FADHIL NUGROHO ADI
Mahasiswa Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang
0888-6442250
BAB I
PENDAHULUAN
A. Definisi Kebudayaan Secara Umum
Dalam ilmu Antropologi, kebudayaan diartikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat ang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.[1]
Sementara itu The American Herritage
Dictionary mengartikan kebudayaan sebagai suatu keseluruhan dari pola
perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial, serta agama, kelembagaan,
dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu kelompok manusia. [2]
Koentjaraningrat menambahkan bahwa kebudayaan memiliki tiga wujud, antara lain:
1.
Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan dan sebagainya. Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan,
bersifat abstrak, dan hidup dalam alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan bersangkutan itu hidup.
2.
Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam
masyarakat. Wujud ini biasa disebut sebagai social
system dan terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia-manusia yang
berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan yang lain serta bersifat
konkret karena terjadi di sekeliling kita dan bisa diobservasi, difoto, dan
didokumentasi.
3.
Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ini disebut sebagai kebudayaan
fisik, dan tak memerlukan banyak penjelasan. Hal ini disebabkan benda-benda
tersebut merupakan manifestasi dari seluruh total dari hasil fisik dari
aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga
sifatnya paling konkret.[3]
Sementara itu
secara umum, tidak jauh berbeda dengan Koentjaraningrat, J.J. Hoenigman membagi
wujud kebudayaan menjadi gagasan, aktivitas, dan artefak.[4]
Unsur-unsur kebudayaan yang lebih sering dikenal sebagai unsur kebudayaan
universal meliputi peralatan dan perlengkapan hidup (teknologi), sistem mata
pencaharian hidup, sistem kekerabatan dan organisasi sosial, bahasa, sistem
ilmu dan pengetahuan, kesenian, dan sistem kepercayaan.[5]
Kebudayaan juga
memiliki beberapa cara pandang seperti :
1.
Kebudayaan sebagai
Peradaban
Saat ini, kebanyakan orang memahami gagasan “budaya” yang
dikebangkan di Eropa pada abad XVIII dan awal abad XIX. Gagasan tentang
“budaya” mereflekskan adanya ketidakseimbangan antara kekuatan Eropa dan
kekuatan daerah-daerah yang dijajahnya. Mereka menganggap “kebudayaan” sebagai
“peradaban” sebagai lawan kata dari “alam”. Menurut cara pikir ini, kebudayaan
satu dengan kebudayaan lain dapat diperbandingkan, salah satu kebudayaan pasti
lebih tinggi dari kebudayaan lainnya. Orang yang menggunakan kata “kebudayaan”
dengan cara ini tidak percaya ada kebudayaan lain yang eksis; mereka percaya
bahwa keudayaan hanya ada satu dan menjadi tolak ukur norma dan nilai di
seluruh dunia. Menurut cara pandang ini, seseorang yang memiliki kebiasaan yang
berbeda disebut sebagai orang yang “tidak berkebudayaan”; bukan sebagai orang
“dari kebudayaan yang lain.” Orang yang “tidak berkebudayaan” dikatakan lebih
“alam”, dan para pengamat seringkali mempertahankan elemen dari kebudayaan
tingkat tinggi untuk menekan pemikiran “manusia alami.”[6]
2.
Kebudayaan sebagai
Sudut Pandang Umum
Pemikiran ini menganggap suatu budaya dngan budaya
lainnya memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing. Karenanya, budaya tidak
dapat diperbandingkan. Meskipun begitu, gagasan ini masih mengakui adanya
pemisahan antara “berkebudayaan” dengan “tidak berkebudayaan” atau kebudayaan
“primitif”.[7]
3.
Kebudayaan sebagai
Mekanisme Stabilisasi
Teori-teori yang ada saat ini menganggap bahwa suatu
kebudayaan adalah sebuah prduk dari stabilisasi yang melekat dalam tekanan
evolusi menuju kebersamaan dan kesadaran bersama dalam suatu masyarakat,
disebut dengan tribalisme.[8]
4.
Kebudayaan di
antara Masyarakat
Sebuah kebudayaan besar biasanya memiliki sub jebudayaan
(atau biasa disebut sub kultur), yaitu sebuah kebudayaan yang memiliki sedikit
perbedaan dalam hal perilaku dan kepercayaan dari kebudayaan induknya.
Munculnya sub-kultur disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya karena
perbedaan umur, ras, etnisitas, kelas, aesthetik, agama, pekerjaan, pandangan
politik, dan gender.
Ada beberapa cara yang dilakukan masyarakat ketika
berhadpan dengan migran dan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan asli.
Cara yang dipilih masyarakat tergantung pada seberapa besar perbedaan
kebudayaan induk dengan kebudayaan minroitas, seberapa banyak imigran yang
datang, watak dari penduduk asli, keefektifan dan keintensifan komunikasi antar
budaya, dan tipe pemerintahan yang berkuasa.[9]
5.
Kebudayaan menurut
Wilayah
Seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi, hubungan
dan saling keterkaitan kebudayaan-kebudayaan di dunia saat ini sangat tinggi.
Selain kemajuan teknologi dan informasi, hal tersebut juga dipengaruhi oleh
faktor ekonomi, migrasi, dan agama. Skup wilayah kebudayaan yang menjadi objek
cara pandang adalah Afrika, Asia, Australia, Eropa, Timur Tengah, dan Afrika
Utara.[10]
B. Kebudayaan
Jawa
Secara
umum wilayah Jawa mempunyai kekuatan pada jumlah penduduk dan kemungkinan
mobilisasinya untuk menghasilkan produk-produk pertanian. Dengan
jumlah penduduk yang banyak itu maka institusi-institusi pendidikan juga banyak
bermunculan di Jawa terutama perguruan-perguruan tinggi dan menampung banyak
pelajar dan mahasiswa dari luar Jawa. Mereka lantas
menyerap unsur-unsur tertentu dari kebudayaan Jawa, baik dalam hal
adat-kebiasaan dan bahasa. Akibat berupa “keberterimaan
Budaya Jawa” itu pada gilirannya dapat digerakkan (melalui kiat-kiat khusus)
menjadi “kebersamaan antarsuku bangsa”.[11] Jika ditarik secara historis, banyak para ahli dan
peneliti Jawa yang berpendapat bahwa peradaban Jawa merupakan “turunan” dari
wangsa-wangsa pendatang pembawa ajaran agama Hindu dan Buddha yang ditengarai
juga mengenalkan sistem keagamaan. Akan tetapi teori tersebut dibantah dengan bukti-bukti
yang menguatkan bahwa jauh sebelum Hindu-Buddha datang, Jawa telah memiliki
unsur-unsur budaya asli seperti budaya bercocoktanam yang beririgasi, ilmu
perbintangan, teknik peralatan atau perkakas logam dan batu, sistem pranata
sosial dan pemerintahan yang teratur, sistem religi, mitologi dan
spiritualisme, seni budaya berupa wayang, gamelan, batik, dan keris, serta
metrum dan sastra mantra.[12]
Ideologi Jawa yang menjadi titik pertemuan peradaban Jawa adalah ide
“Panunggalan Semesta” dengan struktur sistem “pancer macapat”. Ide panunggalan
ini merupakan wacana penting guna menelisik peradaban Jawa yang pada umumnya
dianggap sarat dengan misteri dan “tidak logis”.[13]
Akan tetapi pada intinya, kebudayaan Jawa, maupun semua kebudayaan suku bangsa
di Indonesia, dalam tata budaya Indonesia dewasa ini masing-masing memiliki
kedudukan yang sederajat, walaupun sejarah perkembangannya berbeda-beda. Masing-masing
berhak dilestarikan eksistensinya dengan memberikan peluang untuk perkembangan
kreatif di dalamnya.
Masyarakat Jawa juga memiliki
kaidah-kaidah dasar kehidupan, dimana menurut Hildred Geerzt terdapat dua
kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah
pertama adalah bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian
rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kaidah kedua, menuntut agar
manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip pertama
oleh Franz Magnis Suseno disebut dengan prinsip kerukunan, prinsip kedua
disebut dengan prinsip hormat. Kedua prinsip itu merupakan kerangka normatif
yang menentukan bentuk-bentuk konkret semua interaksi dan selalu disadari oleh
orang Jawa.[14]
Dalam prinsip kerukunan, prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan
masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Keadaan semacam itu disebut rukun.
Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang tenteram”, “tanpa
perselisihan dan pertntangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Dua
segi tuntunan kerukunan, pertama, dalam pandangan Jawa masalahnya bukan pada
penciptaan keadaan keselarasan sosial, melainkan lebih untuk tidak mengganggu
keselarasan yang diandaikan sudah ada. Dalam perspektif Jawa, ketenangan dan
keselarasan sosial merupakan keadaan normal yang akan terdapat dengan
sendirinya selama tidak diganggu.[15]
Dalam prinsip hormat, kaidah inilah yang memainkan peranan besar dalam mengatur
pola interaksi dalam masyarakat Jawa. Prinsip ini mengatakan bahwa setiap orang
dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat
terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Mengikuti
aturan-aturan tata krama yang sesuai, dengan mengambil sikap hormat atau
kebapaan yang tepat, adalah amat penting. Wedi,
isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang
mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap
tuntutan-tuntutan prinsip hormat, dengan demikian setiap individu merasa
terdorong untuk selalu mengambil sikap hormat, sedangkan kelakuan yang kurang
hormat akan menimbulkan rasa yang tidak enak. Sikap hormat dan sikap-sikap yang
berhubungan dengannya berkembang dengan jelas dalam kalangan masyarakat di mana
hidup sehari-hari sangt dipengaruhi oleh struktur-struktur hirarkis, yaitu
dalam kalangan priyayi yang secara tradisional berpedoman pada keraton.
Sedangkan dalam lingkungan desa dengan struktur dasar yang egaliter sikap-sikap
itu tidak memainkan peranan yang begitu besar, sebagaimana juga dalam
kelas-kelas yang bekerja dengan tangan.[16]
C. Rumusan
Masalah
Berdasar
latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dari makalah yang mengambil judul
“Sangkan Paraning Dumadi : Telaah Alur Spiritualisme Jawa” adalah :
1.
Bagaimana konsepsi
agama Jawi dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa?
2.
Bagaimana konsepsi
daur hidup masyarakat Jawa dari segi tradisi dan kepercayaan Kejawen?
3.
Bagaimana keyakinan
masyarakat Jawa terhadap alam roh dan alam gaib?
D. Tujuan Penulisan
rumusan masalah dari makalah yang mengambil judul
“Sangkan Paraning Dumadi : Telaah Alur Spiritualisme Jawa” adalah :
1.
Menjelaskan
konsepsi agama Jawi dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
2.
Menjelaskan
konsepsi daur hidup masyarakat Jawa dari segi tradisi dan kepercayaan Kejawen.
3.
Menjelaskan
keyakinan masyarakat Jawa terhadap alam roh dan alam gaib.
[11]Edi Sedyawati, Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2010), hlm. 389.
[12] Ki Sondong Mandali, Bawarasa
Kawruh Kejawen Ngelmu Urip, (Semarang: Yayasan Sekar Jagad, 2010), hlm. 14.
[14] Djoko Nugroho Witjaksono, dkk., Menyimak Budaya Jawa Tengah, (Semarang: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Kanwil Provinsi Jawa Tengah, 1995), hlm. 34.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar