BAB I
PENDAHULUAN
Proses
pembaruan desa yang kini mulai nampak dirasakan dalam setiap aspek
pembangunannya rasa-rasanya lebih nampak seperti gerakan sosial di pedesaan
yang muncul usai rezim otoriter Orde Baru memimpin Indonesia. Hal ini tidaklah
mengherankan sebab pada zaman Orde Baru, pengembangan masyarakat pedesaan
dinilai kurang memadai, sekaligus mendapat perlakuan yang begitu diskriminatif
dari pemerintah apabila dibandingkan dengan industri-industri asing yang
menanamkan modalnya di Indonesia.
Pelaksanaan
pembangunan pada masa Orde Baru bertumpu
pada Trilogi Pembangunan, antara lain :
1.
Pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh
rakyat
2.
Pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi
3.
Stabilitas nasional
yang sehat dan dinamis
Pemerintah Orde Baru, dalam
melaksanakan pembangunannya, memiliki Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang
menjadi arah dan strategi pembangunan jangka panjang yang meliputi waktu antara
25 hingga 30 tahun. Dalam melaksanakan pembangunan tersebut, setiap tahap
diberi jangka waktu lima tahun. Sesuai dengan jangka waktu itulah maka setiap
tahap disebut Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Beberapa dampak dirasakan dalam
pelaksanaan PELITA, di antaranya dibukanya unit-unit desa oleh Bank Rakyat
Indonesia (BRI) sejak tahun 1970 untuk melayani petani akan kebutuhan kredit,
dan dibentuk pula Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD)
yang bertujuan melayani para petani. (Djoened, 1993).
Akan tetapi kemajuan-kemajuan yang
diperlihatkan lewat kemajuan sektor perekonomian pedesaan nampak perlu
memperoleh kajian yang cukup serius, disebabkan kian sempitnya jumlah lahan
yang tersedia bagi kegiatan bercocok tanam sehingga pendapatan masyarakat pun
kian minim, dan itu terjadi hampir setiap tahun. Di sisi lain, peningkatan
sektor industri nampak tidak sebanding dengan lapangan kerja yang disediakan
sehingga memaksa sebagian tenaga kerja untuk dialihkan pada sektor pertanian,
padahal lahan pertanian yang ada kian sempit. Implikasinya, terjadilah
ketimpangan antara sektor industri dengan pertanian. Oleh karena sektor
industri identik dengan kota, sedangkan pertanian identik dengan desa, maka
timbullah kesenjangan antara desa dengan kota. Hal inilah yang kemudian
memunculkan gelombang perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam jumlah
besar.
Menurut hasil data sensus industri
tahun 1974-1975 yang membagi jenis-jenis perusahaan ke dalam tiga golongan,
yakni perusahaan besar dan sedang, perusahaan kecil, dan perusahaan kerajinan
rumah tangga, nampak bahwa kesempatan kerja justru lebih terbuka lebar pada
perusahaan-perusahaan kerajinan rumah tangga. Hal ini terlihat pada prosentase
jumlah angkatan kerja sektor industri sebesar 80% yang bertempattinggal di
daerah pedesaan, dan sekitar setengah dari seluruh angkatan kerja sektor ini
adalah wanita. Jumlah 80% tersebut sejalan dengan kesan umum bahwa
kegiatan-kegiatan kerajinan rumah tangga kebanyakan dilakukan oleh para wanita
di daerah pedesaan untuk mencari tambahan penghasilan dan tidak menutup
kemungkinan juga untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pekerja
tetap dari beberapa pabrik seperti pabrik rokok dan teh.
Berpijak dari latar belakang inilah,
penulis merasa perlu mengangkat proses pembangunan pedesaan di Indonesia dari
beberapa sektor, yang mengambil jangka waktu 10 tahun, antara 1983 hingga 1993.
Dengan harapan, kajian ini akan memenuhi materi perkuliahan Sejarah Pedesaan
dan Agraria dalam tempo Orde Baru sehingga nampak jelas bagaimana pemerintah
Orde Baru berusaha mengelola pedesaan yang dikenal sebagai unit pemerintahan
terkecil pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar