Senin, 24 September 2012

DINASTI ABBASIYAH “Kemajuan Dinasti, Kemajuan Islam – Kemunduran Dinasti Kemunduran Islam”


DINASTI ABBASIYAH
“Kemajuan Dinasti, Kemajuan Islam – Kemunduran Dinasti Kemunduran Islam”


                    
Diusulkan Oleh:
Fadhil Nugroho Adi
Riau Hadidah 
Abel Jatayu Prakosa
Risda Guntari
Ade Imani Arsyad    
Novia Kusmithasari 
Astantya Wulan Sukmawati 
 Martina Awisti V.P
Mirna Harsih  


FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2012
                                                                                                                           



 
Bab I
Pendahuluan

Nabi Muhammad SAW, tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persosalan tersebut kepada kaum Muslimin sendiri untuk menentukannya.
Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat , belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di Balai Kota Bani Sa’idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah berlangsung cukup alot karena Kaum Muhajirin maupun Kaum Anshar merasa berhak memimpin umat Islam.Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiah yang tinggi, akhirnya Abu Bakar terpilih.[1]
            Hal tersebut menjadi landasan bahwa tidak ada penunjukan penggganti dalam tradisi Islam. Pemimpin ditentukan melalui musyawarah. Setelah Abu Bakar wafat, kepemimpinan umat Islam yang kemudian disebut Amirul Mukminin digantikan Umar bin Khottob lalu berturut-turut Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keempat pemimpin tersebut dikenal dengan Khulafaur Rasyidin.
            Model kepemimpinan dinasti (monarchicheridetis atau kerajaan turun temurun) dimulai dari Dinasti Ummayah.  Dinasti ini dinamai Ummayah karena pemimpin pertamanya yaitu Muawiyah merupakan keturunan dari keluarga Ummayah. Dinasti Ummayah berlangsung selama 90 tahun.
            Abbasiyah menjadi dinasti selanjutnya. Dinasti ini dari keturunan paman Nabi, Al-Abbas. Luar biasanya dinasti ini adalah rentang waktu kekuasaan yang panjang yaitu 508 tahun dari tahun 132 H (750 M) sampai dengan 656 H (1258 M). Kemajuan-kemajuan diberbagai bidang juga terjadi pada masa ini. Pada masa ini pula Islam mencapai puncaknya, terutama di bidang pendidikan. Namun sayang setelah periode ini berakhir yang sebab utamanya adalah serangan bangsa Tartar, Islam mengalami kemunduran.[2]
Maka dari itu, kami mengambil permasalahan dinasti Abbasiyah. Karena secara tidak langsung kemajuan dan kemunduran Islam tercermin dalam kekuasaan dinasti ini.

Bab II
Pembahasan

1.      Awal terbentuknya Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn Al-Abass. Dia mendapatkan wasiat dari abangnya yaitu Ibrahim Al-Imam, Nama Abdul ‘Abbas masyhur karena memiliki sifat dermawan, kuat ingatan, keras hati, tetapi sangat besar dendamnya kepada Bani Umayyah. Karena dendamnya itu, dibunuhlah keturunan-keturunan Bani Umayyah, walaupun orang yang tidak bersalah dan tidak ikut campur dalam urusan politik. Dialah yang menitahklan penggalian kubur-kubur khalifah-khalifah Bani Umayah  yang terbesar, jika bertemu dengan mayat maka akan dibakar dan jika menemukan tulang, maka tulang itu akan dicambuk lalu dibakar.
Dinamakan Khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad Saw. Kekuasaan Bani Abbas ini melanjutkan Dinasti Bani Umayyah.[3] Berawal dari propaganda yang dilakukan oleh Bani Abbas sendiri yang dilakukan secara bersembunyi atau rahasia. Ketika Kekhalifahan dipimpin oleh Umar ibn Bdil Aziz bahwa dalam kepemimpinannya kebenaran dan keadilan lebih tinggi dari segalanya, pemerintahan ini berbeda dengan pemerintahan yang didirikan dengan cara kekerasan oleh Bani Umayyah, hal inilah yang  melemahkan Pemerintahan. Di waktu pemerintahan inilah Bani Abbas diam-diam mengatur propaganda, nama bani Abbas tidak begitu ditonjolkan, namun dimasyhurkan saja Bani Hasyim, supaya jangan terpecah Syi’ah pengikut ‘Ali dengan Syi’ah pengikut ‘Abbas, karena keduanya sama-sama Bani Hasyim.
Bani Umayyah dari dulu tidak memusuhi Bani `Abbas, melainkan hanya memusuhi bani `Ali, padahal yang mengharap hendak merebut kekuasaan ialah bani `Abbas. Kalau Bani `Abbas menyatakan menuntut khalifah untuk dirinya sendiri, tentu kurang banyak pengikutnya. Dengan menyebut Bani hasyim, maka keturunan `Ali dan Bani `Abbas akan terkumpul semua. Pusat Propaganda dilakuakn di 2 tempat, pertama kaufah, kedua Khurasan. Dua tempat ini dipilih karena daulat yang akan berdiri ini  hendak bertulang punggung kepada Parsi. Kaufah adalah negri baru di dalam Irak, dan Irak pada masa itu temasuk dalam bilangan tanah parsi.
Mereka mengangkat 12 orang propagandis, kedua-belas orang itu mengembara kian kemari dari satu wilayah ke wilayah lain di sekitar Kaufah dan Khurasam. Mereka menjelaskan kepada orang-orang yang sekiranya bisa ditarik tentang kezaliman pemerintahan Bani Umayah. Propagandis yang paling jempol yang pada akhirnya mempunyai riwayat terpenting di dalam urusan ini adalah Abu Muslim Al-Khurasany. Dialah yang mula-mula berpropaganda secara terang-terangan di negri Maru. Dan ditiap-tiap negri yang ditaklukannya itu dimulai dengan menanam wakil-wakil. Setelah itu diutusnya orang ke Kaufah untuk menemui Abdul `Abbas As-Saffah.
Pada akhirnya berduyun-duyun pengikutnya datang menyatakan setianya masing-masing dan mengakuinya sebagai khalifah. Segala orang yang datang itu diterima oleh Abu Ja’far, saudaranya. Dialah yang menerima bai’at mereka masing-masing. Setelah selesai mengambil bai’at itu, yang berlaku sejak dari waktu `Asar sampai waktu magrib, aka Abdul `Abbas teruslah memimpin bala-tentara dan diserahkannya mengepalai negeri kaufah itu kepada pamannya yaitu Daud Ibn.’Ali.



2.      Kemajuan Abbasiyah
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809M) dan puteranya Al-Ma’mun (813-833M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun Al-Rasyid untuk keperluan social. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Pada masanya, sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Di samping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti Al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[4]
Dari gambaran di atas terlihat bahwa, dinasti Bani Abbas pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasaan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Di samping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas dibanding yang terdapat di zaman Bani Umayyah.
Sebagaimana diuraikan diatas, puncak perkembangan kebudayan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian diantaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah sudah mulai berkembang. Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Bani Ummayah.
Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama Al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama Al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya ilmu kedokteran berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof, berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Di antara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.
Dalam bidang optika Abu Ali Al-Hasan ibn Al-Haythami, dikenal di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai penentang pendapat bahwa, mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Di bidang Kimia, terkenal Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam bahwa logam seperti timah , besi , dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata “aljabar” berasal dari judul bukunya al-Jabar wa al-Muqabalah.dalam bidang sejarah terkenal nama Al-Masudi. Di juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muruj al-Zahab wa Ma’adin al-Jawahir.
Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat antara lain Al-Farabi,Ibn Sina,dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,logika,jiwa,kenegaraan,etika,dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal di antaranya adalah al-Syifa’. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes,banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat,sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.
Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintah Islam pada masa klasik,kemajuan yang tidak ada tandingannya pada masa itu. Pada masa ini kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan perdaban dan kebudayaan sehingga Islam mencapai masa keemasan,kejayaan,dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang,setelah periode ini berakhir,Islam mengalami masa kemunduran.[5]

3.      Keruntuhan Abbasiyah
Sampai di zaman Al-Mista’shim ini datanglah bangsa Mongol yang masyhur, merebut keseluruhan Dunia Islam, bahkan sampai ke negeri Rusia, Polandia dan lain-lain. Datanglah mereka menyerbu kota Baghdad. Dalam tahun 656 Hijriyahdi kepungnyalah kota yang besar dan indah itu. Tidak dapat kota itu bertahan lagi. Karena negari tidak mempunyai pertahanan yang kuat, hanyalah disuruh saja oleh Wazir Al-‘alqami menutupi pintu kota. Dengan kemauan yang sungguh-sungguh tentara yang ganas itu mengepung kota sehingga jatuhlah parit kota satu persatu dalam masa hanya 10 hari. Dengan jatuhnya parit-parit kota itu, jatuhlah kota Baghdad.[6]
Syeikh Muhyiddin Kayyath menggambarkan peristiwa pembunuhan massal oleh bangsa Tartar sebagai berikut:
“Kemudian mereka merampok kota Baghdad, membunuh dan mempergunakan pedang untuk menghabiskan nyawa penduduk, merampok segala Istana dan mahigai dengan segala kekayaan yang tersimpan di dalamnya, meruntuhkan segala gudang-gudang ilmu pengetahuan serta melemparkan segala buku-bukunya ke dalam sungai Tigris, sehingga air sungai yang besar dan luas itu berubah warnanya. Perbuatan perampokan, pembunuhan dan pemusnahan itu berjalan terus salama 40 hari lamanya.
Setelah semuanya mengalami kehancuran dan kerajaan ‘Abasiyah yang berjalan 500 tahun itu sudah musnah, maka persoalan yang timbul: apakah faktor-faktor lain selain dari keganasan bangsa Tartar di bawah pimpinan Hulaku Khan itu? Jawabannya adalah sebagai berikut:
1.      Pengkhianatan dalam negeri dan perpecahan sasama Muslimin yang menghancurkan dari dalam. Yaituperpecahan antara golongan Sunni (Ahli Sunnah) yang memegang kuasa ‘Abassiyah dan golongan Syi’ah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Muayyiduddien Ibnul ‘Alqamiy yang telah barkhianat dan mengundang masuknya Hulaku Khan.
2.      Persekongkolan antara bangsa Tartar yang dipimpin Hulaku Khan dengan kaum Kristen yang diwakili oleh Istri Hulaku Khan yang menjalankan perintah Paus. Hal ini diakui oleh Prof. Hitti dan Anthony Nutting.
3.      Dengan hancurnya kota Baghdad dan dibunuhnya Khalifah terakhir ‘Abbasiyah, berarti habislah riwayat Khalifah menurut tradisi yang sebenarnya. [7]

Bab III
Simpulan
Disini terlihat jelas bahwa Dinasti Abbasiyah tidak hanya memiliki kekuasaan dalam tempo waktu yang lama. Perkembangan  dan Kemajuan Islam sangat terlihat jelas pada dinasiti ini. Pemimpin sangat menghargai Ilmu Pengetahuan. Ilmuwan-ilmuwan besar dunia muncul pada Dinasti ini. Ibnu Sina, Al-Farazi, Al-Farabi dan Ibnu Rusyd adalah beberapa tokoh besar yang muncul.
Namun sayang setelah periode ini berakhir yang sebab utamanya adalah serangan bangsa Tartar yang tidak hanya menghancurkan Baghdad tetapi juga membuang seluruh buku pengetahuan ke sungai Tigris. Islam mengalami kemunduran.
            Kemajuan dinasti Abbasiyah membawa Islam mencapai puncaknya. Paradaban berkembang dengan cepatnya. Ilmu pengetahuan sangat didukung pemerintah sehingga kemajuannya sangat pesat. Bukan berarti masa sebelum dan sesudahnya ilmu pengetahuan tidak maju, tetapi masa ini merupakan masa keemasan Islam.
Kemundura dinasti ini juga menjadi kemunduran Islam, karena setelah serbuan bangsa Tartar dan pemusnahan ilmu bengetahuan di Baghdad, Islam bagaikan masuk ke zaman kegelapan. Orang Islam tidak lagi mempunyai catatan-catatan kejayaan masa lampau.




Daftar Pustaka
1.      Ahmad, Zainal Abiam, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (perkembangan dari zaman ke zaman), (Jakarta: Bulan Bintang, 1978)
2.      Hamka, Sejarah Ummat Islam jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang,1975)
3.      Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006)


[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.35
[2] Ibid., hlm.59.
[3]
[4] Badri Yatim, Op.cit., hlm.50
[5] Ibid., hlm. 50-59
[6] Hamka, Sejarah Ummat Islam jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang,1975), hlm.131
[7] Zainal Abiam Ahmad, Ilmu Politik Islam IV, Sejarah Islam dan Umatnya Sampai Sekarang (perkembangan dari zaman ke zaman), (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.140-142

Tidak ada komentar:

Posting Komentar