Sabtu, 04 Januari 2014

MEMBEDAH ILMU SEJARAH Berpisaukan Epistemologi (Bagian 2)

BAGIAN II
PEMBAHASAN



A. Kajian Sejarah dan Sumber-Sumber Sejarah
            Sejarah, pada dasarnya mencakup tiga arti, yakni :
1.      Kejadian-kejadian atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia pada masa yang lalu; kenyataan masa lalu (past human events; past actually). Sejarah kategori ini adalah sejarah sebagai peristiwa.
2.      Catatan dari sejarah kejadian-kejadian atau kegiatan manusia tersebut, atau sejarah sebagai ceritera atau kisah.
3.      Proses atau teknik (cara atau metode) untuk pembuatan catatan dari kejadian-kejadian tersebut. Sejarah dalam kategori ini adalah sebagai sejarah Ilmu Pengetahuan Ilmu Sejarah. (Wasino, 2007:3).
Dalam proses membedah sejarah menggunakan pisau epistemologi, cakupan pengertian sejarah yang akan dikaji adalah pada poin ketiga, yakni dalam hal proses maupun teknik (metode).
Dalam kajian sejarah, jejak atau bukti memiliki urgensitas yang tinggi. Jejak atau bukti itulah sebagai sarana, alat bagi sejarawan untuk melakukan hubungan dengan peristiwa masa lampau. Tanpa jejak atau bukti itu, sejarawan tidak dapat berbicara tentang sesuatu peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Bukti itu dapat berupa benda (artefak), tulisan, dan informasi lisan. Hanya melalui bukti-bukti yang tertinggal itulah, sejarawan dapat menghadirkan kembali masa lampau di kalangan pembaca buku-buku sejarah.
Bukti-bukti sejarah yang tersedia tidak dapat berbicara sendiri mengenai masa lampau. Bukti-bukti itu perlu ditafsirkan oleh sejarawan agar jelas tentang kebenaran faktual dan rangkaian antarfaktanya menjadi sebuah cerita masa lampau. Dengan demikian, cerita sejarah merupakan produk intelektual sejarawan berdasarkan bukti-bukti sejarah yang tersedia dan yang ia gunakan, tentunya dengan mempergunakan serangakaian metode sejarah. (Wasino, 2010:4).
Adapun “disiplin” sejarah yang di Indonesia lazim disebut sebagai “ilmu” sejarah (istilah “disiplin” dipakai di sini dengan arti, bagian pengetahuan yang disistematikkan) merupakan cabang ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan mencatat, di dalam perhubungan sebab akibatnya dan perkembangannya, kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas manusia di masa lampau yang (a) tertentu dalam waktu dan tempatnya; (b) sosial di dalam sifat dan hakekatnya; dan (c) yang mempunyai arti yang bersifat sosial. (Wasino, 2007:5).
Sumber sejarah merupakan faktor penting atas kemunculan ilmu sejarah. Kajian sejarah dilakukan ketika masa lampau dilihat dari peninggalan berupa tulisan (history as record) dan benda-benda peninggalan (history as remain). Selain itu, kemunculan kajian sejarah juga didasarkan atas keunikan (history studies the unique) karena waktu dan ruang selalu membedakan dan itu yang membuat aktivitas sosial manusia menjadi unik. (Pranoto, 2010:4). Apabila dianalisis dari segi empirisme, maka sumber dari pengetahuan sejarah lebih ditekankan pada teori konvergensi, dimana penyelidikan atas suatu hal diperlukan, namun tetap terbatas karena bakat. Bakat yang dimaksud di sini adalah minat. Minat seorang sejarawan dalam memandang suatu peristiwa sejarah amat memengaruhi proses penyelidikannya. Selain minat sejarawan, W.H. Walsh menyebutkan bahwa objektivitas dalam sejarah sangat dibatasi oleh moral dan perbedaan nilai. Selain itu, interpretasi sejarah bersumber pada seleksi, sehingga objektivitas juga dibatasi oleh pengalaman pribadi dalam melihat masa lampau. Adapun pendapat tiap sejarawan juga memengaruhi atas apa yang ia selidiki. Pendapat atau opini tiap sejarawan pun tidaklah sama. Perbedaan ini antara lain disebabkan adanya personal bias dan group prejudice. Personal bias adalah perasaan suka atau tidak suka yang bersifat pribadi sehingga memengaruhi penyajian fakta. Sementara group prejudice adalah perasaan suka atau tidak suka yang dipengaruhi oleh asumsi kelompok.
Beberapa faktor tersebut nampak begitu berpengaruh terhadap tahapan selanjutnya, yakni pemilihan topik, sekaligus dalam penggunaan metode sejarah guna memperoleh kajian sejarah yang sesuai dengan minat sejarawan.

B. Sejarah sebagai Ilmu
            Seorang filsuf Inggris, J.B. Bury (1861-1927) dengan tegas menyatakan bahwa sejarah dimasukkan dalam cara kerja ilmu pengetahuan alam. Ia mengatakan bahwa sejarah terikat pada formula positivisme sehingga metodenya adalah ilmu pengetahuan alam yang empiris yang dianalisis melalui logika positivistik. (Pranoto, 2010:5). Akan tetapi, pengkategorian sejarah sebagai ilmu pengetahuan harus dikaji kembali. Hal ini disebabkan, untuk dapat digolongkan ke dalam pengetahuan yang bersifat ilmiah, maka suatu pengetahuan harus memenuhi kriteria atau persyaratan sebagai ciri ilmu tertentu. Dengan memiliki ciri-ciri tersebut maka pengetahuan sejarah dapat digolongkan ke dalam ilmu, atau pengetahuan yang bersifat ilmiah. Menurut The Liang Gie, ciri-ciri ilmiah adalah sebagai berikut.
1.      Memiliki tujuan dan objek sasaran tertentu
Suatu ilmu harus memiliki tujuan sendiri, untuk membedakan dengan tujuan ilmu yang lain. Artinya  dengan memiliki tujuan, suatu ilmu akan dibatasi oleh objek material atau sasaran yang jelas. Sejarah, dalam hal ini, termasuk ke dalam humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Dalam perkembangan kemudian sejarah dianggap juga sebagai salah satu dari ilmu-ilmu sosial. Golongan yang menyatakan sejarah termasuk dalam humaniora, melihat sejarah sebagai res gestae (past events, peristiwa-peristiwa masa lalu) dan historia rerum gestarum (narrative about past events, narasi tentang peristiwa-peristiwa masa lalu). Sementara golongan yang menyatakan sejarah termasuk dalam ilmu sosial, melihat sejarah seabagi salah satu ilmu dalam kelompok social sciences (ilmu-ilmu sosial). Apapun perbedaannya, kedua-duanya tetap menempatkan manusia sebagai objek kajiannya, baik manusia sebagai individu maupun amnusia dalam kelompok masyarakat. (Sjamsuddin, 2007:286).
2.      Ilmu harus memiliki metode
Kumpulan pengetahuan yang memiliki metode akan dapat tersusun secara lebih terarah, lebih teratur serta lebih mudah dipelajari. Tanpa menggunakan metode, suatu pengetahuan mengenai apapun tidak dapat digolongkan ke dalam ilmu. Penggunaan metode oleh suatu pengetahuan tidak semata-mata pada penyebutan secara eksplisit dalam uraian. Artinya bahwa, meskipun telah diungkapkan dalam perkataan bahwa menggunakan metode tertentu tetapi bila metode yang dimaksud tidak selalu diterapkan dalam keseluruhan uraian secara ketat, maka kumpulan uraian pengetahuan itu tetap tidak memiliki metode. (Tamburaka, 1999:17). Beberapa ahli menganggap bahwa metode inilah yang merupakan makna utama jika pun bukan merupakan makna satu-satunya dari sejarah. Menurut Charles Saignobos, sejarah bukanlah suatu ilmu saja, melainkan suatu metode. Artinya, metode sejarah dapat diterapkan pada pokok pembahasan disiplin manapun sebagai sarana untuk memastikan fakta. (Tamburaka, 1999:18).
3.      Bersifat sistematis
Ciri sistematis ini memungkinkan pengetahuan yang dimiliki saling berkaitan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain. Dengan demikian berbagai pengetahuan tersebut tidak saling bertentangan tetapi dapat runtut atau konsisten. Jadi yang dimaksud dengan ilmu bukan hanya sekedar kumpulan pengetahuan tentang apapun yang terkumpul menjadi satu. Di samping itu, orang yang memiliki banyak pengetahuan juga belum tentu merupakan orang yang memiliki banyak ilmu. (Tamburaka, 1999:18).
4.      Bersifat empiris (Empirical aspect)
Kelompok pengetahuan yang bersifat sistematis dan metodis hanya dapat diperoleh melalui pengalaman dengan jalan mengalami. Setiap ilmu pasti diperoleh pertama-tama dengan melalui pengamatan (observasi) atau dengan melalui percobaan (eksperimen) atau dengan kedua-duanya.
Pengalaman yang diperoleh manusia melalui pengamatan (observasi) kemudian diproses sehingga diperoleh pengalaman yang tersusun sebagai suatu konsep. Konsep mengenai pengetahuan tertentu inilah yang kemudian disebut ilmu. (Tamburaka, 1999:18).
5.      Bersifat rasional dan objektif
Ilmu hanya dapat dipahami dengan akal pikiran yakni dengan menggunakan penalaran yang sehat. Penganalisisan yang dilakukan terhadap sejumlah pengetahuan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh aturan-aturan logika untuk mencapai suatu kesimpulan yang sah. Proses menyimpulkan ini disebut penalaran. Sedangkan kesesuaian dari hasil penyimpulan dengan sesuatu yang terdapat dalam objek atau masalah atau kenyataannya disebut kebenaran. Hasil ilmu harus merupakan kebenaran. Dengan demikian setiap orang akan dapat menyetujuinya.
Begitupun agar pengetahuan dapat tergolong sebagai ilmu seperti halnya sejarah, haruslah bercirikan rasional, artinya sesuai dengan putusan rasio atau penalaran yang sehat; serta berciri objektif artinya dapat dikomunikasikan dengan orang lain dan isinya sesuai dengan hal yang terdapat dalam objeknya. (Tamburaka, 1999:19).
6.      Dapat diverifikasi
Diverifikasi artinya dapat diuji atau dilacak kebenarannya. Pengujian kebenaran terhadap kumpulan pengetahuan atau dengan perkataan lain verifikasi terhadapnya, meskipun dilakukan oleh orang yang berbeda waktu yang berlainan serta tempat yang berbeda, harus tetap menghasilkan sebuah simpulan yang sama. Dengan demikian pengetahuan yang didapat akan tetap merupakan suatu kebenaran yang berlaku umum, asalkan kondisi atau persyaratan dan situasinya pun sama. (Tamburaka, 1999:19).

            Dengan demikian, apabila suatu ilmu dapat dipandang sebagai bentuk kegiatan manusia, maka sejarah dengan subjeknya adalah manusia dan objek sejarah sebagai hasil perbuatan manusia. Hasil kegiatan manusia yang disebut sejarah setelah memiliki kriteria atau sifat-sifat ilmu tersebut dapat dipastikan bahwa sejarah telah mengandung tiga aspek pokok yang merupakan ciri ilmu pengetahuan, yakni :
1.      Sejarah dilakukan oleh manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan baru,
2.      Sebagai pengetahuan, ilmu sejarah memang mengkaji peristiwa-peristiwa masa lampau tetapi peristiwanya dikupas, dianalisis dengan meneliti hubungan kausalitasnya.
3.      Hasil analisis tersebut dirangkumkan kembali sehingga dapat diperoleh pengertian dalam bentuk sintesis yang dapat memberi penjelasan mengenai aspek-aspeknya:
a.       Bagaimana (deskripsi) peristiwanya?
b.      Mengapa peristiwanya terjadi?
c.       Ke mana arah peristiwa itu selanjutnya? atau, sejauh mana pengaruh peristiwa tersebut terhadap waktu-waktu berikutnya?
Jadi, ilmu sejarah memperoleh kedudukan sebagai ilmu setelah berbagai peristiwa sejarah disoroti sebagai suatu permasalahan dengan cara menganalisis hubungan sebab akibatnya sedemikian rupa, sehingga dapat ditemukan hukum-hukum sejarah tertentu yang menjadi patokan bagi terjadinya peristiwa-peristiwa dimaksud.
Juga dengan dipenuhinya kriteria atau ciri-ciri ilmu, yakni :
1.      Sejarah memiliki tujuan atau objek sasaran tertentu
2.      Memiliki metode
3.      Sejarah bersifat sistematis
4.      Sejarah bersifat empiris
5.      Bersifat rasional dan objektif
6.      Dapat diverifikasi, maka sejarah adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah.
Nantinya, hasil penelitian ilmu sejarah berupa historiografi atau penulisan ilmu sejarah pada akhirnya harus dapat dipakai sebagai norma untuk pedoman bagi keadaan sekarang dan memperhitungkan segala sesuatu yang mungkin dapat terjadi pada waktu yang akan datang. (Tamburaka, 1999:21).





C. Metode Sejarah
1.      Terminologi Metode dan Metodologi
Pengertian metode dan metodologi memiliki hubungan erat meskipun dapat dibedakan. Menurut definisi kamus Webster’s Third New International Dictionary of the English Language, yang dimaksud dengan “metode” pada umumnya adalah :
a.       Suatu prosedur atau proses untuk mendapatkan suatu objek.
b.      Suatu disiplin atau sistem yang acapkali dianggap sebagai suatu cabang logika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip yang dapat diaterapkan untuk penyidikan ke dalam atau eksposisi dari beberapa subjek.
c.       Suatu prosedur, teknik, atau cara melakukan penyelidikan yang sistematis yang dipakai oleh atau yang sesuai untuk suatu ilmu (sains), seni, atau disiplin tertentu.
Sementara itu yang dimaknai sebagai metodologi adalah,
a.       Suatu rencana sistematis yang diikuti dalam menyajikan materi untuk pengajaran.
b.      Suatu cara memandang, mengorganisasi, dan memberikan bentuk dan arti khusus pada materi-materi artistik (1) suatu cara, teknik, atau proses dari atau untuk melakukan sesuatu (2) suatu keseluruhan keterampilan-keterampilan (a body of skills) atau teknik-teknik. (Sjamsuddin, 2007:13).
Sartono Kartodirdjo membedakan antara metode sebagai “bagaimana orang memperoleh pengetahuan” (how to know) dan metodologi sebagai “mengetahui bagaimana harus mengetahui” (to know how to know). Dalam kaitannya dengan ilmu sejarah, dengan sendirinya, metode sejarah ialah “bagaimana mengetahui sejarah”, sedangkan metodologi ialah “mengetahui bagaimana mengetahui sejarah”. (Sjamsuddin, 2007:14). Dalam hal ini, sejarawan harus menggunakan “ilmu metode” itu pada tempat dan seharusnya. Ia harus mengetahu prosedur-prosedur apa yang harus ditempuh dalam menjaring informasi; pertanyaan-pertanyaan apa yang harus ditanyakan dan kemungkinan jawaban apa yang akan diperoleh; mengapa dan bagaimana ia melakukan kritik terhadap sumber-sumber yang diperolehnya. (Sjamsuddin, 2007:15).
2.      Rangkaian Metode Sejarah
Sejarah, ilmu dan ciptaan, memiliki pangkal tolak yang sama yaitu fakta. Yang pertama, adalah fakta yang digali oleh sejarawan dari bahan-bahan sejarah. Yang kedua, fakta yang dipastikan sarjana dalam selidik-ilmiah atau eksperimen. Yang ketiga, fakta yang dialami oleh sastrawan. Yang membedakan antara metode sejarah, ilmu dan ciptaan adalah kuantitas fakta. (Gazalba, 1981:41).
Dalam riset sejarah yang berkait dengan fakta inilah terdapat tahapan awal yang seharusnya dikuasai oleh sejarawan, yaitu pengumpulan sumber sejarah. Sumber sejarah tersebut harus ditelusuri sedemikian rupa sehingga dapat mendukung pokok kajian sejarah yang sedang diteliti. Sumber sejarah yang dikumpulkan selayaknya adalah sumber sejarah yang relevan dengan topik atau tema penelitian sejaranya. Setelah sumber sejarah diperoleh, maka kegiatan selanjutnya adalah menilai otentisitas dan kredibilitas sumber sejarah. (Wasino, 2010:15). Berikut tahapan metode sejarah yang diawali dari pemilihan topik sebagai berikut.
a.      Pemilihan Topik
Topik merujuk pada bahasan atau pokok kajian yang akan diteliti. Topik sejarah dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan antara lain kedekatan emosional dengan peneliti, ketiadaan informasi tentang topik tersebut, keraguan akan kebenaran informasi yang beredar tentang topik tersebut, kapabilitas peneliti, asumsi teoritis yang baru, dan sebagainya. Topik ditentukan sejak awal penelitian, sedangkan judul dapat dimunculkan kemudian setelah hasil riset dan penulisan sejarah selesai dikerjakan. (Wasino, 2007:15). Topik sejarah yang kita teliti dapat dipilih dari topik yang benar-benar baru, atau topik yang sudah lama menjadi kajian banyak ahli sejarah. Jika yang dipilih adalah topik yang sama sekali baru, maka reasoning yang digunakan adalah luck information (ketiadaan informasi). Topik seperti ini pengerjaannya memang jauh lebih sulit, terutama dalam proses penelusuran sumber dan rekonstruksi sejarahnya. Akan tetapi dari segi pertanggungjawaban akademik, terutama aspek keaslian karya, topik seperti ini mudah dipertanggungjawabkan. Sementara itu, jika topik yang dipilih adalah topik yang telah lama menjadi pergulatan para ahli sejarah, maka peneliti harus dapat memberikan alasan yang dapat dipercaya mengapa topik tersebut masih layak dikaji ulang. Alasan lainnya adalah kemungkinan ditemukannya sumber-sumber baru, pengajuan asumsi teoritis baru, dan pendekatan baru dalam pengkajian terhadap topik tersebut. Dari aspek kerja penelusuran sumber, penentuan topik ini memang lebih ringan karena informasi pendahuluan telah banyak dikaji orang lain. Akan tetapi persoalan sulit yang harus dipertimbangkan kepada pembaca adalah bahwa topik lama yang diangkat tersebut benar-benar akan menghasilkan temuan baru. (Wasino, 2007:16).
b.      Heuristik (Penelusuran sumber)
Setelah seorang sejarawan memilih satu topik penelitian, pertama-tama yang harus dilakukannya ialah menumpulkan semua saksi mata (witness) yang diketahui tentang periode sejarah itu. Semua saksi mata (dalam arti luas maupun khusus) ini menyiapkan bagi sejarawan testimoni (kesaksian) atau informasi yang diperlukan tentang:
1)      Apa yang telah dipikirkan, dirasakan, dikatakan, dan dilakukan manusia sebagai individu atau anggota masyarakat; apa yang telah terjadi dan mengapa.
2)      Faktor-faktor dan tenaga-tenaga apa yang berperan ketika peristiwa-peristiwa berlangsung, keadaan-keadaan apa yang mengkondisi timbulnya peristiwa-peristiwa yang menyangkut para pelaku sejarah, akibat dari keputusan-keputusan, reaksi atas keputusan dan hasil-hasil yang telah dicapai pelaku sejarah. (Sjamsuddin, 2007:94).
Sumber sejarah adalah past actuality yang memberi penjelasan tentang peristiwa masa lampau. Sumber sejarah adalah bahan penulisan sejarah yang mengandung evidensi (bukti) baik lisan maupun tertulis. Sumber sejarah beragam karena memuat pengertian ideografis yang harus diinterpretasikan dan lagi karena memiliki spesifikasi. Sumber sejarah itu ada yang benar-benar sebagai tinggalan aktivitas manusia, contohnya panah dan busur, tetapi memang ada yang disiapkan sebagai tinggalan, contohnya Tugu Pahlawan 1945 di Surabaya dan Monumen Serangan 1 Maret 1949 di Yogyakarta. (Pranoto, 2010:31). Sumber sejarah sendiri, dalam cara yang paling sederhana, diklasifikasikan menurut bentuknya. Tiga macam sumber sejarah tersebut antara lain, (1) sumber benda (bangunan, perkakas, senjata), (2) sumber tertulis (dokumen), (3) sumber lisan (hasil wawancara). (Wasino, 2007:19).
c.       Kritik Sumber
Kritik sumber sejarah adalah upaya untuk memperoleh otentisitas dan kredibilitas sumber. Adapun caranya, yaitu dengan melakukan kritik. Yang dimaksud dengan kritik adalah kerja intelektual dan rasional yang mengikuti metodoogi sejarah guna mendapatkan objektivitas suatu kejadian. (Pranoto, 2010:35). Oleh karena itu, dalam penggunaan sumber, sejarawan harus mempertanggungjawabkan pengertian :
1)      Otentisitas atau asli jika benar-benar produk dari otang yang dianggap pemiliknya. Asli dan otentik tidak sama artinya. Dimaksud sumber asli adalah sumber yang tidak dipalsu. Otentik adalah sumber yang dilapokan dengan benar sesuai dengan keadaan senyatanya.
2)      Kredibilitas
3)      Integritas
Untuk itulah cara kerja kritik sumber dibedakan atas dua bagian, yakni kritik ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah. Sebelum semua kesaksian yang berhasil dikumpulkan oleh sejarawan dapat digunakan untuk merekonstruksi masa lalu, maka terlebih dahulu harus dilakukan pemeriksaan yang ketat. Atas dasar berbagai alasan atau syarat, setiap sumber harus dinyatakan dahulu otentik dan integral. Saksi mata atau penulis itu harus diketahui sebagai orang yang dapat dipercaya atau kredibel. Kesaksian itu sendiri harus dapat dipahami dengan jelas. Pemeriksaan yang ketat ini mempunyai alasan yang kuat sehubungan dengan beberapa sumber telah dibuktikan palsu. Kritik ekstern harus menegakkan fakta dari kesaksian bahwa:
1)      Kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu itu (authenticity).
2)      Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan (uncorrupted), tanpa ada suatu tambahan-tambahan atau penghilangan-penghilangan yang substansial (integrity). (Sjamsuddin, 2007:134).
Sementara itu kritik intern, sebagaimana yang disarankan oleh istilahnya, menekankan aspek “dalam” yaitu isi dari sumber: kesaksian (testimoni). Setelah fakta kesaksian ditegakkan melalui kritik ekstern, tiba giliran sejarawan untuk mengadakan evaluasi terhadap kesaksian itu. Ia harus memutuskan apakah kesaksian itu dapat diandalkan (reliable) atau tidak. Keputusan ini didasarkan atas penemuan dua penyidikan (inkuiri):
1)      Arti sebenarnya dari kesaksian itu harus dipahami. Apa sebenarnya yang ingin dikatakan oleh penulis? Adalah mustahil untuk mengevaluasi sesuatu kesaksian kecuali orang tahu jelas apa yang telah dikatakan. Sesuatu yang telah dikatakan tidak sealu jelas sehingga tidak mudah untuk memahami apa maksud sebenarnya.
2)      Setelah fakta kesaksian dibuktikan dan setelah arti sebenarnya dari isinya telah dibuat sejelas mungkin, selanjutnya kredibilitas saksi harus ditegakkan. Saksi atau penuis harus jelas menunjukkan ompetensi dan verasitas. Sejarawan harus yakin bahwa saksi mempunyai kemampuan mental dan kesempatan untuk mengamati dan saksi menggunakan kesempatan ini untuk mendapatkan suatu pengertian yang benar mengenai kejadian itu. Peneliti harus yakin akan nilai moral atau kejujuran dari saksi dan bahwa ia sedang mengatakan yang sebenarnya tentang kejadian yang ia amati itu. Dengan kata lain, sejarawan harus yakin bahwa saksi tidak berbohong atau menipu kita. jadi adalah tugas kritik intern untuk menegakkan fakta-fakta ini. (Sjamsuddin, 2007:144).


d.      Interpretasi
Untuk menghasilkan cerita sejarah, fakta yang sudah dikumpulkan harus diinterpretasikan. Interpretasi atau tafsir sebenarnya sangat individual, artinya siapa saja dapat menafsirkan. Interpretasi bersifat subjektif, tergantung siapa yang melakukannya, tergantung pribadinya masing-masing. Kedudukan interpretasi ada di antara verifikasi dan eksposisi. Subjektivitas adalah hak sejarawan. Namun tidak berarti sejarawan dapat melakukan interpretasi semaunya sendiri. Sejarawan tetap ada di bawah bimbingan metodologi sejarah, sehingga subjektivitas dapat dieliminasi. Metodologi mengharuskan sejarawan mencantumkan sumber datanya. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengecek kebenaran data dan konsisten dengan interpretasinya. Jelas, bahwa sejarawan tetap dituntut kekuatan intellectual honesty dan academic honesty. (Pranoto, 2010:55).
Dalam tahap interpretasi, Gilbert J. Garraghan membagi interpretasi ke dalam lima jenis, yakni interpetasi verbal, interpretasi teknis, interpretasi logis, interpretasi psikologis, dan interpretasi faktual. Berikut akan penulis paparkan masing-masing definisi serta sampel dari kelima jenis interpretasi tersebut.
1)      Interpretasi Verbal
Interpretasi verbal merupakan langkah penafsiran kata-kata yang diambil secara individual atau kelompok dalam sumber sejarah. Interpretasi verbal mencakup lima aspek yakni:
a)      Bahasa
Aspek bahasa memiliki fungsi untuk menjelaskan makna kata-kata dan kalimat-kalimat guna mengambil ide-ide dalam dokumen tertulis. Contoh kasus dalam penginterpretasian bahasa adalah kesukaran yang dihadapi para peneliti sejarawan Abad Tengah yang tidak mampu membaca tulisan dari bahasa latin-klasik atau dari bahasa latin jenis lain. Hal yang sama juga dapat terjadi ketika para ahli filologi mengalih-aksarakan serat Panitibaya yang diusahakan sesuai dengan bunyi naskah aslinya baris demi baris agar mudah diperbandingkan dengan teks aslinya. Penerjemahan kata demi kata pun tidak mungkin dilakukan karena struktur kalimat berbahasa Jawa yang berbentuk tembang tidak seiring dengan struktur bahasa Indonesia. Apabila serat tersebut diterjemahkan sesuai dengan urutan tiap-tiap kata dalam tiap baris, maka sering terjadi terjemahan itu hanya sebatas menjadi urutan kata-kata tanpa makna.
b)      Kosa Kata
Pemahaman kosa kata menunjukkan cara berpikir yang cermat, tidak hanya dalam unit-unit kata melainkan juga sinonim-sinonim, idiom-idiom, dan kejelasan setiap elemen suatu pembicaraan. Kata-kata yang diinterpretasi sering mengandung konotasi-konotasi yang tidak terdapat dalam kamus.
Contoh kasus penginterpretasian kosa kata terdapat dalam Serat Kalatidha pupuh Sinom tulisan R. Ng. Ranggawarsita berikut,
“Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, atilar silastuti, sujana sarjana kelu, kalulun Kalatidha, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dene karoban rubeda”
Kosakata yang konotatif dan tidak bisa diartikan secara harfiah adalah,
sunyaruri = hampa sepi
pangrehing ukara = kebijakan/peraturan (sementara “ukara” dalam bahasa Jawa berarti “kata” atau “kalimat” dan “pangreh” diartikan sebagai “pemangku”)
silastuti = pedoman kebijaksanaan atau dasar-dasar panembah
c)      Gramatika dan konteks
Gramatika berarti tata bahasa, dan konteks berarti hubungan kata-kata. Artinya bahwa, menggunakan makna kalimat tidak hanya cukup dengan mengetahui arti kata, tetapi konteks gramatikanya misalnya hubungan antara konteks yang sudah ditentukan dengan aturan gramatika. Contohnya adalah hubungan antara subjek dan predikat, objek dan predikat, kata keterangan dan kata benda, preposisi dan kata benda. Mari kita amati bagaimana konteks ramalan raja Kediri, Jayabaya, atau yang sering disebut sebagai Jangka Jayabaya, di sana tertulis baris kalimat yang kurang lebih mengandung gramatika yang harus dilekatkan dengan konteksnya karena tidak bisa berdiri sendiri,
“besuk yen wis ana kreta tanpa jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang...”
Penggalan kalimat dalam Jangka Jayabaya tersebut diartikan sebagai,
“Pada saatnya nanti jika mulai muncul mobil atau kereta api (kreta tanpa jaran) dan jalan rel (tanah Jawa kalungan wesi) serta pesawat terbang (prahu mlaku ing dhuwur awang-awang)...”
d)     Terjemahan
Dalam hal terjemahan kita sebagai sejarawan hendaknya mewaspadai perubahan makna pada sumber-sumber sejarah yang kita jadikan rujukan penulisan historiografi. Contohnya adalah kata maal-administrative yang berarti penyimpangan dalam administrasi baik yang dilakukan ambtenaar maupun pegawai lainnya. Kata maal-administrative saat ini sudah tidak bisa diartikan seperti pada era-nya. Setidaknya kata yang populer saat ini untuk menggantikan maal-administrative adalah korupsi, kolusi, atau nepotisme. Mengapa bukan deviasi jika artinya sama-sama penyimpangan? Sebab deviasi lebih merujuk pada gejala sosial-kemasyarakatan.
Lagi, ketika periode kepemimpinan Van Den Bosch sebagai gubernur jenderal, tentu sebagai sejarawan kita tidak asing dengan istilah cultuur-stelsel. Apabila cultuur-stelsel diartikan secara harfiah berarti cultuur-stelsel adalah jaringan kebudayaan. Padahal sebenarnya istilah cultuur-stelsel merujuk pada sistem tanam paksa yang pernah berlaku di Hindia Belanda.

2)      Interpretasi Teknis
Interpretasi teknis terhadap sebuah dokumen memiliki dua perspektif pertimbangan yakni, maksud atau perhatian penyusunan dokumen, dan bentuk tulisan yang sebenarnya. Semisal, dalam karya-karya sastra, tulisan tersebut pada dasarnya dibuat sebagai pandangan untuk propaganda bahkan bisa jadi untuk menanamkan teori atau doktrin. Akan tetapi jika dilihat dari sisi lain, karya sastra tersebut dapat membawa kesenangan estetis. Apa contoh lainnya?
Contoh lain dalam interpretasi teknis dalam bentuk dokumen tertulis dapat dijumpai dengan adanya Serat Panitibaya yang ditulis oleh Bhatara Katong atau Sunan Katong. Ia salah seorang putera Prabu Kertabhumi yang bergelar Prabu Brawijaya V. Bhatara Katong yang sebelumnya beragama Hindu dan memegang kendali Kadipaten Ponorogo tidak berapa lama memeluk agama Islam sehingga iapun kemudian turut menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Dalam upaya dakwahnya itulah Bhatara Katong menulis sebuah serat yang berisi pituduh, wewaler, dan ajaran-ajaran budi pekerti. Jika dikaitkan dengan interpretsi teknis berarti secara primer, Serat Panitibaya dibuat dengan maksud menyebarkan dakwah Islam Bhatara Katong serta menjadi perwujudan keinginan Bhatara Katong untuk berdekatan hati dengan anak-anak muda sembari menjadikan petuah-petuahnya sebagai pedoman. Secara sekunder, penulisan Serat Panitibaya ini berarti turut mengantarkan masyarakat untuk lebih meningkatkan iman dan taqwanya. Berikut salah satu petikan Serat Panitibaya yang menggambarkan maksud penulisan Bhatara Katong,
“Ingkang kasedya kang saya,
Nganggit layang kang sabab aniwasi
Ingkang ayun akrap taruna taruna siwi
supaya rinegem kukuh,
dadi jati pusaka,
sapangisor kang sia turun-temurun,
iki kawit kang winilang,
sabarang ama niwasi.
Pamurunge wirya guna,
aja lali lire sawiji-wiji”
Terjemahannya:
(Adapun maksud pembuat uraian ini (saya),
(yang) sebenarnya ingin sekali akrab berdekatan hati dengan anak-anak muda,
janganlah hal (petuah) ini sampai hilang, genggamlah yang kuat,
agar dapat dijadikan pusaka (sesuatu yang dihormati) benar-benar
seterusnya bagi semua keturunanku,
inilah semua hal-hal yang terhitung (tergolong),
semuanya yang dapat mencelakakan diri.
Untuk mengurungkannya ada cara yang dapat menuju ke keselamatan,
dan ini hendaklah jangan kau lupakan artinya satu persatu,)

3)      Interpretasi Logis
Interpretasi logis artinya pemaknaan atau penafsiran didasarkan atas pemikiran logis. Konteks logis memiliki dalil bahwa penentuan bagian yang berhubungan dengan pemikiran apakah segera atau kemudian yang didahulukan sebagai kelanjutannya. Tujuannya adalah untuk menghubungkan urutan secara umum dengan diarahkan ke berbagai ide pokok dalam kesatuan komposisi atau struktur peristiwa dalam sumber-sumber sejarah. Contoh dari keruntutan peristiwa berdasar interpretasi logis adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Secara runtut peristiwa tersebut diawali dengan pendudukan Belanda di Yogyakarta yang dihitung sejak hari Minggu, 19 Desember 1948 dimana mulai pukul 05.30 pesawat-pesawat Belanda terbang merendah dan menjatuhkan granat-granat secara tiba-tiba ke kota Yogyakarta. Kemudian dilanjutkan dengan pengkoordinasian pasukan pada 26 Desember 1948 untuk melancarkan serangan bersama pada 29 Desember 1949. Selanjutnya dilakukanlah persiapan pasukan tentara RI untuk diberangkatkan ke berbagai sektor pertahanan pada tanggal 29 Desember 1948 kira-kira pukul 16.00 wib. Menjelang Magrib, tiap-tiap pasukan sudah menempati posisinya masing-masing. Pada pukul 21.00 pertempuran dimulai dan yang diserang adalah pos-pos tentara Belanda di pinggir kota. Demikianlah kira-kira rentetan peristiwa sejarah yang diinterpretasi menggunakan interpretasi logis sehingga menampilkan keruntutannya. Jelas mustahil jika peristiwa pada 29 Desember 1948 tadi menceritakan serangan terjadi pada pukul 16.00 dan pasukan baru berjaga untuk menyerang pukul 21.00. Untuk itulah perlu kelogisan cara interpretasi sebagaimana termaktub dalam contoh Serangan Umum 1 Maret 1949.



4)      Interpretasi Psikologis
Interpretasi psikologis adalah usaha penafsiran untuk mengetahui makna dokumen berdasar pengaruh sifat psikis pembuat dokumen. Interpretasi ini ditekankan pada hukum-hukum asosiasi dari kehidupan emosional pembuatnya. Interpretasi psikologis juga dapat mengatur perhatiannya pada kondisi-kondisi baik internal maupun eksternal yang menentukan berbagai reaksi psikis seseorang. Contoh penafsiran yang didapat melalui interpretasi psikologis adalah saat penulisan Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar. Banyak kalangan sejarawan menyatakan jika pada saat penandatanganan surat tersebut sebenarnya presiden Soekarno melakukannya di bawah tekanan. Berupa apa? Berupa todongan senjata.
Dalam kitab-kitab seperti Negarakertagama, Sutasoma, Arjuna Wiwaha, pun dibuat dengan kondisi psikologis penulisnya yang lebih banyak melakukan puja raja sehingga sanjungan-sanjungan kepada raja dinilai terlalu berlebihan, contohnya Mpu Prapanca. Ia menyanjung tinggi Kertanegara dan juga Ken Angrok untuk memperlihatkan kebesaran rajanya meskipun ternyata apa yang digambarkan jauh dari kenyataan.
Lagi, melalui analisa kritik Bibel dari 72 sarjana Kristen, diperoleh kesimpulan bahwa salah satu ayat dalam Injil Markus sengaja dibuat oleh pihak Gereja sebagai misi untuk menyebarkan agama. Artinya bahwa, kondisi psikologis penulis ayat ini adalah, ia tengah mendambakan suatu kejayaan Kristen dengan menuliskan ayat perintah guna menyebarkan agama Kristen.
5)      Interpretasi Faktual
Interpretasi faktual digunakan untuk menghadapi fakta dokumen yang tidak atau tanpa kata-kata. Tujuannya untuk menemukan arti dari fakta, baik secara individual maupun kelompok yang interrelasinya termasuk dalam kategori sebab-akibat. Interpretasi faktual terhadap sumber yang tidak jelas diketahui tanggal atau sebagian maknanya sering dipermudah untuk mengetahui tempat sumber itu ditemukan terutama bekas-bekas tempatnya. Koneksi yang jelas dapat ditemukan antara tempat, mengenai gambaran dan beberapa mitos religius lokal. Contohnya ketika kita menyelidiki asal usul atau sejarah terbentuknya suatu tempat berdasar toponimi-nya. Sejenak kita melenggang ke Karesidenan Kedu. Di sana terdapat sebuah kampung yang bernama Kerkopan, terletak di lembah Gunung Tidar Kota Magelang. Ternyata, usut punya usut, kampung ini dinamakan Kerkopan karena kampung ini terletak dekat dengan pemakaman kuno era kolonial yang dalam bahasa Belanda disebut kerkhofd. Ada lagi kampung Keplekan yang berada di kelurahan Rejowinangun, kecamatan Magelang Selatan, kota Magelang. Kampung ini dinamai Keplekan karena dahulu merupakan tempat orang-orang bermain judi atau keplek.
Interpretasi semacam ini memang diperbolehkan hanya saja konsekuensinya adalah jangan sampai penafsiran tadi bersifat “othak athik gathuk” atau asal menyambung arti kata-katanya dan tanpa makna historis.
e.       Eksplanasi
Eksplanasi merupakan tahap penting dalam metodologi sejarah. Para pakar filsafat sejarah berdebat tentang kontroversi mengenai logika yang menghubungkan dan menjelaskan di antara pernyataan mengenai fenomena yang ada. Bagi sejarawan, eksplanasi mencakup hubungan antara kausalitas dengan penghubung-penghubung pada waktu mensintesakan fakta-fakta. (Pranoto, 2010: 43). Tujuan eksplanasi adalah agar penanya puas dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan E.H. Carr, sejarawan Inggris, mencakup pertanyaan :
1)      Apa (what)
2)      Siapa (who)
3)      Kapan (when)
4)      Dimana (where)
5)      Bagaimana (how)
6)      Mengapa (why).
Masalah mendasar mengenai penjelasan sejarah sebenarnya bertolak dari sikap skeptis para ahli filsafat sejarah yang mempertanyakan apakah pengetahuan sejarah dapat objektif dan dapat diandalkan (reliable). Golongan naturalis berpendapat bahwa sejarah harus dan dapat seperti ilmu alam, sedangkan golongan historikalis berpendapat bahwa sejarah itu unik, merupakan diskursus (discourse) sui generis (ilmu khusus tersendiri) karena mempunyai metodologi dan ukuran-ukuran tersendiri. Sehubungan dengan itu golongan pertama menununtut dalam penjelasan-penjelasan ilmu alamn ilmu sosial, dan sejarah identitas yang lengkap atas dasar-dasar yang objektif, sedangkan golongan kedua menghendaki pemisahan yang tegas amtara penjelasan sejarah dengan model-model penjelasan lain atas dasar-dasar yang tidak pasti (indeterminis) dan relativis. Selain itu ada pula model-model penjelasan sejarah yang mengambil jalan tengah di antara kedua ekstrim itu atau juga yang menggunakan pendekatan-pendekatan lain. (Sjamsuddin, 2007:194).

D. Spesialisasi Ilmu Sejarah
       Sebagaimana epistemologi membedah ilmu-ilmu yang lain, maka, epistemologi selalu berusaha mempertanyakan “bagaimana sebuah ilmu dikembangkan”. Begitu pula dengan ilmu sejarah. Sejalan dengan perkembangan zaman, kebutuhan sejarawan dalam mengkaji perubahan di berbagai bidang memunculkan bidang-bidang spesialisasi sejarah baru, yang nantinya menjadi cabang-cabang ilmu sejarah. Perkembangan ini tentu juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu sosial. Perkembangan ilmu sejarah mutakhir dapat mengkategorisasikan sejarah menjadi, di antaranya :
1.      Sejarah Sosial
      Struktur sosial masyarakat menjadi perhatian dalam pembahasan sejarah sosial. Terutama sekali yang sangat penting diperhatikan dalam sejarah sosial adalah perubahan-perubahannya. Perubahan itu membawa corak dan warna sendiri yang dapat memutus kelangsungan dari sistem sosial yang sudah ada.  Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa masyarakat dikonsepsikan sebagai sistem yang mempunyai fungsi adaptasi, integrasi, pertahanan diri, dan tujuan. Kerangka sosial itu sesuai untuk memahami perkembangan dan perubahan sosial terutama situasi yang berkembang setelah Perang Dunia II. Kerusakan di berbagai bidang memerlukan development studies yang diprogramkan oleh ilmuwan sosial. Jadi perubahan sosial identik dengan modernisasi. (Pranoto, 2010: 69)
2.      Sejarah Politik
      Sejarah dan politik mirip dua sisi mata uang. Sejarah membicarakan kekuasaan dan politik memperebutkan kekuasaan. Sir John Robert Seeley (1834-1895), sejarawan Inggris, mengatakan bahwa keterkaitan sejarah dan politik seperti dikatakannya “history is past politics, politics is present history”. Kemudian pada tahun 1930-an terjadi perkembangan baru, khususnya di Perancis, yaitu yang disebut kelompok Annales. Kelompok sejarawan itu mengatakan bahwa sejarah politik saja sempit, oleh karena itu sejarah harus diperluas dengan aspek sosial, struktural atau total. Sejak itu sejarah terkategorisasi menjadi bermacam-macam sejarah dengan berbagai aspeknya. Dalam kurun waktu yang sama dengan di Perancis, di Amerika Serikat terjadi perkembangan The New History, meski baru populer tahun 1960-an, yaitu dengan mengombinasikan aspek diakronis dan sinkronis. Dengan demikian rapproachment sejarah dan ilmu sosial tidak diragukan kegunaannya, sehingga penggunaan ilmu sosial bagi penelitian sejarah sudah jelas dapat diterima. (Pranoto, 2010:70).
3.      Sejarah Ekonomi
      Sejarah ekonomi adalah cabang ilmu sejarah, tetapi jenis sejarah ini memerlukan penghitungan kuantitatif. Sejarah ekonomi mempunyai substansi produksi, barang, jasa, pekerjaan, penghasilan, dan lain-lain, yang dapat dihitung tanpa dibatasi oleh waktu dan tempat. Teori-teori ekonomi dapat digunakan oleh sejarawan ekonomi untuk menghitung. Kerangka konseptual dapat dibangun dan berfungsi sebagai pemandu dan pengontrol penelitiannya. (Pranoto, 2010:73).
4.      Sejarah Psikologi
Psikologi kelompok maupun individu melahirkan cabang-cabang sejarah yang mengkaji kelompok-kelompok manusia masa lampau. Cabang psikologi kelompok melahirkan sejarah mentalitas sedangkan yang kedua adalah psikohistori. Sejarah mentalitas mencakup ide, ideologi, nilai, sikap, watak, dan mitos.  Yang sangat penting dalam sejarah ii adalah seberapa jauh ide atau semangat berpengaruh terhadap proses sejarah, terutama terhadap aktivitas kelompok.  (Pranoto, 2010:74)
5.      Sejarah Demografi
      Sejarah demografi sudah dimulai di Inggris sejak abad ke-16. Tahun 1940-an studi demografi diperbaharui karena berkaitan dengan masalah aktual. Tahun 1950-an seorang pakar demografi Perancis, Louis Henry, tertarik pada studi kesuburan keluarga untuk membuat model karakter dmeografi keluarga lewat berbagai sumber seperti perkawinan, kelahiran, baptis, catatan kematian, catatan pengesahan, daftar sensus, dan lain-lain. (Pranoto, 2010:75).
6.      Sejarah Pemikiran
      Sejarah pemikiran sama dengan istilah lain, yaitu history of ideas, history of thought atau intellectual history. Sejarah pemikiran adalah studi sejarah tentang peran ide atau gagasan, atau pemikiran dalam proses dan kejadian sejarah. Setiap gerakan sosial-politik dan kejadian sejarah selalu berasal dari ide atau pemikiran seseorang. R.G. Collingwood dalam bukunya The Idea of History mengatakan bahwa sejarah adalah sejarah pemikiran. Ia menekankan pada pemikiran, meski ia dianggap mereduksi peran sejarah lain seperti sejarah politik, sosial, agama, dan lain-lain. (Pranoto, 2010:81).
7.      Sejarah Lokal
      Sejarah lokal (local history) adalah jenis sejarah yang secara spasial membahas peristiwa-peristiwa yang terbatas pada suatu daerah yang kecil, dari desa sampai tingkat provinsi. Sejarah lokal atau disebut sejarah dalam skala mikro menuntut metodologi sendiri karena biasanya sumbernya terbatas. Beberapa contoh model sejarah lokal dengan variasinya jelas menunjukkan historiografi Indonesia yang social scientific history. Peristiwa internal yang khas mampu menjelaskan kejadian signifikan yang memiliki derajat kualitasnya. Dengan pendekatan multidimensional memungkinkan sejarawan membuka cakrawala baru dengan berbagai tema yang aktual. (Pranoto, 2010:90).

8.      Sejarah Etnis
      Sejak tahun 1940-an, di Amerika Serikat berkembang sejarah etnik atau etnohistory. Objek penelitiannya adalah etnik Indian. Model penelitian ini diterapkan untuk penelitian orang pribumi seperti orang Afrika dan Australia (Aborigin). Di Indonesia juga dilakukan penelitian terhadap suku Anak Dalam di provinsi Jambi. (Pranoto, 2010:92).
9.      Sejarah Pendidikan
      Di Eropa, jenis sejarah ini berkembang sejak abad ke-19. Sejarah pendidikan dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran, kesatuan budaya, profesi guru, kebanggaan lembaga pendidikan tertentu. Sejarah pendidikan erat sekali kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. Substansi yang diajarkan dimulai dari tradisi pemikiran besar dalam dunia pendidikan, tradisi pendidikan nasional, sistem pendidikan dan komponennya, serta perubahan-perubahan sosial-politik, dan gerakan sosial. (Pranoto, 2010:97).
10.  Sejarah Desa
      Sejarah pedesaan (rural history) menyangkut semua macam masalah sosial, politik, dan kultural di pesedaan. Penulisan sejarah pedesaan sudah diawali oleh D.H. Burger “Rapport over de desa Pekalongan in 1869” dan “Desa Ngablak (Regentschap Pati) 1869 en 1928”. Dua tulisan ini menonjolkan aspek struktural dengan membandingkan perubahan dan perkembangan dua desa dalam waktu yang berbeda. (Pranoto, 2010:101).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar