Selasa, 02 Mei 2017

Nafas Taman Siswa di Tubuh Pendidikan Indonesia

Kongres Taman Siswa (ist)


MENJELANG akhir abad XIX, sejumlah reaksi keras muncul di negeri Belanda sebagaii respon atas tanam paksa (cultuurstelsel) yang berlangsung di Hindia Belanda pada 1830-1870. Van Soest, dalam Anne Booth, menulis, “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya”.

Kritik keras atas cultuurstelsel dilontarkan kepada sang ratu. Anggota parlemen W.R. van Hoevel misalnya, dalam tulisan berjudul “Slaven en vrijen onder de Nederlandsche wet”, ia mengungkap kelaparan di Jawa pada tahun 1845. Selain itu tulisan Edward Douwes Dekker “Max Havelaar” yang menceritakan dengan rinci penderitaan rakyat akibat penindasan penguasa-penguasa kolonial dan bumiputera.

Tjahjono Rahardjo dalam Schouwburg Javaanse Sobokartti dan Visi Indonesia Merdeka menulis, artikel “Een Eereschuld” yang ditulis Conrad Theodor van Deventer dan tulisan-tulisan redaktur utama Samarangsche Courant, Pieter Brooshooft, membuka mata publik tentang nasib buruk bangsa bumiputera di bawah penjajahan Belanda. Ia memperkenalkan stilah “ethische politiek”  pada 1901 dalam pamflet yang ia tulis dalam harian De Locomotief, “De ethische koers in de koloniale politiek”.

Pada tahun 1901 pula, Ratu Wilhelmina menyerukan dimulainya Ethische Politiek atau Politik Etis, yang dikenal dengan slogan “irigasi, imigrasi, edukasi”. Satu hal yang luput dari kebijakan tersebut, dengan "balas budi" berupa pendidikan, maka sesungguhnya Belanda berlai ke mulut singa. Sebab, sejak dicetuskan pentingnya pendidikan bagi rakyat bumiputra, berturut-turut tumbuh kesadaran akan kebangkitan nasional. Salah satu pelopornya adalah Budi Utomo yang berdiri pada tahun 1908. Pada masa ini, pergerakan nasional melatarbelakangi sejumlah gerakan-gerakan kritis kaum bumiputra termasuk pendirian sejumlah organisasi.


Ratu Wilhelmina

Bagian penting dari pergerakan nasional Indonesia adalah pendidikan. Pendidikan berperan penting untuk menanam semangat kebangsaan di dalam jiwa para pemuda, sekaligus sebagai dasar dalam perjuangan. Banyak perkumpulan yang mencetuskan hal ini dalam programnya, seperti Budi Utomo, Syarikat Islam, Muhammadiyah, serta Studieclub dan organisasi sosial revolusioner dan non koperasi.

Pemerintah Hindia Belanda melihat pendidikan yang dicetuskan kaum bumiputra sebagai ancaman perlawanan. Maka semenjak tahun 1932 pemerintah memberlakukan pengawasan ketat terhadap "sekolah liar" (wilde scholen) dan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan perlawanan.

Salah seorang figur yang memiliki integritas tinggi dalam memajukan pendidikan bagi kaum pribumi adalah Suwardi Suryaningrat. Ia menciptakan satu sistem pengajaran yang lahir dari kebudayaan Jawa Kuno dan Indonesia. Ia mempelajari soal-soal pedagogik di Belanda.

Suwardi Suryaningrat, yang di kemudian hari lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantoro, ingin memalingkan orang-orang Indonesia dari pengajaran Barat yang semata-mata bersifat intelektual dan materialistia menjadi pengajaran yang bernafas kebudayaan khas Jawa dan Indonesia. Namun demikian bahan-bahan pengajaran itu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan Barat.

Untuk mewujudkan impian tersebut, Ki Hajar mendirikan lembaga pengajaran (onderwijs-instituut) Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Lembaga tersebut menjadi pintu masuk ilmu pengetahuan Barat yang terlebih dulu diuji dengan kebudayaan asli Indonesia. Ki Hajar tidak menghendaki asimilasi atau asosiasi, tetapi untuk memperkaya kebudayaan sendiri dengan nilai-nilai kebudayaan asing yang sudah dinasionalisasi.



Baginya, pengajaran harus meliputi dunia pikir (gedachtenwereld) dan dunia rohani (geestewereld) sendiri, dengan ajaran cinta akan kebudayaan dan bahasa sendiri, dan yang baik di dalam kebudayaan lain ditambahkan ke kebudayaan sendiri. Ki Hajar juga memandang penting pembentukan kepribadian dan perkembangan kesusilaan, kerohanian dan jasmaniah. Ia juga menolak subsidi dari pemerintah. Dia ingin bebas dalam pekerjaannya. Dia ingin rakyat Indonesia mendirikan sekolahnya sendiri.

Visi Ki Hajar ditentang oleh pemerintahan De Jonge. Pada 1 Oktober 1932 dikeluarkan ordonansi pengawasan atas pengajaran swasta yang tidak mendapat subsidi (Toezichtordonantie op het particuliere ongesubsidieerde onderwijs). Atas peraturan tersebut, kaum bumiputra melakukan perlawanan. Dukungan kepada Ki Hajar antara lain datang dari organisasi wanita ISTERI SEDAR.  Majelis Guru-guru (Onderwijsraand) Perguruan Kebangsaan Indonesia di Batavia dan Pasoendan cabang Palembang memutuskan bersikap sama seperti Taman Siswa.

95 tahun berselang, Sekolah Taman Siswa kini berpusat di Balai Ibu Pawiyatan (Majelis Luhur) di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta, dan mempunyai 129 sekolah cabang di berbagai kota di seluruh Indonesia.

Prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru dikenal sebagai Patrap Triloka. Konsep ini dikembangkan oleh Suwardi setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala). Patrap Triloka memiliki unsur-unsur ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan").

Sumber:

Booth, Anne,dkk (sunt). Sejarah Ekonomi Indonesia, (Jakarta: LP3ES,1988).
J.M. Pluvier, Ikhtisar Perkembangan Pergerakan Kebangsaan di Indonesia tahun 1930-1942.
Rahardjo, Tjahjono, Schouwburg Javaanse Sobokartti and Visi Indonesia Merdeka (Semarang, 2011).

Mengenang Semarang


Gereja Blenduk, ikon Kota Lama Semarang

Mahsyur sebagai Kota Perdagangan

Keberadaan pelabuhan Semarang ternyata sudah diketahui sejak zaman Hindu, bahkan pada masa itu Semarang meupakan bandar utama dari kerajaan Mataram Kuna (732-824) dengan pusat pemerintahan berada di Medang, Jawa Tengah. Pelabuhan Semarang saat itu berlokasi di kaki bukit Candi, dengan pelabuhan Bergota sebagai pelabuhan yang terkenal kala itu. Bagi kerajaan Mataram Kuna, pelabuhan Bergota memiliki arti penting terutama dalam pengembangan ekonomi kerajaan.

Perkembangan kota Semarang sebagai kota pelabuhan selanjutnya terkait erat dengan perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Sekitar tahun 1412 di Semarang telah terbentuk komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedung Batu atau Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah ini dipilih sebagai tempat bermukim komunitas Cina karena daerah ini merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan bandar Semarang.

Galangan kapal Semarang juga pernah membuat kapal-kapal besar yang digunakan untuk menyerang Portugis. Kapal-kapal tersebut dibawa oleh Yat Sun (Pati Unus) bersama Kin San, seorang Muslim Cina peranakan lain yang juga ipar Raden Patah pada tahun 1509.

Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Perjanjian ini kemudian membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar Semarang, ditandai dengan banyak didirikannya onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya yang menarik minat para pedagang untuk mencari penghidupan di Semarang yang dari berbagai etnis dan daerah.

Selanjutnya pada abad XVIII tepatnya pada tahun 1743, ketika Belanda memindahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama, aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi pusat perdagangan saat itu. Maka kemudian berkembanglah dusun-dusun sebagai tempat menetap para pedagang yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Kampung Darat (Ndarat) dan Kampung Ngilir.

Pada abad inilah diketahui juga bahwa Semarang merupakan kota bandar, demikian halnya dengan sisi sebelah timur Semarang yakni kota Torrabaya atau Terboyo yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu menyusuri pantai timur Semarang.

Tempat Berpadu Budaya
Situasi di sekitar jembatan Berok

Hubungan antaretnis di Semarang pada kurun waktu antara 1708 hingga 1741 tergolong sebagai simbiose kehidupan beberapa etnis yang unik. Masyarakat Jawa dan etnis Melayu lainnya yang mayoritas berada pada tingkat ekonomi kelas bawah sebagai pekerja, pedagang kecil, dan nelayan. Komunitas Cina kelas atas yang sudah lama memainkan peran ekonomi di Semarang, sedangkan masyarakat Cina kelas bawah sebagai pekerja dan hadirnya VOC, yang merupakan etnis Eropa yang mendominasi perdagangan dan mulai memegang kendali pemerintahan.

Wujud akulturasi yang paling harmonis bisa dilihat dalam perayaan dugderan yang dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Cina dan Arab. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan.

Dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi.

Bentuk lain dapat disaksikan pada arsitektur Masjid Sekayu (pada mulanya bernama Masjid Taqwa), yang di dalamnya terdapat lukisan atau tulisan Cina yang berada di kerangka atap (blandar) masjid. Sampai sekarang lukisan tersebut masih bisa dilihat dengan cara memanjat ke atap dan membuka eternit.

Masjid ini diidentifikasi lebih tua dibanding Masjid Demak, tentu tetap dengan arsitektur masjid kuno lainnya yang ditopang empat sokoguru berbahan dasar kayu jati. Konon masjid ini dibangun oleh Mbah Kamal dan Mbah Dargo, arsitek yang diutus Kesultanan Cirebon untuk membangun Masjid Demak. Akan tetapi dilihat dari ornamen Cina pada masjid tersebut, kemungkinan besar Mbah Kamal dan Mbah Dargo ini sebetulnya juga seorang Cina Islam.

Pada abad XX, berdiri Volkskunstvereeniging Sobokartti di Karrenweg (Dr. Cipto) Semarang atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember 1920. Pertemuan pembentukan Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A. Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari keraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar “De Locomotief”. Di awal pendiriannya, para anggota perkumpulan seni Sobokartti yang berjumlah ratusan berasal dari berbagai kalangan di Semarang: Jawa, Belanda, dan Cina.

Pembangunan di Masa Hindia Belanda 

Alun-alun Semarang

Pada abad XIX, ketika kegiatan perdagangan semakin ramai dan semakin memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, dibangunlah dermaga oleh pemerintah kolonial. Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah penyusunan perencanaan pembangunan kanal baru pada tahun 1854.

Pelaksanaan pembangunannya pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan kanal baru sepanjang 1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran sungai Semarang yang terlalu panjang. Francois Valentijn dalam tulisannya tahun 1825 menyatakan,

Semarang adalah salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Jawa yang didiami oleh pedagang-pedagang kaya. Di sana banyak orang dan kebanyakan dari mereka pandai berdagang. Tempat perdagangan adalah sebuah tempat di mana hampir segala macam barang diperdagangkan dan merupakan sebuah tempat yang luas dan sangat padat. “Kasteel” tua telah dirubuhkan pada tahun 1824 dan digantikan oleh benteng modern yang bernama “Prins Van Oranye” atau “Poncol”.

Pembangunan yang digalakkan pemerintah Hindia Belanda pada fase Pasca Benteng Kota (1824-1866) memperlihatkan keseriusan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kota Semarang. Di era ini bisa tergambarkan bahwa kota Semarang yang secara geografis memiliki pantai, dataran rendah dan dataran tinggi terus tumbuh dan berkembang hingga era pra-kemerdekaan.

Dirintisnya jalur transportasi kereta api pertama, yakni jalur Semarang-Tanggung sepanjang 25 km yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh gubernur jenderal Baron Sloet van de Beele pada tanggal 17 Juni 1864 menjadi satu contoh bahwa Semarang adalah kota pilihan yang amat diperhitungkan dari berbagai aspek, termasuk pada perkembangan ekonomi.

Hal ini terlihat dari beberapa distrik penghasil kopi di wilayah Resodensi Semarang pada paruh kedua abad XIX, semisal Grogol, Kradenan, Selokaton, Singen Lor, Singen Kulon, Semarang, Tengaran, Cangkiran, Limbangan, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Grobogan, Wirasari, Purwodadi, dan Kaliwungu.

Pada tahun 1842 Menteri Daerah Jajahan J.C. Van Baud telah memikirkan pengembangan pengangkutan produk-produk dari wilayah vorstenlanden ke Semarang dan sebaliknya. Pada tahun 1861 kemudian diajukanlah permohonan oleh pihak swasta negeri Belanda, Poolman, untuk memperoleh konsesi guna pembangunan dan eksploitasi jalur kereta api dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. Ditetapkanlah keputusan tertanggal 28 Maret 1862 yang menjadi dasar pengoperasian jalur Semarang-vorstenlanden.

Hingga tahun 1893, Semarang memiliki tiga stasiun yakni Stasiun Tawang yang melayani jalur Semarang-vorstenlanden, stasiun Jurnatan melayani jalur Semarang-Juana, dan stasiun Poncol untuk jalur Semarang-Cirebon. Untuk transportasi laut, banyak kapal dari luar negeri baik kapal uap maupun kaoal layar yang berlabuh di Semarang. Mereka berasal dari berbagai negeri yaitu Inggris, Belanda, Hindia Belanda, Jerman, Denmark, Jepang, Austria, Swedia, Norwegia, dan Perancis.

Di kalangan masyarakat kolonial, Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama, diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang, Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi terbanyak dalam pameran itu. Untuk mengenang pameran tersebut, setiap tahunnya, selalu diselenggarakan Pasar Sentiling dengan mengambil lokasi Kota Lama Semarang.

Sumber:

Krisprantono, “Perkembangan Tata Ruang Kota Semarang Ditinjau dari Kebijakan Politik Ekonomi Kolonial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Qurtuby, Sumanto Al, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI, (Jakarta: Inspeal Press dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa, 2003)
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011)
Roesmanto, Totok, “Kesejarahan Kota Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Suliyati, Titiek, “Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Yuliati, Dewi, “Industrialisasi dan Segregasi Sosial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)

Senin, 01 Mei 2017

Pergerakan Buruh di Hindia Belanda 1900-1942

Foto: tabloidguru.wordpress.com

( apresiasi untuk Sandra, seorang pegawai Kementerian Perburuhan dekade 50-60an)

Dalam lintasan sejarah bangsa, kaum buruh mencetuskan sebuah pergerakan mendekati akhir abad XIX, tepatnya pada 1897. Adalah Nederland Indies Onderw. Genootsch (NIOG) , serikat pekerja pertama yang didirikan pada pemerintahan Hindia Belanda. Sebelumnya, di negara-negara Asia lainnya seperti India dan Filipina, berturut-turut serikat buruh didirikan. Sejumlah alasan melatarbelakangi pembentukan serikat pekerja, seperti buruknya syarat-syarat bekerja, rendahnya upah, serta perlakuan yang sewenang-wenang.

Sepuluh tahun pascapembentukan NIOG, pada tahun 1907, dibentuklah serikat buruh perkebunan. Cultuurband, Vereniging v. Asssistenten in Deli misalnya, industri gula, Suikerbond (1906) dan perdagangan, Handelsbond (1909). Dan berturut-turut selanjutnya tumbuh serikat buruh di sejumlah instansi pemerintah seperti Posbond (1905), Spoorbond (1913), dan berbagai serikat buruh lainnya termasuk di tempat-tempat pekerjaan partikelir.

Tumbuhnya pergerakan buruh saat itu dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, munculnya pertumbuhan pergerakan buruh di Nederland pada dekade 1860-1870 dengan National Arbeids Secretariaat sebagai induk organisasi. Kedua, kebangkitan rasa nasionalisme seiring berdirinya Budi Utomo pada 1908. Sebelum tahun 1908, perserikatan tersebut hanya beranggotakan bangsa Belanda yang berpangkat tinggi dan menengah. Serikat buruh yang diinisiasi kaum pribumi baru terbentuk pada 1908 yakni melalui Vereniging v. Spoor en Traam Personnel (VSTP) yang beranggotakan para pegawai kereta api partikelir. Perserikatan tersebut dipimpin oleh Semaun dan beranggotakan bangsa Belanda dan pribumi.

Sesudah itu lahir organisasi-organisasi lain yang hanya beranggotakan kalangan pribumi, seperti Perkumpulan Bumiputra Pabean (1911), Perkumpulan Guru Bantu (1912), Persatuan Pegawai Pegadaian Bumputra (1914), Upium Regie Bond (1916), dan Vereniging van Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (1916). Di sektor partikelir, muncul persatuan dari pegawai perkebunan pada 1915 dan disusul oleh pegawai-pegawai di industri pada 1917, antara lain Personeel Fabriek Bond yang beranggotakan ratusan pegawai pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sementara dari kalangan bangsa Tionghoa, pada 26 September 1909 di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gee yang dipimpin Lie Yan Hoei.

Pergerakan buruh yang semakin luas ini mengundang reaksi Ketua Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra, Sosrokardono, dalam kongresnya pada Mei 1919 di Bandung. Dalam orasinya, ia mengatakan, kesatuan buruh berperan penting untuk menekan pemerintah agar memperhatikan dan mempertinggi adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Sebagai respon, kongres SI yang diselenggarakan pada Oktober 1919 mengamini pandangan tersebut melalui pembentukan “panitia pergerakan kaum buruh” yang bertugas mempelajari kebutuhan-kebutuhan pergerakan buruh dan cara mempersatukannya.

Segera setelah itu diselenggarakan rapat pembentukan pada akhir bulan Desember di tahun yang sama di Yogyakarta. Rapat yang diikuti 22 organisasi itu melahirkan sebuah federasi Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sebagai induk organisasi buruh dari kalangan Indonesia yang pertama. Sebagai ketua Semaun dan Soerjopranoto sebagai wakil ketua, dan nama-nama beken seperti H. Agus Salim dan Alimin sebagai pengurus. Ada hak-hak buruh yang diatur dalam anggaran dasar PPKB. Seperti upah minimum, waktu kerja delapan jam pada siang hari dan enam jam untuk malam hari, serta ketentuan dapat libur selama 14 hari dalam setahun dengan mendapat bayaran. PPKB juga meminta perhatian dari majikan dalam hal jaminan sosial dan hak berpolitik.

Masa Malaise
Pada masa Malaise, persatuan-persatuan buruh bangsa Indonesia tak tinggal diam. Seperti diketahui, krisis Malaise mendesak onderneming-onderneming dan kantor-kantor perdagangan yang mengurangi bahkan menutup usahanya. Akibatnya pemutusan hubungan kerja banyak mendera, dan tingginya angka pengangguran tak bisa dihindarkan.

Tuntutan kaum buruh dan sejumlah pemogokan banyak terjadi antara tahun 1920-1925. Sebagai pelopor adalah Personeel Fabriek Bond pada tahun 1920. Di Surabaya, pada 15 November, aksi pemogokan di Droogdok Maatschappij diikuti sekitar 800 orang. Berturut-turut kemudian aksi buruh pelabuhan Surabaya pada Agustus 1921, 1200 orang dari Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra pada pertengahan Januari 1922, dan 8500 orang pegawai kereta api dan tram pada April 1923.

Usaha-usaha tersebut membuahkan hasil. Pemerintah mulai berpikir akan adanya UU Perburuhan. Dengan putusan pemerintah tanggal 30 Desember 1921, dibentuklah Kantor Perburuhan (Kantoor van Arbeid) di bawah Departemen Kehakiman. Kantor tersebut merupakan perluasan dari Kantor Pengawasan Perburuhan (Arbeidsinspectie).
Pada permulaan September 1922, badan federasi baru bernama Persatuan Vakbond Hindia (PVH) dibentuk di Madiun. PVH menaungi 23.000 orang anggota, dengan 16.000 anggotanya merupakan pegawai partikelir.

Tekanan dari Pemerintah
Desakan-desakan yang menguat dari kalangan buruh tak membuat pemerintah Hindia Belanda tinggal diam. Mereka membentuk Dewan Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Jawa dan Madura yang bertugas menengahi perselisian dalam soal perburuhan. Peraturan ini, pada kenyataannya, tidak pernah dijalankan. Peraturan ini lahir untuk menahan gejolak kesadaran cita-cita nasional yang bisa saja lahir dari perjuangan para buruh untuk memperbaiki upah dan syarat-syarat bekerja. Akibatnya, setiap aksi pemogokan dituduh mempunyai latar belakang politik yang dianggap bertujuan menggulingkan kekuasaan.

Pada 10 Mei 1923, dikeluarkanlah UU larangan bagi siapa saja yang menganjurkan mogok. Apakah peraturan tersebut membungkam pergerakan buruh? Tidak. Pada 21 Juli 1925, pemogokan kembali terjadi di sebuah perusahaan percetakan di Semarang, disusul pemogokan di perusahaan percetakan Van Dorp pada 1 September 1925, dan 5 Oktober dan 19 November di pabrik mesin NI Industrie dan Braat. Akibatnya, banyak pengurus-pengurusnya yang terkemuka ditangkap dengan tuduhan makar.

Reaksi keras terhadap pergerakan buruh memuncak dengan adanya penangkapan besar-besaran pada tahun 1926. Organisasi yang muncul sesudahnya pun banyak yang tak bertahan lama. Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) misalnya, hanya bertahan selama setahun karena diituduh berbahaya oleh pemerintah. Penangkapan pemimpin SKBI pun mendorong pembentukan vaksentraal baru. Maka pada sebuah rapat gabungan di Yogayakarta di medio 1929, berdirilah Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri yang diketuai Soeroso. Pada Mei 1930,berdiri Persatuan Serikat Sekerja Indonesia di Surabaya.

Namun krisis yang berjalan sesudah tahun 1929 mengakibatkan kemerosotan keanggotaan serikat buruh. Banyak dari anggota peserikatan yang harus memberhentikan usaha-usahanya dan memberhentikan para pegawainya. Saat itu hanya organisasi dari kalangan bangsa Tionghoa saja yang mampu bertahan. Perkumpulan Kaum Buruh Tionghoa (PKBT) Semarang dan Serikat Buruh Tionghoa dari Bandung dalam sebuah konferensi pada 25 Desember 1933 mendirikan Federasi Kaum Buruh Tionghoa. Seiring dengan berdirinya persatuan buruh Tionghoa, perhatian pemerintah akan penetapan gaji baru pun keluar pada tahun 1934, yang dikenal dengan “HBBL 1934”.

Ordonansi Regeling Arbeidsverhouding yang dikeluarkan pada pertengahan kedua tahun 1940 menjadi angin segar terhadap kelangsungan organisasi buruh partikelir. Ordonansi tersebut memberi dorongan yang kuat bagi buruh di perusahaan-perusahaan partikelir untuk menggalang persatuan.

Tindakan pertama yang mendorong tercapainya suatu gabungan bermula dari Semarang dengan pembentukan Gabungan Serikat-serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI) yang diketuai Muhammad Ali. Namun GASPI harus bekerja ekstra keras, mengingat detik-detik menjelang Perang Dunia kedua tak bisa lagi dihindarkan.

Pada masa-masa genting itu, serikat buruh tak lagi bisa bekerja seperti biasanya. Dengan mengerahkan tenaga yang tersisa, GASPI menyelenggarakan konferensi yang kedua pada 11 Januari 1942 di Kota Solo untuk menyempurnakan organisasi. Dari 28 anggota yang bergabung, 24 organisasi mengikuti konferensi tersebut. Dalam konferensi diambil mosi tentang upah minimum dan maksimum waktu kerja, dan resolusi duduknya wakil buruh pada badan-badan penasihat dan pengawasan pada perusahaan-perusahaan penting. Namun apa daya, keadaan tak memihak mereka. Sebulan sesudah konferensi, Belanda menyerah tanpa syarat atas Jepang. Sejak itu, kehidupan organisasi buruh Indonesia kembali harus membangun persatuan untuk memperbaiki kedudukannya.

(Disarikan dari Sandra, Sedjarah Pergerakan Buruh Indonesia, Djakarta: PT Pustaka Rakjat)
Diterbitkan ulang oleh TURC