3. Teori Dinamika Kelompok
Ruth
Benedict menjelaskan bahwa persoalan yang ada dalam dinamika kelompok dapat
diuraikan sebagai berikut,
a.
Kohesi atau persatuan
Dalam persoalan kohesi
akan dilihat tingkah laku anggota masyarakat dalam kelompok, seperti proses
pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai kelompok, dan sebagainya
b.
Motif atau dorongan
Persoalan motif ini
berkisar pada interest anggota
terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama,
orientasi diri terhadap kelompok, dan sebagainya.
c.
Struktur
Persoalan ini terlihat
pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan kedudukan antaranggota,
pembagian tugas, dan sebagainya.
d.
Pimpinan
Persoalan pimpinan
tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini terlihat pada
bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas impinan, sistem kepemimpinan, dan sebagainya.
e.
Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan
kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok selanjutnya, dan ini terlihat
pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota masyarakat tetap berada dalam
kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.[1]
Pembahasan
mengenai dinamika kelompok juga ditekankan pada beberapa pendekatan yang
memengaruhi para ahli seperti ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi
sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai bidang eksperimen
saja. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pandangan antara lain Bales dan
Hormans, Stogdill, Sigmund Freud dan Scheidlinger, serta Yennings dan Moreno.
a. Pendekatan oleh Bales dan Hormans
Pendekatan ini
mendasarkan diri pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam
suatu kelompok. Hormans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok
maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi dengan
sifat-sifat :
1)
adanya stratifikasi kedudukan warga
2)
adanya diferensiasi dalam hubungan dan
pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain
3)
adanya perkembangan pada sistem intern
kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar kelompok.
b. Pendekatan oleh Stogdill
Pendekatan ini lebih
menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal.
Stognill menambahkan bahwa apa yang disebut kepemimpinan adalah suatu proses
yang memengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk
mencapai tujuan kelompok.
c. Pendekatan dari Ahli Psycho
Analysis oleh Sigmund Freud dan Scheidlinger
Scheidlinger
berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional sangat memegang peranan
penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan dapat berbentuk apabila
didasarkan pada kesamaan motif antaranggota kelompok. Demikian pula emosional
yang sama akan menjadi tenaga pemersatu dalam kelompok sehingga kelompok
tersebut semakin kukuh. Sementara itu Sigmund Freud berpendapat bahwa di dalam setiap
kelompok perlu adanya cohesiveness atau kesatuan kelompok, agar kelompok
tersebut dapat bertahan lama dan berkembang.
d. Pendekatan dari Yennings dan Moreno
Pendekatan ini
menggunakan konsepsi dari metode sosiometri, yang sangat cocok diterapkan dalam
kelompok. Yennings mengemukakan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan
efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap anggota kelompok yang lain
dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno dengan sosiometrinya berhasil
membedakan psikhe group dan socio group,
1)
Psikhe
group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar
suka atau tidak suka, simpati, atau antipasti antaranggota
4. Teori Kebudayaan
a) Kebudayaan
secara Umum
Dalam ilmu antropolgi, kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[3] Sementara
itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu
keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta
agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu
kelompok manusia. [4]
Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1)
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari
kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di
mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2)
Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri
dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul
satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita
dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3)
Wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai
kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan
benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga
sifatnya paling konkret.[5]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan
Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan,
aktivitas, dan artefak.[6]
Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan
universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata
pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem
ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[7]
b) Kebudayaan
Jawa
Dinamika sosial
sebagaimana didefinisikan melalui pendekatan-pendekatan tersebut juga melebur
dalam sistem budaya Jawa yang menjadi dinamika sosial dalam masyarakat.Secara
umum wilayah Jawa mempunyai kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan
mobilisasinya untuk menghasilkan produk-produk pertanian.Dengan jumlah penduduk
yang banyak itu maka institusi-institusi pendidikan juga banyak bermunculan di
Jawa terutama perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak pelajar dan
mahasiswa dari luar Jawa.Mereka lantas menyerap unsur-unsur tertentu dari
kebudayaan Jawa, baik dalam hal adat-kebiasaan dan bahasa.Akibat berupa
“keberterimaan Budaya Jawa” itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui
kiat-kiat khusus) menjadi “kebersamaan antarsuku bangsa”.[8] Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan
peneliti Jawa yang berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dri
wangsa-wangsa pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditenagari
juga mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan
bukti-bukti yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah
memiliki unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi,
ilmu perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem
pranata sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan
spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta
metrum dan sastra mantra.[9]
Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide
“Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan
ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumna
dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[10]
Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua
kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini
masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah
perkembangannya berbeda-beda. Masing-masing
berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk perkembangan
kreatif di dalamnya.[11]Begitu
pula dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Mrican yang didominasi oleh
masyarakat Jawa. Interaksi antar anggota masyarakat yang berlangsung secara
kontinyu tidak dapat dipungkiri akan membentuk
kebudayaan masyarakat itu sendiri.
5. Teori Sosiologi Konflik
Konflik adalah unsur terpenting
dalam kehidupan manusia. Beberapa ahli seperti George Simmel dan Lewis Coser
memandang bahwa konflik memiliki fungsi positif. Karl Marx dan Ibnu Khaldun
menyatakan bahwa konflik menjadi dinamika sejarah manusia. Sementara itu Max
Weber dan Ralf Dahrendorf menganggap jika konflik menjadi entitas hubungan
sosial, dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia
menurut Maslow, Max Neef, John Burton, dan Marshal Rosenberg.[12]
Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang
(interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik
antara kelompok dengan negara (vertical conflict), konflik antarnegara
(interstate conflict), dan tentunya setiap skala memiliki latar belakang dan
arah perkembangan yang berbeda-beda.[13]
Dalam konteks sosio historisnya,
teori konflik yang muncul pada abad kedelapan belas dan sembilan belas dapat
dimengerti sebagai respons dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi
dan industrialisasi.[14]
Sehingga kemunculan sosiologi konflik moden merupakan implikasi dari realitas
konflik dalam masyarakat industrial. Untuk itulah dalam membahas sosiologi
konflik kontemporer masih didasarkan pada tiga mahzab besar ilmu-ilmu sosial
dan teori sosiologi konflik klasik yakni aliran positivisme, humanisme, dan
kritik dalam ilmu sosial yang kerap menjadi perspektif yang sering digunakan
dalam studi konflik.
a)
Mahzab
Positivis
Sosiologi
konflik mahzab positivis pada dasarnya melahirkan sosiologi konflik struktural
dan banyak kalangan menyebutnya sebagai airan makro atau sosiologi konflik
makro. Oleh karenanya, mahzab ini memandang konflik sebagai bagian dari
dinamika gerakan struktural. Salah satu pengusung mahzab positivis, Dahrendorf,
menyatakan bahwa teori konflik yang ia kemukakan sebagai sosiologi konflik
dialektis yang menjelaskan proses terus-menerus distribusi kekuasaan dan
wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi. Sehingga kenyataan sosial,
baginya, merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam
bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.[15]
Coser menyatakan bahwa konflik tidak hanya berwajah negatif melainan juga
memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial
yang diakibatkannya. Konflik sosial yang dimaksudkannya ialah konflik yang
berlangsung dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada
kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian
memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial.[16]
b)
Mahzab
Humanisme
Aliran
ini, kemungkinan, dimanfaatkan untuk menganalisis konflik masyarakat terutama
pada konflik mikro atau konflik antarindividu dan individu terhadap kelompok.
Mahzab ini menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, teori konstruksi
sosial atau fenomenologi.[17]
Interaksionisme simbolik digunakan dalam sosiologi konflik untuk melihat
berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan spesifik. Lebih
lanjut kajian konstruksi sosial juga dikembangkan dari sosiologi pengetahuan
sebagai manifestasi dari dialektika kenyataan. Dalam kajian konstruksi sosial
Paul Lederach, konflik diasumsikan sebagai:
1)
Konflik sosial
dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu pengalaman-pengalaman umum yang hadir
di setiap hubungan dan budaya.
2)
Konflik dipahami
sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya
terjadi pada seseorang, tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan
situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai konflik.
3)
Konflik muncul
melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna
bersama.
4)
Proses interaktif
disempurnakan melalui dan diakarkan dalam perspektif manusia, interpretasi,
ekspresi, dan niatan-niatan, yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali ke
kesadaran umum mereka (common sense).
5)
Pemaknaan muncul
sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu yang sosial
seperti situasi, kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka.
6)
Kebudayaan berakar
di dalam pengetahuan bersama dan skema-skema dan digunakan oleh sekelompok
orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespons kenyataan
sosial di sekitar mereka.
7)
Pemahaman hubungan
konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari kesadaran,
tetapi lebih jauh petualangan yang dalam dari penemuan dan penggalian
arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari sekelompok orang.[18]
E. Metode
Pengumpulan data
dalam penelitian ini kami lakukan dengan menggunakan metode studi pustaka,
observasi dan wawancara individual mendalam. Studi pustaka kami lakukan dengan
menelaah bahan-bahan pustaka yang memuat informasi mengenai aspek interaksi
sosial, dinamika kelompok, perwujudan nilai dan norma masyarakat, kebudayaan
jawa, dan sosio-religi. Obervasi kami lakukan selama enam hari di dusun Mrican,
Desa Kemujan, Kelurahan Kemujan, Kecamatan Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa
Tengah. Observasi dilakukan dengan mengamati kehidupan masyarakat setempat dan kondisi
sosio-geografis yang ada di dusun Mrican. Dalam
observasi kami juga melakukan perekaman secara audio-visual dengan menggunakan handphone, handycam dan kamera digital. Hasil
perekaman audio-visual yang diperoleh dapat diamati ulang antara lain untuk mendapatkan
detail-detail yang diperlukan, mengingat penelitian ini hanya berlangsung
selama 4
(empat)
hari. Mengikuti Sevilla, pengamatan ulang atas peristiwa yang telah berlangsung
dengan memanfaatkan media rekam disebut observasi Ex-Post Facto.[19] Selain menggunakan metode studi pustaka dan observasi, usaha
pengumpulan data juga kami lakukan melalui wawancara. Informan yang kami wawancarai
meliputi penduduk setempat, kepala PAUD, tokoh masyarakat setempat, dan kepala
dusun Mrican.Wawancara dengan pihak-pihak tersebut dilakukan dengan maksud
untuk menggali informasi mengenai fenomena sosial yang terdapat di dusun Mrican.
Secara teoritik, kami melandaskan metode penelitian kami
ke dalam penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan model penelitian yang kami
letakkan ke dalam kerangka pemikiran dunia subjektif individu yang momot nilai,
memiliki ideologi dan pandangan hidup.[20]
Penelitian kami tidak hanya didasarkan pada pengungkapan dan pemahaman makna
yang terkandung dalam dunia subjektif individu atau dimensi etik, melainkan juga dimaksudkan untuk
mendapatkan makna dari sudut pandang dari dalam dunia subjektif atau dimensi emik. Dalam kondisi demikian, maka interaksi
secara langsung dan intensif antara yang diteliti dengan peneliti adalah suatu
keharusan.[21]
[1] Slamet Santosa, op.cit., hlm.7.
[3]
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu
Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 180.
[5]
Koentjaraningrat, op.cit., hlm.
188.
[6]
Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm.
11.
[8]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2010), hlm. 389.
[9]
Ki Sondong Mandali, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan
Sekar Jagad, 2010), hlm. 14.
[12] Novri Susan,
Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik
Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 4.
[19] Consuelo G. Sevilla et.al, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta :
Universitas Indonesia, 1993), hlm.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar