Senin, 03 Desember 2012

PEMBANGUNAN PEDESAAN INDONESIA 1983-1993 (Bagian I)





BAB I
PENDAHULUAN



Proses pembaruan desa yang kini mulai nampak dirasakan dalam setiap aspek pembangunannya rasa-rasanya lebih nampak seperti gerakan sosial di pedesaan yang muncul usai rezim otoriter Orde Baru memimpin Indonesia. Hal ini tidaklah mengherankan sebab pada zaman Orde Baru, pengembangan masyarakat pedesaan dinilai kurang memadai, sekaligus mendapat perlakuan yang begitu diskriminatif dari pemerintah apabila dibandingkan dengan industri-industri asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Pelaksanaan pembangunan  pada masa Orde Baru bertumpu pada Trilogi Pembangunan, antara lain :
1.      Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
2.      Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi
3.      Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Pemerintah Orde Baru, dalam melaksanakan pembangunannya, memiliki Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang yang menjadi arah dan strategi pembangunan jangka panjang yang meliputi waktu antara 25 hingga 30 tahun. Dalam melaksanakan pembangunan tersebut, setiap tahap diberi jangka waktu lima tahun. Sesuai dengan jangka waktu itulah maka setiap tahap disebut Pembangunan Lima Tahun (PELITA). Beberapa dampak dirasakan dalam pelaksanaan PELITA, di antaranya dibukanya unit-unit desa oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) sejak tahun 1970 untuk melayani petani akan kebutuhan kredit, dan dibentuk pula Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) yang bertujuan melayani para petani. (Djoened, 1993).
Akan tetapi kemajuan-kemajuan yang diperlihatkan lewat kemajuan sektor perekonomian pedesaan nampak perlu memperoleh kajian yang cukup serius, disebabkan kian sempitnya jumlah lahan yang tersedia bagi kegiatan bercocok tanam sehingga pendapatan masyarakat pun kian minim, dan itu terjadi hampir setiap tahun. Di sisi lain, peningkatan sektor industri nampak tidak sebanding dengan lapangan kerja yang disediakan sehingga memaksa sebagian tenaga kerja untuk dialihkan pada sektor pertanian, padahal lahan pertanian yang ada kian sempit. Implikasinya, terjadilah ketimpangan antara sektor industri dengan pertanian. Oleh karena sektor industri identik dengan kota, sedangkan pertanian identik dengan desa, maka timbullah kesenjangan antara desa dengan kota. Hal inilah yang kemudian memunculkan gelombang perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam jumlah besar.
Menurut hasil data sensus industri tahun 1974-1975 yang membagi jenis-jenis perusahaan ke dalam tiga golongan, yakni perusahaan besar dan sedang, perusahaan kecil, dan perusahaan kerajinan rumah tangga, nampak bahwa kesempatan kerja justru lebih terbuka lebar pada perusahaan-perusahaan kerajinan rumah tangga. Hal ini terlihat pada prosentase jumlah angkatan kerja sektor industri sebesar 80% yang bertempattinggal di daerah pedesaan, dan sekitar setengah dari seluruh angkatan kerja sektor ini adalah wanita. Jumlah 80% tersebut sejalan dengan kesan umum bahwa kegiatan-kegiatan kerajinan rumah tangga kebanyakan dilakukan oleh para wanita di daerah pedesaan untuk mencari tambahan penghasilan dan tidak menutup kemungkinan juga untuk mencari penghasilan tambahan dengan menjadi pekerja tetap dari beberapa pabrik seperti pabrik rokok dan teh.
Berpijak dari latar belakang inilah, penulis merasa perlu mengangkat proses pembangunan pedesaan di Indonesia dari beberapa sektor, yang mengambil jangka waktu 10 tahun, antara 1983 hingga 1993. Dengan harapan, kajian ini akan memenuhi materi perkuliahan Sejarah Pedesaan dan Agraria dalam tempo Orde Baru sehingga nampak jelas bagaimana pemerintah Orde Baru berusaha mengelola pedesaan yang dikenal sebagai unit pemerintahan terkecil pada perjalanan sejarah bangsa Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar