Senin, 03 Desember 2012

PEMBANGUNAN PEDESAAN INDONESIA 1983-1993 (Bagian II)



BAB II
GAMBARAN UMUM PEDESAAN INDONESIA



A.  Etimologi Desa
Desa, berasal dari bahasa Sansekerta yakni desi, dusun, yang berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang merujuk pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta memiliki batasan yang jelas. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung, dusun; (2) udik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (3) tempat, tanah, daerah. Setidaknya dari tiga pengertian ini dapat ditarik tiga unsur penting pembentuk desa, yakni kesatuan, letak sebagai lawan kota, juga daerah atau wilayah. (Purnomo, 2004).
Roucek dan Warren mendefinisikan desa sebagai bentuk yang diteruskan antara penduduknya dengan lembaga mereka di wilayah setempat dimana mereka tinggal, yaitu di ladang-ladang yang “berserak” di kampung yang biasanya menjadi pusat segala aktivitas mereka bersama. Masyarakat di daerah pedesaan berhubungan satu sama lain dengan kunjung mengunjungi, pinjam meminjam alat-alat perlengkapan, bertukar jasa, tolong menolong, atau ikut serta dalam aktivitas-aktivitas sosial. Dalam pengertian yang sama desa didefinisikan sebagai suatu daerah hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan sosial yang hidup serta tinggal menetap di suatu daerah tertentu dengan adat istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pimpinan formil yaitu kepala desa. (Purnomo, 2004).
Lebih lanjut Landis menyatakan jika dipandang dari sudut statistik, pedesaan adalah tempat-tempat dengan jumlah penduduk kurang dari 2.500 orang, kecuali bila disebutkan lain. Kajian psikologi menyatakan bahwa pedesaan adalah daerah-daerah dimana pergaulannya ditandai oleh derajat intensitas yang tinggi, sedangan kota adalah tempat-tempat dimana hubungan sesama individu sangat impersonal (longgar/bersikap acuh). Kajian ekonomi menggarisbawahi pedesaan sebagai daerah yang memusatkan pertanian sebagai pusat perhatian atau kepentingan dalam arti luas. Dari beberapa kajian mengenai pedesaan tersebut, kita dapat melihat beberapa hal yang terkait dengan desa yakni adanya kehidupan bersama, adanya wilayah, adanya pemerintahan, memiliki budaya yang khas dengan pertanian sebagai basis utama ekonominya. (Purnomo, 2004).

B.  Tipologi Desa
1.      Tipologi desa berdasar sejarah kemunculannya
Suhartono membagi babak munculnya pedesaan yang menunjukkan terjadinya perubahan beberapa aspek kehidupan fundamental masyarakat desa.
a.       Desa jaman feodal
Pada jaman feodal sesuai dengan teori milik raja “Vorstendomein” dimana raja memiliki seluruh tanah kerajaan. Dalam pemerintahan ia dibantu oleh poro sentono dan noroprojo yang diangkat berdasarkan status dan askripsi serta mempunyai hak atas tanah lungguh apanage sebagai gaji. Pejabat daerah dibantu oleh bekel untuk mengelola tanah, dan bekel memiliki patuh sebagai petani pekerja tanah. Patuh adalah rumah tangga yang terkadang ditumpangi oleh keluarga atau orang tidak bertanah yang disebut Tlosor. Kebekelan setara dengan desa yang kita kenal saat ini. Patuh berkewajiban untuk menyetor beberapa bagian hasil tanah untuk raja dengan pembagian khusus. Ada pula desa-desa dengan status Perdikan dan Mutihan yang tidak memiliki kewajiban seperti desa pada umumnya. Status ini biasanya diberikan kepada kelompok agama atau orang-orang yang memiliki jasa khusus pada kerajaan. Dalam hal kepatuhan desa ini tetap tunduk pada kekuasaan raja.
b.      Desa jaman kolonial
Pada periode kolonial, hak teori milik raja dihapuskan dengan istilah Hermoving atau reorganizatie pada tahun 1909. Hal itu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tanah perkebunan Belanda yang berkembang pesat, dimana struktur apanage tidak efisien sehingga diperlukan reorganisasi kebekelan, atau lebih tepatnya reorganisasi desa.
c.       Desa pasca kolonial
Pasca kolonial, desa-desa tersebut tidak mengalami perubahan hingga dikeluarkannya aturan tentang pemerintahan desa dalam UU No.5 tahun 1979. Ini merupakan pangkal dari penyeragaman desa-desa di Indonesia. Dengan dikeluarkannya UU No.22 tahun 1999 maka perubahan keduapun terjadi. Desa saat ini merupakan bentukan penguasa, dalam arti kesatuan kekuasaan dapat dipahami. Sementara interaksi sebagai wujud awal dari desa dapat dilihat pada pola dusun.
2.      Tipologi desa berdasar masyarakat dan kebudayaan
Menurut Amri Marzali desa dapat dibagi berdasar masyarakat dan kebudayaannya atas dasar beberapa hal sebagai berikut.
a.       Tipe hukum adat mengacu pada Van Vollenhoven
Klasifikasi ini menyatakan bahwa untuk menentukan daerah dan kelompok-kelompok yang hidup di atasnya menjadi suatu “daerah hukum adat” sendiri. Ada dua kriteria pokok disini, yakni lingkungan geografis atau wilayah, dan kultur atau budaya. Hukum adat atau aturan-aturan adat (aturan-aturan pribumi) yang menyangkut kehidupan masyarakat dan pemerintahan dusun atau desa (rechtgemeenschap), tentang tanah (rechten of grond), tentang kehidupan ekonomi rakyat (schuldenrecth). Berdasar kriteria itulah Vollenhoven membagi Indonesia atas 19 daerah hukum adat. Ia menempatkan hukum adat Indonesia setaraf dengan hukum Barat yang diberlakukan di Indonesia. Ia juga memperjuangkan eksistensi hukum adat untuk dapat hidup dan diakui berlakunya bagi kalangan rakyat pribumi atau dasar anggapan bahwa hukum adat adalah hukum yang paling cocok bagi rakyat Indonesia. (Abdurrahman, 1990).
b.      Berdasarkan sosiokultural bervariasi hasil yang dihasilkannya
Teori dasar yang melandasi klasifikasi ini berasal dari Julian Steward yang digunakan oleh Hildred Geerzt dan Koentjaraningrat. Geertz membagi masyarakat menjadi dua tipe besar yakni (1) masyarakat pedesaan, dan (2) masyarakat perkotaan. Sementara itu Koentjaraningrat membagi menjadi empat tipe yakni (1) desa terpencil struktur sederhana. Pada tipe ini penduduk hidup berkebun ubi dan keladi yang dikonbinasikan dengan berburu dan meramu, dan tidak mendapat pengaruh kebudayaan perunggu, Hindu, dan Islam. Pengaruh luar terutama diperoleh dari zending Kristen. Contoh masyarakat ini adalah kebudayaan Nias, Mentawai, dan Irian Jaya; (2) desa-desa yang memiliki hubungan dengan kota-kota kecil yang dibangun oleh kolonial Belanda, dengan struktur sosial adak kompleks dengan penduduk yang bercocoktanam padi di ladang dan sawah. Masyarakat ini tidak terpengaruh Hindu dan Islam, sehingga hubungan dengan luar lebih banyak dibuka oleh zending Kristen. Contoh masyarakat ini adalah Flores, Ambon, Minahasa, Batak, dan Dayak; (3) desa-desa yang penduduknya bercocoktanam padi di sawah atau ladang dengan struktur sosial yang kompleks, serta berhubungan dengan kota-kota kecil yang pernah menjadi pusat kolonial Belanda. Di sini tidak dipengaruhi Hindu namun pengaruh Islam amatlah kuat. Contoh daerah ini adalah Aceh, Minangkabau, dan Makassar; (4) desa yang bertanam padi sawah, dengan struktur sosial agak kompleks, memiliki hubungan dengan pusat kota-kota bekas penguasa pribumi dan kolonial Belanda. Masyarakat ini mengalami gelombang pengaruh Hindu, Islam dan kolonial Belanda kecuali Bali yang tidak bersentuhan dengan Islam. Contoh tipe ini adalah kebudayaan Jawa, Sunda, dan Bali.

c.       Berdasarkan jenis mata pencaharian hidup
Pembagian desa di Indonesia berdasarkan mata pencaharian hidup memiliki pola paralel dalam perkembangannya, sehingga memengaruhi tipe masyarakat di wilayah tersebut. Pembagian masyarakat berdasar mata pencaharian hidup misalnya (1) masyarakat bermatapencaharian berburu dan mencari ikan, seperti yang terdapat pada orang Kubu, orang Sakai, dan orang Punan; (2) masyarakat berpencaharian pokok peternakan besar yang dikombinasi dengan pertanian dan perdagangan seperti terdapat di desa-desa Madura, Bali, Sumba, Sumbawa, dan Timor; (3) masyarakat bermatapencaharian ladang berpindah dengan dikombinasikan mata pencaharian berburu dan mencari ikan, serta mengumpulkan hasil hutan yang terdapat di desa-desa Flores, Kalimantan, Irian, Maluku, Sumatera, dan Timor; (4) masyarakat dengan pola pertanian modern, yang menanam coklat dan bawang putih di Jawa dan desa-desa di Kalimantan Timur.
d.      Berdasarkan pada ketinggian
Klasifikasi desa atas dasar ketinggian dibagi menjadi tiga tipe, yakni (1) daerah pegunungan; (2) daerah dataran rendah; (3) daerah pesisir. Dataran tinggi dengan hambatan tertentu pada topografinya memiliki ketergantungan besar pada alam, sehingga memiliki kebiasaan hidup berbeda dengan daerah dataran rendah. Demikian pula masyarakat pesisir akan memiliki kebiasaan berbeda dengan masyarakat pegunungan dan sawah mengingat tantangan mereka berbeda terhadap alam dan mata pencaharian. (Purnomo, 2004).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar