Jumat, 02 Juni 2017

Pendidikan Pancasila Melalui Wayang Kulit

(* penulis merupakan alumnus jurusan Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro)

Pada periode yang lalu, sebagai mahasiswa Sejarah, saya melakukan penelitian terhadap peran dalang wayang purwa dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Dengan mengambil temporal 1980-an sampai 1998, penelitian saya fokuskan di Kota Semarang. Kalau ditanya, kenapa Semarang? Maka saya katakan bahwa Semarang merupakan ibukota provinsi sekaligus pusat pemerintahan Jawa Tengah. Semarang juga berpenduduk suku Jawa terbanyak di Jawa Tengah, di luar vorstenlanden seperti Surakarta.

Dan dari arsip-arsip yang saya teliti, semangat Presiden Soeharto untuk menanamkan semangat cinta Pancasila begitu tinggi. Tentu generasi yang lahir tahun 50-an hingga 80-an masih merasakan kewajiban mengikuti pendidikan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan berbagai pola. Bukan hanya bagi yang masuk perguruan tinggi maupun pegawai negeri, pelaku kesenian saat itu juga wajib mengikuti sarasehan P4.

Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (B-P7), sebagai organ yang bertanggungjawab pada Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4, menggelar sarasehan bersama pihak-pihak yang diharapkan mampu menjadi agen pemasyarakatan P-4 ke khalayak umum. Salah satu agen pemasyarakatan P-4 adalah para seniman, yang ditatar untuk menjadi penyuluh P-4.

Sebagai misal, penyelenggaraan Sarasehan Seniman dan Seniwati yang dilaksanakan per-wilayah pembantu Gubernur Jawa Tengah yang bertempat di Aula Sasana Krida Wiyata Kabupaten Pekalongan. Para peserta sarasehan ada yang berasal dari kantor Depdikbud, staf Pertunjukan Rakyat Kantor Deppen Kota Semarang, hingga Ketua Bidang Pembinaan Masyarakat dan Seni Budaya DPD II Golkar Kodya Semarang. (Sumber Arsip: Laporan Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat Pembantu Gubernur Jawa Tengah wilayah Pekalongan tahun 1997, Arsip Provinsi Jawa Tengah).

Sejak tahun 1989, dalang turut berperan dalam pemasyarakatan dan pembudayaan P-4. Keterlibatan ini antara lain dapat dilihat dalam Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989. Biro Pendidikan DPD I Ganasidi Provinsi Jawa Tengah melalui R. Djoko Suranto, SH, menjadi salah satu penatar bersama dengan perwakilan instansi-instansi lain, termasuk perwakilan dari DPD Golkar. (Sumber Arsip: Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran Keputusan Kepala BP-7 propinsi Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989, Arsip Provinsi Jawa Tengah.)

Dalam Jawaban Questioner Evaluasi Pembudayaan P-4 di Dati II Se-Jawa Tengah Tahun 1995/1996 oleh BP7 tanggal 2 April 1996 juga diungkap bahwa gara-gara P-4 dan wayang kulit menjadi salah satu jenis seni budaya yang selama ini dimanfaatkan sebagai media pembudayaan P-4 di daerah responden dan dibina langsung oleh Ganasidi.

Hal yang sama berlaku pula dalam Sarasehan Dalang Indonesia yang diselenggarakan di TMII, 8-11 Februari 1996. Dalam sarasehan tersebut, disampaikan bahwa fungsi seni pedalangan  harus menyentuh aspek-aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Para dalang harus memiliki keseragaman gaya, dengan materi bertumpu kepada sepemahaman seperti yang terbungkus dalam P-4. Sarasehan ini mempola pemahaman pikiran para dalang tentang P-4.

Di wilayah Kota Semarang, sebagai locus penelitian saya, pernah dilangsungkan pergelaran wayang kulit di Kelurahan Wonotingal, Kecamatan Semarang Selatan, dengan dalang Ki Ngasiran Gondo Sugito. Kelurahan Wonotingal mulai masuk dalam daftar desa atau kelurahan pelopor P-4 tingkat Pratama tanggal 18 Desember 1988 dengan nomor registrasi 413.1.05/0839/88413.1.05/0839/88. (Sumber Arsip: Daftar Desa /Kelurahan Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang, 1988, Arsip Provinsi Jawa Tengah.)

Pancasila dalam Lakon Pewayangan
Pagelaran wayang kulit pada era pemerintahan Presiden Soeharto mampu menjembatani pesan-pesan pemerintah kepada masyarakat, terutama melalui adegan gara-gara. Dalam adegan ini sering disuguhkan dialog yang mengulas tentang program-program pembangunan seperti penghijauan, kebersihan, panca usaha tani, kadarkum, kamtibmas, siskamling, PKK, P-4, modernisasi desa, lumbung desa, kesadaran akan cinta Tanah Air (Ibu Pertiwi), dan lain sebagainya.

Lakon-lakon yang dipergelarkan antara lain lakon Sesaji Raja Suya. Lakon tersebut mengisahkan upaya Pandawa dalam mempersatukan raja sewu negara untuk melaksanakan sesaji di kerajaan Amarta. Tujuan persatuan ini adalah untuk menciptakan rasa persatuan dan kesatuan, kerukunan, saling hormat-menghormati, dan bantu-membantu atas dasar azas kekeluargaan. Kandungan lakon ini memiliki kesamaan visi dengan cita-cita bangsa yang temuat dalam Pembukaan UUD 1945 yakni untuk membangun politik luar negeri yang bebas aktif serta ikut menciptakan perdamaian dunia yang abadi yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Selain itu, dalam naskah lakon Kalingga Bawana yang ditulis alm Ki Soeparno Hadiatmodjo, pada janturan jejer nagari Ngastina diuraikan pembukaan UUD 1945 yang digubah dalam narasi sebagai berikut,

Saindenging jagad raya, kathah nagari ingkang wus mandhiri,  merdikengrat hambaudhendha nyakrawati; sayekti kamardikan wenang kadarbe dening sagunging bangsa, racak samya nyingkiri marang pakarti ingkang ngongasaken kasudiran, ngelar jajahan, dhemen ngrupak pangwasaning liyan praja, nanging hanggung mangun karuntutan, ngraketaken kakadangan, murih tentreming kanang rat.

Lamun wonten satunggaling bangsa ingkang gendhak sikara, dhemen njajah liyan praja kudu den brastha; awit cengkah kalawan reh kamanungsan miwah trajuning adil.

Gragating bangsa ingkang nggayuh kamardikan, kanthi tekad sawiji hanggolongaken kekuwatan linambaran sucining ati jujuring pakarti. Gegayuhaning bangsa wus tekeng wanci, kaparenging Hyang Widhi, uwal saking regemaning mungsuh, temah manggih bagya mulya lair batin.

Wibawaning praja bisa ngayomi kawula sanagara; pinarsudi murih mundhaking tataran gesanging kawula, ingkang tansah makarti murih tentreming bebrayan bangsa saindenging jagad raya.

Angger-anggering praja adhedhasar kasusilan lan pangaji-aji lire :
  • Tansah nengenaken marang panembahe ingkang tumuju dhateng pangwasane Kang Hakarya Jagad.
  • Tresna bangsa adhedhasar rasa kamanungsan miwah tepa salira.
  • Tebih saking raos cecongkrahan, tansah golong gelenging tekad murih santosaning nagari.
  • Samukawis ingkang dadya putusaning pranatan, adhedhasar kawicaksanan saha mupakating panemu.
  • Lumadine marang bebrayan bisa warata, kanthi adil manut kandel tipising lelabuhan lan pepangkatane.
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :

Di seluruh dunia, banyak negara yang sudah mandiri, merdeka dari segala yang membelenggu; sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hingar bingar rakyat menolak perbuatan yang menjajah, suka mengganggu penguasa negara lain, namun dapat mempererat persaudaraan untuk mewujudkan ketenteraman.

Apabila ada satu bangsa yang bertikai, suka menjajah rakyat lain maka harus dilawan; karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.

Perjuangan bangsa dalam meraih kemerdekaan, dengan satu tekad mengumpulkan kekuatan didasari oleh hati yang suci dan perilaku yang jujur. Keinginan negara sudah tiba pada waktunya, atas berkah Tuhan Yang Maha Kuasa, terbebas dari penjajahan, untuk meraih kebahagiaan dan kemuliaan lahir dan batin.

Negara yang berwibawa dapat melindungi rakyat senegaranya; agar dapat meningkatkan taraf hidup rakyatnya, yang selalu bertujuan untuk mewujudkan ketenteraman kehidupan berbangsa di seluruh dunia.
Peraturan negara berdasarkan pengharapan sebagai berikut :
  • Selalu tertuju pada Tuhan, Sang Penguasa Bumi. (Ketuhanan Yang MahaEsa)
  • Ketenteraman bangsa atas dasar rasa kemanusiaan yang tepa slira. (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab)
  • Jauh dari pertikaian, selalu bersatu untuk kejayaan negara. (Persatuan Indonesia)
  • Apa saja yang menjadi keputusan bersama, berdasarkan kebijaksanaan dan permufakatan. (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dan dalam permusyawaratan perwakilan)
  • Kemakmuran rakyat bisa merata secara adil atas dasar tekad dan derajat. (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia)
Janturan yang menjelaskan pemasyarakatan P-4 juga terdapat di dalam lakon Wahyu Panca Rasajati sebagai berikut,

… Sesanti Bhineka Tunggal Eka, dadiya daya gesanging budaya, winata paugeran lima, nenggih manembah mring Hyang Kawasa, rasa asih sesama, kekadangan sami bangsa, sarasehan srana kang wicaksana, kinarya anggayuh adil lan paramarta.

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :

Dengan berdasarkan Bhineka Tunggal Ika, jadilah kekuatan yang berbudaya,  tertata dalam lima peraturan, yaitu menyembah kepada Tuhan Yang Kuasa, mengasihi sesama, persaudaraan dalam kehidupan berbangsa, bermusyawarah secara bijaksana, berkarya untuk meraih keadilan dan kesejahteraan.

Dalam naskah lakon Semar Mbabar Jatidiri diuraikan kondisi negara yang memiliki dasar lima sendi kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai berikut,

… Anenggih nagari pundi ta kang Kaeka Adi Panca Parasedya, Eka sawiji Adi linuwih, Panca Parasedya lire gegebengan limang prakara sari-pathining budaya kang nyata dadya angger ugering praja utama.

Terjemahannya dalam bahasa Indonesia :

Syahdan negara yang pantas disebut Kaeka Adi Panca Parasedya. Eka berarti satu, Adi berarti keunggulan, Panca Parasedya berarti diikat oleh lima hal sebagai perwujudan budaya yang menjadi peraturan sebuah bangsa.

Penutup
Contoh-contoh tersebut menunjukkan eksistensi kesenian tradisional yang tumbuh dan mengakar di masyarakat luas mampu menjadi sarana penyampaian kebijakan dengan cara yang sederhana dan mudah diterima oleh khalayak. Demikian halnya dengan wayang kulit purwa yang memiliki basis massa besar di Jawa Tengah. Lakon-lakon yang dimodifikasi hingga lakon-lakon carangan pun sedikit banyak menjadi sarana osialisasi KB, Repelita, modernisasi desa, serta pemasyarakatan P-4.. Efektivitas dirasakan baik oleh para dalang, pemerintah, maupun masyarakat umum.

Sebelum tulisan ini saya akhiri, Pancasila juga pernah digunakan sebagai nama wayang jenis baru yang diciptakan oleh Suharsono Hadisuseno, seorang pegawai Penerangan RI dari Yogyakarta, dengan mengacu pada tokoh-tokoh Wayang Purwa. Wayang Pancasila yang lahir pada era Presiden Soekarno itu (1948) kemudian lebih dipergunakan untuk menyajikan cerita-cerita yang berhubungan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda dan peristiwa-peristiwa kemerdekaan RI. Adapun tujuan pergelaran Wayang Pancasila adalah untuk memberikan penerangan mengenai falsafah Pancasila, Undang-Undang Dasar serta Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Sumber:
"Pentas Wayang Kulit di Wonotingal", Suara Merdeka, 6 November 1992
.
Daftar Desa /Kelurahan Pelopor P-4 Kotamadya Dati II Semarang, 1988, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Laporan Hasil Evaluasi Pelaksanaan Pemasyarakatan dan Pembudayaan P4 Di Daerah Tingkat II Se-Jawa Tengah Tahun 1997/1998, BP7 Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah Tahun 1997/1998, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Surat Dinas B.P7 DATI II Semarang kepada Kepala Kantor Deppen Kodya Semarang, Ketua DPD II Golkar Kodya Semarang, dan Kepala Kantor Depdikbud Kodya Semarang, 15 Januari 1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Daftar Penatar P-4 angkatan LI (51) tahun 1988/1989 Lampiran Keputusan Kepala BP-7 propinsi Dati I Jawa Tengah tanggal 23 Maret 1989, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Laporan Sarasehan Seniman dan Seniwati Tingkat Pembantu Gubernur Jawa Tengah wilayah Pekalongan tahun 1997, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

Keputusan Kepala BP-7 Kabupaten Daerah Tingkat II Pati Nomor 431/196/1995 tentang Pembentukan Panitia Pelaksana Lomba Dalang, Waranggono serta Sarasehan Seniman dan Penatar P-4 Kabupaten Pati tahun 1995/1996, Arsip Provinsi Jawa Tengah.

S. Haryanto, Pratinimba Adhiluhung(Jakarta: Djambatan, 1988).

Soeparno Hadiatmodjo, Pakem Pedhalangan Lampahan Kalingga Bawana, Semarang, 1982.

Sutiyono, “Hegemoni Kekuasaan Terhadap Seni Pedalangan”, Jurnal Imaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar