Selasa, 04 September 2012

MRICAN SEBAGAI DIMENSI KOMPLEKSITAS KEBUDAYAAN JAWA TENGAH Studi Kasus Dinamika Sosial Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa (Bagian 1)

Disusun Oleh 
Tim Peneliti Metode Penelitian Sosial
Ketua Tim : Fadhil Nugroho Adi
Anggota :
Riyan Sanjaya,
Rendrawati,
Risda Guntari,
Septian Adi Saputra
JURUSAN ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO - SEMARANG
E-Mail : timpenelitian@yahoo.com


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang
Dusun Mrican yang secara administratif terletak di wilayah Desa Kemujan, Kelurahan Kemujan, Kecamatan Karimun Jawa merupakan dusun yang terletak  di ujung kepulauan Karimun Jawa. Pembangunan di Dusun Mrican masih sangat tertinggal dibandingkan dengan dusun lainnya, terutama bisa dilihat dari sisi infrastrukturnya.Selain itu, potensi pariwisata yang dimiliki dusun Mrican juga belum mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah.Salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, sehingga para wisatawan -asing maupun lokal- hanya mengetahui bahwa potensi wisata yang ada hanya tertetak di Pulau Karimun Jawa saja.Hal lain yang menarik perhatian kami adalah dominannya Suku Jawa di Dusun Mrican. Kendati demikian, salah satu sosok tokoh masyarakat yang menjadi panutan dari warga Mrican sendiri justru berasal dari Suku Bugis.
Layaknya kehidupan masyarakat yang heterogen, tidak dapat dipungkiri pasti terjadi disintegrasi(konflik) baik dalam sekala kecil maupun besar. Menurut Selamet Santosa, konflik adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika individu atau kelompok dapat mencapai tujuan sehingga individu atau kelompok lain akan hancur. Selain itu muncul pengertian lain bahwa konflik adalah suatu proses sosial ketika individu-individu atau kelompok-individu berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan dengan ancaman atau kekerasan.[1]Proses disosiatif ini pada umumnya telah menjadi dinamika tersendiri dalam masyarakat Mrican. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dinamika yang berlangsung dalam masyarakat yang paling sederhana –seperti halnya dusun Mrican- juga memiliki pelapisan sosial. Pelapisan sosial tersebut terjadi pada semua orang yang berusia dan berjenis kelamin sama yang melakukan pekerjaan yang kurang lebih sama. Beberapa orang bisa saja mendapatkan penghormatan karena pengaruhnya yang lebih besar ketimbang orang lain, namun tidak terdapat kelompok atau kategori orang yang menduduki jabatan yang lebih memiliki prestise atau hak-hak istimewa daripada kelompok yang lain.[2] Padahal stratifikasi sosial merupakan sesuatu yang fungsional dalam perkembangan masyarakat dan nantinya akan ditandai oleh semakin komplek stratifikasi sosialnya.[3]Namun demikian stratifikasi yang dibentuk melalui kelas ekonomis, politis, dan jabatan kembali lagi pada sistem nilai-nilai yang berlaku serta berkembang dalam masyarakat yang bersangkutan,[4] dalam hal ini masyarakat Mrican.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini akan difokuskan pada dominasi masyarakat Jawa di Dusun Mrican sebagai bentuk dinamika sosial di Dusun tersebut. Berkaitan dengan hal itu beberapa persoalan perlu dijawab melalui penelitian.
1.      Bagaimana kondisi sosio-kultural yang ada di Dusun Mrican ?
2.      Sejauh manakah dominasi suku Jawa di Dusun Mrican ?
3.      Konflik apa sajakah yang pernah terdapat di Dusun Mrican ?
4.      Bagaimana mewujudkan nilai dan norma dalam kehidupan sosial yang riil di dalam masyarakat Mrican ?
C. Tinjauan Pustaka
            Dalam beberapa tahun belakangan ini, proses sosial yang hampir selalu menimbulkan dinamika dalam kehidupan bermasyarakat menjadi hal terpenting untuk memandang keharmonisan masyarakat itu sendiri. Setidaknya beberapa kajian mengenai proses sosial tersebut telah banyak diulas dalam tulisan-tulisan pakar ilmu-ilmu sosial seperti sosiolog dan antropolog. Hal ini bisa dilihat melalui gagasan yang dilontarkan Paul B, Horton dan Chester L. Hunt (1996), Koentjaraningrat (2002), Slamet Santosa (2006), Purwanto (2007), Selo Soemardjan (1964), dan Soerjono Soekanto (1982). Kajian-kajian tersebut secara kritis mengungkapkan urgensitas interaksi sekaligus dinamika kelompok sosial sebagai kebutuhan mutlak individu sebagai makhluk sosial. Begitu pula dengan kajian Mangku Purnomo (2004) yang menekankan ke arah pembaruan dalam produksi desa yang tentu relevan dengan penelitian ini, dilihat dari aspek geografis maupun demografisnya. Selain itu referensi penunjang yang sangat dibutuhkan dalam penelitian ini adalah referensi dari Drs. H. Sarjana Hadiatmaja (2009) yang membahas pranata sosial dalam masyarakat Jawa, mengingat penelitian ini berpusat pada dinamika masyarakat Jawa, sebagaimana ditulis pula oleh Edi Sedyawati (2010) yang secara rinci membahas sejarah perjalanan masyarakat Jawa pada umumnya. Konsep kebudayaan sebagai aspek bahasan dalam penelitian ini didasarkan pada kajian Drs. Yan Mujianto, M.Hum, dkk (2010) mengenai konsep budaya dan kebudayaan yang selalu berdampingan dalam sebuah kehidupan bermasyarakat.
D. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, akan disajikan beberapa teori yang menunjang untuk mendukung alur penelitian. Beberapa teori tersebut adalah:
1. Teori Interaksi Sosial
S.S. Sargent mengemukakan definisi interaksi sosial, “Social interaction is to consider social behavior always within a group framework, as related to group structure and function”. Apa yang dikemukakan oleh S.S. Sargent tentang interaksi sosial pada pokoknya memandang tingkah laku sosial yang selalu dalam kerangka kelompok seperti struktur dan fungsi dalam kelompok. Sementara itu H. Bonner memberi rumusan interaksi sosial sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia ketika kelakuan individu yang satu memengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain, atau sebaliknya.[5] Di samping itu, interaksi sosial juga ditentukan dengan faktor-faktor sebagai berikut:
a.      The nature of the social situation
Situasi sosial itu bagaimanapun memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada dalam situasi tersebut.
b.      The norms prevailing in any given social group
Kekuasaan norma-norma kelompok sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antarindividu.
c.       Their own personality trends
Masing-masing individu memliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkah lakunya.
d.      A person’s transitory tendencies
Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara
e.       The process of perceiving and interpretating a situation
Setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini memengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut.[6]
Selain faktor-faktor tersebut, interaksi sosial juga terbentuk atas dasar-dasar sebagai berikut:
a.       Imitasi
Gabriel Tarde menyatakan bahwa imitasi timbul karena manusia pada dasarnya bersifat individualis, namun di lain pihak manusia memiliki kesanggupan untuk meniru sehingga di dalam masyarkat terdapat kehidupan sosial. Imitasi terbagi menjadi nondeliberate imitation atau suatu peniruan yang berlangsung tanpa mengetahui maksud dan tujuan dari peniruan tersebut, dan deliberate imitation atau suatu peniruan yang berlangsung dengan sengaja, artinya suatu peniruan dengan maksud dan tujuan tertentu dari peniruan yang dilaksanakan.

b.      Sugesti
Sugesti timbul akibat adanya aliran Psiko Analisis yang diartikan sebagai suatu proses ketika seseorang individu memperoleh pandangan, sikap, dan tingkah laku individu tanpa dikritik lebih dahulu. Sementara itu S.S. Sargent memberi pengertian sugesti sebagai “One person induces uncritical acceptance of ideas, or unconscious performance of acts, in other”. Sugesti terbagi menjadi Auto sugesti atau proses sugesti yang diberikan kepada diri sendiri sehingga akan diperoleh tingkah laku yang lebih meningkat dari sebelumnya, dan Hetero sugesti atau proses sugesti yang berlangsung dan ditujukan kepada individu lain agar dapat dipengaruhi sesuai maksud individu yang memberi pengaruh.[7]
c.       Identifikasi
Menurut Sigmund Freud, identifikasi berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan individu lain. Sejak manusia memiliki kesadaran akan egonya, identifikasi merupakan alat yang penting bagi dirinya untuk saling berhubungan dengan yang lain. Ahli lain juga memberikan batasan mengenai identifikasi sebagai a fashion of a model. The mechanism of identification functions widely in social situation.[8]
d.      Simpati
Istilah simpati dikenalkan oleh Mac Dougull dan berasal dari adanya self interest yang ada pada masing-masing individu dan dicerminkan dalam bentuk tingkah laku. Bentuk simpati juga bermcam-macam, salah satunya seperti Theodore Ribot yang membagi simpati menjadi tipe primitif atau otomatis (simpati yang dapat diterangkan melalui respons bersyarat), tipe reflektif (simpati yang menimbulkan kesadaran pada diri sendiri), dan tipe intelektual (simpati yang bersifat umum dan lebih abstrak).[9]
2. Teori Lembaga Sosial
Sifat manusia sebagai makhluk sosial pada akhirnya berimplikasi pula pada ketergantungan individu kepada situasi lingkungan tempat ia tinggal, dan situasi inilah yang akan memengaruhi pembentukan sebuah kelompok sekaligus memuat cara-cara bertingkahlaku yang sesuai dengan nilai dan norma masyarakat. Nilai dan norma yang memegang esensi penting dalam masyarakat sering dilesapkan ke dalam pengertian institusi atau lembaga (institution).  Lembaga muncul sebagai konsekuensi dari individu-individu yang hidup bersama.Ketika seorang individu menghadapi permasalahan bersama, dibuatlah patokan dan pedoman mengenai bagaimana cara-cara berperilaku. Apabila cara-cara tersebut memberikan banyak keuntungan maka lambat laun ditetapkan menjadi norma dan nilai yang lingkupnya semakin berkembang. Lembaga (institution) merupakan suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting, atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Lembaga adalah proses-proses terstruktur atau tersusun guna melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.[10]
            Selo Soemardjan dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi mengemukakan posisi penting lembaga dengan merujuk pada pendapat dari Gillin dan Gillin sebagai berikut,
A social institution is a functional configuration of culture patterns (including actions, ideas, attitudes, and cultural equipment) which possesses a certain permanence and which is intended to satisfy felt social needs[11].
Dari penuturan Gillin dan Gillin tersebut, tidak berlebihan rasanya jika Soerjono Soekanto memberikan pengertian terdekat dari lembaga sosial sebagai pranata sosial.Hal ini dikarenakan istilah social institution lebih merujuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Selain itu dari apa yang didefinisikan Gillin dan Gillin mengenai social institution juga memperlihatkan kekhasan dari suatu masyarakat karena memuat pola-pola kebudayaan seperti tindakan, gagasan, dan sikap serta peralatan budaya yang memiliki keajegan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial.Sejalan dengan Gillin dan Gillin, Horton dan Hunt juga menegaskan bahwa lembaga adalah suatu sistem hubungan sosial yang terorganisasi yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum tertentu dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat.Dalam definisi tersebut, nilai-nilai umum mengacu pada cita-cita dan tujuan bersama; prosedur umum adalah pola-pola perilaku yang dibakukan dan diikuti; dan sistem hubungan adalah jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku tersebut.[12]Heztler juga memberikan batasan pranata sosial sebagai salah satu konsep yang kompleks dan sikap-sikap yang berhubungan dengan pengaturan hubungan antara manusia tertentu yang tidak dapat dielakkan, yang timbul karena dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan elementer individual, kebutuhan-kebutuhan sosial yang wajib atau dipenuhinya tujuan-tujuan sosial penting.[13] Fungsi lembaga sosial itu sendiri adalah :
a.       Memberikan pedoman pada anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkahlaku atau bersikap di dalam menghadapi masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan,
b.      Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan,
c.       Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial atau social control yaitu artinya sistem pengawasan masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya.[14]
Sementara itu Zanden menyatakan adanya lawan dari sifat lembaga yang biasanya selalu dianggap netral dan “memayungi” keharmonisan masyarakat yang dipayungi yakni fungsi negatif dari lembaga yang terlihat pada kemantapan norma dan nilai sehingga sering mengakibatkan timbulnya disfunction sebagai berikut,
a.       Kekakuan atau kemantapan nilai kurang memberikan peluang pada perkembangan dan perubahan dinamik atas kepentingan dan  kebutuhan
b.      Ketiadaan peluang untuk berkembang akan mengakibatkan rasa kecewa dan frustasi kepada mereka dalam mengembangkan inovasi baru yang mungkin lebih bermanfaat
c.       Pada gilirannya akan mengakibatkan berkembangnya pertentangan dalam masyarakat bersangkutan.[15]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar