Menyibak motivasi
perang; komparasi gaya tentara dari Indonesia, USA, Muang Thai; antara Perang
Teluk dan perang-perang ASEAN; perdamaian pascaperang
PROLOG
Berbicara
tentang perang tidaklah semata-mata membicarakan konflik kekerasan bersenjata
antarnegara, tetapi juga intranegara. Jika dilihat dalam sejarah, maka,
kemampuan saling membunuh pada manusia ternyata berhasil ditingkatkan, akan
tetapi usaha untuk memelihara ketenteraman dan perdamaian selalu mengalami
kegagalan. Hal ini dengan begitu mudah dapat kita cemati dalam serangkaian
perang penjajahan dalam proses bangsa-bangsa Eropa Barat merebut wilayah dan
menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia: seluruh Amerika, seluruh Afrika,
Asia, Autralia, Selandia Baru; munculnya militerisme Jerman dan berbagai
peperangan yang dicetuskannya di Eropa; Perang Krimea; Perang Perancis-Prusia,
Perang Jepang-Cina, Perang Jepang-Rusia, Perang Boer di Afrika Selatan, Perang
Dunia I, Perang Dunia II, serangkaian Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang
Vietnam, serangkaian Perang India-Pakistan, Perang India-RRC, Perang Kamboja
dan ratusan perang serta kekerasan bersenjata lainnya di semua penjuru dunia,
termasuk di tanah air kita sendiri. Selama tahun 1945 (seusai Perang Dunia II)
sampai tahun 1983 saja, tercatat penggunaan kekuatan milter oleh 66 negara
merdeka atau “dependent territories”
dalam 105 peperangan yang menelan 16 juta korban (Sivard, 1983: 211 dalam A.
Hasnan Habib, 1994: 4). Dari serangkaian peperangan tersebut sesungguhnya
mengerucut pada dua macam situasi yang mengkibatkan kekerasan menjadi pilihan.
Situasi tersebut antara lain tidak adanya alternatif lain untuk mempertahankan
diri terhadap serangan yang mengancam jiwa atau keselamatan diri sendiri -pada
tingkat hubungan internasional masih berlangsung untuk mempertahankan
integritas wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya-; dan situasi dimana
kekerasan merupakan cara yang paling menguntungkan. Artinya bahwa, melalui proses
analisis “cost-benefit”, kekerasan
merupakan cara terunggul dari beberapa kemungkinan yang ada dan terjadi dalam
keadaan kurang atau tidak adanya ketentuan atau prosedur penyelesaian sengketa,
kurang tersedianya sarana mencegah kekerasan agresif atau kurang adanya rasa
kebersamaan (sense of community)
(Habib, A. Hasnan, 1994: 8).
Suatu pendapat menyatakan bahwa
perang adalah sesuatu yang normal dan -justru- juga ada baiknya. Mengapa?
Inilah tampaknya sisi positif dari perang itu sendiri, yakni membuat manusia
mengakui bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Perdamaian
harus diusahakan, dan dipelihara kelestariannya (Budiman, Arief, 1994: 33).
Akan tetapi pendapat ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam lagi, mengapa
manusia masih terus berperang? Dan, apakah ini menjadi kodrat manusia untuk
saling menghancurkan?
Jika
dilihat dari anggapan Sigmund Freud, ternyata memang demikianlah adanya.
Baginya, manusia di samping memiliki insting untuk hidup, juga memiliki insting
untuk mati, alias menghancurkan hidupnya (Budiman, Arief, 1994: 33). Teori lain
tentang perang dapat diambil dari teori tentang terjadinya imperialisme.
Imperialisme sendiri dapat dijelaskan dengan tiga kelompok teori, yakni
kelompok teori God, Glory dan Gold. Kelompok teori God atau Tuhan merupakan
teori yang mengatakan bahwa imperialisme didasarkan pada misi agama untuk
menyelamatkan orang-orang yang dianggap masih biadab atau dalam kata lain,
imperialisme sebagai misi penyebaran agama. Sementara kelompok teori Glory atau
Kebanggaan menyatakan bahwa imperialisme adalah hasil dari dorongan untuk
menunjukkan keperkasaan, dan kelompok teori Gold atau Emas merupakan teori yang
mengatakan bahwa imperialisme yang disebabkan oleh dorongan ekonomi, yakni
untuk mencari emas seperti halnya orang-orang Spanyol dan Portugis yang
berlayar ke benua Amerika, orang Belanda ke Indonesia, atau orang Inggris ke
India dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Budiman, Arief, 1994:
34-35).
Mari
kita coba meninjau kondisi di Indonesia, dimana tentara ternyata berfungsi
sebagai kekuatan politik pada periode 1945-1965. Meskipun tentara Indonesia
tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, namun dalam masa
revolusi antara tahun 1945 hingga 1949 tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan
dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera
setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima
azas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira menganggap bahwa peranan tentara
memang diperlukan di bidang politik, tetapi tidak pernah muncul sebagai
kekuatan politik yang utama (Crouch, Harold, 1999: 21). Dilihat dari
kepentingan-kepentingan ektsramiliter, tentara Indonesia dalam arti tertentu
adalah “tentara rakyat”. Pandangan politik tentara mencerminkan akar-akar
budaya asal perwira, begitupun dengan perspektif-perspektif politik dan sosial
korps perwira juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka sekalipun
beberapa perwira merupakan kalangan bangsawan dan sebagian kecil yang memasuki
lembaga-lembaga pendidikan setaraf universitas dan ada juga dari kalangan yang
lebih rendah. Tentara juga berperan dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya
membuka kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk memetik keuntungan pribadi. Apa
akibatnya? Beberapa perwira angkatan darat menghendaki agar keadaan darurat
perang terus diberlakukan (Crouch, Harold, 1999: 35-37).
Selanjutnya
coba kita bandingkan peran militer yang ada dalam politik Muang Thai dengan
peran tentara bayaran invasi militer Amerika Serikat. Di Muang Thai, elit-elit
militer, yang seringkali merupakan elit yang berkuasa, tidak berminat untuk
memperluas partisipasi politik. Apa alasannya? Mereka beralasan bahwa
orang-orang Thai belum siap untuk ambil bagian dalam politik, belum tahu cara
menggunakan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, dan dengan demikian dapat
dengan mudah ditunggangi oleh kaum politiasi terpilah dan yang sedang bersaing,
yang tentu hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri (Bunbonkarn, Suchit,
1990:4). Di samping itu kekekalan dominasi Angkatan Darat dalam politik di
Muang Thai disebabkan oleh tidak adanya kesadaran politik di kalangan massa dan
rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik seperti yang
tercermin dalam sedikitnya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam setiap
pemilihan umum sejak 1933 (Bunbonkarn, Suchit, 1990:5). Hal ini ternyata
berlangsung hingga 1977, dimana sebuah analisa menunjukkan bahwa tingkat,
bentuk, dan landasan partisipasi politik pada umumnya ditentukan oleh
kepentingan elit-elit militer. Para elit militer tidak menginginkan partisipasi
politik yang luas. Mereka tidak menghendaki itu. Mereka hanya menginginkan
penghapusan partisipasi politik atau suatu partisipasi terbatas yang hanya
memungkinkan beberapa kelompok pilihan untuk memasuki gelanggang politik di
bawah pengawasan mereka (Bunbonkarn, Suchit, 1990:10). Tidak mengherankan jika
sejak pemilihan umum tahun 1979 konflik antara golongan militer dan berbagai
elit politik yang dipilih mengalami beberapa perubahan (Bunbonkarn, Suchit,
1990: 11). Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi NO. 66/2523
-diumumkan pada 1980- dan memberikan suatu alasan pembenaran baru bagi
keterlibatan pimpinan militer Thai dalam politik sehingga mendorong mereka
untuk mengalahkan komunisme (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 133).
Militerisme
politik yang terjadi di Muang Thai tadi akan tampak sangat berbeda dengan apa
yang terjadi dalam keterlibatan tentara bayaran dalam invasi militer Amerika
Serikat ke kota-kota di Irak. Kemunculan
konsep “tentara bayaran” ini muncul seminggu setelah berakhirnya masa
kepemimpinan Donald Rumsfeld di Pentagon. Kondisi ini menyebabkan pasukan AS
merasa sangat terperas oleh perang melawan teror sehingga Menteri Dalam Negeri
Jenderal Colin Powell pun ikut angkat suara mengenai hal ini. Pemerintah Bush
dan Pentagon kemudian membicarakan betapa pentingnya penambahan kekuatan
militer (Scahill, Jeremy, 2010: 24). Pimpinan Blackwater, Erik Prince, inilah
yang menggagas ide “brigade tentara bayaran” untuk kelengkapan militer
konvensional AS (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Blackwater sendiri merupakan
organisasi pasukan swasta yang bertugas untuk operasi-operasi agen-agen
intelijen AS atau korporasi-korporasi atau individu-individu swasta dan pemerintah
asing (Scahil, Jeremy, 2010: 19). Blackwater diposisikan Erik Prince sebagai
perpanjangan tangan patriotisme militer AS, dan pada September 2005, ia
mengeluarkan memorandum sekaligus instruksi kepada seluruh pegawai dan para
tentara bayarannya untuk mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat dalam
melawan semua musuh, asing maupun lokal (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Tampaknya
apa yang terjadi dengan Blackwater tidak terlalu jauh berbeda dengan
organisasi-organisasi non-militer yang kerap memisahkan jalur dari pondasi awal
dengan pelaksanaannya. Begitu sering
proyek-proyek Blackwater yang paling ambisius dan rahasia memperlihatkan
kenyataan yang sangat beda dan mengerikan. Tak heran jika Michael Ratner,
Presiden Center for Constitutional Rights, menyatakan, “Semakin banyaknya
penggunaan tentara sewaan, pasukan swasta, atau apa yang disebut sebagian orang
sebagai ‘tentara bayaran’ menjadikan pertempuran sangat mudah dimulai dan
diusahakan-hanya dibutuhkan uang dan bukan penduduk.” (Scahill, Jeremy, 2010:
27). Ungkapnya lagi, pengiriman pasukan Blackwater dalam lingkup domestik
merupakan sebuah preseden buruk yang dapat merusak demokrasi AS. Ratner juga
menyamakan Blackwater dengan pasukan kemeja coklat Partai Nazi. Mengapa? Karena
kelompok paramiliter seperti Blackwater ini merupakan ancaman yang sangat
berbahaya bagi hak-hak bernegara ! (Scahill, Jeremy, 2010: 29) Namun jangan
disangka opini-opini miring seputar Blackwater menjadikannya berhenti
beroperasi. Justru, pemberitaan yang begitu gencar mengenai tewasnya empat
tentaranya di Fallujah pada 31 Maret 2004 mengantarkan Blackwater menjadi
pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan memicu
Blackwater ke arah jalur menuju sukses bertahun-tahun kemudian (Scahill,
Jeremy, 2010: 31).
Apa
yang bisa kita cermati dari bandingan tiga keterlibatan militer dalam tiga
negara; Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat ? Dari sini ditarik suatu
penyimpulan bahwa keterlibatan militer di masing-masing negara memiliki
kepentingan yang berbeda pula. Di Indonesia, pada periode 1945-1949, tentara
yang dekat dengan sebutan “tentara rakyat” memiliki akses untuk berperan dalam
kegiatan ekonomi dan bisa memetik keuntungan pribadi. Sementara untuk Muang
Thai, keberadaan pimpinan militer di sana justru secara langsung menginginkan
penghapusan partisipasi politik warga Muang Thai. Inilah yang menyebabkan
terjadinya crash antara elit militer
dengan elit politik dan melahirkan Instruksi NO. 66/2523 di tahun 1980. Lebih
lanjut di Amerika Serikat juga muncul golongan tentara swasta yang berkumpul
dalam sebuah lembaga bernama Blackwater. Para tentara ini -sebenarnya- bekerja
di luar pemerintah Amerika Serikat, yakni untuk korporasi-korporasi, individu
swasta, badan intelijen, dan pemerintah asing. Akan tetapi seiring berjalannya
waktu Blackwater turut menjadi pelindung
para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat.
Setelah kita mencoba membahas
beberapa keterlibatan tentara-tentara dan elit militer di Indonesia, Muang
Thai, dan Amerika Serikat, sekarang, coba kita amati kasus perang Teluk dan
perang-perang di ASEAN yang penulis kutip dari tulisan Arief Budiman yang
berjudul “Perdamaian, Perang dan Latar Belakang Ekonominya” dan dimuat dalam
antologi bertajuk “Perang, Militerisme, dan Tantangan Peradaban”. Dari sini
dapat kita cermati contoh kasus dari faktor terjadinya peperangan dan
aliansi-aliansi di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar