Jumat, 28 September 2012

TINJAUAN PERSPEKTIF EKONOMI BISNIS DALAM ETOS DAGANG MANGKUNEGARAN DAN KOMPARASI KONSEP MANAJEMEN PRODUKSI INDUSTRI MANGKUNEGARAN DARI MANGKUNEGARA I HINGGA MANGKUNEGARA VII (1779-1944)



TINJAUAN PERSPEKTIF EKONOMI BISNIS DALAM ETOS DAGANG MANGKUNEGARAN DAN KOMPARASI KONSEP
MANAJEMEN PRODUKSI INDUSTRI MANGKUNEGARAN
DARI MANGKUNEGARA I HINGGA MANGKUNEGARA VII
(1779-1944)

Sebuah Prolog ........
Fadhil Nugroho Adi


 
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal....” (QS Yusuf : 111)

“Saiba becike samangsa wong kang lagi kasinungan kabegjan lan nampa kabungahan iku tansah eling gedhe ngucap syukur marang Kang Peparing. Awit elinga yen tumindak kaya mangkono mau kejaba isa ngilangi watak jubriya uga mletikake rasa rumangsa yen wong dilairake ing donya iku sejatine mung dadi lelantaran melu urun-urun tetulung marang sapadha-padhane titah, mbengkas kasangsaran,munggahe melu ngreksa hayuning jagad” 
(Memayu Hayuning Pribadi)




Indonesia, sebagai negeri yang memiliki keunikan tersendiri dalam ragam budayanya yang memesona, terkadang masih menyelipkan tanda tanya di balik dinamikanya yang telah diawali dengan kejayaan Hindu-Buddha di abad V Masehi. Dinamika itupun terus bergulir, seiring dengan waktu, terus dan terus: masa peradaban Islam, masa penjajahan bangsa kolonial, masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Salah satu dari sekian suku yang mendominasi arus dinamika sosial di Indonesia adalah Jawa. Kerapkali orang menyebutnya sebagai “orang Jawa”. Orang Jawa, sebagaimana orang-orang jamak mengidentikkan keturunan suku Jawa, secara sederhana dapat dinyatakan sebagai orang yang mempunyai bahasa ibu bahasa Jawa. Orang Jawa sebagian besar bermukim di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan beberapa kekhasan yang dimiliki seperti nilai-nilai budaya Jawa budi luhur, lembah manah, tepa slira, dan sebagainya. Tujuannya adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan dengan terlahirnya sikap rukun, saling menghormati, menghargai, dan menghindari konflik.[1]
Secara umum kebudayaan Jawa berpusat pada wilayah-wilayah pedalaman, oleh karenanya beberapa pusat pemerintahan juga didirikan di wilayah-wilayah tersebut. Ada dua wilayah yang sama-sama berasal dari pecahan Kerajaan Mataram Islam, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta memiliki pusat kendali di Keraton Kasunanan dengan kadipaten berada di Pura Mangkunegaran, sementara Yogyakarta memiliki pusat kendali di Keraton Kasultanan dengan kadipaten berada di Pura Paku Alaman.[2] Kedua kekuatan Jawa ini terus menjaga eksistensi nilai-nilai kebudayaan lokal (local wisdom) beserta karakteristik yang menyertainya.
Pura Paku Alaman yang saat ini ikut andil dalam penetapannya sebagai wakil gubernur memiliki kontur perbedaan yang begitu kentara dengan kadipaten di daerah istimewa lainnya, yakni Mangkunegaran. Perbedaan itulah yang menjadi dasar penulisan skripsi ini, dan secara ringkas dapat diuraikan dalam 3 (tiga) poin:
1.      Keterbatasan sumber. Sumber sejarah baik itu sumber asing, sumber lokal (bahasa Jawa) maupun sumber dalam bahasa Indonesia, sangat sulit atau justru tidak diketemukan sama sekali selama kurun perkembangannya yang cukup panjang, yakni sekitar satu abad. Hal ini terungkap dari penuturan KPH Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, rektor Universitas Gajah Mada, lewat buah karyanya yang berjudul Kadipaten Pakualaman.[3]
2.      Para petinggi Pakualaman hanya sebatas berkecimpung dalam urusan kemiliteran. Hal ini memberi garis penegas yang begitu tebal dengan Pura Mangkunegaran. Fakta akan hal tersebut dapat ditelaah melalui pemerintahan beberapa penguasa Mangkunegaran. Sebagai contoh, Mangkunegara I yang menjabat sebagai pemimpin di Kadipaten Mangkunegaran tidak hanya mengurusi masalah politik saja, melainkan turut berperan dalam pembangunan lima pasar di Praja Mangkunegara sepanjang tahun 1779-1791. Sektor ekonomi kerakyatan menjadi poin penting yang perlu dicatat dan patut dianalogikan dengan konsep ekonomi kerakyatan yang sekarang kerap dijadikan komoditi politik pejabat pemerintahan. Mangkunegara I juga terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, dan bertindak sebagai pembeli. Kebijakan lain yang memperlihatkan kemajuan emansipasi wanita adalah dilibatkannya prajurit wanita dalam kesatuan tempur praja Mangkunegaran, dan Mangkunegara I turun langsung untuk melatih keterampilan para prajurit wanita tersebut.[4]
3.      Otomatis, dengan tidak berkecimpungnya petinggi Paku Alaman dalam aspek-aspek lainnya seperti perekonomian, justru menyebabkan terpotretnya etos dagang Mangkunegara IV yang mencerminkan pengorganisasian manajemen stakeholders-approach demi efisiensi tujuan etos dagang yang baru (modern) sesuai pada masanya, terutama di bidang perkebunan. Dalam mengaplikasikannya, beliau tidak hanya berdasarkan falsafah dan nilai-nilai luhur Jawa melainkan juga mengadopsi sistem ekonomi Islam. Hal ini tercermin misalnya dari sikap wedi, isin, dan sungkan yang menunjukkan acuan dasar atas cara bersikap baik atau hormat dan peduli secara teratur. [5] Secara implisit, falsafah tersebut searah maksudnya dengan cara bersikap etis melalui tata krama Jawa modern atas etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, pola dan acuan dasar struktur pemikiran manajemen stake-holders approach-nya demi efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai baik pada masanya dan bagi etos dagang Jawa selanjutnya, atau pada umumnya (audit sosial).[6] Hal ini tentu selaras dengan etika ekonomi perdagangan dalam Islam, sebagaimana keyakinan yang dipeluk Sri Mangkunegara IV. Islam memiliki larangan untuk  memperdagangkan barang haram; bersikap benar, amanah, dan jujur; menegakkan keadilan dan mengharamkan bunga; menerapkan kasih sayang dan mengharamkan monopoli; menegakkan toleransi dan persaudaraan; serta berpegang pada prinsip bahwa perdagangan adalah bekal menuju akhirat.[7]
Perpaduan etos dagang Islam dan Jawa yang adiluhung serta ekonomi kerakyatan yang diusung praja Mangkunegaran ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Mangkunegaran memiliki dua pabrik gula yang besar di masanya yakni pabrik gula Colomadu dan Tasikmadu.[8] Keberadaan dua pabrik gula tersebut masih ditambah lagi dengan lahan milik praja Mangkunegaran yang sekarang menjadi salah satu bagian dari Universitas Indonesia, Depok. Hal ini sungguh mengherankan, karena kekuasaan Mangkunegara yang terbatas pada skup kadipaten ternyata mampu memperluas “eskpansi”nya hingga wilayah lain di Jawa Barat. Berbanding terbalik dengan keberadaan 13 pabrik gula di Pekalongan hingga Tegal yang seluruhnya milik gabungan perusahaan Belanda seperti NHM, Koloniale Bank, NILM/NI Handelbank, dan Internatio.[9]
Dengan demikian beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi perekonomian praja Mangkunegaran yang hanya sebatas kadipaten memang begitu besar berkembang dan hampir sejajar dengan kepemilikan pabrik gula atas satu perusahaan Belanda. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisa dan kajian kritis terhadap struktur politik maupun ekonomi Mangkunegaran, mengingat ajaran-ajaran Mangkunegara yang begitu tegas seperti etika keselarasan sosial yang mengutamakan kerukunan dan konformitas sosial, etika kepemimpinan, dan nilai pendidikan dan keutamaan yang dirinci dalam nilai kedisiplinan, nilai kewaspadaan, dan nilai kesetiaan dan kepatuhan yang kesemuanya tercermin dalam Serat Wirawiyata yang diajarkan KGPAA Mangkunegara I.[10] Tentunya nilai-nilai yang diinternalisasi KGPAA Mangkunegara I serta dieksternalisasikan ke seluruh praja Mangkunegaran juga memengaruhi keberlangsungan kehidupan praja Mangkunegaran dalam berbagai aspek.
*
Pembatasan bahasan merupakan hal mutlak bagi diperlukan mengingat luasnya masalah dalam kehidupan masyarakat. Ruang lingkup juga membantu agar tidak terjerumus ke dalam pembahasan yang terlalu luas.[11]
Dalam kajian ini penulis mengambil tiga aspek ruang lingkup, yakni aspek temporal, aspek spasial, dan aspek keilmuan. Secara temporal, penulis memilih tahun 1779 hingga 1944 atau pada masa pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara VII. Sementara secara spasial penulis mengambil Pura Mangkunegaran sebagai pusat pembahasan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan penulis akan mengambil Surakarta sebagai perluasan kajian. Secara keilmuan penulis akan mempergunakan Sejarah Ekonomi Masa Kolonial dengan dibantu ilmu-ilmu lain seperti ilmu manajemen, ilmu politik, dan ilmu agama.
*
            Kajian ini tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan sumber-sumber terkait yang memiliki kesamaan analisis. Beberapa pustaka utama yang dijadikan rujukan adalah Serat Wirawiyata (1990), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (2002), Etos Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV (2007), Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005), Manajemen Sumber Daya Manusia (2004) serta Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa (2009). Penulis merasa perlu untuk mengambil literatur manajemen sumbe daya manusia karena begitu banyak kebijakan raja-raja Mangkunegara yang didasarkan atas falsafah Jawa memiliki keterkaitan dengan struktur politik dan ekonomi perdagangan praja Mangkunegaran.
*
            Kajian historis-ekonomi ini tidak melulu mengedepankan masalah penting atau tidaknya kegiatan perekonomian, atau seberapa besar kegiatan ekonomi berlangsung selama pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IV, akan tetapi kajian ini memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek lain yang bisa dijelaskan lewat beberapa teori.
Pertama, mengenai Teori Kebudayaan. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[12] Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [13] Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1)      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2)      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3)      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling konkret.[14]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[15] Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[16]
Konsep kebudayaan kemudian mengerucut lagi ke dalam kebudayaan Jawa. Secara umum wilayah Jawa mempunyai kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan mobilisasinya untuk menghasilkan produk-produk pertanian.Dengan jumlah penduduk yang banyak itu maka institusi-institusi pendidikan juga banyak bermunculan di Jawa terutama perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak pelajar dan mahasiswa dari luar Jawa.Mereka lantas menyerap unsur-unsur tertentu dari kebudayaan Jawa, baik dalam hal adat-kebiasaan dan bahasa.Akibat berupa “keberterimaan Budaya Jawa” itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui kiat-kiat khusus) menjadi “kebersamaan antarsuku bangsa”.[17] Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan peneliti Jawa yang berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dri wangsa-wangsa pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditenagari juga mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan bukti-bukti yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah memiliki unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi, ilmu perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem pranata sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta metrum dan sastra mantra.[18] Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide “Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumna dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[19] Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah perkembangannya berbeda-beda. Masing-masing berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk perkembangan kreatif di dalamnya.[20]
Teori berikutnya yang penulis gunakan adalah Teori Dinamika Kelompok, mengingat dinamika ekonomi perdagangan yang pasti berlangsung di dalam praja Mangkunegaran itu sendiri. Ruth Benedict menjelaskan bahwa persoalan yang ada dalam dinamika kelompok dapat diuraikan sebagai berikut,
1.      Kohesi atau persatuan
Dalam persoalan kohesi akan dilihat tingkah laku anggota masyarakat dalam kelompok, seperti proses pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai kelompok, dan sebagainya
2.      Motif atau dorongan
Persoalan motif ini berkisar pada interest anggota terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama, orientasi diri terhadap kelompok, dan sebagainya.
3.      Struktur
Persoalan ini terlihat pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan kedudukan antaranggota, pembagian tugas, dan sebagainya.
4.      Pimpinan
Persoalan pimpinan tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini terlihat pada bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas impinan, sistem kepemimpinan, dan sebagainya.
5.      Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok selanjutnya, dan ini terlihat pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota masyarakat tetap berada dalam kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.[21]
Pembahasan mengenai dinamika kelompok juga ditekankan pada beberapa pendekatan yang memengaruhi para ahli seperti ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang menganggap dinamika kelompok sebagai bidang eksperimen saja. Hal ini dapat dilihat dalam berbagai pandangan antara lain Bales dan Hormans, Stogdill, Sigmund Freud dan Scheidlinger, serta Yennings dan Moreno.
a.      Pendekatan oleh Bales dan Hormans   
Pendekatan ini mendasarkan diri pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam suatu kelompok. Hormans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi dengan sifat-sifat :
1)      adanya stratifikasi kedudukan warga
2)      adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok yang satu dengan yang lain
3)      adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya pengaruh faktor-faktor dari luar kelompok.
b.      Pendekatan oleh Stogdill
Pendekatan ini lebih menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal. Stognill menambahkan bahwa apa yang disebut kepemimpinan adalah suatu proses yang memengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk mencapai tujuan kelompok.
c.       Pendekatan dari Ahli Psycho Analysis oleh Sigmund Freud dan Scheidlinger
Scheidlinger berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional sangat memegang peranan penting dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan dapat berbentuk apabila didasarkan pada kesamaan motif antaranggota kelompok. Demikian pula emosional yang sama akan menjadi tenaga pemersatu dalam kelompok sehingga kelompok tersebut semakin kukuh. Sementara itu Sigmund Freud berpendapat bahwa di dalam setiap kelompok perlu adanya cohesiveness atau kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat bertahan lama dan berkembang.
d.      Pendekatan dari Yennings dan Moreno
Pendekatan ini menggunakan konsepsi dari metode sosiometri, yang sangat cocok diterapkan dalam kelompok. Yennings mengemukakan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap anggota kelompok yang lain dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno dengan sosiometrinya berhasil membedakan psikhe group dan socio group.
1)      Psikhe group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar suka atau tidak suka, simpati, atau antipasti antaranggota
2)      Socio group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar tekanan dari pihak luar.[22]


[1] Sarjana Hadiatmaja, Pranata Sosial Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2009), hlm. 33.
[2] Pecahnya persatuan antara Pangeran Mangkubumi (pendiri Paku Alaman) dengan Adipati Arya Mangkunegara (pendiri Mangkunegaran) dijelaskan dalam banyak versi. Hal ini terungkap dalam tulisan KGPH Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat yang mengambil literatur dari Kasultanan Yogyakarta dan menyebut hasutan Tumenggung Sujanaputra kepada AA Mangkunegara sebagai penyebabnya. Dalam literatur lain, yakni Babad Panambangan dikatakan bahwa keretakan hubungan antara dua pangeran Mataram tersebut terjadi usai penaklukkan Ponorogo, tepatnya dalam hal pampasan perang.
[3] Soedarisman Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), hlm. vii.
[4] Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat, Sambernyawa Menggugat Indonesia, (Jakarta: Titik Media Publisher, 2011), hlm. 27.
[5] Daryono, Etos Dagang orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 186.
[6] ibid., hlm. 234.
[7] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 173.
[8] Wawancara dengan Dra. Retno Puspitosari Sayuto dari Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah, 7 Juli 2012
[9] J. Thomas Lindblad, ed.., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 183.
[10] Tim Pengkaji Serat Wirawiyata, Serat Wirawiyata, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktrat Jenderal Kebudayaan Direkorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990), hlm. 70.
[11]Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 28.
[12] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 180.
[13] Yan Mujianto, dkk. Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm. 1.
[14] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[15] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 11.
[16] ibid., hlm. 13-19.
[17]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 389.
[18] Ki Sondong Mandali, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010), hlm. 14.
[19] ibid., hlm. 18.
[20]Edi Sedyawati, op.cit., hlm. 393.
[21] Slamet Santosa, Dinamika Kelompok, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm.7.
[22] Slamet Santosa, op.cit., hlm. 8-9.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar