POTRET PERBURUHAN DALAM DIMENSI SEJARAH INDONESIA :
MASA
LALU HARUS MENJADI CERMIN
(gambar diunduh dari fkispsibekasi.wordpress.com)
Ditulis Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
Sejarah Undip 2010
Ketika kita berbicara
mengenai buruh, perburuhan, dan segala hal yang menyangkut mengenai kata
tersebut, setidaknya kita dibawa pada banyak sudut pandang untuk menggambarkan
keadaan buruh nasional kita hari ini. Bisa saja saya mencoba mengajak pembaca
untuk merenungkan kondisi buruh dari kacamata ekonomi. Atau mungkin dari lensa
sosial. Atau bahkan dari teropong politik. Akan tetapi, perlu menjadi perhatian
banyak pihak, bahwa, berbicara tentang kondisi buruh negeri kita, tidak akan
pernah bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada semacam pendekatan
multidimensional (multidimensional
approach) yang menggabungkan unsur-unsur sebagaimana yang saya sebut
sebelumnya, untuk dapat memahami situasi perburuhan nasional kita saat ini. Uniknya,
apa yang saat ini tersaji di hadapan kita, merupakan sebuah pola pengulangan
akan situasi yang sama, yang terjadi di masa lampau. Peristiwa sejarah boleh
saja bersifat eindmalig –sekali
terjadi-. Namun pola yang ia miliki akan terus berulang selama kita masih
bernafas di muka bumi. Sebut saja korupsi. Siapa bilang korupsi baru ada di
abad XXI ? Ketika Indonesia masih terdiri atas banyak kerajaan bercorak Hindu –
Buddha, korupsi pernah terjadi pada masa kerajaan Mataram Kuna, misalnya.
Jenisnya korupsi pajak. Atau ketika masa kolonialisme Belanda, Daendels dibuat
geram oleh organisasi dan praktek peradilan Batavia yang ia tulis melalui
karya apologetiknya, Staatder Belandasche
Oost Indische Bezittingen.
Daendels mengungkapkan lemahnya
peradilan di Hindia Belanda
–sebelum menjadi Indonesia- yang
tidak bisa menangani banyak
kasus yang masuk dan penyalahgunaan kekuasaan
peradilan yang makin lama makin tidak tertahankan. Itu abad XIX. Dan apa yang terjadi pada
ratusan tahun sesudahnya? Apakah pola itu berulang? Saya rasa pembaca memiliki
jawaban yang sama dengan saya.
Demikian halnya ketika kita meletakkan pola berpikir kita
pada rangkaian waktu yang diakronis dan memasukkannya dalam kerangka sejarah
pergerakan buruh di Indonesia. Akhir abad 19, tepatnya tahun 1897, organisasi
pergerakan buruh pertama muncul di Indonesia dengan nama NIOG (Nederland Indies Onderw. Genootsch),
yakni perserikatan guru-guru berkebangsaan Belanda. Demikian halnya yang
terjadi di awal abad XIX. Peraturan-peraturan lembaga-lembaga industri yang
dirasa menjerat, tidak fair, kemudian
memunculkan gerakan buruh yang terorganisir, mengingat di masa tersebut
semangat pergerakan nasional tengah menjadi topik utama di kalangan kaum
cendekiawan. Pada tahun 1908 –tahun yang sama dengan kemunculan organisasi
Boedi Oetomo- di antara pegawai kereta api partikelir, SCS, NIS, didirikan VSTP
(Vereniging voor Spoor en Tram Personeel)
yang dipimpin oleh Semaun, yang juga merupakan pelopor pergerakan buruh
selanjutnya di Indonesia. Secara berturut-turut lahir PBP (Perkumpulan
Bumiputera Pabean) di tahun 1911, PGB (Perkumpulan Guru Bantu) di tahun 1912,
PPPB (Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera) di tahun 1994, ORB (Upium Regie
Bond) dan VIPBOW (Vereniging van
Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken) di tahun 1916. Pada tahun
1917 muncul PFB (Personeel Fabriek Bond) yang mewadahi ratusan pegawai pabrik gula
di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kalangan bangsa Tiong Hoa pada 26 September
1909 di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim
Gie yang nantinya menjadi inti dari Federasi Kaum Buruh Tionghoa. Organisasi-organisasi
pergerakan buruh, pada gilirannya, terus bermunculan dan menunjukkan pembelaan
atas situasi yang menjerat urat leher mereka. Ketika periode Malaise yang
berlangsung tahun 1920-an, misalnya, banyak perusahaan gulung tikar atau melakukan
pengurangan jumlah pegawai yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran. Periode
1920-1925 merupakan saat-saat yang menentukan nasib para buruh dalam
memperbaiki taraf hidup mereka. Pemogokan pun terjadi di sana – sini. Pada
intinya, dalam periode pra-kemerdekaan, kehidupan sosial ekonomi buruh sukar
bertengger pada posisi yang menguntungkan. Tidaklah mengherankan apabila
Gabungan Serikat-Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI) di tahun 1941
mengeluarkan resolusi kepada pemerintah guna mewujudkan organisasi buruh yang
sehat dan kuat. Sebagaimana yang dikatakan dengan “pemegang modal dan pemegang buruh sama harga, karena sama arti”.
Pascakemerdekaan, organisasi buruh kembali menguat dalam
semangat persatuan dan kesatuan. Organisasi yang muncul dalam periode
pascakemerdekaan antara lain Barisan Buruh Indonesia, Gabungan Serikat Buruh
Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Vertikal, Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia (SOBSI), Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), Gabungan Serikat Buruh
Indonesia (GSBI), dan masih banyak lagi organisasi-organisasi buruh berskala
lokal di daerah-daerah di luar Jawa. Pendirian organisasi-organisasi perburuhan
pasca pembentukan SOBSI di Indonesia memiliki orientasi yang sama: memisahkan
buruh dari dominasi kekuasaan politik tertentu. Artinya, organisasi-organisasi
buruh yang meskipun di antara mereka terdapat beberapa perpecahan, akan tetapi
mereka bertekad untuk mewujudkan suatu gerakan yang non-partai, independen, dan
mendasarkan usahanya di lapangan sosial-ekonomis yang bertujuan ke arah
perubahan dan perbaikan nasib.
Di
enam puluh delapan tahun usia kemerdekaan Indonesia, atmosfer sosial-ekonomi
buruh negeri ini masih harus ditinjau kembali. Buruh-buruh tani hari ini masih
banyak yang nasibnya terkatung-katung. Hanya saja keadaannya tidak diangkat ke
permukaan oleh media, sehingga harapan peningkatan kesejahteraan seolah menjadi
utopia bagi mereka. Segmentasi kerja yang semestinya terlaksana dengan baik
telah menjadi monopoli bagi segolongan kaum berduit.
Berkaca dari perjalanan sejarah bangsa ini,
saya mengajukan dua solusi bagi peningkatan kesejahteraan buruh di Indonesia. Pertama, sudah semestinya pemerintah
mulai menerapkan sistem bottom-up ketimbang
sekedar top-down dalam setiap
kebijakan yang diambil. Saya mengapresiasi beberapa konvensi ILO yang
diratifikasi di Indonesia, namun lagi-lagi saya harus bertanya: sudah sejauh
manakah konvensi itu diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia? Saya
tidak berbicara birokrasi, sebab saya rasa terlalu rumit untuk memasukkan
peningkatan kesejahteraan buruh ke dalam ranah birokrasi. Birokrasi yang
berkepanjangan dan bertele-tele hanya akan menjadikan peluang bagi munculnya
penyimpangan konstitusional. Perlu adanya praktek nyata dari kehidupan
pemerintahan kita hari ini untuk membangun situasi sosial ekonomi yang lebih
baik di kalangan buruh tanpa intervensi politik kepentingan. Maka perlu kepala
yang lebih dingin lagi, baik pemerintah maupun organisasi atau perwakilan
perburuhan, guna bersedia duduk bersama, saling mengajukan opini yang dapat
dipertanggungjawabkan demi perbaikan nasib buruh ke depan. Kedua, perlunya pendekatan sejarah dan budaya untuk benar-benar
mewujudkan situasi harmonisasi sosial yang hangat di kalangan buruh Indonesia.
Apa yang saya kemukakan dalam gambaran pergerakan buruh negeri ini pada periode
pra dan pasca kemerdekaan, adalah sinyal untuk membenahi kehidupan buruh saat
ini. Sinyal ini memerlukan piranti untuk dapat menghubungkan tujuan-tujuan yang
dikehendaki. Piranti yang ampuh digunakan adalah pendekatan berbasis budaya. Ketika politik mulai menampakkan wajah
munafik, mengapa kita tidak mengambil teladan keluhuran budaya negeri ini? Bukankah
kebudayaan itu berbicara tentang keindahan dan bukan tentang kesemrawutan? Semoga
kesejahteraan buruh tidak lagi utopis di negeri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar