Minggu, 16 Desember 2012

SANGKAN PARANING DUMADI Telaah Alur Spiritualisme Jawa (1)


FADHIL NUGROHO ADI
Mahasiswa Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang
0888-6442250

BAB I
PENDAHULUAN



A. Definisi Kebudayaan Secara Umum
Dalam ilmu Antropologi, kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[1] Sementara itu The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [2] Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan, bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2.      Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
3.      Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling konkret.[3]
Sementara itu secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[4] Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[5]
Kebudayaan juga memiliki beberapa cara pandang seperti :
1.      Kebudayaan sebagai Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang dikebangkan di Eropa pada abad XVIII dan awal abad XIX. Gagasan tentang “budaya” mereflekskan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap “kebudayaan” sebagai “peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan, salah satu kebudayaan pasti lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Orang yang menggunakan kata “kebudayaan” dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya bahwa keudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang berbeda disebut sebagai orang yang “tidak berkebudayaan”; bukan sebagai orang “dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak berkebudayaan” dikatakan lebih “alam”, dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan tingkat tinggi untuk menekan pemikiran “manusia alami.”[6]
2.      Kebudayaan sebagai Sudut Pandang Umum
Pemikiran ini menganggap suatu budaya dngan budaya lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan “primitif”.[7]
3.      Kebudayaan sebagai Mekanisme Stabilisasi
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa suatu kebudayaan adalah sebuah prduk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat, disebut dengan tribalisme.[8]
4.      Kebudayaan di antara Masyarakat
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub jebudayaan (atau biasa disebut sub kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya. Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan politik, dan gender.
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika berhadpan dengan migran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli. Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan kebudayaan induk dengan kebudayaan minroitas, seberapa banyak imigran yang datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.[9]
5.      Kebudayaan menurut Wilayah
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi. Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, migrasi, dan agama. Skup wilayah kebudayaan yang menjadi objek cara pandang adalah Afrika, Asia, Australia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara.[10]
B. Kebudayaan Jawa
Secara umum wilayah Jawa mempunyai kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan mobilisasinya untuk menghasilkan produk-produk pertanian. Dengan jumlah penduduk yang banyak itu maka institusi-institusi pendidikan juga banyak bermunculan di Jawa terutama perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak pelajar dan mahasiswa dari luar Jawa. Mereka lantas menyerap unsur-unsur tertentu dari kebudayaan Jawa, baik dalam hal adat-kebiasaan dan bahasa. Akibat berupa “keberterimaan Budaya Jawa” itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui kiat-kiat khusus) menjadi “kebersamaan antarsuku bangsa”.[11] Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan peneliti Jawa yang berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dari wangsa-wangsa pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditengarai juga mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan bukti-bukti yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah memiliki unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi, ilmu perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem pranata sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta metrum dan sastra mantra.[12] Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide “Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumnya dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[13] Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua kebudayaan suku bangsa di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini masing-masing memiliki kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah perkembangannya berbeda-beda. Masing-masing berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk perkembangan kreatif di dalamnya.
Masyarakat Jawa juga memiliki kaidah-kaidah dasar kehidupan, dimana menurut Hildred Geerzt terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama adalah bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip pertama oleh Franz Magnis Suseno disebut dengan prinsip kerukunan, prinsip kedua disebut dengan prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi dan selalu disadari oleh orang Jawa.[14] Dalam prinsip kerukunan, prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertntangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Dua segi tuntunan kerukunan, pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan pada penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan sendirinya selama tidak diganggu.[15] Dalam prinsip hormat, kaidah inilah yang memainkan peranan besar dalam mengatur pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Mengikuti aturan-aturan tata krama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau kebapaan yang tepat, adalah amat penting. Wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat, dengan demikian setiap individu merasa terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang hormat akan menimbulkan rasa yang tidak enak. Sikap hormat dan sikap-sikap yang berhubungan dengannya berkembang dengan jelas dalam kalangan masyarakat di mana hidup sehari-hari sangt dipengaruhi oleh struktur-struktur hirarkis, yaitu dalam kalangan priyayi yang secara tradisional berpedoman pada keraton. Sedangkan dalam lingkungan desa dengan struktur dasar yang egaliter sikap-sikap itu tidak memainkan peranan yang begitu besar, sebagaimana juga dalam kelas-kelas yang bekerja dengan tangan.[16]
C. Rumusan Masalah
            Berdasar latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari makalah yang mengambil judul “Sangkan Paraning Dumadi : Telaah Alur Spiritualisme Jawa” adalah :
1.      Bagaimana konsepsi agama Jawi dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa?
2.      Bagaimana konsepsi daur hidup masyarakat Jawa dari segi tradisi dan kepercayaan Kejawen?
3.      Bagaimana keyakinan masyarakat Jawa terhadap alam roh dan alam gaib?
D. Tujuan Penulisan
rumusan masalah dari makalah yang mengambil judul “Sangkan Paraning Dumadi : Telaah Alur Spiritualisme Jawa” adalah :
1.      Menjelaskan konsepsi agama Jawi dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
2.      Menjelaskan konsepsi daur hidup masyarakat Jawa dari segi tradisi dan kepercayaan Kejawen.
3.      Menjelaskan keyakinan masyarakat Jawa terhadap alam roh dan alam gaib.



[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hlm. 180.
[2] Yan Mujianto, dkk. Pengantar Ilmu Budaya, (Yogyakarta: Pelangi Publishing, 2120), hlm. 1.
[3] Koentjaraningrat, op.cit., hlm. 188.
[4] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 11.
[5] ibid., hlm. 13-19.
[6] ibid., hlm. 5-6
[7] Yan Mujianto, dkk., op.cit., hlm. 7.
[8] ibid.
[9] ibid., hlm. 8.
[10] Yan Mujianto, op.cit., hlm. 9-10
[11]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 389.
[12] Ki Sondong Mandali, Bawarasa Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010), hlm. 14.
[13]Ki Sondong Mandali,  op.cit., hlm. 18.
[14] Djoko Nugroho Witjaksono, dkk., Menyimak Budaya Jawa Tengah, (Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kanwil Provinsi Jawa Tengah, 1995), hlm. 34.
[15] ibid., hlm. 35
[16] Djoko Nugroho Witjaksono, dkk., op.cit., hlm. 39.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar