Sabtu, 04 Januari 2014

Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian (Bahan Diskusi Sejarah Militer) - 4 (Habis)



Ada banyak contoh usaha membangun perdamaian pascaperang tanpa kehadiran kesepakatan damai formal. Sebagai contoh, setelah kemenangan militer di satu pihak, atau ketika pertempuran mencapai jalan buntu atau mereda perlahan dan masuk ke dalam keadaan genting berupa kekerasan sporadis yang dilokalisasi (Miall, Hugh, 2000:298). Berikut penulis kutipkan enam misi PBB dalam pembangunan perdamaian pasca-penyelesaian dari tahun 1988-1998.

Dari sini dapat dilihat, jika kesepakatan perdamaian merupakan poin dimana  konflik diakhiri secara formal, proses penyelesaian terhadap akar penyebab merupakan hal penting dalam fase kesepakatan pasca-konflik atau fase pasca-penyelesaian. Pada tahun 1960-an, ada tiga jenis pendekatan untuk perdamaian, yakni:
1.      Usaha menjaga perdamaian yang ditujukan guna menghentikan atau mengurangi manifestasi kekerasan konflik melalui intervensi kekuatan militer dalam sebuah peran penengah antar pihak yang bertikai
2.      Penciptaan perdamaian yang ditujukan pada rekonsiliasi politik dan sikap strategis melalui mediasi, negoisasi, arbitrasi, dan konsiliasi terutama pada level elit
3.      Pembentukan perdamaian yang tertuju pada implementasi praktis perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pembangunan sosial ekonomi (Miall, Hugh, 2000:299).


Sejatinya, peperangan merupakan hal yang wajar karena insting manusia untuk mempertahankan dirinya atau bahkan insting untuk mempertahankan hidup dan menghancurkannya. Akan tetapi jika peperangan terus berlanjut dan tidak menemukan titik damai, pun menyebabkan keresahan banyak kalangan, alangkah bijaksananya jika kepentingan-kepentingan yang menungganginya saling mengalah, dan berdamai..

Kepustakaan

Bunbonkarn, Suchit. 1990. Militer Dalam Politik di Muangthai 1981-1986. Penerjemah: Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
Scahill, Jeremy. 2010. Blackwater: Membongkar Keterlibatan Tentara Bayaran dalam Invasi Militer Amerika Serikat. Penerjemah: Aang Muljanto, Winny Prasetyowati. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Diterjemahkan oleh Th. Sumarthana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Habib, A. Hasnan, et.al. 1994. Perang, Militerisme dan Tantangan Perdamaian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.
Miall, Hugh, et.al. 2000. Resolusi Damai Konflik Kontemporer. Diterjemahkan oleh Tri Budhi Sastrio. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Nasution, Dahlan. 1988. Perang atau Damai dalam Wawasan Politik Internasional. Bandung: CV Remadja Karya. 

 

Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian (Bahan Diskusi Sejarah Militer) - 3



Dari perbandingan antara Perang Teluk dengan beberapa perang yang ada di negara-negara ASEAN, dapat diambil simpulan bahwa Perang Teluk merupakan perang yang berlangsung karena faktor ekonomi, dimana perebutan sumber daya alam minyak menjadi pokok utamanya. Sedangkan perang-perang di ASEAN berlangsung karena upaya untuk mempertahankan keutuhan masing-masing negara. Inilah mengapa terdapat pembedaan skala perang, jumlah personel militer hingga dana untuk militer itu sendiri. Mengapa? Tentu karena disesuaikan dengan luas wilayah dan jumlah penduduknya.
            Setelah kita kupas seluk-beluk tentara, elit-elit militer di berbagai negara termasuk perang-perang yang pernah berlangsung dengan kepentingan yang berbeda, kini penulis mencoba memaparkan analisa perbandingan upaya perdamaian di dunia internasional. Ada hal menarik yang patut dikomparasi lebih lanjut dalam tantangan perdamaian tersebut. Mengapa? Karena perdamaian banyak sekali menyangkut faktor serta kondisi-kondisi yang ada di dalamnya, termasuk masalah moral sebagai sarana untuk menciptakan perdamaian. Ada yang diusahakan melalui pengurangan persenjataan guna menghilangkan atau mengurangi senjata-senjata yang dibuat atau akan dibuat oleh manusia (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Pengurangan senjata atau dalam istilah asing disebut disarmament dibedakan atas dasar disarmament umum dan disarmament lokal; disarmament kualitatif dan kuantitatif. Pengurangan persenjataan ada yang berujung baik (biasanya disebabkan adanya perjanjian antara kedua belah pihak seperti antara Amerika Serikat dan Kanada pada tahun 1817 dan Perjanjian Pengurangan Persenjataan Angkatan Laut di Washington tahun 1992 antara Amerika Serikat dan Inggris Raya dengan Jepang, Perancis, dan Italia) , dan ada pula yang berujung kegagalan (Nasution, Dahlan, 1988: 187). Selain dengan menggunakan pengurangan persenjataan, perdamaian juga biasa dilakukan dengan penyelesaian yudisial, yakni suatu tindakan yang dilakukan terhadap sengketa politik internasional melalui peradilan, misalnya melalui Mahkamah dan Peradilan Internasional yang dibentuk setelah Perang Dunia II (Nasution, Dahlan, 1988 : 192). Tentunya keseluruhan bentuk perdamaian dilakukan dalam keamanan bersama yang ideal dan realistik. Dikatakan ideal jika satu kelompok negara yang bersatu dalam dua blok yang satu sama lain saling bertentangan. Dikatakan realistik jika keamanan bersama merupakan gabungan negara-negara yang bukan saja terdiri atas dua blok melainakan juga beberapa kelompok lainnya di luar kelompok negara tersebut (Nasution, Dahlan. 1988: 190-191). Berikut penulis kutipkan model keamanan bersama yang ideal dan realistik dalam bentuk diagram.
Selain perdamaian menggunakan pengurangan senjata, ada pula perdamaian yang menggunakan jalan akomodasi yang sering disebut diplomasi. Tugas diplomasi antara lain:
1.      menentukan sasaran-sasarannya sesuai dengan kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
2.      menilai sasaran-sasaran dari bangsa-bangsa lain dan kekuatan aktual serta potensial yang tersedia untuk mencapai sasaran itu
3.      harus menetapkan sejauh mana tujuan-tujuan yang berbeda-beda ini dapat dibandingkan satu sama lain
4.      harus mampu mempergunakan cara yang paling efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya itu (Nasution, Dahlan, 1988: 211).


Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian (Bahan Diskusi Sejarah Militer) - 2



Kasus Perang Teluk : Faktor Ekonomi sebagai Kekuatan Pendorong
            Perang Teluk dimulai dengan invasi tentara Irak ke Kuwait dengan dilatarbelakangi pengambilan provinsi secara tidak sah. Dasar yang dipakai Irak adalah prinsip keadilan dan kesatuan nasionalnya sebagai bangsa. Amerika dan sekutunya datang membela atas nama keadilan, yakni untuk menolong bangsa kecil yang lemah dari segi militer dari serbuan negara yang kuat. Dalam membela Irak, Amerika Serikat begitu bersemangat sehingga mau melibatkan ratusan ribu personel militernya serta dana bermiliar dolar. Ada apa dengan semangat ini? Tentu sangatlah beralasan dan alasan utamanya terletak pada penguasaan global terhadap sumber energi yang paling penting di dunia ini: minyak bumi. Jika Irak berhasil menguasai Kuwait maka kepentingan ekonomi negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang akan sangat terancam. Aliansi antara dua kekuatan adidaya yakni Amerika Serikat dan Rusia pun dikibarkan dalam  usahanya mencari bantuan dana karena malfungsi Uni Soviet sebagai kekuatan penyeimbang. Inilah yang menyebabkan pecahnya Perang Teluk. Pada kenyataannya Saddam Husein berupaya mengalihkannya menjadi perang agama karena negara-negara sekutu yang menyerang Irak kebanyakan negara-negara Kristen atau perang nasionalisme Arab akan tetapi mengalami kegagalan karena kepentingan ekonomi negara-negara Arab yang berlainan sehingga memiliki kedekatan yang erat dengan negara-negara industri Barat. 

Militer di Negara-Negara ASEAN
            Penulis akan mencoba memaparkan beberapa perang di ASEAN yang ditarik hingga tahun 1988 sebagai berikut.

Dari tabel tersebut tampak bahwa di Asia Tenggara, 70% dari seluruh perang merupakan perang internal. Negara yang paling banyak mengalami peperangan adalah Filipina, sementara yang paling damai adalah Singapura dan Brunei Darussalam, kedua negara terdamai di ASEAN. Berikut tabel dana untuk militer di ASEAN hingga tahun 1986. Dari sini akan dilihat betapa Indonesia adalah negara yang paling banyak mengeluarkan dana untuk mesin perangnya karena Indonesia memiliki daerah yang paling luas dan penduduk yang paling banyak untuk dijaga.
 

Terakhir, di ASEAN, mari kita tinjau jumlah personel militer di ASEAN hingga tahun 1987. Berikut tabel yang menjelaskan perbedaan jumlah tersebut.