Selasa, 04 September 2012

MRICAN SEBAGAI DIMENSI KOMPLEKSITAS KEBUDAYAAN JAWA TENGAH Studi Kasus Dinamika Sosial Dusun Mrican, Desa Kemujan, Karimunjawa (Bagian 2)


3. Teori Dinamika Kelompok
Ruth Benedict menjelaskan bahwa persoalan yang ada dalam dinamika kelompok dapat diuraikan sebagai berikut,
a.       Kohesi atau persatuan
Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota masyarakat dalam kelompok, seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai kelompok, dan sebagainya
b.      Motif atau dorongan
Persoalan motif ini berkisar pada interest anggota terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap kelompok, dan sebagainya.
c.       Struktur
Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan kedudukan antaranggota, pembagian tugas, dan sebagainya.
d.      Pimpinan
Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas impinan, sistem kepemimpinan, dan sebagainya.
e.       Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok selanjutnya, dan ini terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota masyarakat tetap berada dalam kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.[1]
Pembahasan mengenai dinamika kelompok juga ditekankan pada beberapa pendekatan yang memengaruhi para ahli seperti ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai bidang eksperimen saja. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pandangan antara lain Bales dan Hormans, Stogdill, Sigmund Freud dan Scheidlinger, serta Yennings dan Moreno.
a.      Pendekatan oleh Bales dan Hormans   
Pendekatan ini mendasarkan diri pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam suatu kelompok. Hormans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi dengan sifat-sifat :
1)      adanya stratifikasi kedudukan warga
2)      adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain
3)      adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar kelompok.
b.      Pendekatan oleh Stogdill
Pendekatan ini lebih menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal. Stognill menambahkan bahwa apa yang disebut kepemimpinan adalah suatu proses yang memengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk mencapai tujuan kelompok.
c.       Pendekatan dari Ahli Psycho Analysis oleh Sigmund Freud dan Scheidlinger
Scheidlinger berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional sangat memegang peranan penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan dapat berbentuk apabila didasarkan pada kesamaan motif antaranggota kelompok. Demikian pula emosional yang sama akan menjadi tenaga pemersatu dalam kelompok sehingga kelompok tersebut semakin kukuh. Sementara itu Sigmund Freud berpendapat bahwa di dalam setiap kelompok perlu adanya cohesiveness atau kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat bertahan lama dan berkembang.
d.      Pendekatan dari Yennings dan Moreno
Pendekatan ini menggunakan konsepsi dari metode sosiometri, yang sangat cocok diterapkan dalam kelompok. Yennings mengemukakan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap anggota kelompok yang lain dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno dengan sosiometrinya berhasil membedakan psikhe group dan socio group,
1)      Psikhe group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar suka atau tidak suka, simpati, atau antipasti antaranggota
2)      Socio group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar tekanan dari pihak luar.[2]
4. Teori Kebudayaan
a)      Kebudayaan secara Umum
Dalam ilmu antropolgi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[3] Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [4] Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1)      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2)      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3)      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling konkret.[5]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[6] Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[7]

b)     Kebudayaan Jawa
Dinamika sosial sebagaimana didefinisikan melalui pendekatan-pendekatan tersebut juga melebur dalam sistem budaya Jawa yang menjadi dinamika sosial dalam masyarakat.Secara umum wilayah Jawa mempunyai kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan mobilisasinya untuk menghasilkan produk-produk pertanian.Dengan jumlah penduduk yang banyak itu maka institusi-institusi pendidikan juga banyak bermunculan di Jawa terutama perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak pelajar dan mahasiswa dari luar Jawa.Mereka lantas menyerap unsur-unsur tertentu dari kebudayaan Jawa, baik dalam hal adat-kebiasaan dan bahasa.Akibat berupa “keberterimaan Budaya Jawa” itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui kiat-kiat khusus) menjadi “kebersamaan antarsuku bangsa”.[8] Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan peneliti Jawa yang berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dri wangsa-wangsa pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditenagari juga mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan bukti-bukti yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah memiliki unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi, ilmu perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem pranata sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta metrum dan sastra mantra.[9] Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide “Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumna dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[10] Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah perkembangannya berbeda-beda. Masing-masing berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk perkembangan kreatif di dalamnya.[11]Begitu pula dengan kehidupan sosio-kultural masyarakat Mrican yang didominasi oleh masyarakat Jawa. Interaksi antar anggota masyarakat yang berlangsung secara kontinyu tidak dapat dipungkiri akan membentuk kebudayaan masyarakat itu sendiri.
5. Teori Sosiologi Konflik
            Konflik adalah unsur terpenting dalam kehidupan manusia. Beberapa ahli seperti George Simmel dan Lewis Coser memandang bahwa konflik memiliki fungsi positif. Karl Marx dan Ibnu Khaldun menyatakan bahwa konflik menjadi dinamika sejarah manusia. Sementara itu Max Weber dan Ralf Dahrendorf menganggap jika konflik menjadi entitas hubungan sosial, dan konflik adalah bagian dari proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia menurut Maslow, Max Neef, John Burton, dan Marshal Rosenberg.[12] Konflik bisa muncul pada skala yang berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antarkelompok (intergroup conflict), konflik antara kelompok dengan negara (vertical conflict), konflik antarnegara (interstate conflict), dan tentunya setiap skala memiliki latar belakang dan arah perkembangan yang berbeda-beda.[13]
            Dalam konteks sosio historisnya, teori konflik yang muncul pada abad kedelapan belas dan sembilan belas dapat dimengerti sebagai respons dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi.[14] Sehingga kemunculan sosiologi konflik moden merupakan implikasi dari realitas konflik dalam masyarakat industrial. Untuk itulah dalam membahas sosiologi konflik kontemporer masih didasarkan pada tiga mahzab besar ilmu-ilmu sosial dan teori sosiologi konflik klasik yakni aliran positivisme, humanisme, dan kritik dalam ilmu sosial yang kerap menjadi perspektif yang sering digunakan dalam studi konflik.
a)      Mahzab Positivis
Sosiologi konflik mahzab positivis pada dasarnya melahirkan sosiologi konflik struktural dan banyak kalangan menyebutnya sebagai airan makro atau sosiologi konflik makro. Oleh karenanya, mahzab ini memandang konflik sebagai bagian dari dinamika gerakan struktural. Salah satu pengusung mahzab positivis, Dahrendorf, menyatakan bahwa teori konflik yang ia kemukakan sebagai sosiologi konflik dialektis yang menjelaskan proses terus-menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara kelompok-kelompok terkoordinasi. Sehingga kenyataan sosial, baginya, merupakan siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dalam bermacam-macam tipe kelompok terkoordinasi dari sistem sosial.[15] Coser menyatakan bahwa konflik tidak hanya berwajah negatif melainan juga memiliki fungsi positif terhadap masyarakat melalui perubahan-perubahan sosial yang diakibatkannya. Konflik sosial yang dimaksudkannya ialah konflik yang berlangsung dalam sistem sosial, lebih khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, dan produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial.[16]
b)      Mahzab Humanisme
Aliran ini, kemungkinan, dimanfaatkan untuk menganalisis konflik masyarakat terutama pada konflik mikro atau konflik antarindividu dan individu terhadap kelompok. Mahzab ini menggunakan pendekatan interaksionisme simbolik, teori konstruksi sosial atau fenomenologi.[17] Interaksionisme simbolik digunakan dalam sosiologi konflik untuk melihat berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan spesifik. Lebih lanjut kajian konstruksi sosial juga dikembangkan dari sosiologi pengetahuan sebagai manifestasi dari dialektika kenyataan. Dalam kajian konstruksi sosial Paul Lederach, konflik diasumsikan sebagai:
1)      Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah, suatu pengalaman-pengalaman umum yang hadir di setiap hubungan dan budaya.
2)      Konflik dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial. Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang, tetapi orang merupakan peserta aktif dalam menciptakan situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai konflik.
3)      Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan penciptaan makna bersama.
4)      Proses interaktif disempurnakan melalui dan diakarkan dalam perspektif manusia, interpretasi, ekspresi, dan niatan-niatan, yang semuanya tumbuh dari dan berputar kembali ke kesadaran umum mereka (common sense).
5)      Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sesuatu yang sosial seperti situasi, kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan terkumpul mereka.
6)      Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skema dan digunakan oleh sekelompok orang untuk merasakan, menafsirkan, mengekspresikan, dan merespons kenyataan sosial di sekitar mereka.
7)      Pemahaman hubungan konflik sosial dan budaya tidak hanya satu pertanyaan sensitif dari kesadaran, tetapi lebih jauh petualangan yang dalam dari penemuan dan penggalian arkeologis dari pengetahuan umum bersama dari sekelompok orang.[18]

E. Metode
Pengumpulan data dalam penelitian ini kami lakukan dengan menggunakan metode studi pustaka, observasi dan wawancara individual mendalam. Studi pustaka kami lakukan dengan menelaah bahan-bahan pustaka yang memuat informasi mengenai aspek interaksi sosial, dinamika kelompok, perwujudan nilai dan norma masyarakat, kebudayaan jawa, dan sosio-religi. Obervasi kami lakukan selama enam hari di dusun Mrican, Desa Kemujan, Kelurahan Kemujan, Kecamatan Karimun Jawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Observasi dilakukan dengan mengamati kehidupan masyarakat setempat dan kondisi sosio-geografis yang ada di dusun Mrican. Dalam observasi kami juga melakukan perekaman secara audio-visual dengan menggunakan handphone, handycam dan kamera digital. Hasil perekaman audio-visual yang diperoleh dapat diamati ulang antara lain untuk mendapatkan detail-detail yang diperlukan, mengingat penelitian ini hanya berlangsung selama 4 (empat) hari. Mengikuti Sevilla, pengamatan ulang atas peristiwa yang telah berlangsung dengan memanfaatkan media rekam disebut observasi Ex-Post Facto.[19] Selain menggunakan metode studi pustaka dan observasi, usaha pengumpulan data juga kami lakukan melalui wawancara. Informan yang kami wawancarai meliputi penduduk setempat, kepala PAUD, tokoh masyarakat setempat, dan kepala dusun Mrican.Wawancara dengan pihak-pihak tersebut dilakukan dengan maksud untuk menggali informasi mengenai fenomena sosial yang terdapat di dusun Mrican.
Secara teoritik, kami melandaskan metode penelitian kami ke dalam penelitian kualitatif. Hal ini disebabkan model penelitian yang kami letakkan ke dalam kerangka pemikiran dunia subjektif individu yang momot nilai, memiliki ideologi dan pandangan hidup.[20] Penelitian kami tidak hanya didasarkan pada pengungkapan dan pemahaman makna yang terkandung dalam dunia subjektif individu atau dimensi etik, melainkan juga dimaksudkan untuk mendapatkan makna dari sudut pandang dari dalam dunia subjektif atau dimensi emik. Dalam kondisi demikian, maka interaksi secara langsung dan intensif antara yang diteliti dengan peneliti adalah suatu keharusan.[21]

[1] Slamet Santosa, op.cit., hlm.7.
[2] Slamet Santosa, op.cit., hlm. 8-9.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 180.
[4] Yan Mujianto, dkk. Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 1.
[5] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[6] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 11.
[7] ibid., hlm. 13-19.
[8]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 389.
[9] Ki Sondong Mandali, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010), hlm. 14.
[10] ibid., hlm. 18.
[11]Edi Sedyawati, op.cit.., hlm. 393.
[12] Novri Susan, Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 4.
[13] ibid., hlm. 5.
[14] Mc. Quarrie, dalam Novri Susan, ibid., hlm. 48.
[15] Novri Susan, op.cit., hlm. 52.
[16] Wallace dan Wolf, dalam Novri Susan, ibid., hlm. 54
[17] Novri Susan, ibid., hlm. 60
[18] Novri Susan, op.cit., hlm. 68.
[19] Consuelo G. Sevilla et.al, Pengantar Metode Penelitian, (Jakarta : Universitas Indonesia, 1993), hlm.24
[20] Dr. Yety Rochwulaningsih, dalam paper Teori Kritis dan Metodologinya, hlm. 3.
[21] AZ. B. Marvati dalam paper Teori Kritis dan Metodologinya, hlm. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar