Kamis, 27 September 2012

“Gelar Dalam Islam”



Judul Buku      : Gelar Dalam Islam
Penulis             : Zulkifli
Penerbit           : Pinus Book Publisher                       
Kota Terbit      : Yogyakarta
Tahun Terbit    : 2009
Tebal               : 164 halaman

Ditulis Oleh : Fadhil Nugroho Adi - Jurusan Ilmu Sejarah FIB Undip
                                    
                                                                        


Gelar pada umumnya menaikkan prestise seseorang. Sehingga saat ini banyak politisi yang berusaha untuk mendapatkan gelar haji untuk mencitrakan dirinya sebagai orang yang taat. Inilah manusia saat ini. Terlampau silau pada gelar terlebih yang menaikkan citra dirinya sendiri. Padahal jika kita mau melihat sejarah, ada tokoh Islam yakni K.H. Hasyim Asy’ari yang tidak silau dengan gelar. Keteguhan beliau inilah yang merisaukan Belanda karena berarti kelompok agama telah bangkit dan mengusik eksistensi penjajah.
            Itu dulu sekali. Saat Islam masih punya tokoh yang berintegritas tinggi terhadap Islam di Indonesia. Akan tetapi seiring kemajuan zaman, gelar-gelar seperti syeikh, kiai, ustdz, dan lain sebagainya menjadi mudah untuk didapatkan. Islam di Indonesia memang tidak memiliki institusi yang memiliki wewenang untuk memberikan gelar kepada seseorang melainkan hanya masyarakat yang menyematkan gelar-gelar tersebut. Mengapa? Karena seseorang dianggap mampu sebagai panutan. Masih jelas dalam ingatan bagaimana Syeikh Puji yang memperistri anak di bawah umur? Ia pun mengakui gelar “Syeikh”nya didapat dari para kiai dengan alasan : mendermakan harta dalam jumlah besar dalam syiar Islam. Orang disebut syeikh bisa karena tiga hal: tataran ilmu, harta dan perjuangan fi-sabilillah nya. Bagi Syeikh Puji gelar “Syeikh” ini biasa saja karena sebutan “Syeikh” dipakai untuk menyebut pria dewasa di Timur Tengah.
SEJARAH GELAR ISLAM DI NUSANTARA
            Ketika pada abad 15 Islam mulai berkembang di Nusantara, para raja Islam rupanya saling berebut untuk mendapatkan gelar seperti gelar Sultan dan Zillullah fil alam (bayang-bayang Tuhan) yang dipakai Merah Silu, salah seorang raja Pasai. Tidak menutup kemungkinan akan muncul rasa sakit hati ketika Raja Mataram tidak menerima gelar selayaknya Raja Banten yang menerima legitimasi kesultanan pada 1638 dari penguasa Mekkah. Gelar-gelar di Nusantara ada yang diberi oleh guru-guru sufi seperti yang diberikan Syeikh Ismail kepada Raja Pasai. Kemudian dalam Kesultanan Banten yang notabene pemimpinnya tak hanya sebagai pemimpin politik melainkan juga pemimpin agama, mereka memakai gelar keagamaan maulana atau sultan di depan nama mereka. Lebih lanjut gelar Senapati ing Ngalogo Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Kalifatullah yang disandang raja Mataram, Sultan Agung, mengandung unsur bahasa Jawa-Arab. Artinya apa? Artinya, ia selain sebagai raja Jawa, juga sekaligus sebagai “penguasa Islam” yang mengerti Islam. Setelah kepemimpinannya diganti oleh Raden Rangsang, gelar berubah menjadi Prabu Pandita Anyakrakusuma Sultan Agung Senapati Ing alaga Ngabdul Rahman Sayyidin Panatagama. Baru ketika Amangkurat IV menduduki tampuk kepemimpinan, ia menambahkan sebutan Kalipatullah pada gelarnya sehingga menjadi Prabu Mangkurat Senapati Ing-alaga Ngabdul Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Penyematan gelar-gelar ini menurut Zulkifli, sejak awal Mataram berusaha kembali memegang kekuasaan politik dan keagamaan secara terpadu atau daam kata lain upaya penyatuan kekuasaan agama dan politik. Sultan Malaka juga disebut sebagai Khalifat al-Mukmin, dzill Allah fi al-ardh, dan ini tercantum dalam Kitab Undang-Undang Malaka yang disusun sekitar tahun 1450. Bahkan seorang Diponegoro pun, ia menggunakan gelar Ngabdulkamid Erucaraka Sayyidin Panatagama Kalipah Rasulullah Saiin ketika terjun dalam Perang Diponegoro.
GELAR-GELAR ISLAM DI INDONESIA
1.      Ajengan
Ajengan adalah sebutan bagi ulama di Jawa Barat (Sunda) dan biasa disematkan pada para ahli agama yang telah menempuh pendidikan Islam selama belasan tahun dan yang telah mencapai tingkat tajrid (pencapaian tingkat hidup dan kehidupan yang mantap dan mapan baik jasmani maupun rohaniah).
2.      Anre Gurutta
Anre Gurutta adalah gelar pemuka agama (ulama) di kalangan Bugis-Makassar, semacam gelar kiai di tanah Jawa. Misalnya, A.G.H. Adurrahman Ambo Dall, A.G.H. Abdul Rahman Mattammeng dan juga A.G.H. Abdul Muin Yusuf.
3.      Bindere
Bindere atau dalam bahasa Jawa disebut Bendoro adalah gelar bagi orang kepercayaan kiai di Madura.
4.      Buya
Buya merupakan sebutan bagi ulama di Sumatera Barat, berasal dari bahasa Arab, abi atau abuya yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
5.      Datu
Datu memiliki dua pengertian yakni, datu yang berarti penguasa atau pemimpin atau raja yang dipakai di Kalimantan Timur bagian utara misalnya Raja Tidung dan Raja Bulungan bergelar Datu. Di lain tempat gelar datu mengalami perubahan menjadi datuk, dato’, ratu, dan latu. Datu yang lainnya memiliki arti sebagai buyut yang dipakai dalam bahasa Banjar dan bahasa Brunei. Dalam bahasa Brunei nenek moyang disebut datu nini, sementara orang Banjar menyebutnya nini datu.Alim ulama yang sudah meninggal di masa lampau oleh generasi sekarang juga disebut Datu misalnya Datu Kalampaian, Datu Nuraya, Datu Ingsat dan lainnya. Di Sulawesi juga dapat ditemui nama Khatib Tunggal Datuk Makmur atau masyarakat mengenalnya sebagai Datu Ribandang yang merupakan penyebar Islam di Sulawesi pada masa kepemimpinan Raja Tallo XV, Daeng Manyonri, yang memeluk Islam pertama kali di Sulawesi Selatan. Gelar datuk juga merupakan gelar adat di Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.
6.      Gus
Gus adalah gelar yang semula hanya di kalangan pesantren dan merupakan kependekan dari “bagus”. Panggilan ini ditujukan kepada anak kyai dan hanya berlaku di tanah Jawa.
7.      Guree
Guree adalah panggilan Guru terhadap ulama di Aceh dan memiliki makna sama dengan Gurutta di Sulawesi.
8.      Gurutta
Merupakan gelar kehormatan kepada ulama di Makassar.
9.      Haji
Sebelum Belanda datang ke Indonesia, gelar haji ini belum ada. Akan tetapi setelah kedatangannya barulah istilah haji dikenal dalam susunan masyarakat untuk mempertegas kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Pada gilirannya kaum haji inilah yang menjadi kelas penyangga dalam sistem kolonial Belanda.
Dalam catatan sejarah, muslim dari Indonesia sudah menunaikan ibadah haji sejak abad ke-15, saat itu yang memberangkatkan para jama’ah adalah Raja Banten dan Raja Mataram. Fenomena ini terjadi karena sesungguhnya pemberangkatan jama’ah tersebut dilandasi oleh motif politik yakni berupa keinginan mendapat pengakuan dari Sultan Haramain yang menguasai kota Mekkah dan Madinah. Kalau sudah diakui maka para raja mendapat gelar sultan dan mereka percaya bahwa gelar mereka akan meningkatkan kekuasan politiknya.
10.  Kiai
Gelar Kiai mengandung dua pengertian, yakni Kiai dalam tradisi Jawa dan Kiai dalam pengertian etimologi (lighotan). Dalam tradisi Jawa, Kiai adalah sebutan untuk orang yang dihormati, berasal dari kata iki ae yang berubah menjadi kyai. Sementara Kiai dalam pengertian etimologi adalah man balagha sinnal arbain, yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai beberapa kelebihan selain masalah agama. Tradisi Banjar menyebut kiai sebagai gelar kepala distrik dan bukan ulama, yang mengalihkannya adalah pemerintah Hindia Belanda. Sementara itu di Banten dinyatakan fungsi dari Kiai yakni sebagai Guru Ngaji, Guru Tarekat, Guru Kitab, Guru Ilmu Hikmah, dan sebagai Mubaligh.
11.  Lora atau Ra
Gelar ini diberikan kepada putra kiai pimpinan pesantren di Madura misalnya Lora Syaiful yang putera kedua K.H. Dja’far Yusuf Abd. Wahid (pengasuh dan pendiri Pondok Pesantren Darul Ulum II Alwahidiyah Gersempal di Sampang).
12.  Mas
Mas merupakan gelar untuk menyebut keturunan kiai, baik yang menjadi ulama maupun tidak. Kiai Mas merupakan gelar yang disandang atas perintah Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Bassyaiban yang berasal dari Hadramaut pada awal abad ke-18, dan ulama yang mendapat gelar ini semisal K.H. Mas Mansyur.
13.  Nun
Nun merupakan sebutan bagi ulama di Madura, sama seperti Bendara atau Ra.
14.  Nyai
Nyai merupakan panggilan kepada istri kiai, misalnya Nyai Ahmad Dahlan. Di Kalimantan gelar nyai ditujukan untuk wanita terhormat yang bukan keturunan bangsawan, misalnya Nyai Undang, Nyai Siti Dian Lawai, dan lainnya.
15.  Panembahan
Gelar ini diberikan kepada ulama yang lebih ditekankan pada aspek spiritual dan menyangkut segi kesenioran serta nasabnya.

16.  Panrita
Gelar Panrita diberikan untuk menyebut ulama bagi suku Bugis. Oleh masyarakat Bugis, Panrita dijadikan sebagai tempat untuk bertanya dan meminta nasehat. Sang Panrita harus memiliki kriteria pintar atau cerdas (macca), keberanian (warani), dan harta berlimpah atau kaya (sugi).
17.  Santri
Gelar Santri memiliki beberapa pengertian, ada yang menyebutnya sebagai guru mengaji (dari bahasa Tamil), atau dari bahasa Sansekerta “shastri” yang berarti orang yang memiliki kemampuan untuk mengetahui buku-buku agama dan buku-buku ilmu pengetahuan. Selanjutnya gelar santri mengalami penyempitan dan perluasan makna sebagai siswa atau murid yang sedang belajar keagamaan Islam di pesantren di bawah asuhan kiai atau ulama.
18.  Sidi
Gelar Sidi diberikan di Pariaman, Sumatera Barat dan berasal dari kata sayyidi, dan dari penjelasan yang diberikan Zulkifli tampak jelas bahwa sidi ini gelar yang sepadan dengan habib atau berarti keturunan Nabi Muhammad SAW.
19.  Sunan
Kata Sunan dalam terminologi Jawa memiliki kesamaan makna dengan susuhunan atau suhunan yang berarti jununan atau yang dijunjung tinggi. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Gelar ini biasa diberikan untuk mubaligh atau penyebar Islam, khususnya di pulau Jawa pada abad ke-15 hingga abad ke-16 (Walisongo). Gelar raja-raja keturunan Mataram seperti Surakarta juga menggunakan gelar Sunan. Orang Sunda menyebut Sunan bagi orang yang memiliki kedudukan terhormat (Sunan Ambu, sebagai permisalan).
20.  Teungku
Teungku merupakan sebutan bagi ulama di Aceh, akan tetapi secara umum juga menjadi gelar sapaan bagi laki-laki dewasa di Aceh. Teungku juga bisa berarti gelar kepakaran dalam keagamaan di Aceh misal, Teungku Cik Di Tiro dan Teungku Daud Bireuh. Teungku di Aceh juga disematkan pada kiai atau guru ngaji, sementara sebutan Teungku bagi putri raja tidak diketahui oleh rakyatnya.
21.  Tuan Guru
Tuan Guru adalah sebutan bagi ulama di Nusa Tenggara dengan fungsi mendidik dan mengayomi umatnya.
22.  Tuanku
Tuanku diberikan kepada para santri yang telah menyelesaikan pendidikan di pesantren di daerah Padang, Sumatera Barat. Gelar Tuanku juga diberikan kepada syekh, kiai, guru yang diakui secara de jure dari adat. Dikatakan bahwa untuk meraih gelar Tuanku tidaklah mudah, harus memahami rukun tigo baleh surau dan tigo baleh kampung (ketek banamo, gadang bagala).
23.  Wali
Gelar Wali diberikan kepada ulama yang sudah mencapai tingkat yang tinggi, memiliki kemampuan pribadi yang luar biasa. Seringkali para wali dipanggil dengan sunan seperti halnya para raja. Wali adalah orang-orang suci yang menyebarkan Islam di tanah Jawa. Terdapat sembilan orang yang patut dianggap Wali berdasar konsensus para ulama dan raja waktu itu. Latar belakang kehidupan para Wali juga berragam, ada yang berlatarbelakang mubalig, pedagang, dan ada pula yang dari politik.
24.  Zilullah fil Alam
Gelar ini berasal dari bahasa Arab yang artinya bayang-bayang Allah di muka bumi. Gelar ini banyak dipakai penguasa Malaka untuk penunjukan eksistensi raja, begitu pula yang dilakukan Kesultanan Aceh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar