Foto: tabloidguru.wordpress.com |
( apresiasi
untuk Sandra, seorang pegawai Kementerian Perburuhan dekade 50-60an)
Dalam lintasan
sejarah bangsa, kaum buruh mencetuskan sebuah pergerakan mendekati akhir abad
XIX, tepatnya pada 1897. Adalah Nederland Indies Onderw. Genootsch (NIOG) ,
serikat pekerja pertama yang didirikan pada pemerintahan Hindia Belanda.
Sebelumnya, di negara-negara Asia lainnya seperti India dan Filipina, berturut-turut
serikat buruh didirikan. Sejumlah alasan melatarbelakangi pembentukan serikat
pekerja, seperti buruknya syarat-syarat bekerja, rendahnya upah, serta perlakuan
yang sewenang-wenang.
Sepuluh tahun
pascapembentukan NIOG, pada tahun 1907, dibentuklah serikat buruh perkebunan.
Cultuurband, Vereniging v. Asssistenten in Deli misalnya, industri gula,
Suikerbond (1906) dan perdagangan, Handelsbond (1909). Dan berturut-turut
selanjutnya tumbuh serikat buruh di sejumlah instansi pemerintah seperti
Posbond (1905), Spoorbond (1913), dan berbagai serikat buruh lainnya termasuk
di tempat-tempat pekerjaan partikelir.
Tumbuhnya pergerakan
buruh saat itu dilatarbelakangi oleh dua hal. Pertama, munculnya pertumbuhan pergerakan buruh di Nederland pada
dekade 1860-1870 dengan National Arbeids Secretariaat sebagai induk organisasi.
Kedua, kebangkitan rasa nasionalisme
seiring berdirinya Budi Utomo pada 1908. Sebelum tahun 1908, perserikatan
tersebut hanya beranggotakan bangsa Belanda yang berpangkat tinggi dan menengah.
Serikat buruh yang diinisiasi kaum pribumi baru terbentuk pada 1908 yakni
melalui Vereniging v. Spoor en Traam Personnel (VSTP) yang beranggotakan para
pegawai kereta api partikelir. Perserikatan tersebut dipimpin oleh Semaun dan
beranggotakan bangsa Belanda dan pribumi.
Sesudah itu lahir
organisasi-organisasi lain yang hanya beranggotakan kalangan pribumi, seperti
Perkumpulan Bumiputra Pabean (1911), Perkumpulan Guru Bantu (1912), Persatuan
Pegawai Pegadaian Bumputra (1914), Upium Regie Bond (1916), dan Vereniging van
Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken (1916). Di sektor partikelir,
muncul persatuan dari pegawai perkebunan pada 1915 dan disusul oleh
pegawai-pegawai di industri pada 1917, antara lain Personeel Fabriek Bond yang
beranggotakan ratusan pegawai pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sementara dari kalangan bangsa Tionghoa, pada 26 September 1909 di Jakarta
dibentuk Tiong Hoa Sim Gee yang dipimpin Lie Yan Hoei.
Pergerakan buruh yang
semakin luas ini mengundang reaksi Ketua Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra,
Sosrokardono, dalam kongresnya pada Mei 1919 di Bandung. Dalam orasinya, ia
mengatakan, kesatuan buruh berperan penting untuk menekan pemerintah agar
memperhatikan dan mempertinggi adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
Sebagai respon, kongres SI yang diselenggarakan pada Oktober 1919 mengamini
pandangan tersebut melalui pembentukan “panitia pergerakan kaum buruh” yang
bertugas mempelajari kebutuhan-kebutuhan pergerakan buruh dan cara
mempersatukannya.
Segera setelah itu
diselenggarakan rapat pembentukan pada akhir bulan Desember di tahun yang sama
di Yogyakarta. Rapat yang diikuti 22 organisasi itu melahirkan sebuah federasi
Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) sebagai induk organisasi buruh dari
kalangan Indonesia yang pertama. Sebagai ketua Semaun dan Soerjopranoto sebagai
wakil ketua, dan nama-nama beken seperti H. Agus Salim dan Alimin sebagai
pengurus. Ada hak-hak buruh yang diatur dalam anggaran dasar PPKB. Seperti upah
minimum, waktu kerja delapan jam pada siang hari dan enam jam untuk malam hari,
serta ketentuan dapat libur selama 14 hari dalam setahun dengan mendapat
bayaran. PPKB juga meminta perhatian dari majikan dalam hal jaminan sosial dan
hak berpolitik.
Masa Malaise
Pada masa Malaise,
persatuan-persatuan buruh bangsa Indonesia tak tinggal diam. Seperti diketahui,
krisis Malaise mendesak onderneming-onderneming dan kantor-kantor perdagangan
yang mengurangi bahkan menutup usahanya. Akibatnya pemutusan hubungan kerja
banyak mendera, dan tingginya angka pengangguran tak bisa dihindarkan.
Tuntutan kaum buruh
dan sejumlah pemogokan banyak terjadi antara tahun 1920-1925. Sebagai pelopor
adalah Personeel Fabriek Bond pada tahun 1920. Di Surabaya, pada 15 November,
aksi pemogokan di Droogdok Maatschappij diikuti sekitar 800 orang.
Berturut-turut kemudian aksi buruh pelabuhan Surabaya pada Agustus 1921, 1200
orang dari Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra pada pertengahan Januari 1922,
dan 8500 orang pegawai kereta api dan tram pada April 1923.
Usaha-usaha tersebut
membuahkan hasil. Pemerintah mulai berpikir akan adanya UU Perburuhan. Dengan
putusan pemerintah tanggal 30 Desember 1921, dibentuklah Kantor Perburuhan (Kantoor
van Arbeid) di bawah Departemen Kehakiman. Kantor tersebut merupakan perluasan
dari Kantor Pengawasan Perburuhan (Arbeidsinspectie).
Pada permulaan
September 1922, badan federasi baru bernama Persatuan Vakbond Hindia (PVH)
dibentuk di Madiun. PVH menaungi 23.000 orang anggota, dengan 16.000 anggotanya
merupakan pegawai partikelir.
Tekanan dari Pemerintah
Desakan-desakan yang
menguat dari kalangan buruh tak membuat pemerintah Hindia Belanda tinggal diam.
Mereka membentuk Dewan Perdamaian untuk Spoor dan Tram di Jawa dan Madura yang
bertugas menengahi perselisian dalam soal perburuhan. Peraturan ini, pada
kenyataannya, tidak pernah dijalankan. Peraturan ini lahir untuk menahan
gejolak kesadaran cita-cita nasional yang bisa saja lahir dari perjuangan para
buruh untuk memperbaiki upah dan syarat-syarat bekerja. Akibatnya, setiap aksi
pemogokan dituduh mempunyai latar belakang politik yang dianggap bertujuan
menggulingkan kekuasaan.
Pada 10 Mei 1923,
dikeluarkanlah UU larangan bagi siapa saja yang menganjurkan mogok. Apakah
peraturan tersebut membungkam pergerakan buruh? Tidak. Pada 21 Juli 1925,
pemogokan kembali terjadi di sebuah perusahaan percetakan di Semarang, disusul
pemogokan di perusahaan percetakan Van Dorp pada 1 September 1925, dan 5
Oktober dan 19 November di pabrik mesin NI Industrie dan Braat. Akibatnya, banyak
pengurus-pengurusnya yang terkemuka ditangkap dengan tuduhan makar.
Reaksi keras terhadap
pergerakan buruh memuncak dengan adanya penangkapan besar-besaran pada tahun
1926. Organisasi yang muncul sesudahnya pun banyak yang tak bertahan lama.
Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI)
misalnya, hanya bertahan selama setahun karena diituduh berbahaya oleh
pemerintah. Penangkapan pemimpin SKBI pun mendorong pembentukan vaksentraal
baru. Maka pada sebuah rapat gabungan di Yogayakarta di medio 1929, berdirilah
Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri yang diketuai Soeroso. Pada Mei 1930,berdiri
Persatuan Serikat Sekerja Indonesia di Surabaya.
Namun krisis yang
berjalan sesudah tahun 1929 mengakibatkan kemerosotan keanggotaan serikat
buruh. Banyak dari anggota peserikatan yang harus memberhentikan usaha-usahanya
dan memberhentikan para pegawainya. Saat itu hanya organisasi dari kalangan
bangsa Tionghoa saja yang mampu bertahan. Perkumpulan Kaum Buruh Tionghoa
(PKBT) Semarang dan Serikat Buruh Tionghoa dari Bandung dalam sebuah konferensi
pada 25 Desember 1933 mendirikan Federasi Kaum Buruh Tionghoa. Seiring dengan
berdirinya persatuan buruh Tionghoa, perhatian pemerintah akan penetapan gaji
baru pun keluar pada tahun 1934, yang dikenal dengan “HBBL 1934”.
Ordonansi Regeling
Arbeidsverhouding yang dikeluarkan pada pertengahan kedua tahun 1940 menjadi
angin segar terhadap kelangsungan organisasi buruh partikelir. Ordonansi
tersebut memberi dorongan yang kuat bagi buruh di perusahaan-perusahaan
partikelir untuk menggalang persatuan.
Tindakan pertama yang
mendorong tercapainya suatu gabungan bermula dari Semarang dengan pembentukan
Gabungan Serikat-serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI) yang diketuai
Muhammad Ali. Namun GASPI harus bekerja ekstra keras, mengingat detik-detik
menjelang Perang Dunia kedua tak bisa lagi dihindarkan.
Pada masa-masa
genting itu, serikat buruh tak lagi bisa bekerja seperti biasanya. Dengan
mengerahkan tenaga yang tersisa, GASPI menyelenggarakan konferensi yang kedua
pada 11 Januari 1942 di Kota Solo untuk menyempurnakan organisasi. Dari 28
anggota yang bergabung, 24 organisasi mengikuti konferensi tersebut. Dalam
konferensi diambil mosi tentang upah minimum dan maksimum waktu kerja, dan
resolusi duduknya wakil buruh pada badan-badan penasihat dan pengawasan pada
perusahaan-perusahaan penting. Namun apa daya, keadaan tak memihak mereka.
Sebulan sesudah konferensi, Belanda menyerah tanpa syarat atas Jepang. Sejak
itu, kehidupan organisasi buruh Indonesia kembali harus membangun persatuan
untuk memperbaiki kedudukannya.
(Disarikan dari Sandra, Sedjarah Pergerakan
Buruh Indonesia, Djakarta: PT Pustaka Rakjat)
Diterbitkan ulang oleh TURC |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar