Sabtu, 04 Januari 2014

POTRET PERBURUHAN DALAM DIMENSI SEJARAH INDONESIA : MASA LALU HARUS MENJADI CERMIN



POTRET PERBURUHAN DALAM DIMENSI SEJARAH INDONESIA : 
MASA LALU HARUS MENJADI CERMIN

(gambar diunduh dari fkispsibekasi.wordpress.com)

Ditulis Oleh :
FADHIL NUGROHO ADI
Sejarah Undip 2010



            


            Ketika kita berbicara mengenai buruh, perburuhan, dan segala hal yang menyangkut mengenai kata tersebut, setidaknya kita dibawa pada banyak sudut pandang untuk menggambarkan keadaan buruh nasional kita hari ini. Bisa saja saya mencoba mengajak pembaca untuk merenungkan kondisi buruh dari kacamata ekonomi. Atau mungkin dari lensa sosial. Atau bahkan dari teropong politik. Akan tetapi, perlu menjadi perhatian banyak pihak, bahwa, berbicara tentang kondisi buruh negeri kita, tidak akan pernah bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Ada semacam pendekatan multidimensional (multidimensional approach) yang menggabungkan unsur-unsur sebagaimana yang saya sebut sebelumnya, untuk dapat memahami situasi perburuhan nasional kita saat ini. Uniknya, apa yang saat ini tersaji di hadapan kita, merupakan sebuah pola pengulangan akan situasi yang sama, yang terjadi di masa lampau. Peristiwa sejarah boleh saja bersifat eindmalig –sekali terjadi-. Namun pola yang ia miliki akan terus berulang selama kita masih bernafas di muka bumi. Sebut saja korupsi. Siapa bilang korupsi baru ada di abad XXI ? Ketika Indonesia masih terdiri atas banyak kerajaan bercorak Hindu – Buddha, korupsi pernah terjadi pada masa kerajaan Mataram Kuna, misalnya. Jenisnya korupsi pajak. Atau ketika masa kolonialisme Belanda, Daendels dibuat geram oleh organisasi dan praktek peradilan Batavia yang ia tulis melalui karya apologetiknya, Staatder Belandasche Oost Indische Bezittingen. Daendels mengungkapkan lemahnya peradilan di Hindia Belanda –sebelum menjadi Indonesia- yang tidak bisa menangani banyak kasus yang masuk dan penyalahgunaan kekuasaan peradilan yang makin lama makin tidak tertahankan. Itu abad XIX. Dan apa yang terjadi pada ratusan tahun sesudahnya? Apakah pola itu berulang? Saya rasa pembaca memiliki jawaban yang sama dengan saya.
            Demikian halnya ketika kita meletakkan pola berpikir kita pada rangkaian waktu yang diakronis dan memasukkannya dalam kerangka sejarah pergerakan buruh di Indonesia. Akhir abad 19, tepatnya tahun 1897, organisasi pergerakan buruh pertama muncul di Indonesia dengan nama NIOG (Nederland Indies Onderw. Genootsch), yakni perserikatan guru-guru berkebangsaan Belanda. Demikian halnya yang terjadi di awal abad XIX. Peraturan-peraturan lembaga-lembaga industri yang dirasa menjerat, tidak fair, kemudian memunculkan gerakan buruh yang terorganisir, mengingat di masa tersebut semangat pergerakan nasional tengah menjadi topik utama di kalangan kaum cendekiawan. Pada tahun 1908 –tahun yang sama dengan kemunculan organisasi Boedi Oetomo- di antara pegawai kereta api partikelir, SCS, NIS, didirikan VSTP (Vereniging voor Spoor en Tram Personeel) yang dipimpin oleh Semaun, yang juga merupakan pelopor pergerakan buruh selanjutnya di Indonesia. Secara berturut-turut lahir PBP (Perkumpulan Bumiputera Pabean) di tahun 1911, PGB (Perkumpulan Guru Bantu) di tahun 1912, PPPB (Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputera) di tahun 1994, ORB (Upium Regie Bond) dan VIPBOW (Vereniging van Inlandsch Personeel Burgerlijk Openbare Werken) di tahun 1916. Pada tahun 1917 muncul PFB  (Personeel Fabriek Bond) yang mewadahi ratusan pegawai pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di kalangan bangsa Tiong Hoa pada 26 September 1909 di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie yang nantinya menjadi inti dari Federasi Kaum Buruh Tionghoa. Organisasi-organisasi pergerakan buruh, pada gilirannya, terus bermunculan dan menunjukkan pembelaan atas situasi yang menjerat urat leher mereka. Ketika periode Malaise yang berlangsung tahun 1920-an, misalnya, banyak perusahaan gulung tikar atau melakukan pengurangan jumlah pegawai yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran. Periode 1920-1925 merupakan saat-saat yang menentukan nasib para buruh dalam memperbaiki taraf hidup mereka. Pemogokan pun terjadi di sana – sini. Pada intinya, dalam periode pra-kemerdekaan, kehidupan sosial ekonomi buruh sukar bertengger pada posisi yang menguntungkan. Tidaklah mengherankan apabila Gabungan Serikat-Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI) di tahun 1941 mengeluarkan resolusi kepada pemerintah guna mewujudkan organisasi buruh yang sehat dan kuat. Sebagaimana yang dikatakan dengan “pemegang modal dan pemegang buruh sama harga, karena sama arti”.
            Pascakemerdekaan, organisasi buruh kembali menguat dalam semangat persatuan dan kesatuan. Organisasi yang muncul dalam periode pascakemerdekaan antara lain Barisan Buruh Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Vertikal, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), Serikat Buruh Islam Indonesia (SBII), Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI), dan masih banyak lagi organisasi-organisasi buruh berskala lokal di daerah-daerah di luar Jawa. Pendirian organisasi-organisasi perburuhan pasca pembentukan SOBSI di Indonesia memiliki orientasi yang sama: memisahkan buruh dari dominasi kekuasaan politik tertentu. Artinya, organisasi-organisasi buruh yang meskipun di antara mereka terdapat beberapa perpecahan, akan tetapi mereka bertekad untuk mewujudkan suatu gerakan yang non-partai, independen, dan mendasarkan usahanya di lapangan sosial-ekonomis yang bertujuan ke arah perubahan dan perbaikan nasib.
            Di enam puluh delapan tahun usia kemerdekaan Indonesia, atmosfer sosial-ekonomi buruh negeri ini masih harus ditinjau kembali. Buruh-buruh tani hari ini masih banyak yang nasibnya terkatung-katung. Hanya saja keadaannya tidak diangkat ke permukaan oleh media, sehingga harapan peningkatan kesejahteraan seolah menjadi utopia bagi mereka. Segmentasi kerja yang semestinya terlaksana dengan baik telah menjadi monopoli bagi segolongan kaum berduit.
Berkaca dari perjalanan sejarah bangsa ini, saya mengajukan dua solusi bagi peningkatan kesejahteraan buruh di Indonesia. Pertama, sudah semestinya pemerintah mulai menerapkan sistem bottom-up ketimbang sekedar top-down dalam setiap kebijakan yang diambil. Saya mengapresiasi beberapa konvensi ILO yang diratifikasi di Indonesia, namun lagi-lagi saya harus bertanya: sudah sejauh manakah konvensi itu diterapkan dalam perundang-undangan di Indonesia? Saya tidak berbicara birokrasi, sebab saya rasa terlalu rumit untuk memasukkan peningkatan kesejahteraan buruh ke dalam ranah birokrasi. Birokrasi yang berkepanjangan dan bertele-tele hanya akan menjadikan peluang bagi munculnya penyimpangan konstitusional. Perlu adanya praktek nyata dari kehidupan pemerintahan kita hari ini untuk membangun situasi sosial ekonomi yang lebih baik di kalangan buruh tanpa intervensi politik kepentingan. Maka perlu kepala yang lebih dingin lagi, baik pemerintah maupun organisasi atau perwakilan perburuhan, guna bersedia duduk bersama, saling mengajukan opini yang dapat dipertanggungjawabkan demi perbaikan nasib buruh ke depan. Kedua, perlunya pendekatan sejarah dan budaya untuk benar-benar mewujudkan situasi harmonisasi sosial yang hangat di kalangan buruh Indonesia. Apa yang saya kemukakan dalam gambaran pergerakan buruh negeri ini pada periode pra dan pasca kemerdekaan, adalah sinyal untuk membenahi kehidupan buruh saat ini. Sinyal ini memerlukan piranti untuk dapat menghubungkan tujuan-tujuan yang dikehendaki. Piranti yang ampuh digunakan adalah pendekatan berbasis budaya.  Ketika politik mulai menampakkan wajah munafik, mengapa kita tidak mengambil teladan keluhuran budaya negeri ini? Bukankah kebudayaan itu berbicara tentang keindahan dan bukan tentang kesemrawutan? Semoga kesejahteraan buruh tidak lagi utopis di negeri sendiri.
             

             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar