidah atau aturan lembaga itu. Menegang, jika kaidah-kaidah itu tidak tumbuh bersama-sama dengan perkembangan manusia, tidak memiliki daya hidup, sebab menghalang-halangi perkembangan. Akan tetapi kondisi semacam itu justru menjadikan manusia memahami adanya pelemahan dan penegangan serta dorongan untuk membangkitkan pengetahuan, dan memulihkan tujuan awal, tujuan yang dicita-citakan sebelum melemah atau menegang. Demikian halnya dengan lembaga agama. Ada banyak usaha-usaha yang dilakukan untuk memurnikan ajaran agama dari ajaran-ajaran yang dianggap melampaui ajaran pokok agama tersebut, atau kerap disebut bid’ah (“ketter” dalam bahasa Belanda, “katharos” dalam bahasa Yunani yang artinya “lebih murni). Misalnya Buddhisme sebagai pemurnian Brahmanisme, dan juga bukan berarti Islam dianggap sebagai satu usaha Nabi Muhammad untuk memurnikan Yahudi dan Nasrani. Dalam arti memulihkan monotheisme, barangkali hal itu benar adanya karena Nasrani telah dipengaruhi oleh paham Tritunggal atau Trinitas, dan juga karena kaum Nasrani memuliakan orang suci.

Pada agama Nasrani, kaum yang melakukan pembaruan disebut sebagai bid’ah. Dan dinamika naik turunnya pemurnian agama Nasrani diawali dengan sejarah perahiban Barat. Biara yang muncul di Syria dan Mesir, merupakan hasil dari tumbuhnya perkampungan para rahib, dan mode inilah yang ditiru di dunia Barat. Adalah seorang pemuda Italia yang pada abad keenam bermaksud menjauhkan diri dari hingar bingar dunia dengan mendirikan sebuah biara di atas Monte Cassino. Ia memberlakukan tiga aturan pokok, yakni harus hidup miskin, suci, dan patuh kepada pemimpin. Akan tetapi, semakin terkenal suatu biara, maka, justru semakin besarlah derma yang mengalir dari orang-orang kaya yang ingin diampuni dosanya kelak. Akibatnya, aturan pokok harus suci dan hidup miskinpun ditinggalkan, dan  gereja seolah menjadi cerminan gaya hidup duniawi yang menyerahkan segenap pekerjaan pada bawahannya. Namun pada abad kesepuluh, biara di Cluny kembali memberlakukan aturan yang semestinya, dan memengaruhi kehidupan keberagamaan Nasrani di Eropa. Paus Gregorius VII turut andil dalam gerakan pembaruan ini. Termasuk, yang ia inginkan adalah, agar kedudukan Paus berada di atas kedudukan raja atau kaisar. Sekali lagi, pada akhirnya, pihak gereja kembali terjun mengurusi perkara duniawi antara kekuasaan kaisar dan Paus. Praktis, gereja kehilangan kewibawaan. Banyak muncul gerakan bid’ah. Banyak yang menyeru untuk kembali pada gereja, namun banyak pula yang menyuarakan keadilan duniawi. Selanjutnya, pada abad XIII juga muncul gerakan pembaruan dari Fransiscus Assisi dan Dominicus yang mengembara sembari memurnikan dan mengajarkan agama, serta hidup dari derma. Akan tetapi apa yang mereka rintis sia-sia saja, karena tak lama, pengikut Franciscus ada yang membuka pabrik bir, dan pengikut Dominicus ditakuti karena dianggap sebagai pengejar kaum murtad dan pandai dalam menyihir.  Ketika waktu bergeser menuju Abad Pertengahan, pertentangan dalam gereja semakin meruncing. Pendeta-desa hidup sederhana bersama masyarakat, sementara pendeta di gereja menikmati kekayaan duniawi. Dan pada abad XIV-XV ketika banyak wabah penyakit dan kemiskinan, muncul pembaharu lain seperti Wycliff di Inggris dan Hus di Bohemen yang sama-sama bersuara tentang keburukan gereja, trutama schisma atau perjuangan menduduki kursi Paus. Berkat dalih “bid’ah”, Hus pun dihukum karena dianggap melakukan bid’ah. Konsili yang diselenggarakan gereja tidak ada yang membuahkan hasil. 

Pada tahun 1517, seorang pendeta Nasrani, Martin Luther, kembali berusaha memurnikan ajaran Nasrani, mengembalikannya ke jaman rasul atau apostel-apostel terdahulu. Pecahlah kaum Nasrani, dengan berbagai gerejanya seperti gereja Katholik, gereja Yunani Orthodox dan gereja Protestan-Luther. Perkembangan Lutheranisme selanjutnya tidak hanya menyoroti keburukan-keburukan dalam gereja Katholik saja, melainkan juga dengan keadaan politik tanah Jerman dalam abad ke-16.  Kaum tani yang merasa dirugikan dengan perkembangan ekonomi di Jerman kemudian berlindung di belakang Luther, sebab mereka mengharapkan Luther dapat menjadi penolong mereka. Luther  bukan seorang demokrat. Dalam melawan Kaisar yang beragama Katholik dan Paus, ia memanfaatkan bantuan raja-raja kecil di Jerman. Maka tidak mengherankan jika ajaran gereja Luther menyesuaikan diri dengan despotisme raja-raja kecil di Jerman.
Ada satu alat yang dipergunakan untuk melawan kekuasaan raja yang beragama Katholik, yakni apa yang dinamakan dengan Calvinisme (jiwa Eropa, bersifat kekotaan dan borjuis). Jika pemuka gereja mengharuskan penafsiran Injil berada di tangan mereka, tidak demikian halnya dengan Calvinis. Kaum Calvinis menghendaki Injil menjadi pegangan seluruh umat Nasrani, tidak terbatas pada pemuka gereja saja. Maka sebenarnya dampak dari gerakan mereka ini sangatlah menguntungkan, terutama dalam hal pengembangan baca-tulis. Gereja Calvinis tidak mengenal hirarki. Injil dapat ditafsirkan dengan bermacam cara, dan mazhab-mazhab atau aliran dalam Nasrani menjadi berkembang, seperti aliran Lutheranisme dan Calvinisme. 

Konsep “kesejahteraan akhirat” antara agama Katholik dengan Protestan (Lutheran) pun berbeda. Jika agama Katholik saat itu menyatakan keharusan menjalankan iman dan amal saleh, maka Luther dengan keras menentang adanya penebusan dosa lewat perantara derma kepada gereja. Luther menekankan bahwa untuk mencapai tujuan akhirat, maka yang diperlukan adalah iman. Calvinisme menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan akhirat, yang diperlukan adalah Rahmat Tuhan. Oleh sebab itu, mereka memperkenalkan ajaran “Pilihan”. Artinya bahwa, di awal penciptaan alam, Tuhan telah menentukan siapa yang terkutuk, siapa yang terpilih, siapa yang mendapat rahmat Tuhan, dan siapa yang tidak. Mereka menganggap, putusan Tuhan tidak bisa berubah. Sekali terkutuk, tetap terkutuk. Tidak mengherankan jika penganut aliran Calvinisme berasal dari kalangan Paura.

Pada abad 16-17, kaum Calvinis menjadi golongan yang termodern. Satu yang unik bahwa, negara Inggris dan Belanda yang menjadi basis Calvinisme, justru tidak banyak yang memeluk aliran tersebut. Di Belanda, sepertiga penduduknya masih memeluk agama Katholik. Kolonialisme yang terjadi sesudahnya juga berorientasi pada keuntungan perdagangan. Namun tak dapat dielakkan pula pertentangan cara berpikir antara kaum Katholik Feodal dengan Borjuis Protestan. Sebagai contoh, gereja Katholik selalu menganggap ialah gereja yang benar, sebab itu selalu bertugas menasranikan seluruh umat manusia. Tidak demikian halnya dengan penganut Calvinisme. Ajaran mereka tentang “pemilihan takdir Tuhan” membawa mereka terinspirasi pada kisah Perjanjian Lama, yang menobatkan bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan, sehingga orang-orang Inggris dan Belanda yang menganut Calvinisme pun selalu meninggikan dirinya di daerah tanah jajahan.

Dengan adanya gerakan Protestantisme, dan Calvinisme, maka yang terjadi selanjutnya, gereja Katholik berusaha memodernkan diri. Hal ini dilakukan untuk mengejar ketertinggalan mereka atas “sempalan Nasrani” lainnya. Gerakan pembaharuan gereja Katholik yang dinamakan “kontra reformasi” ini terjadi usai reformasi di daratan Eropa. Pelopor pembaharuan tersebut adalah Ignatius Loyola, yang mendirikan militia Christi (Tentara Kristus), sebagai pondasi mazhab Jesuit.  Mazhab ini mengkritik cara-cara kerahiban lama, bahkan pengikutnya diharuskan memegang peranan penting dalam masyarakat luas. Tidak mengherankan jika antara tahun 1650-1750, ilmu pengetahuan orang-orang Eropa diperoleh dari mazhab Jesuit tersebut.