Minggu, 26 Februari 2012

MENELISIK Wayang Kulit sebagai Seni Tradisi Adiluhung Nusantara








A.        Sejarah dan Perkembangan Wayang Kulit
            Nenek moyang bangsa Indonesia, beberapa puluh tahun sebelum masehi telah mengenal wayang, yaitu suatu bentuk pentas –sebagai sarana upacara keagamaan yang bersifat ritual- dengan menggunakan bayang-bayangan (wayang) dalam membawakan acara-acaranya. Sedang bangsa Hindu menemukan wayang sebagai suatu wadah untuk membawakan cerita Mahabharata atau Ramayana dalam menyebaluaskan ajaran agamanya. Kemudian terjadilah suatu perpaduan yang amat serasi antara kedua kebudayaan yang berasal dari Hindu dan yang asli dari Indonesia, sehingga sampai dewasa ini wayang dengan cerita dari Hindu itu (Mahabharata dan Ramayana) sanggup menyesuaikan diri dengan perkembangan sejarah bangsa Indonesia.
            Lambat laun seni pewayangan di Indonesia berkembang menurut selera dan kebutuhan masyarakat penggemarnya, sehingga terciptalah berbagai macam bentuk dan berbagai ragam ceritanya dari wayang Menak, wayang Suluh hingga wayang Wahyu di samping seni tradisional lainnya yang ada kaitannya dengan seni pewayangan tersebut.
            Seni pewayangan (termasuk di dalamnya seni pedalangan) merupakan salah satu bentuk seni budaya klasik tradisional bangsa Indonesia yang adhiluhung (bernilai tinggi), mengandung nilai hidup dan kehidupan luhur, yang dalam setiap akhir cerita atau lakon-nya selalu memenangkan kebaikan dan mengalahkan kejahatan. Hal itu, mengandung suatu ajaran, bahwa perbuatan baiklah yang akan unggul, sedang perbuatan jahat akan selalu menerima kekalahannya.

B.        Unsur-Unsur Seni dalam Pewayangan
            Seni pewayangan sedikitnya mengandung tujuh (7) unsur seni, yakni:
1.      Seni Drama
Melalui seni drama dapat kita ketahui dan hayati makna kefalsafahan yang dalam dari setiap cerita atau lakon wayang yang bersifat klasik seperti cerita Dewa Ruci dari epos Mahabharata, yang mengisahkan Werkudara ketika berguru pada Dewa Ruci mengenai ilmu kesempurnaan dan kemudian diperintahkan untuk masuk ke dalam badannya. Cerita tersebut memberikan gambaran, bahwa kejiwaan manusia lebih luas daripada dunia dengan segala isinya.
2.      Seni Lukis Atau Seni Rupa
Seni lukis atau seni rupa yang dapat dilihat dari bentuk wayang, sunggingan dan tata warnanya yang masing-masing warna mewakili simbol kejiwaan tersendiri, antara lain: bentuk wayang yang menunjukkan karakter atau watak dari tokoh wayang tersebut dengan sunggingan yang serasi, komposisi warna yang sempurna, sehingga tidak mengacaukan padngan dan menyelaraskan jiwa bagi mereka yang melihatnya. Sebagai contoh, untuk busana (kain) tokoh wayang Arjuna ataupun Kresna tidak akan disungging dengan corak Kawung ataupun Parang Rusak, karena kedua tokoh tersebut merupakan tokoh adhiluhung bagi seniman-seniman pencipta wayang.
3.      Seni Tatah (Pahat) Atau Seni Kriya
Seni pahat atau seni kriya yang dapat disimak dari wujud wayang yang dibuat dari kulit kerbau atau sapi atau kayu, melalui proses yang lama dan memerlukan ketekunan, rumit tapi rapi. Dalam seni pahat atau seni kriya tersebut terdapat beberapa jenis pahatan dan tatahan, antara lain; pahatan atau tatahan untuk pedalangan (wayang pedalangan) agar dalam pementasan dengan sinar lampu dapat nampak terlihat jelas ukirannya , dan ada pula pahatan atau tatahan kasar yang ditujukan untuk komersial.
4.      Seni Sastra
Seni sastra yang dapat didengar dari bahasa pedalangan yang begitu indah dan menawan hati. Bahasa pedalangan untuk daerah Jawa Tengah dan Jawa Timut pada umumnya digunakan bahasa menurut tata bahasa Jawa dengan menggunakan idiom Kawi yang menimbulkan rasa luhur dan angker, unggah-ungguh dalam penggunaan bahasa seperti ngoko, ngoko alus, tengahan, krama, krama inggil, kedatonan, kadewan, dan bahasa bagongan. Sementara untuk pergelaran wayang kulit ataupun wayang golek Sunda biasanya dipergunakan bahasa Sunda dengan penggunaan kata-kata Kawi yang dianggap sakral dan luhur. Tentunya Antawacana dan janturan pedalangan wayang golek di daerah Jawa Barat pada umumnya tidak sama dan tidak berpedoman pokok seperti standar pedalangan Jawa Tengah; Surakarta dan Yogyakarta.
5.      Seni Suara
Seni suara yang kita tangkap dalam setiap pergelaran wayang, dikumandangkan secara ngerangin oleh para wiraswara (penyanyi) dan swarawati (pesindhen) serta ki dalang, yang diiringi dengan perpaduan bunyi gamelan dengan alunan dan irama lagu yang begitu indah. Bagi seorang dalang, seni suara dengan vokal yang mantap merupakan syarat utama dalam mempertahankan mutu pergelarannya, selaras dengan nada atau irama gamelan karena suara tokoh wayang berpedoman pada seni karawitan. Semisal volume suara Prabu Duryudana lain dengan volume suara Arjuna, berbeda pula dengan nada (laras) untuk tokoh Yudhistira atau tokoh-tokoh wayang lainnya.
6.      Seni Karawitan
Seni karawitan yang dapat dinikmati dari lagu-lagunya yang etis dan estetis. Seni karawitan merupakan pengiring lagu yang harmonis, laras dan anggun untuk lakon yang dipergelarkan ki dalang. Peranan gamelan sangat penting dalam parkeliran atau pergelaran wayang, terlebih dengan tuntutan suasana khidmat, nges, harmonis serta luhur merupakan perpaduan dari peran gamelan, kandha (dialog) seta suluk (pengucapan ki dalang tentang situasi cerita) menjadi sangat penting. Sebagai contoh penggambaran suasana dari tiap adegan dalam pergelaran wayang kulit Purwa Jawa Tengah ialah pathet yang dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pathet nem (6) dengan iringan gamelan ahtara pukul 21.00-24.00; pathet sanga (9) dengan iringan gamelan antara pukul 00.00-03.00; pathet manyura antara pukul 03.00-06.00. Bagian pertama menggambarkan suasana netral, bagian kedua menunjukkan suasana yang agak tegang dan bagian ketiga menunjukkan suasana yang telah berubah menjadi dinamik yang menuntut penyelesaian.
7.      Seni Gaya
Seni gaya yang dapat dilihat dari gerak dan gaya wayang hasil pantulan sinar lampu atau blencong yang dapat memberikan nafas kehidupan dari setiap pelakunya. Dari seni gaya tersebut dapat kita lihat adanya berbagai macam gaya, yang dalam seni pewayangan disebut gaya sabetan, gaya seni rupa wayang dan gaya pergelaran.
a.      Gaya sabetan
Menunjukkan suatu kreativitas atau sanggit sang dalang dalam memainkan wayangnya.
b.      Gaya seni rupa wayang
Menunjukkan bentuk wayang yang berlainan ornament serta tinggi-rendahnya wayang, antara lain gaya Yogyakarta, gaya Surakarta, gaya Banyumas dan gaya Cirebon.
c.       Gaya pergelaran
Pada wayang kulit Purwa (Jawa), yang lazim disebut gagrak, antara lain: gagrak Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta), gagrak Kasunanan (Surakarta), gagrak Jawa Timuran, gagrak Banyumasan dan gagrak Cirebonan atau gagrak pesisiran (daerah pantai utara antara Cirebon dan Semarang)
8.      Seni Pertunjukan
Orang Jawa paling sedikit mengenal enam macam pertunjukan wayang, antara lain:
a.      Wayang Purwa
Wayang Purwa merupakan salah satu pertunjukan wayang yang paling terkenal dan masih sangat digemari sampai saat ini. Tekniknya telah banyak berubah dari suatu kesenian rakyat menjadi kesenian Kraton. Jalan cerita Wayang Purwa diambil dari Serat Rama (Ramayana) dan Bharatayudha (Mahabharata). Bentuk wayang ini adalah pipih berdimensi dan dibuat dari kulit yang ditatah, dengan lengan yang dapat digerak-gerakkan. Wayang digerakkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan bayangan pada suatu layar putih yang dipasang di depan dalang.
b.      Wayang Gedhog
Wayang Gedhog juga menggunakan boneka-boneka yang dibuat dari kulit yang pipih dan ditatah, tetapi jalan cerita yang diambil berasal dari epos panji yang berasal dari daerah Asia Tenggara. Wayang ini kurang digemari oleh orang Jawa, meskipun teknik permainannya hampir sama dengan ringgit purwa.
c.       Wayang Golek
Wayang Golek dimainkan dengan boneka-boneka kayu dalam bentuk tiga dimensi, jenis ini lebih disukai daripada wayang Gedhog, dan cerita-ceritanya diambil dari cerita Menak.
d.      Wayang Klithik atau Krucil
Wayang Klithik atau Krucil menggunakan boneka-boneka kayu yang berbentuk pipih, dengan lengan-lengan yang terbuat dari kulit. Sumber cerita didasarkan pada cerita-cerita Panji. Seni ini sampai sekarang sudah hampir tidak pernah lagi terdengar beritanya.
e.       Wayang Beber
Wayang Beber adalah suatu bentuk pertunjukan wayang yang hampir hilang. Wayang beber ini teknik pertunjukannya berfokus pada seorang tukang cerita yang menceritakan secara panjang lebar dongeng dari gambar-gambar yang ada pada sehelai kain, kulit atau kertas panjang yang digulung di kedua sisinya pada dua batang kayu. Pada bentuk pertunjukan ini juga ada orkes gamelan yang mengiringinya.
f.       Wayang Madya
Wayang Madya adalah suatu kategori dari semua jenis pertunjukan wayang berdasarkan syair-syair kepahlawanan abad ke-19, atau berdasarkan kreasi baru yang mengisahkan peristiwa-peristiwa di abad 20. Ada yang berwujud wayang Kuluk, wayang Dupara, wayang Suluh (sejarah kontemporer Indonesia, termasuk revolusi Indonesia) dan wayang Wahana (mengenai kehidupan dan masalah sosial sehari-hari).







Sumber:
Menyimak Budaya Jawa Tengah (1995), Depdikbud Provinsi Jawa Tengah
Pratinimba Adhiluhung (1988), Penerbit Djambatan

Kamis, 16 Februari 2012

Cerpen: SERUAK LINANGAN MALAM


SERUAK LINANGAN MALAM




            Ketika diingat, substansinya sebagai sebuah kenangan menjadi suatu kewajaran jika direnung dan diputar ulang. Ketika dirasakan, substansinya sebagai pemendam perasaan seringkali menjatuhkan buliran bening embun kelopakku. Ketika dibicarakan, substansinya sebagai pengalaman tak pelak menyendatkan bibir dan mengelukan lidah. Tidaklah berlebihan jika memang itu yang terjadi. Tidaklah mengherankan jika itu semua saling bersinergi menggoyahkan nurani. Sebab satu saat terbaik dalam hidupmu tak pernah kembali tuk kali kedua. Sebab saat termanis dalam putaran roda percintaanmu acapkali menjadi nestapa. Sebab saat terindah dalam sumringahmu sering mengguratkan bimbang yang teramat dalam.
            Lantunan gemericik hujan, atmosfir malam yang mendayu, tatapan nanar langit gelap yang menggantung seolah selalu terpampang jelas tiap aku menggenggam kala di awal tahun seperti saat ini. Sementara memori itu berjalan dua tahun silam, namun rasanya baru saja kujalani dua hari lalu. Hela nafas hampirlah setiap detik kuhembuskan dibanding harus menitikkan titik penyesalan. Bukannya jengah disangka lemah atau gelisah dipandang resah, tapi bagiku hidup harus terus melangkah tanpa mengingat itu-itu saja yang menjadikanku lelah.
            Adalah dua tahun lalu, terhitung sejak rembulan menggantung senyumnya di awal masa, di saat itu pula aku menjawab terpaan badai kemunafikan yang sempat mengguyurku di satu masa sebelumnya. Ia hadir. Ia hadir di waktu yang tepat. Ia datang dan membuat tenang. Ia tiba dan menyumbang rasa suka. Ya, betapapun gulanaku saat itu, sorot mata temaramnya selalu ada menyokongku. Betapapun galau jiwa labilku, suara tenangnya selalu membelai lembut remuk dadaku. Segala rasa kuluruhkan di pundaknya. Seluruh air mata terusap olehnya. Kenangan demi kenangan berjalan beriringan. Jujur saja saat itu aku tidak berpikir jika apa yang telah dilalui berhasil membekas jelas hingga detik ini. Bekas yang hanya menimbulkan kedukabahagiaan semata.
            Mengingatnya lagi... Ah, fatamorgana itu terkembang bebas sekarang. Dalam sekejap saja, senyum getir menyapa lekukan bibir. Kalau boleh kuungkap, ia sering sekali menjemputku untuk bergegas bersekolah di pagi sunyi. Sesudahnya, ia mengantarku kembali ke kediamanku dengan segenap rasa tanggung jawabnya. Tak berhenti sampai di situ saja, di malam-malam yang sepi ia juga kerap berdua-duaan denganku. Hey, akupun demikian. Tebayang sekali wajah sakitnya yang ia balut dengan senyuman ketika menyambut kedatanganku di berandanya. Kami senyum-senyuman. Kami malu-malu saat itu. Kuncup yang sempat layu di hidupku tanpa sadar telah berkembang dengan cantiknya setelah tersiram gelora kasih asmara. Semua ini karenanya.
           
            Detik berjalan menghinggapi hari dan mengubahnya menjadi menit. Segera sesudahnya ia bekukan menjadi jam dan mewarnai semuanya dengan gurat-gurat kesenangan. Aku dan dia, Prasidya namanya, seolah masih saja dihinggapi bakal biji cinta monyet ala remaja. Awet adem kalau kata teman. Tanpa bermarah-marahan.
            “Linda... Linda... Pacaran tanpa marahan itu ngga seru ah!”
            “Biarin yaah, yang penting kan he’s always be the first in my deepest love.Wekss!”
            Yah itulah sanggahanku tiap kali sindiran-sindiran itu datang. Seberapa pahitnya cibiran itu tentu tak sebanding dengan rasa sayangku padanya. Sikap jantannya sebagai seorang pria yang dibalut kelembutan sikap dan halusnya pekerti. Tutur sopan dan gestur ramahnya terhadap siapa saja yang berada di dekatnya. Barangkali yang terakhir ini yang acapkali membikin radang sebab mesti menggilas rata gejolak cemburuku padanya.

            Ketika desiran angin membelaiku, seperti itu pula aku mengenal pribadinya. Sejauh itu pulalah alam menyaksikan kami berdua. Alam membawa kami pada satu situasi yang memberi kesejukan dan kedamaian batin. Semusim berlalu , semusim yang lain menjemput kami untuk duduk bersama di tepian hari. Romansa kami tak kunjung pudar, namun justru begitu kuat mengakar.
            Adalah keindahan semesta yang kerap dijadikan momen romantika gadis dan pria yang saling mencinta. Keindahan itu turun sedikit saja. Keindahan itu memercik sejenak lalu. Ia dan kami sudah bukan barang asing lagi. Sudah terlalu akrab di telinga dan di susuran perjalanan kehidupan kami. Ia datang dengan embunnya, dan mengakhirkan dengan basahnya. Gemericiknya selalu membawa nuansa tersendiri yang menjadikan hangat sebagai penebusnya.
            Malam ini, seperti biasa aku menepuh studi di sebuah lembaga kursus yang letaknya sedikit jauh dari rumahku. Hari-hari biasa aku sering mengendarai sepeda motor untuk mencapainya, tapi hari ini aku memilih angkutan umum sebagai sarananya. Tak ada yang terlalu istimewa dengan kursusku malam itu. Hanya saja ada yang membekas dan sulit terlupa ketika gerimis menderas bak air mata dewa dewi di kahyangan sana.  Sontak, fokusku terpilah. Terpecah dalam dua arah. Antara apa yang kutuliskan dengan apa yang aku pendam. Saat itu hujan turun begitu derasnya, dan usai tentorku melangkah keluar kelas, tanpa pikir panjang kubuka situs jejaring sosial lewat komputer yang tersedia di sana. Aku gundah. Aku gelisah. Aku memikirkan “sang penjerat hati”ku yang juga sama-sama berkursus namun di tempat yang berbeda. Aku takut dia terlalu lama terjebak dalam hujan. Aku tak mau ia sakit, sebab itulah saat-saat menjelang gelaran ujian nasional. Seketika gundahku runtuh manakala ia menjawab chatku dan memastikan kondisinya;bahwa ia baik-baik saja. Aku teramat menyayanginya dan terlalu memikirkannya. Hingga aku tak ingin melewatkan begitu saja apapun yang melintasi waktunya tanpa ada balas kasihku kepadanya.
            Keindahan semesta berupa gemercik embun lelangitan tak hanya menyapa kami saat itu saja. Jujur, kuakui, “sang dewa”ku bukan tipe anak yang selalu rajin menunaikan penugasan guru-guruku. Di tengah proses kedewasaannya ia musti berdampingan dengan sosok yang mampu memapahnya. Hey, jangan salah sangka dulu, bukan berarti aku menganggap lebih dewasa. Bukan. Hanya saja aku lebih care terhadap apa-apa yang diberikan atau ditugaskan. Termasuk malam itu. Hujan sempat menjatuhkan titik-titik sejuknya ke bumi Ilahi ini. Kebetulan esok adalah deadline pengerjaan tugas mata pelajaran seni rupa. Punyaku sudah rapi terjajar dengan apik di sudut kamarku. Punyanya? Itulah yang sedikit membuatku geregetan dengannya. Bayangkan, ia masih santai-santai saja tanpa beban padahal esok adalah hari yang menentukan posisinya; naik kelas atau tinggal kelas. Kukirim pesan singkat, kuhajar dia dengan paksaan-paksaanku, dan akhirnya  ia menuruti apa yang kumau. Segera sesudahnya ia menjemputku, kutemani ia ke gerai yang menjual perkakas seni rupa. Saat itu cuaca sangat sejuk. Sedikit becek di sana-sini. Hujan sudah tak nampak lagi. Candaan kami menghangatkan perjalanan kami. Simfoni yang harmoni antara alam dengan hati seolah terjalin selaras malam itu. Tawaku, tawanya juga. Senyumku, senyumnya juga.
            Kecantikan semesta yang tercermin lewat tetesan curahannya juga kembali mengguratkan kisah antara aku dengan “sang arjuna”ku. Kembali, dan lagi-lagi, yang terjadi selalu ketika tugas-tugas menghampiri kami. Malam itu ia memintaku ke rumahnya sebab ada pekerjaan rumah yang ia tak mampu menyelesaikannya sendiri saja. Akupun menyambanginya, dan aku bersalam hangat pula dengan ibu, ayah, dan kakaknya. Ya, kami sudah mengenal satu sama lain dengan baik, jadi tidaklah ada yang perlu dikhawatirkan. Begitu asyiknya kami bersinergi dalam menyelesaikan rentetan tugas makalah ini. Ibundanya yang penuh perhatian itu menyuguhkan kudapan buat teman bekerja kami. Satu hal yang kuingat, ia begitu bersemangat memetik senar-senar gitarnya untuk menemaniku yang lebih asyik berkutat menggoyangkan jari jemariku di atas papan keyboard komputernya. Aku juga menggerutu karena suara dan musik yang ia mainkan tidak sepadan. Fals. Aku juga dibuatnya kesal karena komputer yang sejenak kutinggal tiba-tiba berubah menjadi tampilan jejaring sosial miliknya. Hah! Usil dan nakalnya ia. Tapi .. ya, itu jugalah yang membuatku kangen sekali jika sehari saja tak berjumpa. Kedekatan kami malam itu lagi-lagi ditemani rintik hujan dengan iringan petir bernada sopran. Aku tak begitu mempermasalahkan sebab aku bisa pulang berlari sebab jarak antara rumahku dan rumahnya hanya berkisar sebelas rumah saja. Usai kuselesaikan makalahnya, aku bermaksud undur diri kembali ke kediamanku. Bagiku berlari saja sudah cukup menembus hujan malam itu. Kira-kira berkisar pukul setengah sebelas. Akan tetapi niatku itu justru mengundang reaksi keras darinya dan -terutama- ibundanya. Ia apalagi. Ia bersikeras mengantarkanku pulang, dan ibunya berkukuhhati membawakan kami pelindung klasik saat hujan datang; payung. Tentu supaya kami stay dry di jalanan. Maka jadilah kami malam itu bagai para aktor dan aktris film Bollywood yang kerap beradegan romantis di tengah lebatnya hujan. Senyum manis dari bibirnya adalah penutup jumpaku dengannya malam itu. Senyuman yang selalu meluluhkan segenap lelah dan meluruhkan sejuta amarah.

            Malam ini pun gerimis lagi. Saat akhirnya aku berketetapan hati untuk menyudahi tulisan ini. Aku dan dirinya kini tak lagi menyirami kuncup-kuncup jiwa kami. Aku dan dirinya berjauh-jauhan dalam dua tahun belakangan. Barangkali ia tersungkur di hadapan persona yang lebih memesona. Buliran gerimis tak hanya mengalir dari surgawi, tapi juga nampak di pelupukku. Seruak linangan malam ini ...