Gereja Blenduk, ikon Kota Lama Semarang |
Mahsyur sebagai Kota Perdagangan
Keberadaan pelabuhan Semarang ternyata sudah diketahui sejak zaman Hindu, bahkan pada masa itu Semarang meupakan bandar utama dari kerajaan Mataram Kuna (732-824) dengan pusat pemerintahan berada di Medang, Jawa Tengah. Pelabuhan Semarang saat itu berlokasi di kaki bukit Candi, dengan pelabuhan Bergota sebagai pelabuhan yang terkenal kala itu. Bagi kerajaan Mataram Kuna, pelabuhan Bergota memiliki arti penting terutama dalam pengembangan ekonomi kerajaan.
Perkembangan kota Semarang sebagai kota pelabuhan selanjutnya terkait erat dengan perkembangan perdagangan di pantai utara Jawa. Sekitar tahun 1412 di Semarang telah terbentuk komunitas Cina yang bermukim di daerah Gedung Batu atau Simongan dan di tepi Sungai Semarang. Daerah ini dipilih sebagai tempat bermukim komunitas Cina karena daerah ini merupakan daerah yang paling baik dan sangat strategis. Daerah Simongan berupa teluk yang terletak di antara muara kali Semarang dan bandar Semarang.
Galangan kapal Semarang juga pernah membuat kapal-kapal besar yang digunakan untuk menyerang Portugis. Kapal-kapal tersebut dibawa oleh Yat Sun (Pati Unus) bersama Kin San, seorang Muslim Cina peranakan lain yang juga ipar Raden Patah pada tahun 1509.
Seiring dengan perkembangan Semarang sebagai kota pelabuhan, pada tanggal 5 Oktober 1705 disusun suatu perjanjian antara Susuhunan Paku Buwono I dengan VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie) di Kartasura yang menentukan status hukum kota Semarang dalam pemerintahan VOC adalah sebagai kota kedua setelah Batavia. Perjanjian ini kemudian membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi di daerah sekitar Semarang, ditandai dengan banyak didirikannya onderneming-onderneming, pabrik-pabrik gula dan perdagangan lainnya yang menarik minat para pedagang untuk mencari penghidupan di Semarang yang dari berbagai etnis dan daerah.
Selanjutnya pada abad XVIII tepatnya pada tahun 1743, ketika Belanda memindahkan pelabuhan dari Mangkang ke Boom Lama, aktivitas perdagangan yang melalui Sungai Semarang semakin ramai karena lokasi Boom Lama dekat dengan pasar Pedamaran yang menjadi pusat perdagangan saat itu. Maka kemudian berkembanglah dusun-dusun sebagai tempat menetap para pedagang yang saat ini sering dikenal dengan sebutan Kampung Darat (Ndarat) dan Kampung Ngilir.
Pada abad inilah diketahui juga bahwa Semarang merupakan kota bandar, demikian halnya dengan sisi sebelah timur Semarang yakni kota Torrabaya atau Terboyo yang dapat dicapai dengan menggunakan perahu menyusuri pantai timur Semarang.
Tempat Berpadu Budaya
Situasi di sekitar jembatan Berok |
Hubungan antaretnis di Semarang pada kurun waktu antara 1708 hingga 1741 tergolong sebagai simbiose kehidupan beberapa etnis yang unik. Masyarakat Jawa dan etnis Melayu lainnya yang mayoritas berada pada tingkat ekonomi kelas bawah sebagai pekerja, pedagang kecil, dan nelayan. Komunitas Cina kelas atas yang sudah lama memainkan peran ekonomi di Semarang, sedangkan masyarakat Cina kelas bawah sebagai pekerja dan hadirnya VOC, yang merupakan etnis Eropa yang mendominasi perdagangan dan mulai memegang kendali pemerintahan.
Wujud akulturasi yang paling harmonis bisa dilihat dalam perayaan dugderan yang dilaksanakan tiap menjelang datangnya bulan Ramadhan. Upacara ini merupakan cerminan dari perpaduan tiga etnis yang mendominasi masyarakat Semarang yakni etnis Jawa, Cina dan Arab. Nama “Dugderan” diambil dari kata “dugder” yang berasal dari kata “dug” (bunyi bedug yang ditabuh) dan “der” (bunyi tembakan meriam). Bunyi “dug” dan “der” tersebut sebagai pertanda akan datangnya awal Ramadhan.
Dalam upacara dugderan terdapat ikon berupa “warak ngendhog” berwujud hewan berkaki empat (kambing) dengan kepala mirip naga. Warak ngendhog memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab, Islam, Jawa, dan Tionghoa. Keberadaan warak ngendhog tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan yang harmonis antar-etnis sehingga membuka jalinan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan adanya proses akulturasi.
Bentuk lain dapat disaksikan pada arsitektur Masjid Sekayu (pada mulanya bernama Masjid Taqwa), yang di dalamnya terdapat lukisan atau tulisan Cina yang berada di kerangka atap (blandar) masjid. Sampai sekarang lukisan tersebut masih bisa dilihat dengan cara memanjat ke atap dan membuka eternit.
Masjid ini diidentifikasi lebih tua dibanding Masjid Demak, tentu tetap dengan arsitektur masjid kuno lainnya yang ditopang empat sokoguru berbahan dasar kayu jati. Konon masjid ini dibangun oleh Mbah Kamal dan Mbah Dargo, arsitek yang diutus Kesultanan Cirebon untuk membangun Masjid Demak. Akan tetapi dilihat dari ornamen Cina pada masjid tersebut, kemungkinan besar Mbah Kamal dan Mbah Dargo ini sebetulnya juga seorang Cina Islam.
Pada abad XX, berdiri Volkskunstvereeniging Sobokartti di Karrenweg (Dr. Cipto) Semarang atas prakarsa Mangkunagara VII dan Herman Thomas Karsten pada 9 Desember 1920. Pertemuan pembentukan Sobokartti dihadiri antara lain burgemeester Semarang D. de Iongh, Bupati Semarang R.M.A.A. Purbaningrat, Pangeran Kusumayuda dari keraton Surakarta, dan pimpinan surat kabar “De Locomotief”. Di awal pendiriannya, para anggota perkumpulan seni Sobokartti yang berjumlah ratusan berasal dari berbagai kalangan di Semarang: Jawa, Belanda, dan Cina.
Pembangunan di Masa Hindia Belanda
Alun-alun Semarang |
Pada abad XIX, ketika kegiatan perdagangan semakin ramai dan semakin memerlukan sarana dan prasarana yang memadai, dibangunlah dermaga oleh pemerintah kolonial. Langkah awal dalam pembangunan dermaga yang baru adalah penyusunan perencanaan pembangunan kanal baru pada tahun 1854.
Pelaksanaan pembangunannya pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1875. Tujuan dari pembangunan kanal baru sepanjang 1180 meter dan lebar 23 meter tersebut adalah untuk memotong aliran sungai Semarang yang terlalu panjang. Francois Valentijn dalam tulisannya tahun 1825 menyatakan,
Semarang adalah salah satu pelabuhan terbesar di Pulau Jawa yang didiami oleh pedagang-pedagang kaya. Di sana banyak orang dan kebanyakan dari mereka pandai berdagang. Tempat perdagangan adalah sebuah tempat di mana hampir segala macam barang diperdagangkan dan merupakan sebuah tempat yang luas dan sangat padat. “Kasteel” tua telah dirubuhkan pada tahun 1824 dan digantikan oleh benteng modern yang bernama “Prins Van Oranye” atau “Poncol”.
Pembangunan yang digalakkan pemerintah Hindia Belanda pada fase Pasca Benteng Kota (1824-1866) memperlihatkan keseriusan upaya pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan kota Semarang. Di era ini bisa tergambarkan bahwa kota Semarang yang secara geografis memiliki pantai, dataran rendah dan dataran tinggi terus tumbuh dan berkembang hingga era pra-kemerdekaan.
Dirintisnya jalur transportasi kereta api pertama, yakni jalur Semarang-Tanggung sepanjang 25 km yang perletakan batu pertamanya dilakukan oleh gubernur jenderal Baron Sloet van de Beele pada tanggal 17 Juni 1864 menjadi satu contoh bahwa Semarang adalah kota pilihan yang amat diperhitungkan dari berbagai aspek, termasuk pada perkembangan ekonomi.
Hal ini terlihat dari beberapa distrik penghasil kopi di wilayah Resodensi Semarang pada paruh kedua abad XIX, semisal Grogol, Kradenan, Selokaton, Singen Lor, Singen Kulon, Semarang, Tengaran, Cangkiran, Limbangan, Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Grobogan, Wirasari, Purwodadi, dan Kaliwungu.
Pada tahun 1842 Menteri Daerah Jajahan J.C. Van Baud telah memikirkan pengembangan pengangkutan produk-produk dari wilayah vorstenlanden ke Semarang dan sebaliknya. Pada tahun 1861 kemudian diajukanlah permohonan oleh pihak swasta negeri Belanda, Poolman, untuk memperoleh konsesi guna pembangunan dan eksploitasi jalur kereta api dari Semarang ke Surakarta dan Yogyakarta. Ditetapkanlah keputusan tertanggal 28 Maret 1862 yang menjadi dasar pengoperasian jalur Semarang-vorstenlanden.
Hingga tahun 1893, Semarang memiliki tiga stasiun yakni Stasiun Tawang yang melayani jalur Semarang-vorstenlanden, stasiun Jurnatan melayani jalur Semarang-Juana, dan stasiun Poncol untuk jalur Semarang-Cirebon. Untuk transportasi laut, banyak kapal dari luar negeri baik kapal uap maupun kaoal layar yang berlabuh di Semarang. Mereka berasal dari berbagai negeri yaitu Inggris, Belanda, Hindia Belanda, Jerman, Denmark, Jepang, Austria, Swedia, Norwegia, dan Perancis.
Di kalangan masyarakat kolonial, Semarang memang dipandang sebagai pusat bisnis yang penting. Hal ini terbukti bahwa Semarang pernah dipilih sebagai lokasi koloniale tentoonstelling (pameran kolonial) yang pertama, diselenggarakan pada tanggal 20 Agustus hingga 22 November 1914. Beberapa negara turut ambil bagian dalam pameran ini, antara lain Belanda, Jepang, Singapura, Cina, India, Australia, dan Amerika. Berbagai kota di Hindia Belanda pun ikut memamerkan produk-produk di sini, dan Semarang menempati posisi terbanyak dalam pameran itu. Untuk mengenang pameran tersebut, setiap tahunnya, selalu diselenggarakan Pasar Sentiling dengan mengambil lokasi Kota Lama Semarang.
Sumber:
Krisprantono, “Perkembangan Tata Ruang Kota Semarang Ditinjau dari Kebijakan Politik Ekonomi Kolonial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Qurtuby, Sumanto Al, Arus Cina-Islam-Jawa: Bongkar Sejarah atas Peranan Tionghoa dalam Penyebaran Agama Islam di Nusantara Abad XV & XVI, (Jakarta: Inspeal Press dan Perhimpunan Indonesia Tionghoa, 2003)
Reid, Anthony, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2011)
Roesmanto, Totok, “Kesejarahan Kota Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Suliyati, Titiek, “Dinamika Kawasan Permukiman Etnis di Semarang” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Yuliati, Dewi, “Industrialisasi dan Segregasi Sosial” (Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Kota dalam Perspektif Sejarah, Semarang, 26 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar