BAGIAN II
PEMBAHASAN
A. Kajian Sejarah dan
Sumber-Sumber Sejarah
Sejarah, pada
dasarnya mencakup tiga arti, yakni :
1. Kejadian-kejadian
atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada masa yang lalu; kenyataan masa
lalu (past human events; past actually).
Sejarah kategori ini adalah sejarah sebagai peristiwa.
2. Catatan
dari sejarah kejadian-kejadian atau kegiatan manusia tersebut, atau sejarah
sebagai ceritera atau kisah.
3. Proses
atau teknik (cara atau metode) untuk pembuatan catatan dari kejadian-kejadian
tersebut. Sejarah dalam kategori ini adalah sebagai sejarah Ilmu Pengetahuan
Ilmu Sejarah. (Wasino, 2007:3).
Dalam proses membedah sejarah menggunakan pisau
epistemologi, cakupan pengertian sejarah yang akan dikaji adalah pada poin
ketiga, yakni dalam hal proses maupun teknik (metode).
Dalam kajian sejarah, jejak atau bukti memiliki urgensitas
yang tinggi. Jejak atau bukti itulah sebagai sarana, alat bagi sejarawan untuk
melakukan hubungan dengan peristiwa masa lampau. Tanpa jejak atau bukti itu,
sejarawan tidak dapat berbicara tentang sesuatu peristiwa yang pernah terjadi
di masa lampau. Bukti itu dapat berupa benda (artefak), tulisan, dan informasi
lisan. Hanya melalui bukti-bukti yang tertinggal itulah, sejarawan dapat
menghadirkan kembali masa lampau di kalangan pembaca buku-buku sejarah.
Bukti-bukti sejarah yang tersedia tidak dapat berbicara
sendiri mengenai masa lampau. Bukti-bukti itu perlu ditafsirkan oleh sejarawan
agar jelas tentang kebenaran faktual dan rangkaian antarfaktanya menjadi sebuah
cerita masa lampau. Dengan demikian, cerita sejarah merupakan produk
intelektual sejarawan berdasarkan bukti-bukti sejarah yang tersedia dan yang ia
gunakan, tentunya dengan mempergunakan serangakaian metode sejarah. (Wasino,
2010:4).
Adapun “disiplin” sejarah yang di Indonesia lazim disebut
sebagai “ilmu” sejarah (istilah “disiplin” dipakai di sini dengan arti, bagian
pengetahuan yang disistematikkan) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
menyelidiki dan mencatat, di dalam perhubungan sebab akibatnya dan
perkembangannya, kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia di masa
lampau yang (a) tertentu dalam waktu dan tempatnya; (b) sosial di dalam sifat
dan hakekatnya; dan (c) yang mempunyai arti yang bersifat sosial. (Wasino,
2007:5).
Sumber sejarah merupakan faktor penting atas kemunculan
ilmu sejarah. Kajian sejarah dilakukan ketika masa lampau dilihat dari
peninggalan berupa tulisan (history as
record) dan benda-benda peninggalan (history
as remain). Selain itu, kemunculan kajian sejarah juga didasarkan atas
keunikan (history studies the unique)
karena waktu dan ruang selalu membedakan dan itu yang membuat aktivitas sosial
manusia menjadi unik. (Pranoto, 2010:4). Apabila dianalisis dari segi
empirisme, maka sumber dari pengetahuan sejarah lebih ditekankan pada teori
konvergensi, dimana penyelidikan atas suatu hal diperlukan, namun tetap
terbatas karena bakat. Bakat yang dimaksud di sini adalah minat. Minat seorang
sejarawan dalam memandang suatu peristiwa sejarah amat memengaruhi proses penyelidikannya.
Selain minat sejarawan, W.H. Walsh menyebutkan bahwa objektivitas dalam sejarah
sangat dibatasi oleh moral dan perbedaan nilai. Selain itu, interpretasi
sejarah bersumber pada seleksi, sehingga objektivitas juga dibatasi oleh
pengalaman pribadi dalam melihat masa lampau. Adapun pendapat tiap sejarawan
juga memengaruhi atas apa yang ia selidiki. Pendapat atau opini tiap sejarawan
pun tidaklah sama. Perbedaan ini antara lain disebabkan adanya personal bias dan group prejudice. Personal
bias adalah perasaan suka atau tidak suka yang bersifat pribadi sehingga
memengaruhi penyajian fakta. Sementara group
prejudice adalah perasaan suka atau tidak suka yang dipengaruhi oleh asumsi
kelompok.
Beberapa faktor tersebut nampak begitu berpengaruh terhadap
tahapan selanjutnya, yakni pemilihan topik, sekaligus dalam penggunaan metode
sejarah guna memperoleh kajian sejarah yang sesuai dengan minat sejarawan.
B. Sejarah sebagai Ilmu
Seorang
filsuf Inggris, J.B. Bury (1861-1927) dengan tegas menyatakan bahwa sejarah
dimasukkan dalam cara kerja ilmu pengetahuan alam. Ia mengatakan bahwa sejarah
terikat pada formula positivisme sehingga metodenya adalah ilmu pengetahuan
alam yang empiris yang dianalisis melalui logika positivistik. (Pranoto,
2010:5). Akan tetapi, pengkategorian sejarah sebagai ilmu pengetahuan harus
dikaji kembali. Hal ini disebabkan, untuk dapat digolongkan ke dalam
pengetahuan yang bersifat ilmiah, maka suatu pengetahuan harus memenuhi
kriteria atau persyaratan sebagai ciri ilmu tertentu. Dengan memiliki ciri-ciri
tersebut maka pengetahuan sejarah dapat digolongkan ke dalam ilmu, atau
pengetahuan yang bersifat ilmiah. Menurut The Liang Gie, ciri-ciri ilmiah
adalah sebagai berikut.
1. Memiliki
tujuan dan objek sasaran tertentu
Suatu ilmu harus memiliki tujuan sendiri, untuk
membedakan dengan tujuan ilmu yang lain. Artinya dengan memiliki tujuan, suatu ilmu akan
dibatasi oleh objek material atau sasaran yang jelas. Sejarah, dalam hal ini,
termasuk ke dalam humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam perkembangan
kemudian sejarah dianggap juga sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial.
Golongan yang menyatakan sejarah termasuk dalam humaniora, melihat sejarah
sebagai res gestae (past events, peristiwa-peristiwa masa
lalu) dan historia rerum gestarum (narrative about past events, narasi
tentang peristiwa-peristiwa masa lalu). Sementara golongan yang menyatakan
sejarah termasuk dalam ilmu sosial, melihat sejarah seabagi salah satu ilmu
dalam kelompok social sciences (ilmu-ilmu
sosial). Apapun perbedaannya, kedua-duanya tetap menempatkan manusia sebagai
objek kajiannya, baik manusia sebagai individu maupun amnusia dalam kelompok
masyarakat. (Sjamsuddin, 2007:286).
2. Ilmu
harus memiliki metode
Kumpulan pengetahuan yang memiliki metode akan dapat
tersusun secara lebih terarah, lebih teratur serta lebih mudah dipelajari.
Tanpa menggunakan metode, suatu pengetahuan mengenai apapun tidak dapat
digolongkan ke dalam ilmu. Penggunaan metode oleh suatu pengetahuan tidak
semata-mata pada penyebutan secara eksplisit dalam uraian. Artinya bahwa,
meskipun telah diungkapkan dalam perkataan bahwa menggunakan metode tertentu
tetapi bila metode yang dimaksud tidak selalu diterapkan dalam keseluruhan
uraian secara ketat, maka kumpulan uraian pengetahuan itu tetap tidak memiliki
metode. (Tamburaka, 1999:17). Beberapa ahli menganggap bahwa metode inilah yang
merupakan makna utama jika pun bukan merupakan makna satu-satunya dari sejarah.
Menurut Charles Saignobos, sejarah bukanlah suatu ilmu saja, melainkan suatu
metode. Artinya, metode sejarah dapat diterapkan pada pokok pembahasan disiplin
manapun sebagai sarana untuk memastikan fakta. (Tamburaka, 1999:18).
3. Bersifat
sistematis
Ciri sistematis ini memungkinkan pengetahuan yang
dimiliki saling berkaitan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan yang
saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian berbagai pengetahuan
tersebut tidak saling bertentangan tetapi dapat runtut atau konsisten. Jadi
yang dimaksud dengan ilmu bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan tentang
apapun yang terkumpul menjadi satu. Di samping itu, orang yang memiliki banyak
pengetahuan juga belum tentu merupakan orang yang memiliki banyak ilmu. (Tamburaka,
1999:18).
4. Bersifat
empiris (Empirical aspect)
Kelompok pengetahuan yang bersifat sistematis dan metodis
hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dengan jalan mengalami. Setiap ilmu
pasti diperoleh pertama-tama dengan melalui pengamatan (observasi) atau dengan
melalui percobaan (eksperimen) atau dengan kedua-duanya.
Pengalaman yang diperoleh manusia melalui pengamatan
(observasi) kemudian diproses sehingga diperoleh pengalaman yang tersusun
sebagai suatu konsep. Konsep mengenai pengetahuan tertentu inilah yang kemudian
disebut ilmu. (Tamburaka, 1999:18).
5. Bersifat
rasional dan objektif
Ilmu hanya dapat dipahami dengan akal pikiran yakni
dengan menggunakan penalaran yang sehat. Penganalisisan yang dilakukan terhadap
sejumlah pengetahuan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat diterima
oleh aturan-aturan logika untuk mencapai suatu kesimpulan yang sah. Proses
menyimpulkan ini disebut penalaran. Sedangkan kesesuaian dari hasil penyimpulan
dengan sesuatu yang terdapat dalam objek atau masalah atau kenyataannya disebut
kebenaran. Hasil ilmu harus merupakan kebenaran. Dengan demikian setiap orang
akan dapat menyetujuinya.
Begitupun agar pengetahuan dapat tergolong sebagai ilmu
seperti halnya sejarah, haruslah bercirikan rasional, artinya sesuai dengan putusan
rasio atau penalaran yang sehat; serta berciri objektif artinya dapat
dikomunikasikan dengan orang lain dan isinya sesuai dengan hal yang terdapat
dalam objeknya. (Tamburaka, 1999:19).
6. Dapat
diverifikasi
Diverifikasi artinya dapat diuji atau dilacak
kebenarannya. Pengujian kebenaran terhadap kumpulan pengetahuan atau dengan
perkataan lain verifikasi terhadapnya, meskipun dilakukan oleh orang yang
berbeda waktu yang berlainan serta tempat yang berbeda, harus tetap
menghasilkan sebuah simpulan yang sama. Dengan demikian pengetahuan yang
didapat akan tetap merupakan suatu kebenaran yang berlaku umum, asalkan kondisi
atau persyaratan dan situasinya pun sama. (Tamburaka, 1999:19).
Dengan
demikian, apabila suatu ilmu dapat dipandang sebagai bentuk kegiatan manusia,
maka sejarah dengan subjeknya adalah manusia dan objek sejarah sebagai hasil
perbuatan manusia. Hasil kegiatan manusia yang disebut sejarah setelah memiliki
kriteria atau sifat-sifat ilmu tersebut dapat dipastikan bahwa sejarah telah
mengandung tiga aspek pokok yang merupakan ciri ilmu pengetahuan, yakni :
1. Sejarah
dilakukan oleh manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan baru,
2. Sebagai
pengetahuan, ilmu sejarah memang mengkaji peristiwa-peristiwa masa lampau
tetapi peristiwanya dikupas, dianalisis dengan meneliti hubungan kausalitasnya.
3. Hasil
analisis tersebut dirangkumkan kembali sehingga dapat diperoleh pengertian
dalam bentuk sintesis yang dapat memberi penjelasan mengenai aspek-aspeknya:
a. Bagaimana
(deskripsi) peristiwanya?
b. Mengapa
peristiwanya terjadi?
c. Ke
mana arah peristiwa itu selanjutnya? atau, sejauh mana pengaruh peristiwa
tersebut terhadap waktu-waktu berikutnya?
Jadi, ilmu sejarah memperoleh kedudukan sebagai ilmu
setelah berbagai peristiwa sejarah disoroti sebagai suatu permasalahan dengan
cara menganalisis hubungan sebab akibatnya sedemikian rupa, sehingga dapat
ditemukan hukum-hukum sejarah tertentu yang menjadi patokan bagi terjadinya
peristiwa-peristiwa dimaksud.
Juga dengan dipenuhinya kriteria atau ciri-ciri ilmu, yakni
:
1. Sejarah
memiliki tujuan atau objek sasaran tertentu
2. Memiliki
metode
3. Sejarah
bersifat sistematis
4. Sejarah
bersifat empiris
5. Bersifat
rasional dan objektif
6. Dapat
diverifikasi, maka sejarah adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Nantinya, hasil penelitian ilmu sejarah berupa
historiografi atau penulisan ilmu sejarah pada akhirnya harus dapat dipakai
sebagai norma untuk pedoman bagi keadaan sekarang dan memperhitungkan segala
sesuatu yang mungkin dapat terjadi pada waktu yang akan datang. (Tamburaka,
1999:21).
C. Metode Sejarah
1.
Terminologi
Metode dan Metodologi
Pengertian metode dan metodologi memiliki hubungan erat
meskipun dapat dibedakan. Menurut definisi kamus Webster’s Third New International Dictionary of the English Language,
yang dimaksud dengan “metode” pada umumnya adalah :
a. Suatu
prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek.
b. Suatu
disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai suatu cabang logika yang
berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diaterapkan untuk penyidikan ke
dalam atau eksposisi dari beberapa subjek.
c. Suatu
prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai
oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu.
Sementara itu yang dimaknai sebagai metodologi adalah,
a. Suatu
rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran.
b. Suatu
cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada
materi-materi artistik (1) suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk
melakukan sesuatu (2) suatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik.
(Sjamsuddin, 2007:13).
Sartono
Kartodirdjo membedakan antara metode sebagai
“bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how
to know) dan metodologi sebagai
“mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to
know how to know). Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, dengan sendirinya,
metode sejarah ialah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkan metodologi ialah
“mengetahui bagaimana mengetahui sejarah”. (Sjamsuddin, 2007:14). Dalam hal
ini, sejarawan harus menggunakan “ilmu metode” itu pada tempat dan seharusnya.
Ia harus mengetahu prosedur-prosedur apa yang harus ditempuh dalam menjaring
informasi; pertanyaan-pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan kemungkinan
jawaban apa yang akan diperoleh; mengapa dan bagaimana ia melakukan kritik
terhadap sumber-sumber yang diperolehnya. (Sjamsuddin, 2007:15).
2.
Rangkaian
Metode Sejarah
Sejarah, ilmu dan
ciptaan, memiliki pangkal tolak yang sama yaitu fakta. Yang pertama, adalah
fakta yang digali oleh sejarawan dari bahan-bahan sejarah. Yang kedua, fakta
yang dipastikan sarjana dalam selidik-ilmiah atau eksperimen. Yang ketiga,
fakta yang dialami oleh sastrawan. Yang membedakan antara metode sejarah, ilmu
dan ciptaan adalah kuantitas fakta. (Gazalba, 1981:41).
Dalam riset
sejarah yang berkait dengan fakta inilah terdapat tahapan awal yang seharusnya
dikuasai oleh sejarawan, yaitu pengumpulan sumber sejarah. Sumber sejarah
tersebut harus ditelusuri sedemikian rupa sehingga dapat mendukung pokok kajian
sejarah yang sedang diteliti. Sumber sejarah yang dikumpulkan selayaknya adalah
sumber sejarah yang relevan dengan topik atau tema penelitian sejaranya.
Setelah sumber sejarah diperoleh, maka kegiatan selanjutnya adalah menilai
otentisitas dan kredibilitas sumber sejarah. (Wasino, 2010:15). Berikut tahapan
metode sejarah yang diawali dari pemilihan topik sebagai berikut.
a.
Pemilihan
Topik
Topik merujuk pada bahasan atau pokok kajian yang akan
diteliti. Topik sejarah dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain
kedekatan emosional dengan peneliti, ketiadaan informasi tentang topik
tersebut, keraguan akan kebenaran informasi yang beredar tentang topik
tersebut, kapabilitas peneliti, asumsi teoritis yang baru, dan sebagainya.
Topik ditentukan sejak awal penelitian, sedangkan judul dapat dimunculkan
kemudian setelah hasil riset dan penulisan sejarah selesai dikerjakan. (Wasino,
2007:15). Topik sejarah yang kita teliti dapat dipilih dari topik yang
benar-benar baru, atau topik yang sudah lama menjadi kajian banyak ahli
sejarah. Jika yang dipilih adalah topik yang sama sekali baru, maka reasoning yang digunakan adalah luck information (ketiadaan informasi).
Topik seperti ini pengerjaannya memang jauh lebih sulit, terutama dalam proses
penelusuran sumber dan rekonstruksi sejarahnya. Akan tetapi dari segi
pertanggungjawaban akademik, terutama aspek keaslian karya, topik seperti ini
mudah dipertanggungjawabkan. Sementara itu, jika topik yang dipilih adalah
topik yang telah lama menjadi pergulatan para ahli sejarah, maka peneliti harus
dapat memberikan alasan yang dapat dipercaya mengapa topik tersebut masih layak
dikaji ulang. Alasan lainnya adalah kemungkinan ditemukannya sumber-sumber
baru, pengajuan asumsi teoritis baru, dan pendekatan baru dalam pengkajian
terhadap topik tersebut. Dari aspek kerja penelusuran sumber, penentuan topik
ini memang lebih ringan karena informasi pendahuluan telah banyak dikaji orang
lain. Akan tetapi persoalan sulit yang harus dipertimbangkan kepada pembaca
adalah bahwa topik lama yang diangkat tersebut benar-benar akan menghasilkan
temuan baru. (Wasino, 2007:16).
b.
Heuristik
(Penelusuran sumber)
Setelah seorang sejarawan memilih satu topik
penelitian, pertama-tama yang harus dilakukannya ialah menumpulkan semua saksi
mata (witness) yang diketahui tentang
periode sejarah itu. Semua saksi mata (dalam arti luas maupun khusus) ini
menyiapkan bagi sejarawan testimoni (kesaksian) atau informasi yang diperlukan
tentang:
1) Apa
yang telah dipikirkan, dirasakan, dikatakan, dan dilakukan manusia sebagai
individu atau anggota masyarakat; apa yang telah terjadi dan mengapa.
2) Faktor-faktor
dan tenaga-tenaga apa yang berperan ketika peristiwa-peristiwa berlangsung,
keadaan-keadaan apa yang mengkondisi timbulnya peristiwa-peristiwa yang
menyangkut para pelaku sejarah, akibat dari keputusan-keputusan, reaksi atas
keputusan dan hasil-hasil yang telah dicapai pelaku sejarah. (Sjamsuddin,
2007:94).
Sumber sejarah
adalah past actuality yang memberi
penjelasan tentang peristiwa masa lampau. Sumber sejarah adalah bahan penulisan
sejarah yang mengandung evidensi (bukti) baik lisan maupun tertulis. Sumber
sejarah beragam karena memuat pengertian ideografis yang harus
diinterpretasikan dan lagi karena memiliki spesifikasi. Sumber sejarah itu ada
yang benar-benar sebagai tinggalan aktivitas manusia, contohnya panah dan
busur, tetapi memang ada yang disiapkan sebagai tinggalan, contohnya Tugu
Pahlawan 1945 di Surabaya dan Monumen Serangan 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
(Pranoto, 2010:31). Sumber sejarah sendiri, dalam cara yang paling sederhana,
diklasifikasikan menurut bentuknya. Tiga macam sumber sejarah tersebut antara
lain, (1) sumber benda (bangunan, perkakas, senjata), (2) sumber tertulis
(dokumen), (3) sumber lisan (hasil wawancara). (Wasino, 2007:19).
c.
Kritik
Sumber
Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk memperoleh
otentisitas dan kredibilitas sumber. Adapun caranya, yaitu dengan melakukan
kritik. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang
mengikuti metodoogi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu kejadian.
(Pranoto, 2010:35). Oleh karena itu, dalam penggunaan sumber, sejarawan harus
mempertanggungjawabkan pengertian :
1) Otentisitas
atau asli jika benar-benar produk dari otang yang dianggap pemiliknya. Asli dan
otentik tidak sama artinya. Dimaksud sumber asli adalah sumber yang tidak
dipalsu. Otentik adalah sumber yang dilapokan dengan benar sesuai dengan
keadaan senyatanya.
2) Kredibilitas
3) Integritas
Untuk itulah cara kerja kritik sumber dibedakan atas
dua bagian, yakni kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern ialah cara
melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber
sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat
digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan
pemeriksaan yang ketat. Atas dasar berbagai alasan atau syarat, setiap sumber
harus dinyatakan dahulu otentik dan integral. Saksi mata atau penulis itu harus
diketahui sebagai orang yang dapat dipercaya atau kredibel. Kesaksian itu
sendiri harus dapat dipahami dengan jelas. Pemeriksaan yang ketat ini mempunyai
alasan yang kuat sehubungan dengan beberapa sumber telah dibuktikan palsu.
Kritik ekstern harus menegakkan fakta dari kesaksian bahwa:
1) Kesaksian
itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu itu (authenticity).
2) Kesaksian
yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorrupted), tanpa ada suatu
tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity). (Sjamsuddin, 2007:134).
Sementara itu kritik intern, sebagaimana yang
disarankan oleh istilahnya, menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber:
kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik
ekstern, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian
itu. Ia harus memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini
didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri):
1) Arti
sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Apa sebenarnya yang ingin
dikatakan oleh penulis? Adalah mustahil untuk mengevaluasi sesuatu kesaksian
kecuali orang tahu jelas apa yang telah dikatakan. Sesuatu yang telah dikatakan
tidak sealu jelas sehingga tidak mudah untuk memahami apa maksud sebenarnya.
2) Setelah
fakta kesaksian dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat
sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau
penuis harus jelas menunjukkan ompetensi dan verasitas. Sejarawan harus yakin
bahwa saksi mempunyai kemampuan mental dan kesempatan untuk mengamati dan saksi
menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang benar
mengenai kejadian itu. Peneliti harus yakin akan nilai moral atau kejujuran
dari saksi dan bahwa ia sedang mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian yang
ia amati itu. Dengan kata lain, sejarawan harus yakin bahwa saksi tidak
berbohong atau menipu kita. jadi adalah tugas kritik intern untuk menegakkan
fakta-fakta ini. (Sjamsuddin, 2007:144).
d.
Interpretasi
Untuk menghasilkan
cerita sejarah, fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasikan.
Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat
menafsirkan. Interpretasi bersifat subjektif, tergantung siapa yang
melakukannya, tergantung pribadinya masing-masing. Kedudukan interpretasi ada
di antara verifikasi dan eksposisi. Subjektivitas adalah hak sejarawan. Namun
tidak berarti sejarawan dapat melakukan interpretasi semaunya sendiri.
Sejarawan tetap ada di bawah bimbingan metodologi sejarah, sehingga
subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi mengharuskan sejarawan mencantumkan
sumber datanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengecek kebenaran data
dan konsisten dengan interpretasinya. Jelas, bahwa sejarawan tetap dituntut
kekuatan intellectual honesty dan academic honesty. (Pranoto, 2010:55).
Dalam
tahap interpretasi, Gilbert J. Garraghan membagi interpretasi ke dalam lima
jenis, yakni interpetasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis,
interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Berikut akan penulis
paparkan masing-masing definisi serta sampel dari kelima jenis interpretasi
tersebut.
1)
Interpretasi Verbal
Interpretasi verbal merupakan langkah
penafsiran kata-kata yang diambil secara individual atau kelompok dalam sumber
sejarah. Interpretasi verbal mencakup lima aspek yakni:
a)
Bahasa
Aspek bahasa memiliki fungsi untuk
menjelaskan makna kata-kata dan kalimat-kalimat guna mengambil ide-ide dalam
dokumen tertulis. Contoh kasus dalam penginterpretasian bahasa adalah kesukaran
yang dihadapi para peneliti sejarawan Abad Tengah yang tidak mampu membaca
tulisan dari bahasa latin-klasik atau dari bahasa latin jenis lain. Hal yang
sama juga dapat terjadi ketika para ahli filologi mengalih-aksarakan serat
Panitibaya yang diusahakan sesuai dengan bunyi naskah aslinya baris demi baris
agar mudah diperbandingkan dengan teks aslinya. Penerjemahan kata demi kata pun
tidak mungkin dilakukan karena struktur kalimat berbahasa Jawa yang berbentuk
tembang tidak seiring dengan struktur bahasa Indonesia. Apabila serat tersebut
diterjemahkan sesuai dengan urutan tiap-tiap kata dalam tiap baris, maka sering
terjadi terjemahan itu hanya sebatas menjadi urutan kata-kata tanpa makna.
b)
Kosa Kata
Pemahaman kosa kata menunjukkan
cara berpikir yang cermat, tidak hanya dalam unit-unit kata melainkan juga
sinonim-sinonim, idiom-idiom, dan kejelasan setiap elemen suatu pembicaraan.
Kata-kata yang diinterpretasi sering mengandung konotasi-konotasi yang tidak
terdapat dalam kamus.
Contoh kasus penginterpretasian
kosa kata terdapat dalam Serat Kalatidha pupuh Sinom tulisan R. Ng.
Ranggawarsita berikut,
“Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah
pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu,
kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dene karoban rubeda”
Kosakata yang
konotatif dan tidak bisa diartikan secara harfiah adalah,
sunyaruri
= hampa sepi
pangrehing
ukara = kebijakan/peraturan (sementara “ukara” dalam bahasa Jawa berarti “kata”
atau “kalimat” dan “pangreh”
diartikan sebagai “pemangku”)
silastuti
= pedoman kebijaksanaan atau dasar-dasar panembah
c)
Gramatika dan konteks
Gramatika berarti tata bahasa, dan
konteks berarti hubungan kata-kata. Artinya bahwa, menggunakan makna kalimat
tidak hanya cukup dengan mengetahui arti kata, tetapi konteks gramatikanya
misalnya hubungan antara konteks yang sudah ditentukan dengan aturan gramatika.
Contohnya adalah hubungan antara subjek dan predikat, objek dan predikat, kata
keterangan dan kata benda, preposisi dan kata benda. Mari kita amati bagaimana
konteks ramalan raja Kediri, Jayabaya, atau yang sering disebut sebagai Jangka
Jayabaya, di sana tertulis baris kalimat yang kurang lebih mengandung gramatika
yang harus dilekatkan dengan konteksnya karena tidak bisa berdiri sendiri,
“besuk yen wis ana
kreta tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur
awang-awang...”
Penggalan kalimat
dalam Jangka Jayabaya tersebut diartikan sebagai,
“Pada
saatnya nanti jika mulai muncul mobil atau kereta api (kreta tanpa jaran) dan jalan rel (tanah Jawa kalungan wesi) serta pesawat terbang (prahu mlaku ing dhuwur awang-awang)...”
d)
Terjemahan
Dalam hal terjemahan kita sebagai
sejarawan hendaknya mewaspadai perubahan makna pada sumber-sumber sejarah yang
kita jadikan rujukan penulisan historiografi. Contohnya adalah kata maal-administrative yang berarti
penyimpangan dalam administrasi baik yang dilakukan ambtenaar maupun pegawai lainnya. Kata maal-administrative saat ini sudah tidak bisa diartikan seperti
pada era-nya. Setidaknya kata yang populer saat ini untuk menggantikan maal-administrative adalah korupsi,
kolusi, atau nepotisme. Mengapa bukan deviasi
jika artinya sama-sama penyimpangan? Sebab deviasi
lebih merujuk pada gejala sosial-kemasyarakatan.
Lagi, ketika periode kepemimpinan
Van Den Bosch sebagai gubernur jenderal, tentu sebagai sejarawan kita tidak
asing dengan istilah cultuur-stelsel.
Apabila cultuur-stelsel diartikan
secara harfiah berarti cultuur-stelsel
adalah jaringan kebudayaan. Padahal sebenarnya istilah cultuur-stelsel merujuk pada sistem tanam paksa yang pernah berlaku
di Hindia Belanda.
2)
Interpretasi Teknis
Interpretasi teknis terhadap
sebuah dokumen memiliki dua perspektif pertimbangan yakni, maksud atau
perhatian penyusunan dokumen, dan bentuk tulisan yang sebenarnya. Semisal,
dalam karya-karya sastra, tulisan tersebut pada dasarnya dibuat sebagai
pandangan untuk propaganda bahkan bisa jadi untuk menanamkan teori atau
doktrin. Akan tetapi jika dilihat dari sisi lain, karya sastra tersebut dapat
membawa kesenangan estetis. Apa contoh lainnya?
Contoh lain dalam interpretasi
teknis dalam bentuk dokumen tertulis dapat dijumpai dengan adanya Serat
Panitibaya yang ditulis oleh Bhatara Katong atau Sunan Katong. Ia salah seorang
putera Prabu Kertabhumi yang bergelar Prabu Brawijaya V. Bhatara Katong yang
sebelumnya beragama Hindu dan memegang kendali Kadipaten Ponorogo tidak berapa
lama memeluk agama Islam sehingga iapun kemudian turut menyebarkan agama Islam
di pulau Jawa. Dalam upaya dakwahnya itulah Bhatara Katong menulis sebuah serat
yang berisi pituduh, wewaler, dan ajaran-ajaran budi pekerti.
Jika dikaitkan dengan interpretsi teknis berarti secara primer, Serat
Panitibaya dibuat dengan maksud menyebarkan dakwah Islam Bhatara Katong serta
menjadi perwujudan keinginan Bhatara Katong untuk berdekatan hati dengan
anak-anak muda sembari menjadikan petuah-petuahnya sebagai pedoman. Secara
sekunder, penulisan Serat Panitibaya ini berarti turut mengantarkan masyarakat
untuk lebih meningkatkan iman dan taqwanya. Berikut salah satu petikan Serat
Panitibaya yang menggambarkan maksud penulisan Bhatara Katong,
“Ingkang
kasedya kang saya,
Nganggit
layang kang sabab aniwasi
Ingkang
ayun akrap taruna taruna siwi
supaya
rinegem kukuh,
dadi
jati pusaka,
sapangisor
kang sia turun-temurun,
iki
kawit kang winilang,
sabarang
ama niwasi.
Pamurunge
wirya guna,
aja
lali lire sawiji-wiji”
Terjemahannya:
(Adapun maksud pembuat
uraian ini (saya),
(yang) sebenarnya
ingin sekali akrab berdekatan hati dengan anak-anak muda,
janganlah hal (petuah)
ini sampai hilang, genggamlah yang kuat,
agar dapat dijadikan
pusaka (sesuatu yang dihormati) benar-benar
seterusnya bagi semua
keturunanku,
inilah semua hal-hal
yang terhitung (tergolong),
semuanya yang dapat
mencelakakan diri.
Untuk mengurungkannya
ada cara yang dapat menuju ke keselamatan,
dan ini hendaklah
jangan kau lupakan artinya satu persatu,)
3)
Interpretasi Logis
Interpretasi logis artinya
pemaknaan atau penafsiran didasarkan atas pemikiran logis. Konteks logis
memiliki dalil bahwa penentuan bagian yang berhubungan dengan pemikiran apakah
segera atau kemudian yang didahulukan sebagai kelanjutannya. Tujuannya adalah
untuk menghubungkan urutan secara umum dengan diarahkan ke berbagai ide pokok
dalam kesatuan komposisi atau struktur peristiwa dalam sumber-sumber sejarah.
Contoh dari keruntutan peristiwa berdasar interpretasi logis adalah peristiwa
Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Secara runtut peristiwa tersebut
diawali dengan pendudukan Belanda di Yogyakarta yang dihitung sejak hari Minggu, 19 Desember 1948 dimana mulai
pukul 05.30 pesawat-pesawat Belanda terbang merendah dan menjatuhkan
granat-granat secara tiba-tiba ke kota Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan
pengkoordinasian pasukan pada 26 Desember 1948 untuk melancarkan serangan
bersama pada 29 Desember 1949. Selanjutnya dilakukanlah persiapan pasukan
tentara RI untuk diberangkatkan ke berbagai sektor pertahanan pada tanggal 29
Desember 1948 kira-kira pukul 16.00 wib. Menjelang Magrib, tiap-tiap pasukan
sudah menempati posisinya masing-masing. Pada pukul 21.00 pertempuran dimulai
dan yang diserang adalah pos-pos tentara Belanda di pinggir kota. Demikianlah
kira-kira rentetan peristiwa sejarah yang diinterpretasi menggunakan
interpretasi logis sehingga menampilkan keruntutannya. Jelas mustahil jika
peristiwa pada 29 Desember 1948 tadi menceritakan serangan terjadi pada pukul
16.00 dan pasukan baru berjaga untuk menyerang pukul 21.00. Untuk itulah perlu
kelogisan cara interpretasi sebagaimana termaktub dalam contoh Serangan Umum 1
Maret 1949.
4)
Interpretasi
Psikologis
Interpretasi psikologis adalah
usaha penafsiran untuk mengetahui makna dokumen berdasar pengaruh sifat psikis
pembuat dokumen. Interpretasi ini ditekankan pada hukum-hukum asosiasi dari
kehidupan emosional pembuatnya. Interpretasi psikologis juga dapat mengatur
perhatiannya pada kondisi-kondisi baik internal maupun eksternal yang
menentukan berbagai reaksi psikis seseorang. Contoh penafsiran yang didapat
melalui interpretasi psikologis adalah saat penulisan Surat Perintah Sebelas
Maret atau Supersemar. Banyak kalangan sejarawan menyatakan jika pada saat
penandatanganan surat tersebut sebenarnya presiden Soekarno melakukannya di
bawah tekanan. Berupa apa? Berupa todongan senjata.
Dalam kitab-kitab seperti
Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, pun dibuat dengan kondisi psikologis
penulisnya yang lebih banyak melakukan puja raja sehingga sanjungan-sanjungan
kepada raja dinilai terlalu berlebihan, contohnya Mpu Prapanca. Ia menyanjung
tinggi Kertanegara dan juga Ken Angrok untuk memperlihatkan kebesaran rajanya
meskipun ternyata apa yang digambarkan jauh dari kenyataan.
Lagi, melalui analisa kritik Bibel
dari 72 sarjana Kristen, diperoleh kesimpulan bahwa salah satu ayat dalam Injil
Markus sengaja dibuat oleh pihak Gereja sebagai misi untuk menyebarkan agama.
Artinya bahwa, kondisi psikologis penulis ayat ini adalah, ia tengah
mendambakan suatu kejayaan Kristen dengan menuliskan ayat perintah guna
menyebarkan agama Kristen.
5)
Interpretasi Faktual
Interpretasi
faktual digunakan untuk menghadapi fakta dokumen yang tidak atau tanpa
kata-kata. Tujuannya untuk menemukan arti dari fakta, baik secara individual
maupun kelompok yang interrelasinya termasuk dalam kategori sebab-akibat.
Interpretasi faktual terhadap sumber yang tidak jelas diketahui tanggal atau
sebagian maknanya sering dipermudah untuk mengetahui tempat sumber itu
ditemukan terutama bekas-bekas tempatnya. Koneksi yang jelas dapat ditemukan
antara tempat, mengenai gambaran dan beberapa mitos religius lokal. Contohnya
ketika kita menyelidiki asal usul atau sejarah terbentuknya suatu tempat berdasar
toponimi-nya. Sejenak kita melenggang ke Karesidenan Kedu. Di sana terdapat
sebuah kampung yang bernama Kerkopan, terletak di lembah Gunung Tidar Kota
Magelang. Ternyata, usut punya usut, kampung ini dinamakan Kerkopan karena
kampung ini terletak dekat dengan pemakaman kuno era kolonial yang dalam bahasa
Belanda disebut kerkhofd. Ada lagi
kampung Keplekan yang berada di kelurahan Rejowinangun, kecamatan Magelang
Selatan, kota Magelang. Kampung ini dinamai Keplekan karena dahulu merupakan
tempat orang-orang bermain judi atau keplek.
Interpretasi semacam ini memang
diperbolehkan hanya saja konsekuensinya adalah jangan sampai penafsiran tadi
bersifat “othak athik gathuk” atau
asal menyambung arti kata-katanya dan tanpa makna historis.
e.
Eksplanasi
Eksplanasi
merupakan tahap penting dalam metodologi sejarah. Para pakar filsafat sejarah
berdebat tentang kontroversi mengenai logika yang menghubungkan dan menjelaskan
di antara pernyataan mengenai fenomena yang ada. Bagi sejarawan, eksplanasi
mencakup hubungan antara kausalitas dengan penghubung-penghubung pada waktu
mensintesakan fakta-fakta. (Pranoto, 2010: 43). Tujuan eksplanasi adalah agar
penanya puas dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan E.H. Carr, sejarawan Inggris, mencakup
pertanyaan :
1)
Apa (what)
2)
Siapa (who)
3)
Kapan (when)
4)
Dimana (where)
5)
Bagaimana (how)
6)
Mengapa (why).
Masalah
mendasar mengenai penjelasan sejarah sebenarnya bertolak dari sikap skeptis
para ahli filsafat sejarah yang mempertanyakan apakah pengetahuan sejarah dapat
objektif dan dapat diandalkan (reliable).
Golongan naturalis berpendapat bahwa sejarah harus dan dapat seperti ilmu alam,
sedangkan golongan historikalis berpendapat bahwa sejarah itu unik, merupakan
diskursus (discourse) sui generis (ilmu
khusus tersendiri) karena mempunyai metodologi dan ukuran-ukuran tersendiri.
Sehubungan dengan itu golongan pertama menununtut dalam penjelasan-penjelasan
ilmu alamn ilmu sosial, dan sejarah identitas yang lengkap atas dasar-dasar
yang objektif, sedangkan golongan kedua menghendaki pemisahan yang tegas amtara
penjelasan sejarah dengan model-model penjelasan lain atas dasar-dasar yang tidak
pasti (indeterminis) dan relativis. Selain itu ada pula model-model penjelasan
sejarah yang mengambil jalan tengah di antara kedua ekstrim itu atau juga yang
menggunakan pendekatan-pendekatan lain. (Sjamsuddin, 2007:194).
D. Spesialisasi Ilmu Sejarah
Sebagaimana epistemologi membedah
ilmu-ilmu yang lain, maka, epistemologi selalu berusaha mempertanyakan
“bagaimana sebuah ilmu dikembangkan”. Begitu pula dengan ilmu sejarah. Sejalan
dengan perkembangan zaman, kebutuhan sejarawan dalam mengkaji perubahan di
berbagai bidang memunculkan bidang-bidang spesialisasi sejarah baru, yang
nantinya menjadi cabang-cabang ilmu sejarah. Perkembangan ini tentu juga
dipengaruhi oleh perkembangan ilmu sosial. Perkembangan ilmu sejarah mutakhir
dapat mengkategorisasikan sejarah menjadi, di antaranya :
1.
Sejarah Sosial
Struktur sosial masyarakat menjadi
perhatian dalam pembahasan sejarah sosial. Terutama sekali yang sangat penting
diperhatikan dalam sejarah sosial adalah perubahan-perubahannya. Perubahan itu
membawa corak dan warna sendiri yang dapat memutus kelangsungan dari sistem
sosial yang sudah ada. Sartono
Kartodirdjo menyatakan bahwa masyarakat dikonsepsikan sebagai sistem yang
mempunyai fungsi adaptasi, integrasi, pertahanan diri, dan tujuan. Kerangka
sosial itu sesuai untuk memahami perkembangan dan perubahan sosial terutama
situasi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Kerusakan di berbagai bidang
memerlukan development studies yang
diprogramkan oleh ilmuwan sosial. Jadi perubahan sosial identik dengan modernisasi.
(Pranoto, 2010: 69)
2.
Sejarah Politik
Sejarah dan politik mirip dua sisi mata
uang. Sejarah membicarakan kekuasaan dan politik memperebutkan kekuasaan. Sir
John Robert Seeley (1834-1895), sejarawan Inggris, mengatakan bahwa keterkaitan
sejarah dan politik seperti dikatakannya “history
is past politics, politics is present history”. Kemudian pada tahun 1930-an
terjadi perkembangan baru, khususnya di Perancis, yaitu yang disebut kelompok Annales. Kelompok sejarawan itu
mengatakan bahwa sejarah politik saja sempit, oleh karena itu sejarah harus
diperluas dengan aspek sosial, struktural atau total. Sejak itu sejarah
terkategorisasi menjadi bermacam-macam sejarah dengan berbagai aspeknya. Dalam
kurun waktu yang sama dengan di Perancis, di Amerika Serikat terjadi
perkembangan The New History, meski
baru populer tahun 1960-an, yaitu dengan mengombinasikan aspek diakronis dan
sinkronis. Dengan demikian rapproachment sejarah
dan ilmu sosial tidak diragukan kegunaannya, sehingga penggunaan ilmu sosial
bagi penelitian sejarah sudah jelas dapat diterima. (Pranoto, 2010:70).
3.
Sejarah Ekonomi
Sejarah ekonomi adalah cabang ilmu
sejarah, tetapi jenis sejarah ini memerlukan penghitungan kuantitatif. Sejarah
ekonomi mempunyai substansi produksi, barang, jasa, pekerjaan, penghasilan, dan
lain-lain, yang dapat dihitung tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat.
Teori-teori ekonomi dapat digunakan oleh sejarawan ekonomi untuk menghitung.
Kerangka konseptual dapat dibangun dan berfungsi sebagai pemandu dan pengontrol
penelitiannya. (Pranoto, 2010:73).
4.
Sejarah Psikologi
Psikologi kelompok
maupun individu melahirkan cabang-cabang sejarah yang mengkaji
kelompok-kelompok manusia masa lampau. Cabang psikologi kelompok melahirkan
sejarah mentalitas sedangkan yang kedua adalah psikohistori. Sejarah mentalitas
mencakup ide, ideologi, nilai, sikap, watak, dan mitos. Yang sangat penting dalam sejarah ii adalah
seberapa jauh ide atau semangat berpengaruh terhadap proses sejarah, terutama
terhadap aktivitas kelompok. (Pranoto,
2010:74)
5.
Sejarah Demografi
Sejarah demografi sudah dimulai di Inggris
sejak abad ke-16. Tahun 1940-an studi demografi diperbaharui karena berkaitan
dengan masalah aktual. Tahun 1950-an seorang pakar demografi Perancis, Louis
Henry, tertarik pada studi kesuburan keluarga untuk membuat model karakter
dmeografi keluarga lewat berbagai sumber seperti perkawinan, kelahiran, baptis,
catatan kematian, catatan pengesahan, daftar sensus, dan lain-lain. (Pranoto,
2010:75).
6.
Sejarah Pemikiran
Sejarah pemikiran sama dengan istilah
lain, yaitu history of ideas, history of
thought atau intellectual history.
Sejarah pemikiran adalah studi sejarah tentang peran ide atau gagasan, atau
pemikiran dalam proses dan kejadian sejarah. Setiap gerakan sosial-politik dan
kejadian sejarah selalu berasal dari ide atau pemikiran seseorang. R.G.
Collingwood dalam bukunya The Idea of
History mengatakan bahwa sejarah adalah sejarah pemikiran. Ia menekankan
pada pemikiran, meski ia dianggap mereduksi peran sejarah lain seperti sejarah
politik, sosial, agama, dan lain-lain. (Pranoto, 2010:81).
7.
Sejarah Lokal
Sejarah lokal (local history) adalah jenis sejarah yang secara spasial membahas
peristiwa-peristiwa yang terbatas pada suatu daerah yang kecil, dari desa
sampai tingkat provinsi. Sejarah lokal atau disebut sejarah dalam skala mikro
menuntut metodologi sendiri karena biasanya sumbernya terbatas. Beberapa contoh
model sejarah lokal dengan variasinya jelas menunjukkan historiografi Indonesia
yang social scientific history.
Peristiwa internal yang khas mampu menjelaskan kejadian signifikan yang
memiliki derajat kualitasnya. Dengan pendekatan multidimensional memungkinkan
sejarawan membuka cakrawala baru dengan berbagai tema yang aktual. (Pranoto,
2010:90).
8.
Sejarah Etnis
Sejak tahun 1940-an, di Amerika Serikat
berkembang sejarah etnik atau etnohistory. Objek penelitiannya adalah etnik
Indian. Model penelitian ini diterapkan untuk penelitian orang pribumi seperti
orang Afrika dan Australia (Aborigin). Di Indonesia juga dilakukan penelitian
terhadap suku Anak Dalam di provinsi Jambi. (Pranoto, 2010:92).
9.
Sejarah Pendidikan
Di Eropa, jenis sejarah ini berkembang
sejak abad ke-19. Sejarah pendidikan dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran,
kesatuan budaya, profesi guru, kebanggaan lembaga pendidikan tertentu. Sejarah
pendidikan erat sekali kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial.
Substansi yang diajarkan dimulai dari tradisi pemikiran besar dalam dunia
pendidikan, tradisi pendidikan nasional, sistem pendidikan dan komponennya,
serta perubahan-perubahan sosial-politik, dan gerakan sosial. (Pranoto,
2010:97).
10. Sejarah
Desa
Sejarah pedesaan (rural history) menyangkut semua macam masalah sosial, politik, dan
kultural di pesedaan. Penulisan sejarah pedesaan sudah diawali oleh D.H. Burger
“Rapport over de desa Pekalongan in 1869”
dan “Desa Ngablak (Regentschap Pati)
1869 en 1928”. Dua tulisan ini menonjolkan aspek struktural dengan membandingkan
perubahan dan perkembangan dua desa dalam waktu yang berbeda. (Pranoto,
2010:101).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar