BAB II
GAMBARAN UMUM PEDESAAN INDONESIA
A. Etimologi Desa
Desa,
berasal dari bahasa Sansekerta yakni desi,
dusun, yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah
leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma,
serta memiliki batasan yang jelas. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
diterbitkan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa desa adalah (1) sekelompok rumah
di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung, dusun; (2) udik atau dusun
(dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (3) tempat, tanah, daerah.
Setidaknya dari tiga pengertian ini dapat ditarik tiga unsur penting pembentuk
desa, yakni kesatuan, letak sebagai lawan kota, juga daerah atau wilayah.
(Purnomo, 2004).
Roucek
dan Warren mendefinisikan desa sebagai bentuk yang diteruskan antara
penduduknya dengan lembaga mereka di wilayah setempat dimana mereka tinggal,
yaitu di ladang-ladang yang “berserak” di kampung yang biasanya menjadi pusat
segala aktivitas mereka bersama. Masyarakat di daerah pedesaan berhubungan satu
sama lain dengan kunjung mengunjungi, pinjam meminjam alat-alat perlengkapan,
bertukar jasa, tolong menolong, atau ikut serta dalam aktivitas-aktivitas
sosial. Dalam pengertian yang sama desa didefinisikan sebagai suatu daerah
hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan sosial yang hidup
serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu dengan adat istiadat yang
dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pimpinan formil yaitu kepala
desa. (Purnomo, 2004).
Lebih
lanjut Landis menyatakan jika dipandang dari sudut statistik, pedesaan adalah
tempat-tempat dengan jumlah penduduk kurang dari 2.500 orang, kecuali bila
disebutkan lain. Kajian psikologi menyatakan bahwa pedesaan adalah
daerah-daerah dimana pergaulannya ditandai oleh derajat intensitas yang tinggi,
sedangan kota adalah tempat-tempat dimana hubungan sesama individu sangat
impersonal (longgar/bersikap acuh). Kajian ekonomi menggarisbawahi pedesaan
sebagai daerah yang memusatkan pertanian sebagai pusat perhatian atau
kepentingan dalam arti luas. Dari beberapa kajian mengenai pedesaan tersebut,
kita dapat melihat beberapa hal yang terkait dengan desa yakni adanya kehidupan
bersama, adanya wilayah, adanya pemerintahan, memiliki budaya yang khas dengan
pertanian sebagai basis utama ekonominya. (Purnomo, 2004).
B. Tipologi Desa
1.
Tipologi desa berdasar
sejarah kemunculannya
Suhartono
membagi babak munculnya pedesaan yang menunjukkan terjadinya perubahan beberapa
aspek kehidupan fundamental masyarakat desa.
a.
Desa jaman feodal
Pada jaman feodal sesuai dengan teori
milik raja “Vorstendomein” dimana raja memiliki seluruh tanah kerajaan. Dalam
pemerintahan ia dibantu oleh poro sentono
dan noroprojo yang diangkat
berdasarkan status dan askripsi serta mempunyai hak atas tanah lungguh apanage sebagai gaji. Pejabat daerah
dibantu oleh bekel untuk mengelola tanah, dan bekel memiliki patuh sebagai
petani pekerja tanah. Patuh adalah rumah tangga yang terkadang ditumpangi oleh
keluarga atau orang tidak bertanah yang disebut Tlosor. Kebekelan setara dengan desa yang kita kenal saat ini.
Patuh berkewajiban untuk menyetor beberapa bagian hasil tanah untuk raja dengan
pembagian khusus. Ada pula desa-desa dengan status Perdikan dan Mutihan yang
tidak memiliki kewajiban seperti desa pada umumnya. Status ini biasanya
diberikan kepada kelompok agama atau orang-orang yang memiliki jasa khusus pada
kerajaan. Dalam hal kepatuhan desa ini tetap tunduk pada kekuasaan raja.
b.
Desa jaman kolonial
Pada periode kolonial, hak teori milik
raja dihapuskan dengan istilah Hermoving atau
reorganizatie pada tahun 1909. Hal
itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tanah perkebunan Belanda yang berkembang
pesat, dimana struktur apanage tidak
efisien sehingga diperlukan reorganisasi kebekelan, atau lebih tepatnya
reorganisasi desa.
c.
Desa pasca kolonial
Pasca kolonial, desa-desa tersebut
tidak mengalami perubahan hingga dikeluarkannya aturan tentang pemerintahan
desa dalam UU No.5 tahun 1979. Ini merupakan pangkal dari penyeragaman
desa-desa di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 maka perubahan
keduapun terjadi. Desa saat ini merupakan bentukan penguasa, dalam arti
kesatuan kekuasaan dapat dipahami. Sementara interaksi sebagai wujud awal dari
desa dapat dilihat pada pola dusun.
2.
Tipologi desa berdasar
masyarakat dan kebudayaan
Menurut
Amri Marzali desa dapat dibagi berdasar masyarakat dan kebudayaannya atas dasar
beberapa hal sebagai berikut.
a.
Tipe hukum adat
mengacu pada Van Vollenhoven
Klasifikasi ini menyatakan bahwa untuk
menentukan daerah dan kelompok-kelompok yang hidup di atasnya menjadi suatu
“daerah hukum adat” sendiri. Ada dua kriteria pokok disini, yakni lingkungan
geografis atau wilayah, dan kultur atau budaya. Hukum adat atau aturan-aturan
adat (aturan-aturan pribumi) yang menyangkut kehidupan masyarakat dan
pemerintahan dusun atau desa (rechtgemeenschap),
tentang tanah (rechten of grond),
tentang kehidupan ekonomi rakyat (schuldenrecth).
Berdasar kriteria itulah Vollenhoven membagi Indonesia atas 19 daerah hukum
adat. Ia menempatkan hukum adat Indonesia setaraf dengan hukum Barat
yang diberlakukan di Indonesia. Ia juga memperjuangkan eksistensi hukum adat
untuk dapat hidup dan diakui berlakunya bagi kalangan rakyat pribumi atau dasar
anggapan bahwa hukum adat adalah hukum yang paling cocok bagi rakyat Indonesia.
(Abdurrahman, 1990).
b.
Berdasarkan
sosiokultural bervariasi hasil yang dihasilkannya
Teori dasar yang melandasi klasifikasi
ini berasal dari Julian Steward yang digunakan oleh Hildred Geerzt dan
Koentjaraningrat. Geertz membagi masyarakat menjadi dua tipe besar yakni (1)
masyarakat pedesaan, dan (2) masyarakat perkotaan. Sementara itu
Koentjaraningrat membagi menjadi empat tipe yakni (1) desa terpencil struktur
sederhana. Pada tipe ini penduduk hidup berkebun ubi dan keladi yang
dikonbinasikan dengan berburu dan meramu, dan tidak mendapat pengaruh
kebudayaan perunggu, Hindu, dan Islam. Pengaruh luar terutama diperoleh dari
zending Kristen. Contoh masyarakat ini adalah kebudayaan Nias, Mentawai, dan
Irian Jaya; (2) desa-desa yang memiliki hubungan dengan kota-kota kecil yang
dibangun oleh kolonial Belanda, dengan struktur sosial adak kompleks dengan
penduduk yang bercocoktanam padi di ladang dan sawah. Masyarakat ini tidak
terpengaruh Hindu dan Islam, sehingga hubungan dengan luar lebih banyak dibuka oleh
zending Kristen. Contoh masyarakat ini adalah Flores, Ambon, Minahasa, Batak,
dan Dayak; (3) desa-desa yang penduduknya bercocoktanam padi di sawah atau
ladang dengan struktur sosial yang kompleks, serta berhubungan dengan kota-kota
kecil yang pernah menjadi pusat kolonial Belanda. Di sini tidak dipengaruhi
Hindu namun pengaruh Islam amatlah kuat. Contoh daerah ini adalah Aceh,
Minangkabau, dan Makassar; (4) desa yang bertanam padi sawah, dengan struktur
sosial agak kompleks, memiliki hubungan dengan pusat kota-kota bekas penguasa
pribumi dan kolonial Belanda. Masyarakat ini mengalami gelombang pengaruh
Hindu, Islam dan kolonial Belanda kecuali Bali yang tidak bersentuhan dengan
Islam. Contoh tipe ini adalah kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali.
c.
Berdasarkan jenis mata
pencaharian hidup
Pembagian desa di Indonesia berdasarkan
mata pencaharian hidup memiliki pola paralel dalam perkembangannya, sehingga
memengaruhi tipe masyarakat di wilayah tersebut. Pembagian masyarakat berdasar
mata pencaharian hidup misalnya (1) masyarakat bermatapencaharian berburu dan
mencari ikan, seperti yang terdapat pada orang Kubu, orang Sakai, dan orang
Punan; (2) masyarakat berpencaharian pokok peternakan besar yang dikombinasi
dengan pertanian dan perdagangan seperti terdapat di desa-desa Madura, Bali,
Sumba, Sumbawa, dan Timor; (3) masyarakat bermatapencaharian ladang berpindah
dengan dikombinasikan mata pencaharian berburu dan mencari ikan, serta
mengumpulkan hasil hutan yang terdapat di desa-desa Flores, Kalimantan, Irian, Maluku,
Sumatera, dan Timor; (4) masyarakat dengan pola pertanian modern, yang menanam
coklat dan bawang putih di Jawa dan desa-desa di Kalimantan Timur.
d.
Berdasarkan pada
ketinggian
Klasifikasi desa atas dasar ketinggian
dibagi menjadi tiga tipe, yakni (1) daerah pegunungan; (2) daerah dataran
rendah; (3) daerah pesisir. Dataran tinggi dengan hambatan tertentu pada
topografinya memiliki ketergantungan besar pada alam, sehingga memiliki
kebiasaan hidup berbeda dengan daerah dataran rendah. Demikian pula masyarakat
pesisir akan memiliki kebiasaan berbeda dengan masyarakat pegunungan dan sawah
mengingat tantangan mereka berbeda terhadap alam dan mata pencaharian.
(Purnomo, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar