Disusun Oleh
Tim Peneliti Metode Penelitian Sosial
Ketua Tim : Fadhil Nugroho Adi
Anggota :
Riyan Sanjaya,
Rendrawati,
Risda Guntari,
Septian Adi Saputra
JURUSAN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO - SEMARANG
E-Mail : timpenelitian@yahoo.com
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dusun
Mrican yang secara administratif terletak di wilayah Desa Kemujan, Kelurahan
Kemujan, Kecamatan Karimun Jawa merupakan dusun yang terletak di ujung kepulauan Karimun Jawa. Pembangunan
di Dusun Mrican masih sangat tertinggal dibandingkan dengan dusun lainnya,
terutama bisa dilihat dari sisi infrastrukturnya.Selain itu, potensi pariwisata
yang dimiliki dusun Mrican juga belum mendapatkan perhatian dari pemerintah
daerah.Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah setempat, sehingga para wisatawan -asing maupun lokal- hanya
mengetahui bahwa potensi wisata yang ada hanya tertetak di Pulau Karimun Jawa
saja.Hal lain yang menarik perhatian kami adalah dominannya Suku Jawa di Dusun
Mrican. Kendati demikian, salah satu sosok tokoh masyarakat yang menjadi
panutan dari warga Mrican sendiri justru berasal dari Suku Bugis.
Layaknya
kehidupan masyarakat yang heterogen, tidak dapat dipungkiri pasti terjadi
disintegrasi(konflik) baik dalam sekala kecil maupun besar. Menurut Selamet
Santosa, konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika individu atau
kelompok dapat mencapai tujuan sehingga individu atau kelompok lain akan
hancur. Selain itu muncul pengertian lain bahwa konflik adalah suatu proses
sosial ketika individu-individu atau kelompok-individu berusaha memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.[1]Proses
disosiatif ini pada umumnya telah menjadi dinamika tersendiri dalam masyarakat
Mrican. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dinamika yang berlangsung dalam
masyarakat yang paling sederhana –seperti halnya dusun Mrican- juga memiliki
pelapisan sosial. Pelapisan
sosial tersebut terjadi pada semua orang yang berusia dan berjenis kelamin sama
yang melakukan pekerjaan yang kurang lebih sama. Beberapa orang bisa saja
mendapatkan penghormatan karena pengaruhnya yang lebih besar ketimbang orang
lain, namun tidak terdapat kelompok atau kategori orang yang menduduki jabatan
yang lebih memiliki prestise
atau hak-hak istimewa daripada kelompok yang lain.[2]
Padahal stratifikasi sosial merupakan sesuatu yang fungsional dalam
perkembangan masyarakat dan nantinya akan ditandai oleh semakin komplek
stratifikasi sosialnya.[3]Namun
demikian stratifikasi yang dibentuk melalui kelas ekonomis, politis, dan
jabatan kembali lagi pada sistem nilai-nilai yang berlaku serta berkembang
dalam masyarakat yang bersangkutan,[4]
dalam hal ini masyarakat Mrican.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas maka penelitian ini akan difokuskan pada dominasi
masyarakat Jawa di Dusun Mrican sebagai bentuk dinamika sosial di Dusun
tersebut. Berkaitan dengan hal itu beberapa persoalan perlu dijawab melalui
penelitian.
1.
Bagaimana kondisi sosio-kultural yang
ada di Dusun Mrican ?
2.
Sejauh
manakah dominasi suku Jawa di Dusun Mrican ?
3.
Konflik apa sajakah yang pernah terdapat
di Dusun Mrican ?
4.
Bagaimana mewujudkan nilai dan norma
dalam kehidupan sosial yang riil di dalam masyarakat Mrican ?
C.
Tinjauan Pustaka
Dalam beberapa tahun belakangan ini,
proses sosial yang hampir selalu menimbulkan dinamika dalam kehidupan
bermasyarakat menjadi hal terpenting untuk memandang keharmonisan masyarakat
itu sendiri. Setidaknya beberapa kajian mengenai proses sosial tersebut telah
banyak diulas dalam tulisan-tulisan pakar ilmu-ilmu sosial seperti sosiolog dan
antropolog. Hal ini bisa dilihat melalui gagasan yang dilontarkan Paul B,
Horton dan Chester L. Hunt (1996),
Koentjaraningrat (2002),
Slamet Santosa (2006),
Purwanto (2007),
Selo Soemardjan (1964),
dan Soerjono Soekanto (1982). Kajian-kajian tersebut secara kritis mengungkapkan
urgensitas interaksi sekaligus
dinamika kelompok sosial sebagai kebutuhan mutlak individu
sebagai makhluk sosial. Begitu
pula dengan kajian Mangku Purnomo (2004) yang menekankan ke arah pembaruan
dalam produksi desa yang tentu relevan dengan penelitian ini, dilihat dari
aspek geografis maupun demografisnya. Selain itu referensi penunjang yang
sangat dibutuhkan dalam penelitian ini adalah referensi dari Drs. H. Sarjana
Hadiatmaja (2009) yang membahas pranata sosial dalam masyarakat Jawa, mengingat
penelitian ini berpusat pada dinamika masyarakat Jawa, sebagaimana ditulis pula
oleh Edi Sedyawati (2010) yang secara rinci membahas sejarah perjalanan
masyarakat Jawa pada umumnya. Konsep kebudayaan sebagai aspek bahasan dalam
penelitian ini didasarkan pada kajian Drs. Yan Mujianto, M.Hum, dkk (2010)
mengenai konsep budaya dan kebudayaan yang selalu berdampingan dalam sebuah
kehidupan bermasyarakat.
D. Kerangka Teori
Dalam
penelitian ini, akan disajikan beberapa teori yang menunjang untuk mendukung alur
penelitian. Beberapa teori tersebut adalah:
1.
Teori Interaksi Sosial
S.S.
Sargent mengemukakan definisi interaksi sosial, “Social interaction is to consider social behavior always within a
group framework, as related to group structure and function”. Apa yang
dikemukakan oleh S.S. Sargent tentang interaksi sosial pada pokoknya memandang
tingkah laku sosial yang selalu dalam kerangka kelompok seperti struktur dan
fungsi dalam kelompok. Sementara itu H. Bonner memberi rumusan interaksi sosial
sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika kelakuan
individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain, atau sebaliknya.[5] Di samping itu, interaksi sosial juga ditentukan dengan
faktor-faktor sebagai berikut:
a.
The nature of the social situation
Situasi
sosial itu bagaimanapun memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang
berada dalam situasi tersebut.
b.
The norms prevailing in any given social group
Kekuasaan
norma-norma kelompok sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial
antarindividu.
c.
Their own personality trends
Masing-masing
individu memliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkah
lakunya.
d.
A person’s transitory tendencies
Setiap
individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat
sementara
e.
The process of perceiving and interpretating a
situation
Setiap
situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini memengaruhi
individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.[6]
Selain
faktor-faktor tersebut, interaksi sosial juga terbentuk atas dasar-dasar
sebagai berikut:
a.
Imitasi
Gabriel
Tarde menyatakan bahwa imitasi timbul karena manusia pada dasarnya bersifat
individualis, namun di lain pihak manusia memiliki kesanggupan untuk meniru
sehingga di dalam masyarkat terdapat kehidupan sosial. Imitasi terbagi menjadi nondeliberate imitation atau suatu
peniruan yang berlangsung tanpa mengetahui maksud dan tujuan dari peniruan
tersebut, dan deliberate imitation
atau suatu peniruan yang berlangsung dengan sengaja, artinya suatu peniruan
dengan maksud dan tujuan tertentu dari peniruan yang dilaksanakan.
b.
Sugesti
Sugesti
timbul akibat adanya aliran Psiko Analisis yang diartikan sebagai suatu proses
ketika seseorang individu memperoleh pandangan, sikap, dan tingkah laku
individu tanpa dikritik lebih dahulu. Sementara itu S.S. Sargent memberi
pengertian sugesti sebagai “One person
induces uncritical acceptance of ideas, or unconscious performance of acts, in
other”. Sugesti terbagi menjadi Auto sugesti atau proses sugesti yang
diberikan kepada diri sendiri sehingga akan diperoleh tingkah laku yang lebih
meningkat dari sebelumnya, dan Hetero sugesti atau proses sugesti yang
berlangsung dan ditujukan kepada individu lain agar dapat dipengaruhi sesuai
maksud individu yang memberi pengaruh.[7]
c.
Identifikasi
Menurut
Sigmund Freud, identifikasi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama)
dengan individu lain. Sejak manusia memiliki kesadaran akan egonya,
identifikasi merupakan alat yang penting bagi dirinya untuk saling berhubungan
dengan yang lain. Ahli lain juga memberikan batasan mengenai identifikasi
sebagai a fashion of a model. The
mechanism of identification functions widely in social situation.[8]
d.
Simpati
Istilah
simpati dikenalkan oleh Mac Dougull dan berasal dari adanya self interest yang ada pada masing-masing
individu dan dicerminkan dalam bentuk tingkah laku. Bentuk simpati juga
bermcam-macam, salah satunya seperti Theodore Ribot yang membagi simpati
menjadi tipe primitif atau otomatis (simpati yang dapat diterangkan melalui
respons bersyarat), tipe reflektif (simpati yang menimbulkan kesadaran pada
diri sendiri), dan tipe intelektual (simpati yang bersifat umum dan lebih
abstrak).[9]
2. Teori Lembaga Sosial
Sifat manusia sebagai makhluk sosial
pada akhirnya berimplikasi pula pada ketergantungan individu kepada situasi
lingkungan tempat ia tinggal, dan situasi inilah yang akan memengaruhi
pembentukan sebuah kelompok sekaligus memuat cara-cara bertingkahlaku yang
sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. Nilai dan norma yang memegang esensi
penting dalam masyarakat sering dilesapkan ke dalam pengertian institusi atau
lembaga (institution). Lembaga muncul sebagai konsekuensi dari
individu-individu yang hidup bersama.Ketika seorang individu menghadapi
permasalahan bersama, dibuatlah patokan dan pedoman mengenai bagaimana
cara-cara berperilaku. Apabila cara-cara tersebut memberikan banyak keuntungan
maka lambat laun ditetapkan menjadi norma dan nilai yang lingkupnya semakin
berkembang. Lembaga (institution) merupakan suatu sistem norma untuk mencapai
suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara
formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu
kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur atau tersusun
guna melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.[10]
Selo Soemardjan dalam buku Setangkai
Bunga Sosiologi mengemukakan posisi penting lembaga dengan merujuk pada
pendapat dari Gillin dan Gillin sebagai berikut,
A social institution is a
functional configuration of culture patterns (including actions, ideas,
attitudes, and cultural equipment) which possesses a certain permanence and
which is intended to satisfy felt social needs[11].
Dari
penuturan Gillin dan Gillin tersebut, tidak berlebihan rasanya jika Soerjono
Soekanto memberikan pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata
sosial.Hal ini dikarenakan istilah social
institution lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para
anggota masyarakat. Selain itu dari apa yang didefinisikan Gillin dan Gillin
mengenai social institution juga
memperlihatkan kekhasan dari suatu masyarakat karena memuat pola-pola
kebudayaan seperti tindakan, gagasan, dan sikap serta peralatan budaya yang
memiliki keajegan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial.Sejalan dengan
Gillin dan Gillin, Horton dan Hunt juga menegaskan bahwa lembaga adalah suatu
sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai
serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar
masyarakat.Dalam definisi tersebut, nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan
tujuan bersama; prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan
diikuti; dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi
wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut.[12]Heztler
juga memberikan batasan pranata sosial sebagai salah satu konsep yang kompleks
dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia
tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya
kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib
atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting.[13]
Fungsi lembaga sosial itu sendiri adalah :
a.
Memberikan pedoman pada anggota-anggota
masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkahlaku atau bersikap di dalam
menghadapi masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut
kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan,
b.
Menjaga keutuhan dari masyarakat yang
bersangkutan,
c.
Memberikan pegangan kepada masyarakat
untuk mengadakan sistem pengendalian sosial atau social control yaitu artinya
sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.[14]
Sementara itu Zanden menyatakan
adanya lawan dari sifat lembaga yang biasanya selalu dianggap netral dan
“memayungi” keharmonisan masyarakat yang dipayungi yakni fungsi negatif dari
lembaga yang terlihat pada kemantapan norma dan nilai sehingga sering
mengakibatkan timbulnya disfunction sebagai berikut,
a.
Kekakuan atau kemantapan nilai kurang
memberikan peluang pada perkembangan dan perubahan dinamik atas kepentingan
dan kebutuhan
b.
Ketiadaan peluang untuk berkembang akan
mengakibatkan rasa kecewa dan frustasi kepada mereka dalam mengembangkan
inovasi baru yang mungkin lebih bermanfaat
c.
Pada gilirannya akan mengakibatkan
berkembangnya pertentangan dalam masyarakat bersangkutan.[15]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar