PERGERAKAN
KEBANGSAAN DI BALI :
PERANG BULELENG 1846
Disusun Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
NIM. 13030110130054
__________________________________________________________________
Pergerakan kebangsaan di Bali
bermula ketika perundingan yang dilakukan antara Komisaris Pemerintah J. F. T.
Mayor dengan Raja Buleleng Gusti Ngurah Made Karangasem pada tanggal 8 Mei 1845
mengalami kegagalan. Perundingan tersebut merupakan tindak lanjut dari
penyelesaian masalah pengesahan kontrak tertanggal 8 Mei 1843 mengenai
penghapusan hukum tawan karang yang
ternyata dilanggar melalui perampasan perahu Makassar dan perahu Mayang oleh
penduduk di sekitar Sangsit (di daerah Buleleng) dan Perancak (di daerah
Jembrana). Kegagalan ini masih ditambah dengan aksi Adipati Agung Gusti Ketut
Jelantik di hadapan umum yang menentang otoritas dan wibawa pemerintah Hindia
Belanda hingga dianggap sebagai suatu penghinaan terbuka terhadap pemerintah
Hindia Belanda. Kondisi ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil
tindakan militer terhadap Raja Buleleng apabila misi Komisaris Pemerintah J. F.
T. Mayor tidak berhasil.
Di Buleleng, Adipati Agung Gusti
Ketut Jelantik sadar dan yakin bahwa selepas tindakannya yang melecehkan
pemerintah Hindia Belanda tidak lantas membuat Belanda diam dan bertekuk lutut.
Gusti Ketut Jelantik lantas merancang siasat pertahanan dan peperangan terhadap
Belanda dan memerintahkan rakyat yang tinggal di pantai Buleleng untuk
membangun kubu-kubu pertahanan yang dapat dipergunakan untuk menghalang-halangi
pendaratan musuh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak tanggal 8 Mei
1845 kedua belah pihak telah bersiap untuk menghadapi suatu peperangan dan dari
sinilah nasib Kerajaan Buleleng akan ditentukan.
Perlu menjadi catatan bahwa sikap
permusuhan Belanda tidak hanya ditujukan kepada kerajaan Buleleng saja,
melainkan juga kepada kerajaan Karangasem, mengingat kapal Atut Rachman, kapal dagang Belanda, karam dan dirampas oleh
penduduk sesuai dengan ketentuan hukum tawan
karang. Padahal seperti telah disinggung sebelumnya, hukum tawan karang dihapus sesuai dengan
perjanjian 1 Mei 1843. Oleh sebab itu Belanda menuntut Raja Karangasem untuk
membayar ganti rugi dan mengadakan pemeriksaan terhadap kapal yang dirampas
tersebut. Akan tetapi Gusti Gde Ngurah Karangasem menolak dan memilih solider
dengan Raja Buleleng sehingga pemerintah Hindia Belanda memperlakukan Kerajaan
Karangasem sama dengan Kerajaan Buleleng dan menganggap keduanya sebagai musuh
sekaligus sebagai target ekspedisi militer mereka untuk memaksakan kemauan
pemerintah Hindia Belanda.
Pada akhirnya, setelah tekanan
politik yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap Kerajaan Buleleng dan
Kerajaan Karangasem mengalami kebuntuan, maka pada tanggal 6 Februari 1846
Gubernur Jenderal J.J. Rochussen memutuskan untuk melancarkan serangan militer
terhadap kedua kerajaan tersebut dengan berlandaskan surat keputusan tanggal 6
Februari 1846 NO: La K. Ultimatum tersebut kurang lebih memuat lima
hasil keputusan Gubernur Jenderal atas dasar permufakatan dengan Panglima
Angkatan Laut Kerajaan dan Panglima Angkatan Darat Kerajaan di Hindia Belanda
beserta nasehat Dewan Hindia. Surat keputusan tersebut juga memuat lampiran
instruksi yang terdiri atas 14 pasal untuk Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor,
dengan stretching sesaat setelah
Angkatan Perang Belanda tiba di pantai Buleleng Komisaris Pemerintah
menyerahkan manifesto atau ultimatum tersebut kepada Raja Buleleng dan ditunggu
tiga kali dua puluh empat jam jawaban dari Raja Buleleng mengenai
tuntutan-tuntutan yang dimuat dalam ultimatum tersebut. Apabila dalam kurun
waktu tersebut tidak dapat diperoleh jawaban yang memuaskan, maka
pasukan-pasukan mulai diturunkan dari kapal-kapal pengangkutan untuk
melancarkan serangan terhadap pelabuhan Buleleng dan menduduki tempat tersebut
dengan mendirikan bivak berkapasitas satu kompi pasukan untuk menduduki dan
mengamankan pabean Buleleng, sementara yang lain meneruskan serangkan menuju
kota Singaraja sebagai tempat kedudukan dan kekuasaan raja.
Pada tanggal 17 Februari 1846
Gubernur Jenderal/Menteri Negara pun kembali mengeluarkan satu surat keputusan
No: LaO yang memberi petunjuk-petunjuk terakhir pelaksanaan aksi
militer yang akan dilakukan terhadap Buleleng dan Karangasem. Disebutkan pula
perintah bahwa Angkatan Perang Belanda yang diperintahkan untuk melaksanakan
ekspedisi militer tersebut selambat-lambatnya pada pertengahan bulan April
sudah siap meninggalkan Batavia untuk selanjutnya menuju ke Bali.
Perlu menjadi catatan bahwa Bali
pada saat itu memiliki lima kerajaan yakni Kerajaan Buleleng, Karangasem,
Tabanan, Badung, dan Bangli dengan dipimpin Dewa Agung yang berkedudukan di
Klungkung. Akan tetapi hubungan antarkerajaan tidak berlangsung harmonis.
Perselisihan, percekcokan dan cemburu-mencemburui antara raja-raja di Bali pada
abad kesembilan belas sering menimbulkan ketegangan bahkan peperangan
antarmereka sehingga membuka kesempatan bagi kekuasaan asing untuk menanamkan
pengaruhnya di pulau tersebut. Demikian halnya dengan kasus Kerajaan Buleleng
dan Karangasem. Tiga kerajaan tersebut, meski telah diinstruksikan oleh Dewa
Agung, menolak mengirimkan pasukannya ke Buleleng dan Karangasem dalam usahanya
memerangi serangan Belanda.
26 Juni 1846 armada Hindia Belanda
mencapai pantai Buleleng. Ultimatum yang sebelumnya diberikan kepada Raja
Buleleng tertanggal 24 Juni 1846 ternyata dibalas oleh Raja Buleleng bahwasanya
ultimatum tersebut tidak dapat segera diberikan. Raja Buleleng meminta
penangguhan hingga sepuluh hari untuk berunding dengan Dewa Agung, akan tetapi
permintaan tersebut ditolak oleh Komisaris J.F.T Mayor. Demikian pula ketika
Raja Buleleng akan mengadakan perdamaian dengan Gubernur Jenderal J.J.
Rochussen, permintaan tersebut ditolak hingga akhir batas ultimatum tertanggal
27 Juni 1846.
Begitulah, mulai tanggal 27 Juni
1846 oleh panglima pasukan ekspedisi diberikan perintah untuk mengadakan segala
persiapan pendaratan, yang ditentukan akan dilakukan pada tanggal 28 Juni 1846
dini hari di salah satu tempat di sekitar pantai Buleleng dengan tujuan dalam
waktu singkat menguasai desa Buleleng. Pada 28 Juni 1846 dini hari, pasukan
Belanda didaratkan di sebelah timur, di sebuah sawah di desa Buleleng.
Meriam-meriam terbidik untuk menghancurkan pertahanan di pantai dan konsentrasi
pasukan Bali. Pihak Belanda mengakui jika pendaratan dan serangan pasukan
pendaratan itu mendapat perlawanan yang hebat dari pasukan Bali. Siasat Belanda
kala itu adalah menyerang Desa Buleleng dari belakang dengan mengadakan gerakan
pasukan melalui kampung Jawa, akan tetapi justru banyak korban berjatuhan dari
pasukan Belanda. Kondisi ini dinayatakan dengan “babak pertama pertempuran
untuk menguasai Buleleng sama sekali tidak menguntungkan Angkatan Perang
Belanda”. Belanda lantas membakar sebagian Desa Buleleng dengan tujuan agar
pasukan Bali yang bersembunyi akan keluar dari tempat persembunyiannya. Dalam
kondisi genting itulah, meriam-meriam diarahkan ke perkampungan penduduk, dan
banyak korban berjatuhan dari rakyat Bali. Dengan demikian pada siang harinya
Desa Buleleng dapat dikuasai oleh tentara Belanda.
Dari kalangan pasukan Bali jatuh
korban lebih dari seratus orang, sedang di pihak Belanda jatuh korban seorang
perwira dan 9 orang bintara dan prajurit. Dua perwira mengalami luka-luka,
begitupun dengan 49 bintara dan prajurit. Dan setelah pasukan pendaratan diberi
istirahat pada tanggal 28 Juni 1846, maka ditentukan oleh panglima bahwa esok
harinya pasukan pendaratan akan bergerak ke Singaraja untuk menguasai kota
tersebut. Maka pada tanggal 29 Juni 1846 pasukan menuju kota Singaraja namun
ternyata pasukan Bali tidak memberi perlawanan dan kota Singaraja dikosongkan.
Raja dan pembesar kerajaan meninggalkan kota Singaraja, dan istana raja (puri)
pun dikosongkan. Sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh Gubernur Jenderal
tertanggal 27 Februari 1846 maka istana Raja dan bangunan di sekitarnya
dihanguskan, meskipun pembakaran ini semestinya tidak diizinkan. Barang-barang
yang diketemukan di istana raja dikuasai sebagai milik pemerintah Hindia
Belanda.
Oleh karena Raja Buleleng dan Raja
Karangasem mengundurkan diri ke pedalaman di salah satu tempat kurang lebih 5
kilometer dari kota Singaraja, maka G.P. King, utusan Komisaris Pemerintah
Mayor sekaligus sebagai peninjau dan pengantar pasukan Selaparang, mengundang
keduanya untuk bertolak ke Singaraja guna mengadakan perundingan dengan
Komisaris Pemerintah. Akhirnya pada 5 Juli 1846 Raja Karangasem tiba di
Buleleng, dan Raja Buleleng tiba pada tanggal 9 Juli 1846. Keduanya lalu
bersedia mengadakan perundingan dengan Komisaris Pemerintah J.F.T. Mayor untuk
memperoleh penyelesaian politik dalam masalah perang ini, namun Gusti Ketut
Jelantik tidak menyertai kedua raja tersebut dalam perjalanannya ke Buleleng.
Dalam pembicaraan antara kedua raja dengan Komisaris Pemerintah, keuda raja
dipaksa untuk menandatangani suatu perjanjian yang sudah dirumuskan terlebih
dahulu di Batavia, sehingga dengan demikian jelaslah bahwa pembicaraan tersebut
bukan merupakan suatu perundingan dari dua pihak yang memiliki kedudukan yang
sederajat, namun lebih merupakan suatu “diktat” karena kemauan pihak pemenang
dipaksakan terhadap pihak yang kalah. Pada tanggal 9 Juli 1846, Raja Buleleng
dan Raja Karangasem menandatangani perjanjian tersebut bertempat di Buleleng.
Ada dua perjanjian yang harus ditandatangani. Perjanjian pertama merupakan
ulangan dari perjanjian yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak pada
tahun 1841 dan 1843, sementara perjanjian yang kedua adalah suatu pernyataan
bahwa sebagai akibat dari ekspedisi militer Belanda, yang baru berlangsung
sekaligus berakhir dengan kekalahan mereka, maka kedua kerajaan tersebut
menurut hukum perang menjadi milik pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjanjian
ini diatur juga masalah pampasan perang yang harus dibayar oleh kedua kerajaan
tersebut kepada pemerintah Hindia Belanda. Raja Buleleng harus membayar tiga
perempat dari jumlah ganti rugi perang, sedangkan Raja Karangasem hanya
diwajibkan membayar seperempat jumlah tersebut. Akan tetapi perlawanan belum
usai. Adipati Agung Gusti Ketut Jelantik, yang sebenarnya merupakan jiwa utama
perlawanan terhadap Belanda, tidak tinggal diam dan bertekuklutut. Setelah
ternyata sebagai akibat tekanan militer pihak Belanda dengan persenjataannya
yang kuat menyebabkan Buleleng tidak dapat dipertahankan, Gusti Ketut Jelantik
pun memerintahkan agar pasukan Bali mengundurkan diri sampai ke salah satu
tempat di timur kota Singaraja, yakni Jagaraga. Di sinilah nanti pertempuran
melawan Belanda masih berlangsung sengit, hingga berlanjut dengan perang
Kusamba dan diakhiri dengan Perdamaian Kuta 1849.
Ikhtisar
dari “Bali Pada Abad XIX”, tulisan Ide Anak Agung Gde Agung, diterbitkan oleh
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1988.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar