Mitos seringkali
nampak hanya sebagai khaos tanpa ciri khas sebagaimana cabang-cabang ilmu
pengetahuan. Andai mitos memiliki ciri khas, barangkali ciri “tiadanya sebab
atau alasan” itulah yang menjadi pencirinya. Sementara itu pemikiran religus
atau kebenaran religius tidak semestinya diukur dengan pemikiran rasional atau
pemikiran filosofis. Justru kebenaran religius yang bersifat suprarasional dan
supranatural itu akan menjadi sebuah cara untuk menembus misteri iman dan
melengkapi serta menyempurnakan rasio. Unsur pokok religi, menurut Pascal,
bersifat kesamar-samaran dan ketidakmampuannta ditangkap secara menyeluruh.
Kiekegard menggambarkan kehidupan religius sebagai paradoks besar. Religi
menjadi sebuah teka-teki baik teka-teki teoretis maupun teka-teki etis. Akan
tetapi religi kadang menjelma menjadi sumber pertikaian tajam, bahkan fanatik,
di antara sesama manusia. Sementara toh
religi justru menjanjikan dunia transeden dan memanusiakan manusia sebagai
tujuannya.
Sebagai solusi
untuk memecahkan fanatisme buta dari sebuah religi, filsafat kebudayaan memberi
sudut pandang baru dalam memaknai religi itu sendiri. Filsafat kebudayaan
memandang religi bukan sebagai sistem metafisis atau teologis melainkan lebih
dalam bentuk imajinasi mitis dan pemikiran religius. Gejala alam dan gejala
manusiawi memerlukan interpretasi mitis. Idea-idea mitologis yang dicoba untuk
digabungkan ternyata tidak menemukan titik temu. Akan tetapi satu hal yang unik
adalah, keanekaragaman dan ketakcocokan dalam pembuatan mitos tidak berlaku
pada fungsi pembuatan mitos yang ternyata mengalami keseragaman meski memiliki
perbedaan kondisi sosial dan kultural. Begitu pula dengan sejarah religi.
Ketika ungkapan-ungkapan iman, dogma-dogma kepercayaan dan sistem-sistem
teologis saling berselisih, justru pemikiran religius memiliki kesatuan di
dalamnya dengan satu prinsip una est
religio in ritnum varietate (agama satu, ritus bermacam-macam).
Mitos, andai
memiliki sebuah logika, tetap tidak bisa disandingkan dengan konsepsi menurut
kebenaran empiris dan ilmiah. Namun secara filsafati, mitos tentu memiliki
“arti” filosofis yang dapat dipahami sekaligus menyingkapnya dari berbagai
citra dan simbol. Teknik Interpretasi Alegoris yang dikembangkan sejak masa
Stoa adalah satu-satunya jalan untuk memasuki dunia mitis. Dunia mitis
ditampilkan sebagai dunia buatan, sebagai kedok untuk sesuatu yang lain. Dunia
mitis tidak dianggap sebagai suatu kepercayaan, melainkan kepura-puraan. Akan
tetapi dunia modern memandang mitos sebagai khayalan di luar kesadaran. Secara
ilmiah, analisis wajah asli di balik begitu banyak kedok menjadi satu hal yang
musti kita singkap. Analisis yang digunakan terbagi dalam metode objektif
maupun subjektif. Dalam metode objektif, analisis bertujuan untuk
mengklasifikasi objek-objek pemikiran mitis. Dalam metode subjektif, analisis
bertujuan untuk mengklasifikasi motif-motifnya. Teori dianggap mampu mencapai
tujuan dan memenuhi tugasnya apabila mampu menemukan satu objek tunggal atau
satu motif tunggal yang mencakup semua yang lain, dan cara ini sudah diterapkan
dalam etnologi dan psikologi modern.
Ahli-ahli
etnologi maupun antropologi kemudian juga turut berbicara mengenai hal
tersebut, bahwa yang pertama dan terutama harus kita cari adalah pusat objektif
dunia mistis seperti yang dikemukakan Malinowski. Freud dalam psikoanalisis
teori mitosnya menyatakan bahwa mitos adalah suatu variasi dan bentuk berkedok
dari satu tema psikologis yakni seksualitas. Mitos menyatukan unsur teoretis
dan unsur penciptaan artistik dengan
ciri mencolok terlihat pada kaitan antara mitos dengan puisi. Dikatakannya
bahwa mitos purba merupakan embrio bagi perkembangan puisi modern selanjutnya.
Lain halnya dengan Frazer yang mengajukan tesis bahwa antara seni magi dengan
cara berpikir ilmiah tidak memiliki batas yang tajam. Meskipun magi bersifat
imajiner dan fantastis, namun tujuannya bersifat ilmiah dan magi-pun secara
teoretis berupa ilmu, biarpun secara praktis magi merupakan ilmu yang suka
diemngerti atau pseudo ilmu. Magi
juga menjadi suatu keyakinan, biarpun implisit tapi nyata dan teguh, menyangkut
keteraturan dan keseragaman alam. Akan tetapi pandangan tersebut tidak sejalan
dengan antropologi modern yang memandang mitos maupun magi sebagai suatu yang
bersifat etiologis atau eksplanatoris merupakan konsepsi yang tidak memadai.
Mitos memang memiliki wajah ganda sebab mitos memiliki dua struktur yang
berbeda yakni struktur konseptual dan struktur perseptual. Bisa dibilang mitos
bergantung pada cara persepsi tertentu, termasuk ketika mitos memiliki kekhasan
dalam menafsirkan dan menilai dunia dengan caranya sendiri. Begitupun dengan
dunia mitis. Hal-hal yang bersifat analisis hendaknya tidak dipergunakan karena
bertentangan dengan struktur persepsi mitis dan pemikiran mitis.
Perbedaan substansi dan aksidensi di dalam dunia mitis ditangkap oleh mitos
sebagai sifat-sifat fisiognomis. Dunia mitos adalah dunia dramatis. Sementara
persepsi mitis selalu berhubungan dengan suasana hati yang dapat memunculkan
konsepsi dramatis di saat kita mengalami ketegangan emosional. Jika dikaitkan
dengan ilmu, maka persepsi mitis harus ditiadakan -selain data pengalaman
fisiognomis yang tidak menghilangkan nilai-nilai antropologisnya-. Cara kerja
ilmu ditandai dengan pembatasan unsur-unsur subjektif di dalamnya. Sementara
jika menggunakan prinsip epistemologis dan metodologi, maka tataran pengalaman
inderawi sebagai “kualitas feeling”
tampil dalam cahaya baru. Sementara penginderaan disebut dengan “kualitas
sekunder” yang tergolong tataran madya. Tataran yang mampu mengungguli tahap
pertama fisiognomis ini pada kenyataannya belum mampu melakukan generalisasi
sebagaimana sering ditemukan dalam pengertian-pengertian ilmiah.
Feeling, menurut Dewey, memiliki kebenaran relatif yang
terbukti berlaku penuh dalam persepsi mitis yang dianggap sebagai unsur dasar
realitas. Oleh sebab itu apabila kita akan memahami dunia persepsi maupun
imajinasi mitis, kita musti menerima kualitas-kualitas pengalaman mitis dalam
“keserta-mertaan” kualitas itu sendiri, bukan dari sudut cita-cita teoretis
kita sendiri. Untuk itulah maka muncul pemahaman bahwa mitos bukanlah sebuah
sistem keyakinan-keyakinna dogmatis. Mitos lebih terjelma dalam tindakan
dibanding pikiran atau khayalan. Jika mitos dapat dianalisis hingga pada
unsur-unsur konseptual terdasar, justru kita tidak mampu menangkap prinsip
vitalnya yang dinamis. Hal ini selaras dengan Durkheim yang menyatakan bahwa
kita tidak akan mampu membuat penjelasan adekuat tentang mitos apabila kita
hanya menelusuri asal-usulnya dalam dunia jasmani atau dalam intuisi
gejala-gejala alamiah. Model sejati mitos adalah masyarakat. Semua motif dasar
yang ada pada mitos adalah proyeksi kehidupan sosial manusia. Proyeksi ini
mengantarkan alam menjadi cermin dunia sosial dalam berbagai bentuknya.
Pemikiran mitis digambarkan Levy-Bruhl sebagai pemikiran pralogis, sementara jawaban mitos tentang sebab-musabab
tidaklah bersifat logis atau empiris melainkan sebab-musabab mistik. Ia juga menyebutkan bahwa mitos secara hakiki
bercorak sosial dan tidak perlu diperdebatkan, namun anggapan bahwa seluruh
mentalitas primitis bersifat pralogis ataupun mistis nampaknya bertentangan
dengan banyak bukti-bukti antropologis dan etnografis. Padahal dalam kehidupan
primitif bisa ditemukan bidang sekular atau profan, dan tradisi sekular berupa
kaidah-kaidah hukum ataus sopan-santun yang menentukan cara berlakunya kehidupan
sosial.
Dalam mitos, lapisan yang bergerak bukanlah lapisan pemikiran melainkan
lapisan perasaan. Mitos dan agama primitif tidak sepenuhnya kacau dan tidak
kehilangan segi penalaran. Akan tetapi koherensinya tergantung lebih pada
kesatuan perasaan dan bukan pada aturan-aturan logika. Kesatuan perasaan itu
merupakan salah satu getaran yang paling kuat dan paling hakiki dalam pemikiran
primitif. Pandangan hidup pemikiran
primitif bercorak sintetis sehingga hidup tidak lagi dipecah-pecah ke dalam
berbagai kelas dan subkelas. Hidup dilalui sebagai keseluruhan yang kontinyu,
kait-mengait, yang tidak membuka pintu bagi pembedaan-pembedaan yang jelas dan
tajam. Tidak ada perbedaan spesifik di antara bidang kehidupan. Tidak sesuatu
pun bersifat definitif, statis, dan tak berubah-ubah. Hukum metamorfosis adalah
hukum yang mengatur dunia menurut dunia mitis. Seluruh kehidupan manusia
primitif sebagian besar tergantung pada bakatnya untuk mengobservasi dan
membada-bedakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar