Sabtu, 04 Januari 2014

Mitos dan Religi (Sebuah refleksi....)






Mitos seringkali nampak hanya sebagai khaos tanpa ciri khas sebagaimana cabang-cabang ilmu pengetahuan. Andai mitos memiliki ciri khas, barangkali ciri “tiadanya sebab atau alasan” itulah yang menjadi pencirinya. Sementara itu pemikiran religus atau kebenaran religius tidak semestinya diukur dengan pemikiran rasional atau pemikiran filosofis. Justru kebenaran religius yang bersifat suprarasional dan supranatural itu akan menjadi sebuah cara untuk menembus misteri iman dan melengkapi serta menyempurnakan rasio. Unsur pokok religi, menurut Pascal, bersifat kesamar-samaran dan ketidakmampuannta ditangkap secara menyeluruh. Kiekegard menggambarkan kehidupan religius sebagai paradoks besar. Religi menjadi sebuah teka-teki baik teka-teki teoretis maupun teka-teki etis. Akan tetapi religi kadang menjelma menjadi sumber pertikaian tajam, bahkan fanatik, di antara sesama manusia. Sementara toh religi justru menjanjikan dunia transeden dan memanusiakan manusia sebagai tujuannya.


Sebagai solusi untuk memecahkan fanatisme buta dari sebuah religi, filsafat kebudayaan memberi sudut pandang baru dalam memaknai religi itu sendiri. Filsafat kebudayaan memandang religi bukan sebagai sistem metafisis atau teologis melainkan lebih dalam bentuk imajinasi mitis dan pemikiran religius. Gejala alam dan gejala manusiawi memerlukan interpretasi mitis. Idea-idea mitologis yang dicoba untuk digabungkan ternyata tidak menemukan titik temu. Akan tetapi satu hal yang unik adalah, keanekaragaman dan ketakcocokan dalam pembuatan mitos tidak berlaku pada fungsi pembuatan mitos yang ternyata mengalami keseragaman meski memiliki perbedaan kondisi sosial dan kultural. Begitu pula dengan sejarah religi. Ketika ungkapan-ungkapan iman, dogma-dogma kepercayaan dan sistem-sistem teologis saling berselisih, justru pemikiran religius memiliki kesatuan di dalamnya dengan satu prinsip una est religio in ritnum varietate (agama satu, ritus bermacam-macam).
Mitos, andai memiliki sebuah logika, tetap tidak bisa disandingkan dengan konsepsi menurut kebenaran empiris dan ilmiah. Namun secara filsafati, mitos tentu memiliki “arti” filosofis yang dapat dipahami sekaligus menyingkapnya dari berbagai citra dan simbol. Teknik Interpretasi Alegoris yang dikembangkan sejak masa Stoa adalah satu-satunya jalan untuk memasuki dunia mitis. Dunia mitis ditampilkan sebagai dunia buatan, sebagai kedok untuk sesuatu yang lain. Dunia mitis tidak dianggap sebagai suatu kepercayaan, melainkan kepura-puraan. Akan tetapi dunia modern memandang mitos sebagai khayalan di luar kesadaran. Secara ilmiah, analisis wajah asli di balik begitu banyak kedok menjadi satu hal yang musti kita singkap. Analisis yang digunakan terbagi dalam metode objektif maupun subjektif. Dalam metode objektif, analisis bertujuan untuk mengklasifikasi objek-objek pemikiran mitis. Dalam metode subjektif, analisis bertujuan untuk mengklasifikasi motif-motifnya. Teori dianggap mampu mencapai tujuan dan memenuhi tugasnya apabila mampu menemukan satu objek tunggal atau satu motif tunggal yang mencakup semua yang lain, dan cara ini sudah diterapkan dalam etnologi dan psikologi modern. 


Ahli-ahli etnologi maupun antropologi kemudian juga turut berbicara mengenai hal tersebut, bahwa yang pertama dan terutama harus kita cari adalah pusat objektif dunia mistis seperti yang dikemukakan Malinowski. Freud dalam psikoanalisis teori mitosnya menyatakan bahwa mitos adalah suatu variasi dan bentuk berkedok dari satu tema psikologis yakni seksualitas. Mitos menyatukan unsur teoretis dan unsur penciptaan artistik dengan ciri mencolok terlihat pada kaitan antara mitos dengan puisi. Dikatakannya bahwa mitos purba merupakan embrio bagi perkembangan puisi modern selanjutnya. Lain halnya dengan Frazer yang mengajukan tesis bahwa antara seni magi dengan cara berpikir ilmiah tidak memiliki batas yang tajam. Meskipun magi bersifat imajiner dan fantastis, namun tujuannya bersifat ilmiah dan magi-pun secara teoretis berupa ilmu, biarpun secara praktis magi merupakan ilmu yang suka diemngerti atau pseudo ilmu. Magi juga menjadi suatu keyakinan, biarpun implisit tapi nyata dan teguh, menyangkut keteraturan dan keseragaman alam. Akan tetapi pandangan tersebut tidak sejalan dengan antropologi modern yang memandang mitos maupun magi sebagai suatu yang bersifat etiologis atau eksplanatoris merupakan konsepsi yang tidak memadai.
Mitos memang memiliki wajah ganda sebab mitos memiliki dua struktur yang berbeda yakni struktur konseptual dan struktur perseptual. Bisa dibilang mitos bergantung pada cara persepsi tertentu, termasuk ketika mitos memiliki kekhasan dalam menafsirkan dan menilai dunia dengan caranya sendiri. Begitupun dengan dunia mitis. Hal-hal yang bersifat analisis hendaknya tidak dipergunakan karena bertentangan dengan struktur persepsi mitis dan pemikiran mitis. 


Perbedaan substansi dan aksidensi di dalam dunia mitis ditangkap oleh mitos sebagai sifat-sifat fisiognomis. Dunia mitos adalah dunia dramatis. Sementara persepsi mitis selalu berhubungan dengan suasana hati yang dapat memunculkan konsepsi dramatis di saat kita mengalami ketegangan emosional. Jika dikaitkan dengan ilmu, maka persepsi mitis harus ditiadakan -selain data pengalaman fisiognomis yang tidak menghilangkan nilai-nilai antropologisnya-. Cara kerja ilmu ditandai dengan pembatasan unsur-unsur subjektif di dalamnya. Sementara jika menggunakan prinsip epistemologis dan metodologi, maka tataran pengalaman inderawi sebagai “kualitas feeling” tampil dalam cahaya baru. Sementara penginderaan disebut dengan “kualitas sekunder” yang tergolong tataran madya. Tataran yang mampu mengungguli tahap pertama fisiognomis ini pada kenyataannya belum mampu melakukan generalisasi sebagaimana sering ditemukan dalam pengertian-pengertian ilmiah.
Feeling, menurut Dewey, memiliki kebenaran relatif yang terbukti berlaku penuh dalam persepsi mitis yang dianggap sebagai unsur dasar realitas. Oleh sebab itu apabila kita akan memahami dunia persepsi maupun imajinasi mitis, kita musti menerima kualitas-kualitas pengalaman mitis dalam “keserta-mertaan” kualitas itu sendiri, bukan dari sudut cita-cita teoretis kita sendiri. Untuk itulah maka muncul pemahaman bahwa mitos bukanlah sebuah sistem keyakinan-keyakinna dogmatis. Mitos lebih terjelma dalam tindakan dibanding pikiran atau khayalan. Jika mitos dapat dianalisis hingga pada unsur-unsur konseptual terdasar, justru kita tidak mampu menangkap prinsip vitalnya yang dinamis. Hal ini selaras dengan Durkheim yang menyatakan bahwa kita tidak akan mampu membuat penjelasan adekuat tentang mitos apabila kita hanya menelusuri asal-usulnya dalam dunia jasmani atau dalam intuisi gejala-gejala alamiah. Model sejati mitos adalah masyarakat. Semua motif dasar yang ada pada mitos adalah proyeksi kehidupan sosial manusia. Proyeksi ini mengantarkan alam menjadi cermin dunia sosial dalam berbagai bentuknya. Pemikiran mitis digambarkan Levy-Bruhl sebagai pemikiran pralogis, sementara jawaban mitos tentang sebab-musabab tidaklah bersifat logis atau empiris melainkan sebab-musabab mistik. Ia juga menyebutkan bahwa mitos secara hakiki bercorak sosial dan tidak perlu diperdebatkan, namun anggapan bahwa seluruh mentalitas primitis bersifat pralogis ataupun mistis nampaknya bertentangan dengan banyak bukti-bukti antropologis dan etnografis. Padahal dalam kehidupan primitif bisa ditemukan bidang sekular atau profan, dan tradisi sekular berupa kaidah-kaidah hukum ataus sopan-santun yang menentukan cara berlakunya kehidupan sosial.


Dalam mitos, lapisan yang bergerak bukanlah lapisan pemikiran melainkan lapisan perasaan. Mitos dan agama primitif tidak sepenuhnya kacau dan tidak kehilangan segi penalaran. Akan tetapi koherensinya tergantung lebih pada kesatuan perasaan dan bukan pada aturan-aturan logika. Kesatuan perasaan itu merupakan salah satu getaran yang paling kuat dan paling hakiki dalam pemikiran primitif.  Pandangan hidup pemikiran primitif bercorak sintetis sehingga hidup tidak lagi dipecah-pecah ke dalam berbagai kelas dan subkelas. Hidup dilalui sebagai keseluruhan yang kontinyu, kait-mengait, yang tidak membuka pintu bagi pembedaan-pembedaan yang jelas dan tajam. Tidak ada perbedaan spesifik di antara bidang kehidupan. Tidak sesuatu pun bersifat definitif, statis, dan tak berubah-ubah. Hukum metamorfosis adalah hukum yang mengatur dunia menurut dunia mitis. Seluruh kehidupan manusia primitif sebagian besar tergantung pada bakatnya untuk mengobservasi dan membada-bedakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar