Senin, 26 Juni 2017

Memaknai Ketupat dan Lepet


Ketupat dan lepet. Masyarakat Jawa Tengah pasti tak asing dengan dua menu khas Lebaran yang terbuat dari janur ini.

Tak sekadar mengenyangkan, baik ketupat maupun lepet sama-sama memiliki nilai filosofi yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Penyebar agama Islam di Tanah Jawa itu juga memperkenalkan tradisi dua kali lebaran yakni bakda lebaran yang jatuh tepat 1 Syawal, dan bakda kupatan yang jatuh sepekan setelah 1 Syawal.

Dalam filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau kupat merupakan kependekan dari ngaku lepat dan laku papat. Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Laku papat artinya empat tindakan.

Empat tindakan itu yakni,  1). Lebaran yang menandakan berakhirnya waktu puasa, 2). Luberan (meluber atau melimpah) yang berarti ajakan mengeluarkan zakat fitrah untuk kaum miskin, 3). Leburan (sudah habis dan lebur) atau dosa dan kesalahan yang melebur selepas saling memaafkan, dan 4). Laburan (berasal dari kata labur, biasanya dengan kapur) yang bermakna supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

Bentuk fisik ketupat yang segi empat adalah ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya, maka hatinya seperti ketupat yang dibelah dengan isi putih bersih.


Sementara itu lepet bermakna "silep kang rapet" atau "mari kita tutup yang rapat". Jadi setelah mengaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Ada juga yang memaknai lepet sebagai "elek e disimpen sing rapet” atau bisa diartikan kejelekannya sendiri disimpan rapat-rapat. Kejelekan adalah aib yang sebisa mungkin jangan pernah diumbar. Tekstur ketan yang lembut saat dikunyah diharapkan mampu mengingatkan manusia untuk terus diingatkan akan kejelekannya. (***)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar