TINJAUAN
PERSPEKTIF EKONOMI BISNIS DALAM ETOS DAGANG MANGKUNEGARAN DAN KOMPARASI KONSEP
MANAJEMEN
PRODUKSI INDUSTRI MANGKUNEGARAN
DARI
MANGKUNEGARA I HINGGA MANGKUNEGARA VII
(1779-1944)
Sebuah Prolog ........
Fadhil
Nugroho Adi
“Sesungguhnya
pada kisah-kisah mereka terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal....”
(QS Yusuf : 111)
“Saiba
becike samangsa wong kang lagi kasinungan kabegjan lan nampa kabungahan iku
tansah eling gedhe ngucap syukur marang Kang Peparing. Awit elinga yen tumindak
kaya mangkono mau kejaba isa ngilangi watak jubriya uga mletikake rasa rumangsa
yen wong dilairake ing donya iku sejatine mung dadi lelantaran melu urun-urun
tetulung marang sapadha-padhane titah, mbengkas kasangsaran,munggahe melu
ngreksa hayuning jagad”
(Memayu Hayuning Pribadi)
(Memayu Hayuning Pribadi)
Indonesia, sebagai negeri yang memiliki
keunikan tersendiri dalam ragam budayanya yang memesona, terkadang masih
menyelipkan tanda tanya di balik dinamikanya yang telah diawali dengan kejayaan
Hindu-Buddha di abad V Masehi. Dinamika itupun terus bergulir, seiring dengan
waktu, terus dan terus: masa peradaban Islam, masa penjajahan bangsa kolonial,
masa pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Salah satu dari sekian suku yang
mendominasi arus dinamika sosial di Indonesia adalah Jawa. Kerapkali orang
menyebutnya sebagai “orang Jawa”. Orang Jawa, sebagaimana orang-orang jamak
mengidentikkan keturunan suku Jawa, secara sederhana dapat dinyatakan sebagai
orang yang mempunyai bahasa ibu bahasa Jawa. Orang Jawa sebagian besar bermukim
di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan beberapa kekhasan yang dimiliki
seperti nilai-nilai budaya Jawa budi
luhur, lembah manah, tepa slira, dan sebagainya. Tujuannya
adalah untuk mewujudkan kedamaian dan ketenteraman dalam kehidupan dengan
terlahirnya sikap rukun, saling menghormati, menghargai, dan menghindari
konflik.[1]
Secara umum kebudayaan Jawa berpusat
pada wilayah-wilayah pedalaman, oleh karenanya beberapa pusat pemerintahan juga
didirikan di wilayah-wilayah tersebut. Ada dua wilayah yang sama-sama berasal
dari pecahan Kerajaan Mataram Islam, yakni Surakarta dan Yogyakarta. Surakarta
memiliki pusat kendali di Keraton Kasunanan dengan kadipaten berada di Pura
Mangkunegaran, sementara Yogyakarta memiliki pusat kendali di Keraton
Kasultanan dengan kadipaten berada di Pura Paku Alaman.[2] Kedua
kekuatan Jawa ini terus menjaga eksistensi nilai-nilai kebudayaan lokal (local wisdom) beserta karakteristik yang
menyertainya.
Pura Paku Alaman yang saat ini ikut
andil dalam penetapannya sebagai wakil gubernur memiliki kontur perbedaan yang
begitu kentara dengan kadipaten di daerah istimewa lainnya, yakni
Mangkunegaran. Perbedaan itulah yang menjadi dasar penulisan skripsi ini, dan
secara ringkas dapat diuraikan dalam 3 (tiga) poin:
1.
Keterbatasan sumber. Sumber
sejarah baik itu sumber asing, sumber lokal (bahasa Jawa) maupun sumber dalam
bahasa Indonesia, sangat sulit atau justru tidak diketemukan sama sekali selama
kurun perkembangannya yang cukup panjang, yakni sekitar satu abad. Hal ini
terungkap dari penuturan KPH Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, rektor Universitas
Gajah Mada, lewat buah karyanya yang berjudul Kadipaten Pakualaman.[3]
2.
Para petinggi Pakualaman hanya
sebatas berkecimpung dalam urusan kemiliteran. Hal ini memberi garis penegas
yang begitu tebal dengan Pura Mangkunegaran. Fakta akan hal tersebut dapat
ditelaah melalui pemerintahan beberapa penguasa Mangkunegaran. Sebagai contoh,
Mangkunegara I yang menjabat sebagai pemimpin di Kadipaten Mangkunegaran tidak
hanya mengurusi masalah politik saja, melainkan turut berperan dalam pembangunan
lima pasar di Praja Mangkunegara sepanjang tahun 1779-1791. Sektor ekonomi
kerakyatan menjadi poin penting yang perlu dicatat dan patut dianalogikan
dengan konsep ekonomi kerakyatan yang sekarang kerap dijadikan komoditi politik
pejabat pemerintahan. Mangkunegara I juga terlibat langsung dalam kegiatan
ekonomi, dan bertindak sebagai pembeli. Kebijakan lain yang memperlihatkan
kemajuan emansipasi wanita adalah dilibatkannya prajurit wanita dalam kesatuan
tempur praja Mangkunegaran, dan Mangkunegara I turun langsung untuk melatih
keterampilan para prajurit wanita tersebut.[4]
3.
Otomatis, dengan tidak
berkecimpungnya petinggi Paku Alaman dalam aspek-aspek lainnya seperti
perekonomian, justru menyebabkan terpotretnya etos dagang Mangkunegara IV yang
mencerminkan pengorganisasian manajemen stakeholders-approach
demi efisiensi tujuan etos dagang yang baru (modern) sesuai pada masanya,
terutama di bidang perkebunan. Dalam mengaplikasikannya, beliau tidak hanya
berdasarkan falsafah dan nilai-nilai luhur Jawa melainkan juga mengadopsi
sistem ekonomi Islam. Hal ini tercermin misalnya dari sikap wedi, isin, dan sungkan yang
menunjukkan acuan dasar atas cara bersikap baik atau hormat dan peduli secara
teratur. [5]
Secara implisit, falsafah tersebut searah maksudnya dengan cara bersikap etis
melalui tata krama Jawa modern atas etos pemikiran Sri Mangkunegara IV, pola
dan acuan dasar struktur pemikiran manajemen stake-holders approach-nya demi
efisiensi tujuan etos dagangnya yang sesuai baik pada masanya dan bagi etos
dagang Jawa selanjutnya, atau pada umumnya (audit sosial).[6]
Hal ini tentu selaras dengan etika ekonomi perdagangan dalam Islam, sebagaimana
keyakinan yang dipeluk Sri Mangkunegara IV. Islam memiliki larangan untuk memperdagangkan barang haram; bersikap benar,
amanah, dan jujur; menegakkan keadilan dan mengharamkan bunga; menerapkan kasih
sayang dan mengharamkan monopoli; menegakkan toleransi dan persaudaraan; serta
berpegang pada prinsip bahwa perdagangan adalah bekal menuju akhirat.[7]
Perpaduan
etos dagang Islam dan Jawa yang adiluhung serta ekonomi kerakyatan yang diusung
praja Mangkunegaran ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Mangkunegaran
memiliki dua pabrik gula yang besar di masanya yakni pabrik gula Colomadu dan
Tasikmadu.[8]
Keberadaan dua pabrik gula tersebut masih ditambah lagi dengan lahan milik
praja Mangkunegaran yang sekarang menjadi salah satu bagian dari Universitas
Indonesia, Depok. Hal ini sungguh mengherankan, karena kekuasaan Mangkunegara
yang terbatas pada skup kadipaten ternyata mampu memperluas “eskpansi”nya
hingga wilayah lain di Jawa Barat. Berbanding terbalik dengan keberadaan 13
pabrik gula di Pekalongan hingga Tegal yang seluruhnya milik gabungan
perusahaan Belanda seperti NHM, Koloniale Bank, NILM/NI Handelbank, dan Internatio.[9]
Dengan
demikian beberapa fakta tersebut menunjukkan bahwa kondisi perekonomian praja
Mangkunegaran yang hanya sebatas kadipaten memang begitu besar berkembang dan
hampir sejajar dengan kepemilikan pabrik gula atas satu perusahaan Belanda.
Oleh karena itu perlu dilakukan suatu analisa dan kajian kritis terhadap
struktur politik maupun ekonomi Mangkunegaran, mengingat ajaran-ajaran
Mangkunegara yang begitu tegas seperti etika keselarasan sosial yang mengutamakan
kerukunan dan konformitas sosial, etika kepemimpinan, dan nilai pendidikan dan
keutamaan yang dirinci dalam nilai kedisiplinan, nilai kewaspadaan, dan nilai
kesetiaan dan kepatuhan yang kesemuanya tercermin dalam Serat Wirawiyata yang
diajarkan KGPAA Mangkunegara I.[10]
Tentunya nilai-nilai yang diinternalisasi KGPAA Mangkunegara I serta
dieksternalisasikan ke seluruh praja Mangkunegaran juga memengaruhi
keberlangsungan kehidupan praja Mangkunegaran dalam berbagai aspek.
*
Pembatasan bahasan
merupakan hal mutlak bagi diperlukan mengingat luasnya masalah dalam kehidupan
masyarakat. Ruang lingkup juga membantu agar tidak terjerumus ke dalam
pembahasan yang terlalu luas.[11]
Dalam kajian ini penulis mengambil tiga
aspek ruang lingkup, yakni aspek temporal, aspek spasial, dan aspek keilmuan.
Secara temporal, penulis memilih tahun 1779 hingga 1944 atau pada masa
pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara VII. Sementara secara spasial
penulis mengambil Pura Mangkunegaran sebagai pusat pembahasan, akan tetapi
tidak menutup kemungkinan penulis akan mengambil Surakarta sebagai perluasan
kajian. Secara keilmuan penulis akan mempergunakan Sejarah Ekonomi Masa
Kolonial dengan dibantu ilmu-ilmu lain seperti ilmu manajemen, ilmu politik,
dan ilmu agama.
*
Kajian
ini tentu tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan sumber-sumber terkait yang
memiliki kesamaan analisis. Beberapa pustaka utama yang dijadikan rujukan
adalah Serat Wirawiyata (1990), Fondasi Historis Ekonomi Indonesia (2002), Etos
Dagang Orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV (2007), Sejarah Indonesia
Modern 1200-2004 (2005), Manajemen Sumber Daya Manusia (2004) serta Pranata
Sosial dalam Masyarakat Jawa (2009). Penulis merasa perlu untuk mengambil
literatur manajemen sumbe daya manusia karena begitu banyak kebijakan raja-raja
Mangkunegara yang didasarkan atas falsafah Jawa memiliki keterkaitan dengan
struktur politik dan ekonomi perdagangan praja Mangkunegaran.
*
Kajian
historis-ekonomi ini tidak melulu mengedepankan masalah penting atau tidaknya
kegiatan perekonomian, atau seberapa besar kegiatan ekonomi berlangsung selama
pemerintahan Mangkunegara I hingga Mangkunegara IV, akan tetapi kajian ini
memiliki keterkaitan dengan aspek-aspek lain yang bisa dijelaskan lewat
beberapa teori.
Pertama, mengenai Teori
Kebudayaan. Dalam ilmu antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan
sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[12]
Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai
suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial,
serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari
suatu kelompok manusia. [13]
Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1)
Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan
hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu
hidup.
2)
Wujud kebudayaan sebagai suatu
kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud
ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas
manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang
lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa
diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3)
Wujud kebudayaan sebagai
benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik,
dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut
merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling
konkret.[14]
Sementara itu secara umum,
tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud
kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[15]
Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan
universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata
pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem
ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[16]
Konsep kebudayaan kemudian
mengerucut lagi ke dalam kebudayaan Jawa. Secara umum wilayah Jawa mempunyai
kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan mobilisasinya untuk menghasilkan
produk-produk pertanian.Dengan jumlah penduduk yang banyak itu maka
institusi-institusi pendidikan juga banyak bermunculan di Jawa terutama
perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak pelajar dan mahasiswa dari luar
Jawa.Mereka lantas menyerap unsur-unsur tertentu dari kebudayaan Jawa, baik
dalam hal adat-kebiasaan dan bahasa.Akibat berupa “keberterimaan Budaya Jawa”
itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui kiat-kiat khusus) menjadi
“kebersamaan antarsuku bangsa”.[17]
Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan peneliti Jawa yang
berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dri wangsa-wangsa
pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditenagari juga
mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan
bukti-bukti yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah
memiliki unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi,
ilmu perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem
pranata sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan
spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta
metrum dan sastra mantra.[18]
Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide
“Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan
ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumna
dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[19]
Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua kebudayaan suku bangsa
di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini masing-masing memiliki
kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah perkembangannya berbeda-beda.
Masing-masing berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk
perkembangan kreatif di dalamnya.[20]
Teori
berikutnya yang penulis gunakan adalah Teori Dinamika Kelompok, mengingat
dinamika ekonomi perdagangan yang pasti berlangsung di dalam praja
Mangkunegaran itu sendiri. Ruth Benedict menjelaskan bahwa persoalan yang ada
dalam dinamika kelompok dapat diuraikan sebagai berikut,
1.
Kohesi atau persatuan
Dalam persoalan kohesi
akan dilihat tingkah laku anggota masyarakat dalam kelompok, seperti proses
pengelompokan, intensitas anggota, arah pilihan, nilai kelompok, dan sebagainya
2.
Motif atau dorongan
Persoalan motif ini
berkisar pada interest anggota
terhadap kehidupan kelompok, seperti kesatuan berkelompok, tujuan bersama,
orientasi diri terhadap kelompok, dan sebagainya.
3.
Struktur
Persoalan ini terlihat
pada bentuk pengelompokan, bentuk hubungan, perbedaan kedudukan antaranggota,
pembagian tugas, dan sebagainya.
4.
Pimpinan
Persoalan pimpinan
tidak kalah pentingnya pada kehidupan kelompok, hal ini terlihat pada
bentuk-bentuk kepemimpinan, tugas impinan, sistem kepemimpinan, dan sebagainya.
5.
Perkembangan kelompok
Persoalan perkembangan
kelompok dapat pula menentukan kehidupan kelompok selanjutnya, dan ini terlihat
pada perubahan dalam kelompok, senangnya anggota masyarakat tetap berada dalam
kelompok, perpecahan kelompok, dan sebagainya.[21]
Pembahasan mengenai dinamika
kelompok juga ditekankan pada beberapa pendekatan yang memengaruhi para ahli
seperti ahli psikologi, ahli sosiologi, ahli psikologi sosial, maupun ahli yang
menganggap dinamika kelompok sebagai bidang eksperimen saja. Hal ini dapat
dilihat dalam berbagai pandangan antara lain Bales dan Hormans, Stogdill,
Sigmund Freud dan Scheidlinger, serta Yennings dan Moreno.
a.
Pendekatan oleh Bales dan Hormans
Pendekatan ini
mendasarkan diri pada konsep adanya aksi, interaksi, dan situasi yang ada dalam
suatu kelompok. Hormans menambahkan, dengan adanya interaksi dalam kelompok
maka kelompok yang bersangkutan merupakan sistem interdependensi dengan
sifat-sifat :
1) adanya stratifikasi kedudukan warga
2) adanya diferensiasi dalam hubungan dan pengaruh antara anggota kelompok
yang satu dengan yang lain
3) adanya perkembangan pada sistem intern kelompok yang diakibatkan adanya
pengaruh faktor-faktor dari luar kelompok.
b.
Pendekatan oleh Stogdill
Pendekatan ini lebih
menekankan pada sifat-sifat kepemimpinan dalam bentuk organisasi formal.
Stognill menambahkan bahwa apa yang disebut kepemimpinan adalah suatu proses
yang memengaruhi aktivitas kelompok yang terorganisir sebagai usaha untuk
mencapai tujuan kelompok.
c.
Pendekatan dari Ahli Psycho Analysis oleh Sigmund Freud dan
Scheidlinger
Scheidlinger
berpendapat bahwa aspek-aspek motif dan emosional sangat memegang peranan penting
dalam kehidupan kelompok. Kelompok akan dapat berbentuk apabila didasarkan pada
kesamaan motif antaranggota kelompok. Demikian pula emosional yang sama akan
menjadi tenaga pemersatu dalam kelompok sehingga kelompok tersebut semakin
kukuh. Sementara itu Sigmund Freud berpendapat bahwa di dalam setiap kelompok
perlu adanya cohesiveness atau kesatuan kelompok, agar kelompok tersebut dapat
bertahan lama dan berkembang.
d.
Pendekatan dari Yennings dan Moreno
Pendekatan ini
menggunakan konsepsi dari metode sosiometri, yang sangat cocok diterapkan dalam
kelompok. Yennings mengemukakan konsepsinya tentang pilihan bebas, spontan, dan
efektif dari anggota kelompok yang satu terhadap anggota kelompok yang lain
dalam rangka pembentukan ikatan kelompok. Moreno dengan sosiometrinya berhasil
membedakan psikhe group dan socio group.
1) Psikhe group artinya suatu kelompok yang terbentuk atas dasar suka atau tidak suka,
simpati, atau antipasti antaranggota
[1] Sarjana Hadiatmaja, Pranata Sosial Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Grafika Indah, 2009),
hlm. 33.
[2] Pecahnya persatuan
antara Pangeran Mangkubumi (pendiri Paku Alaman) dengan Adipati Arya
Mangkunegara (pendiri Mangkunegaran) dijelaskan dalam banyak versi. Hal ini
terungkap dalam tulisan KGPH Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat yang mengambil
literatur dari Kasultanan Yogyakarta dan menyebut hasutan Tumenggung
Sujanaputra kepada AA Mangkunegara sebagai penyebabnya. Dalam literatur lain,
yakni Babad Panambangan dikatakan bahwa keretakan hubungan antara dua pangeran
Mataram tersebut terjadi usai penaklukkan Ponorogo, tepatnya dalam hal pampasan
perang.
[3] Soedarisman
Poerwokoesoemo, Kadipaten Pakualaman
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985), hlm. vii.
[4] Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat, Sambernyawa Menggugat Indonesia,
(Jakarta: Titik Media Publisher, 2011), hlm. 27.
[5] Daryono, Etos
Dagang orang Jawa Pengalaman Raja Mangkunegara IV, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), hlm. 186.
[6] ibid.,
hlm. 234.
[7] Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997),
hlm. 173.
[8] Wawancara dengan Dra. Retno Puspitosari
Sayuto dari Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Jawa Tengah, 7 Juli 2012
[9] J. Thomas Lindblad, ed.., Fondasi Historis Ekonomi Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 183.
[10] Tim Pengkaji Serat Wirawiyata, Serat Wirawiyata, (Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktrat Jenderal Kebudayaan Direkorat Sejarah dan
Nilai Tradisional, 1990), hlm. 70.
[11]Koentjaraningrat, Metode Penelitian
Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 28.
[12] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm.
180.
[13] Yan Mujianto, dkk. Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2010), hlm.
1.
[14] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[15] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 11.
[16] ibid.,
hlm. 13-19.
[17]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 389.
[18] Ki Sondong Mandali, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar
Jagad, 2010), hlm. 14.
[19] ibid.,
hlm. 18.
[20]Edi Sedyawati, op.cit., hlm. 393.
[21] Slamet Santosa, Dinamika Kelompok, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm.7.
[22] Slamet Santosa, op.cit., hlm. 8-9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar