Judul
Buku : Gelar Dalam Islam
Penulis : Zulkifli
Penerbit : Pinus Book Publisher
Kota
Terbit : Yogyakarta
Tahun
Terbit : 2009
Tebal : 164 halaman
Ditulis Oleh : Fadhil Nugroho Adi - Jurusan Ilmu Sejarah FIB Undip
Gelar
pada umumnya menaikkan prestise seseorang. Sehingga saat ini banyak politisi
yang berusaha untuk mendapatkan gelar haji untuk mencitrakan dirinya sebagai
orang yang taat. Inilah manusia saat ini. Terlampau silau pada gelar terlebih
yang menaikkan citra dirinya sendiri. Padahal jika kita mau melihat sejarah,
ada tokoh Islam yakni K.H. Hasyim Asy’ari yang tidak silau dengan gelar.
Keteguhan beliau inilah yang merisaukan Belanda karena berarti kelompok agama
telah bangkit dan mengusik eksistensi penjajah.
Itu dulu sekali. Saat Islam masih
punya tokoh yang berintegritas tinggi terhadap Islam di Indonesia. Akan tetapi
seiring kemajuan zaman, gelar-gelar seperti syeikh, kiai, ustdz, dan lain
sebagainya menjadi mudah untuk didapatkan. Islam di Indonesia memang tidak
memiliki institusi yang memiliki wewenang untuk memberikan gelar kepada
seseorang melainkan hanya masyarakat yang menyematkan gelar-gelar tersebut.
Mengapa? Karena seseorang dianggap mampu sebagai panutan. Masih jelas dalam
ingatan bagaimana Syeikh Puji yang memperistri anak di bawah umur? Ia pun
mengakui gelar “Syeikh”nya didapat dari para kiai dengan alasan : mendermakan
harta dalam jumlah besar dalam syiar Islam. Orang disebut syeikh bisa karena
tiga hal: tataran ilmu, harta dan perjuangan fi-sabilillah nya. Bagi Syeikh
Puji gelar “Syeikh” ini biasa saja karena sebutan “Syeikh” dipakai untuk
menyebut pria dewasa di Timur Tengah.
SEJARAH GELAR ISLAM DI
NUSANTARA
Ketika pada abad 15 Islam mulai
berkembang di Nusantara, para raja Islam rupanya saling berebut untuk
mendapatkan gelar seperti gelar Sultan dan Zillullah fil alam (bayang-bayang
Tuhan) yang dipakai Merah Silu, salah seorang raja Pasai. Tidak menutup
kemungkinan akan muncul rasa sakit hati ketika Raja Mataram tidak menerima
gelar selayaknya Raja Banten yang menerima legitimasi kesultanan pada 1638 dari
penguasa Mekkah. Gelar-gelar di Nusantara ada yang diberi oleh guru-guru sufi
seperti yang diberikan Syeikh Ismail kepada Raja Pasai. Kemudian dalam
Kesultanan Banten yang notabene pemimpinnya tak hanya sebagai pemimpin politik
melainkan juga pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan maulana atau
sultan di depan nama mereka. Lebih lanjut gelar Senapati ing Ngalogo
Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah yang disandang raja Mataram,
Sultan Agung, mengandung unsur bahasa Jawa-Arab. Artinya apa? Artinya, ia
selain sebagai raja Jawa, juga sekaligus sebagai “penguasa Islam” yang mengerti
Islam. Setelah kepemimpinannya diganti oleh Raden Rangsang, gelar berubah
menjadi Prabu Pandita Anyakrakusuma Sultan Agung Senapati Ing alaga Ngabdul
Rahman Sayyidin Panatagama. Baru ketika Amangkurat IV menduduki tampuk
kepemimpinan, ia menambahkan sebutan Kalipatullah pada gelarnya sehingga
menjadi Prabu Mangkurat Senapati Ing-alaga Ngabdul Rahman Sayyidin Panatagama
Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Penyematan gelar-gelar ini menurut Zulkifli, sejak
awal Mataram berusaha kembali memegang kekuasaan politik dan keagamaan secara
terpadu atau daam kata lain upaya penyatuan kekuasaan agama dan politik. Sultan
Malaka juga disebut sebagai Khalifat al-Mukmin, dzill Allah fi al-ardh, dan ini
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Malaka yang disusun sekitar tahun 1450.
Bahkan seorang Diponegoro pun, ia menggunakan gelar Ngabdulkamid Erucaraka
Sayyidin Panatagama Kalipah Rasulullah Saiin ketika terjun dalam Perang
Diponegoro.
GELAR-GELAR ISLAM DI INDONESIA
1.
Ajengan
Ajengan adalah sebutan bagi
ulama di Jawa Barat (Sunda) dan biasa disematkan pada para ahli agama yang
telah menempuh pendidikan Islam selama belasan tahun dan yang telah mencapai
tingkat tajrid (pencapaian tingkat hidup dan kehidupan yang mantap dan mapan
baik jasmani maupun rohaniah).
2.
Anre Gurutta
Anre Gurutta adalah gelar
pemuka agama (ulama) di kalangan Bugis-Makassar, semacam gelar kiai di tanah
Jawa. Misalnya, A.G.H. Adurrahman Ambo Dall, A.G.H. Abdul Rahman Mattammeng dan
juga A.G.H. Abdul Muin Yusuf.
3.
Bindere
Bindere atau dalam bahasa Jawa
disebut Bendoro adalah gelar bagi orang kepercayaan kiai di Madura.
4.
Buya
Buya merupakan sebutan bagi
ulama di Sumatera Barat, berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya yang berarti
ayahku atau seseorang yang dihormati.
5.
Datu
Datu memiliki dua pengertian
yakni, datu yang berarti penguasa atau pemimpin atau raja yang dipakai di
Kalimantan Timur bagian utara misalnya Raja Tidung dan Raja Bulungan bergelar
Datu. Di lain tempat gelar datu mengalami perubahan menjadi datuk, dato’, ratu,
dan latu. Datu yang lainnya memiliki arti sebagai buyut yang dipakai dalam
bahasa Banjar dan bahasa Brunei. Dalam bahasa Brunei nenek moyang disebut datu
nini, sementara orang Banjar menyebutnya nini datu.Alim ulama yang sudah
meninggal di masa lampau oleh generasi sekarang juga disebut Datu misalnya Datu
Kalampaian, Datu Nuraya, Datu Ingsat dan lainnya. Di Sulawesi juga dapat
ditemui nama Khatib Tunggal Datuk Makmur atau masyarakat mengenalnya sebagai
Datu Ribandang yang merupakan penyebar Islam di Sulawesi pada masa kepemimpinan
Raja Tallo XV, Daeng Manyonri, yang memeluk Islam pertama kali di Sulawesi
Selatan. Gelar datuk juga merupakan gelar adat di Sumatera Selatan dan Sumatera
Barat.
6.
Gus
Gus adalah gelar yang semula
hanya di kalangan pesantren dan merupakan kependekan dari “bagus”. Panggilan
ini ditujukan kepada anak kyai dan hanya berlaku di tanah Jawa.
7.
Guree
Guree adalah panggilan Guru
terhadap ulama di Aceh dan memiliki makna sama dengan Gurutta di Sulawesi.
8.
Gurutta
Merupakan gelar kehormatan
kepada ulama di Makassar.
9.
Haji
Sebelum Belanda datang ke
Indonesia, gelar haji ini belum ada. Akan tetapi setelah kedatangannya barulah
istilah haji dikenal dalam susunan masyarakat untuk mempertegas kelas-kelas
sosial dalam masyarakat. Pada gilirannya kaum haji inilah yang menjadi kelas
penyangga dalam sistem kolonial Belanda.
Dalam catatan sejarah, muslim
dari Indonesia sudah menunaikan ibadah haji sejak abad ke-15, saat itu yang
memberangkatkan para jama’ah adalah Raja Banten dan Raja Mataram. Fenomena ini
terjadi karena sesungguhnya pemberangkatan jama’ah tersebut dilandasi oleh
motif politik yakni berupa keinginan mendapat pengakuan dari Sultan Haramain
yang menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kalau sudah diakui maka para raja
mendapat gelar sultan dan mereka percaya bahwa gelar mereka akan meningkatkan
kekuasan politiknya.
10. Kiai
Gelar Kiai mengandung dua
pengertian, yakni Kiai dalam tradisi Jawa dan Kiai dalam pengertian etimologi
(lighotan). Dalam tradisi Jawa, Kiai adalah sebutan untuk orang yang dihormati,
berasal dari kata iki ae yang berubah menjadi kyai. Sementara Kiai dalam
pengertian etimologi adalah man balagha sinnal arbain, yaitu orang-orang yang
sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai beberapa kelebihan selain
masalah agama. Tradisi Banjar menyebut kiai sebagai gelar kepala distrik dan
bukan ulama, yang mengalihkannya adalah pemerintah Hindia Belanda. Sementara
itu di Banten dinyatakan fungsi dari Kiai yakni sebagai Guru Ngaji, Guru
Tarekat, Guru Kitab, Guru Ilmu Hikmah, dan sebagai Mubaligh.
11. Lora
atau Ra
Gelar ini diberikan kepada
putra kiai pimpinan pesantren di Madura misalnya Lora Syaiful yang putera kedua
K.H. Dja’far Yusuf Abd. Wahid (pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum
II Alwahidiyah Gersempal di Sampang).
12. Mas
Mas merupakan gelar untuk
menyebut keturunan kiai, baik yang menjadi ulama maupun tidak. Kiai Mas
merupakan gelar yang disandang atas perintah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad
bin Bassyaiban yang berasal dari Hadramaut pada awal abad ke-18, dan ulama yang
mendapat gelar ini semisal K.H. Mas Mansyur.
13. Nun
Nun merupakan sebutan bagi
ulama di Madura, sama seperti Bendara atau Ra.
14. Nyai
Nyai merupakan panggilan kepada
istri kiai, misalnya Nyai Ahmad Dahlan. Di Kalimantan gelar nyai ditujukan
untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, misalnya Nyai Undang,
Nyai Siti Dian Lawai, dan lainnya.
15. Panembahan
Gelar ini diberikan kepada ulama
yang lebih ditekankan pada aspek spiritual dan menyangkut segi kesenioran serta
nasabnya.
16. Panrita
Gelar Panrita diberikan untuk
menyebut ulama bagi suku Bugis. Oleh masyarakat Bugis, Panrita dijadikan
sebagai tempat untuk bertanya dan meminta nasehat. Sang Panrita harus memiliki
kriteria pintar atau cerdas (macca), keberanian (warani), dan harta berlimpah
atau kaya (sugi).
17. Santri
Gelar Santri memiliki beberapa
pengertian, ada yang menyebutnya sebagai guru mengaji (dari bahasa Tamil), atau
dari bahasa Sansekerta “shastri” yang berarti orang yang memiliki kemampuan
untuk mengetahui buku-buku agama dan buku-buku ilmu pengetahuan. Selanjutnya
gelar santri mengalami penyempitan dan perluasan makna sebagai siswa atau murid
yang sedang belajar keagamaan Islam di pesantren di bawah asuhan kiai atau
ulama.
18. Sidi
Gelar Sidi diberikan di
Pariaman, Sumatera Barat dan berasal dari kata sayyidi, dan dari penjelasan
yang diberikan Zulkifli tampak jelas bahwa sidi ini gelar yang sepadan dengan
habib atau berarti keturunan Nabi Muhammad SAW.
19. Sunan
Kata Sunan dalam terminologi
Jawa memiliki kesamaan makna dengan susuhunan atau suhunan yang berarti jununan
atau yang dijunjung tinggi. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan
dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa
diberikan untuk mubaligh atau penyebar Islam, khususnya di pulau Jawa pada abad
ke-15 hingga abad ke-16 (Walisongo). Gelar raja-raja keturunan Mataram seperti
Surakarta juga menggunakan gelar Sunan. Orang Sunda menyebut Sunan bagi orang
yang memiliki kedudukan terhormat (Sunan Ambu, sebagai permisalan).
20. Teungku
Teungku merupakan sebutan bagi
ulama di Aceh, akan tetapi secara umum juga menjadi gelar sapaan bagi laki-laki
dewasa di Aceh. Teungku juga bisa berarti gelar kepakaran dalam keagamaan di
Aceh misal, Teungku Cik Di Tiro dan Teungku Daud Bireuh. Teungku di Aceh juga
disematkan pada kiai atau guru ngaji, sementara sebutan Teungku bagi putri raja
tidak diketahui oleh rakyatnya.
21. Tuan
Guru
Tuan Guru adalah sebutan bagi
ulama di Nusa Tenggara dengan fungsi mendidik dan mengayomi umatnya.
22. Tuanku
Tuanku diberikan kepada para
santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren di daerah Padang,
Sumatera Barat. Gelar Tuanku juga diberikan kepada syekh, kiai, guru yang diakui
secara de jure dari adat. Dikatakan bahwa untuk meraih gelar Tuanku tidaklah
mudah, harus memahami rukun tigo baleh surau dan tigo baleh kampung (ketek
banamo, gadang bagala).
23. Wali
Gelar Wali diberikan kepada
ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang
luar biasa. Seringkali para wali dipanggil dengan sunan seperti halnya para
raja. Wali adalah orang-orang suci yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Terdapat sembilan orang yang patut dianggap Wali berdasar konsensus para ulama
dan raja waktu itu. Latar belakang kehidupan para Wali juga berragam, ada yang
berlatarbelakang mubalig, pedagang, dan ada pula yang dari politik.
24. Zilullah
fil Alam
Gelar ini berasal dari bahasa
Arab yang artinya bayang-bayang Allah di muka bumi. Gelar ini banyak dipakai
penguasa Malaka untuk penunjukan eksistensi raja, begitu pula yang dilakukan
Kesultanan Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar