Sabtu, 04 Januari 2014

Perang, Militerisme Politik dan Perdamaian (Bahan Diskusi Sejarah Militer) - 1

Menyibak motivasi perang; komparasi gaya tentara dari Indonesia, USA, Muang Thai; antara Perang Teluk dan perang-perang ASEAN; perdamaian pascaperang



 PROLOG

Berbicara tentang perang tidaklah semata-mata membicarakan konflik kekerasan bersenjata antarnegara, tetapi juga intranegara. Jika dilihat dalam sejarah, maka, kemampuan saling membunuh pada manusia ternyata berhasil ditingkatkan, akan tetapi usaha untuk memelihara ketenteraman dan perdamaian selalu mengalami kegagalan. Hal ini dengan begitu mudah dapat kita cemati dalam serangkaian perang penjajahan dalam proses bangsa-bangsa Eropa Barat merebut wilayah dan menjajah bangsa-bangsa lain di seluruh dunia: seluruh Amerika, seluruh Afrika, Asia, Autralia, Selandia Baru; munculnya militerisme Jerman dan berbagai peperangan yang dicetuskannya di Eropa; Perang Krimea; Perang Perancis-Prusia, Perang Jepang-Cina, Perang Jepang-Rusia, Perang Boer di Afrika Selatan, Perang Dunia I, Perang Dunia II, serangkaian Perang Arab-Israel, Perang Korea, Perang Vietnam, serangkaian Perang India-Pakistan, Perang India-RRC, Perang Kamboja dan ratusan perang serta kekerasan bersenjata lainnya di semua penjuru dunia, termasuk di tanah air kita sendiri. Selama tahun 1945 (seusai Perang Dunia II) sampai tahun 1983 saja, tercatat penggunaan kekuatan milter oleh 66 negara merdeka atau “dependent territories” dalam 105 peperangan yang menelan 16 juta korban (Sivard, 1983: 211 dalam A. Hasnan Habib, 1994: 4). Dari serangkaian peperangan tersebut sesungguhnya mengerucut pada dua macam situasi yang mengkibatkan kekerasan menjadi pilihan. Situasi tersebut antara lain tidak adanya alternatif lain untuk mempertahankan diri terhadap serangan yang mengancam jiwa atau keselamatan diri sendiri -pada tingkat hubungan internasional masih berlangsung untuk mempertahankan integritas wilayah nasional dan kelangsungan hidupnya-; dan situasi dimana kekerasan merupakan cara yang paling menguntungkan. Artinya bahwa, melalui proses analisis “cost-benefit”, kekerasan merupakan cara terunggul dari beberapa kemungkinan yang ada dan terjadi dalam keadaan kurang atau tidak adanya ketentuan atau prosedur penyelesaian sengketa, kurang tersedianya sarana mencegah kekerasan agresif atau kurang adanya rasa kebersamaan (sense of community) (Habib, A. Hasnan, 1994: 8).
            Suatu pendapat menyatakan bahwa perang adalah sesuatu yang normal dan -justru- juga ada baiknya. Mengapa? Inilah tampaknya sisi positif dari perang itu sendiri, yakni membuat manusia mengakui bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang terberi begitu saja. Perdamaian harus diusahakan, dan dipelihara kelestariannya (Budiman, Arief, 1994: 33). Akan tetapi pendapat ini memunculkan pertanyaan yang lebih dalam lagi, mengapa manusia masih terus berperang? Dan, apakah ini menjadi kodrat manusia untuk saling menghancurkan?
Jika dilihat dari anggapan Sigmund Freud, ternyata memang demikianlah adanya. Baginya, manusia di samping memiliki insting untuk hidup, juga memiliki insting untuk mati, alias menghancurkan hidupnya (Budiman, Arief, 1994: 33). Teori lain tentang perang dapat diambil dari teori tentang terjadinya imperialisme. Imperialisme sendiri dapat dijelaskan dengan tiga kelompok teori, yakni kelompok teori God, Glory dan Gold. Kelompok teori God atau Tuhan merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme didasarkan pada misi agama untuk menyelamatkan orang-orang yang dianggap masih biadab atau dalam kata lain, imperialisme sebagai misi penyebaran agama. Sementara kelompok teori Glory atau Kebanggaan menyatakan bahwa imperialisme adalah hasil dari dorongan untuk menunjukkan keperkasaan, dan kelompok teori Gold atau Emas merupakan teori yang mengatakan bahwa imperialisme yang disebabkan oleh dorongan ekonomi, yakni untuk mencari emas seperti halnya orang-orang Spanyol dan Portugis yang berlayar ke benua Amerika, orang Belanda ke Indonesia, atau orang Inggris ke India dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi (Budiman, Arief, 1994: 34-35).
Mari kita coba meninjau kondisi di Indonesia, dimana tentara ternyata berfungsi sebagai kekuatan politik pada periode 1945-1965. Meskipun tentara Indonesia tidak pernah membatasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer, namun dalam masa revolusi antara tahun 1945 hingga 1949 tentara terlibat dalam perjuangan kemerdekaan dimana tindakan politik dan militer saling menjalin tak terpisahkan. Segera setelah peralihan kekuasaan di akhir tahun 1945, secara resmi tentara menerima azas keunggulan kekuasaan sipil. Para perwira menganggap bahwa peranan tentara memang diperlukan di bidang politik, tetapi tidak pernah muncul sebagai kekuatan politik yang utama (Crouch, Harold, 1999: 21). Dilihat dari kepentingan-kepentingan ektsramiliter, tentara Indonesia dalam arti tertentu adalah “tentara rakyat”. Pandangan politik tentara mencerminkan akar-akar budaya asal perwira, begitupun dengan perspektif-perspektif politik dan sosial korps perwira juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial mereka sekalipun beberapa perwira merupakan kalangan bangsawan dan sebagian kecil yang memasuki lembaga-lembaga pendidikan setaraf universitas dan ada juga dari kalangan yang lebih rendah. Tentara juga berperan dalam kegiatan ekonomi yang pada akhirnya membuka kesempatan-kesempatan bagi mereka untuk memetik keuntungan pribadi. Apa akibatnya? Beberapa perwira angkatan darat menghendaki agar keadaan darurat perang terus diberlakukan (Crouch, Harold, 1999: 35-37).
Selanjutnya coba kita bandingkan peran militer yang ada dalam politik Muang Thai dengan peran tentara bayaran invasi militer Amerika Serikat. Di Muang Thai, elit-elit militer, yang seringkali merupakan elit yang berkuasa, tidak berminat untuk memperluas partisipasi politik. Apa alasannya? Mereka beralasan bahwa orang-orang Thai belum siap untuk ambil bagian dalam politik, belum tahu cara menggunakan hak-hak mereka sebagaimana mestinya, dan dengan demikian dapat dengan mudah ditunggangi oleh kaum politiasi terpilah dan yang sedang bersaing, yang tentu hanya memikirkan kepentingan pribadi mereka sendiri (Bunbonkarn, Suchit, 1990:4). Di samping itu kekekalan dominasi Angkatan Darat dalam politik di Muang Thai disebabkan oleh tidak adanya kesadaran politik di kalangan massa dan rendahnya tingkat partisipasi rakyat dalam proses politik seperti yang tercermin dalam sedikitnya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dalam setiap pemilihan umum sejak 1933 (Bunbonkarn, Suchit, 1990:5). Hal ini ternyata berlangsung hingga 1977, dimana sebuah analisa menunjukkan bahwa tingkat, bentuk, dan landasan partisipasi politik pada umumnya ditentukan oleh kepentingan elit-elit militer. Para elit militer tidak menginginkan partisipasi politik yang luas. Mereka tidak menghendaki itu. Mereka hanya menginginkan penghapusan partisipasi politik atau suatu partisipasi terbatas yang hanya memungkinkan beberapa kelompok pilihan untuk memasuki gelanggang politik di bawah pengawasan mereka (Bunbonkarn, Suchit, 1990:10). Tidak mengherankan jika sejak pemilihan umum tahun 1979 konflik antara golongan militer dan berbagai elit politik yang dipilih mengalami beberapa perubahan (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 11). Kondisi inilah yang melatarbelakangi terbitnya Instruksi NO. 66/2523 -diumumkan pada 1980- dan memberikan suatu alasan pembenaran baru bagi keterlibatan pimpinan militer Thai dalam politik sehingga mendorong mereka untuk mengalahkan komunisme (Bunbonkarn, Suchit, 1990: 133).
Militerisme politik yang terjadi di Muang Thai tadi akan tampak sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam keterlibatan tentara bayaran dalam invasi militer Amerika Serikat  ke kota-kota di Irak. Kemunculan konsep “tentara bayaran” ini muncul seminggu setelah berakhirnya masa kepemimpinan Donald Rumsfeld di Pentagon. Kondisi ini menyebabkan pasukan AS merasa sangat terperas oleh perang melawan teror sehingga Menteri Dalam Negeri Jenderal Colin Powell pun ikut angkat suara mengenai hal ini. Pemerintah Bush dan Pentagon kemudian membicarakan betapa pentingnya penambahan kekuatan militer (Scahill, Jeremy, 2010: 24). Pimpinan Blackwater, Erik Prince, inilah yang menggagas ide “brigade tentara bayaran” untuk kelengkapan militer konvensional AS (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Blackwater sendiri merupakan organisasi pasukan swasta yang bertugas untuk operasi-operasi agen-agen intelijen AS atau korporasi-korporasi atau individu-individu swasta dan pemerintah asing (Scahil, Jeremy, 2010: 19). Blackwater diposisikan Erik Prince sebagai perpanjangan tangan patriotisme militer AS, dan pada September 2005, ia mengeluarkan memorandum sekaligus instruksi kepada seluruh pegawai dan para tentara bayarannya untuk mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat dalam melawan semua musuh, asing maupun lokal (Scahill, Jeremy, 2010: 25). Tampaknya apa yang terjadi dengan Blackwater tidak terlalu jauh berbeda dengan organisasi-organisasi non-militer yang kerap memisahkan jalur dari pondasi awal dengan pelaksanaannya.  Begitu sering proyek-proyek Blackwater yang paling ambisius dan rahasia memperlihatkan kenyataan yang sangat beda dan mengerikan. Tak heran jika Michael Ratner, Presiden Center for Constitutional Rights, menyatakan, “Semakin banyaknya penggunaan tentara sewaan, pasukan swasta, atau apa yang disebut sebagian orang sebagai ‘tentara bayaran’ menjadikan pertempuran sangat mudah dimulai dan diusahakan-hanya dibutuhkan uang dan bukan penduduk.” (Scahill, Jeremy, 2010: 27). Ungkapnya lagi, pengiriman pasukan Blackwater dalam lingkup domestik merupakan sebuah preseden buruk yang dapat merusak demokrasi AS. Ratner juga menyamakan Blackwater dengan pasukan kemeja coklat Partai Nazi. Mengapa? Karena kelompok paramiliter seperti Blackwater ini merupakan ancaman yang sangat berbahaya bagi hak-hak bernegara ! (Scahill, Jeremy, 2010: 29) Namun jangan disangka opini-opini miring seputar Blackwater menjadikannya berhenti beroperasi. Justru, pemberitaan yang begitu gencar mengenai tewasnya empat tentaranya di Fallujah pada 31 Maret 2004 mengantarkan Blackwater menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat dan memicu Blackwater ke arah jalur menuju sukses bertahun-tahun kemudian (Scahill, Jeremy, 2010: 31).
Apa yang bisa kita cermati dari bandingan tiga keterlibatan militer dalam tiga negara; Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat ? Dari sini ditarik suatu penyimpulan bahwa keterlibatan militer di masing-masing negara memiliki kepentingan yang berbeda pula. Di Indonesia, pada periode 1945-1949, tentara yang dekat dengan sebutan “tentara rakyat” memiliki akses untuk berperan dalam kegiatan ekonomi dan bisa memetik keuntungan pribadi. Sementara untuk Muang Thai, keberadaan pimpinan militer di sana justru secara langsung menginginkan penghapusan partisipasi politik warga Muang Thai. Inilah yang menyebabkan terjadinya crash antara elit militer dengan elit politik dan melahirkan Instruksi NO. 66/2523 di tahun 1980. Lebih lanjut di Amerika Serikat juga muncul golongan tentara swasta yang berkumpul dalam sebuah lembaga bernama Blackwater. Para tentara ini -sebenarnya- bekerja di luar pemerintah Amerika Serikat, yakni untuk korporasi-korporasi, individu swasta, badan intelijen, dan pemerintah asing. Akan tetapi seiring berjalannya waktu Blackwater turut  menjadi pelindung para diplomat dan fasilitas-fasilitas Amerika Serikat.
            Setelah kita mencoba membahas beberapa keterlibatan tentara-tentara dan elit militer di Indonesia, Muang Thai, dan Amerika Serikat, sekarang, coba kita amati kasus perang Teluk dan perang-perang di ASEAN yang penulis kutip dari tulisan Arief Budiman yang berjudul “Perdamaian, Perang dan Latar Belakang Ekonominya” dan dimuat dalam antologi bertajuk “Perang, Militerisme, dan Tantangan Peradaban”. Dari sini dapat kita cermati contoh kasus dari faktor terjadinya peperangan dan aliansi-aliansi di dalamnya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar