Senin, 03 Desember 2012

PEMBANGUNAN PEDESAAN INDONESIA 1983-1993 (Bagian IV-Habis)



C.  Terobosan-Terobosan Pedesaan di Luar Jawa Era Orde Baru
1.      Sumatera Barat
Ketika PELITA mulai merambah desa-desa di Sumatera Barat, pembaruan lebih ditekankan pada struktur pemerintahan lingkup terkecil, yakni desa. Hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh pepatah adat yang masih dipegang teguh masyarakat pedesaan Sumatera Barat yakni salingkuang nagari, pusako salingkuang, yang berarti “nagari (desa) berhak mengatur dirinya sendiri”. Terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979 telah mengatur struktur Pemerintahan Desa yang terdiri atas Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa serta mengatur struktur pemerintahan keluarahan yang terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan. Struktur pemerintahan yang diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 155/GSB/1974 relevan untuk dijadikan ukuran dalam menentukan pengaruh PELITA di bidang pemerintahan desa. Surat Keputusan Gubernur Nomor 015/GSB/1968 yang mengatur tentang pokok Pemerintahan Nagari dan berlaku sejak pra PELITA sampai dengan PELITA I saat itu hanya dijadikan sebagai bahan perbandingan. Kemudian menurut SK Gubernur Nomor 155/GSB/1974, struktur pemerintahan Nagari terdiri atas Wali Nagari, Dewan Perwakilan Nagari, dan Kerapatan Nagari, jelas memiliki perbedaan yang menonjol. Dalam SK Gubernur Nomor 155/GSB/1974, Kerapatan Nagari tidak saja berfungsi sebagai Lembaga Peradilan dan Penasehat Wali Nagari tetapi juga sebagai Badan Legislatif. Hal ini berbeda dengan keputusan sebelumnya, SK Gubernur Nomor 015/GSB/1968 Kerapatan Nagari merupakan Peradilan Agama dan Adat serta penasehat Wali Nagari dan Pemerintahan Nagari hanya terdiri atas Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Nagari. SK Gubenrur Nomor 155/GSB/1974 juga dianggap lebih baik ketimbang Peraturan Daerah Nomor 2/Desa/GSB/Prt-1963 yang terdiri atas alat pemerintahan Nagari. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi politik dan pemerintahan pada waktu itu yang didasarkan pada MANIPOL dan USDEK. Struktur tersebut kurang memperoleh dukungan dari masyarakat sehingga tidak memiliki pengaruh dan wibawa terhadap anggota masyarakat.
Dalam hal aplikasi sistem demokrasi, masyarakat pedesaan Sumatera Barat, dengan tetap berdasarkan  SK Gubernur No. 015/GSB/1968, Wali Nagari dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dibentuk berdasarkan pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Persyaratan seseorang untuk dapat diangkat sebagai Wali Nagari atau Kepala Nagari pada zaman Orde Baru adalah latar belakang pendidikan berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan dan berpengalaman yang sederajat dengan itu. Sistem demokrasi dalam cara pemilihan aparat pemerintah Nagari ini dianggap mendorong masyarakat dalam bekerja secara bersungguh-sungguh dan mengambil peranan dalam segala sektor pembangunan terutama dari kalangan generasi muda. Di pedesaan juga dapat ditemui peningkatan jumlah organisasi non-politik. Hampir di seluruh sektor kehidupan baik sosial, ekonomi maupun budaya,  masyarakat turut berpartisipasi dalam organisasi tertentu. Terutama sekali generasi muda yang ikut aktif dalam perkumpulan olahraga, kesenian, koperasi dan organisasi kewanitaan. Pada umumnya, organisasi non-politik ini berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan sosial budaya masyarakat setempat. (Martamin, 1984).
2.      Bali
Di Bali, terobosan-terobosan nampak begitu jelas terlihat pada beberapa aspek. Sebut saja pada aspek pendidikan. Beberapa desa dari beberapa kabupaten di Bali, semisal Desa Tuwed, Desa Loloan Barat, dan Desa Yeh Embang di Kabupaten Jembrana; Desa Rejasa, Desa Buahan, dan Desa Baturiti di Kabupaten Tabanan; Desa Padangsambian, Desa Angantaka dan Desa Sempidi di Kabupaten Badung; serta Desa Ban, Desa Tumbu, dan Desa Nyuh Tebet di Kabupaten Karangasem, telah memiliki banyak sekolah-sekolah dasar, dan beberapa sekolah menengah. Tak menutup ruang juga bagi taman kanak-kanak dan Kelompok Belajar Pengetahuan Dasar (KBPD) dan Kelompok Belajar Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (KBPKK).
Pada bidang Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, organisasi ini mulai menunjukkan kiprahnya di setiap kabupaten di Bali. Berikut kiprah masing-masing PKK dari masing-masing kabupaten di Bali.
a.       Kabupaten Jembrana, belum terdapat kegiatan PKK yang menonjol di Tuwed. Kegiatan yang ada ialah di bidang peningkatan keahlian ibu-ibu di dalam berrumah tangga. Di Loloan Barat kegiatannya adalah di bidang jahit menjahit, tetapi masih dalam tahap permulaan. Sementara di Yeh Embang kegiatannya terdiri atas arisan, penataan lingkungan, pembentukan dana sehat dengan menanam pohon mangga, pisang, dan jeruk di tanah anggota yang kosong dan hasilnya untuk dana sehat.
b.      Kabupaten Tabanan, sama dengan Kabupaten Jembrana bahwa belum ada kegiatan yang menonjol. Di Desa Rejasa dan Buahan baru dalam taraf mengenal organisasi serta tugas-tugas PKK. Di Desa Baturiti sudah diadakan kursus bordir, yang sekaligus menambah lapangan kerja bagi anggota PKK.
c.       Kabupaten Badung menyelenggarakan arisan tiap bulan dengan iuran Rp 10.000,00 dan diadakan di Desa Padangsambian. Di Desa Sempidi, kegiatan yang dilakukan cukup aktif seperti kebersihan lingkungan dan arisan uang maupun barang, serta kegiatan jahit menjahit.
d.      Kabupaten Karangasem
Kegiatan PKK di Desa Ban baru dalam tahap permulaan, yaitu mengadakan kursus menjahit. Demikian pula di Desa Tumbu yang baru dimulai dengan mengadakan kursus-kursus keterampilan rumah tangga. PKK di Desa Nyuh Tebel memiliki cukup banyak kegiatan seperti memberikan kursus keterampilan membuat masakan, kursus keterampilan sebagai ibu rumah tangga, dan ikut aktif dalam mempelopori pendirian sekolah Taman Kanak-Kanak. (Agung, 1985).
            Pada aspek ekonomi, penduduk desa masing-masing kabupaten juga memiliki orientasinya sendiri-sendiri.
a.       Kabupaten Jembrana
80% penduduk desa Tuwed adalah petani. Mereka juga banyak yang menjadi buruh dan pedagang. Sebagiannya lagi menjadi petani kelapa, sebab hampir seluruh penduduk Jembrana memiliki pohon kelapa. Sedangkan penduduk desa Loloan Barat sebagian besar hidup dari berdagang dan menjadi nelayan. Mereka juga ada yang menjadi tukang, buruh, dan pegawai. Di Desa Yeh Embang, mata pencaharian lebih banyak dibanding desa yang lain. Sebagian besar penduduk menjadi petani penggarap, tukang, pegawai negeri, pengrajin, nelayan, buruh, dagang, pegawai swasta dan ABRI.



b.      Kabupaten Tabanan
Penduduk desa Rejasa sebagian besar hidup bertani. Di samping itu juga menjadi peternak dan memelihara ikan. Di Desa Rejasa terdapat 100 buah kolam ikan. Penduduk desa Buahan ada 80% bekerja sebagai petani. Di samping itu ada pula yang menjadi pegawai negeri atau swasta sekitar 200 orang. Sementara di Baturiti sebagian besar berprofesi sebagai petani penggarap yaitu 756 orang, sebagai tukang rumah 82 orang, buruh tani 64 orang, dan pedagang 74 orang.
c.       Kabupaten Badung
Penduduk desa Padangsambian sebagian besar bekerja sebagai petani dan menjadi buruh. Di samping itu, mereka juga berprofesi sebagai pedagang, tukang, dan menjadi pegawai baik swasta maupun negeri. Penduduk desa Sempidi sebagian besar bertani, menjadi tukang, pedagang, buruh tani, pegawai, dan petani penyakap. Penduduk Angantaka sebagian besar juga hidup dari bertani. Mata pencaharian lainnya adalah buruh, tukang dagang dan menjadi pegawai.
d.      Kabupaten Karangasem
Penduduk desa Ban seluruhnya berprofesi sebagai petani, terutama petani jeruk. Mata pencaharian lainnya, yaitu sebagai pedagang 10 orang, pegawai 18 orang, dan nelayan 3 orang. Penduduk desa Tumbu kebanyakan berprofesi sebagai petani penggarap. Mata pencaharian lainnya adalah pengrajin, tukang, pedagang, buruh, pegawai negeri, dan ABRI sebanyak 32 orang. Penduduk desa Nyuh Tebel yang paling banyak hidup sebagai buruh selain pekerjaan seperti petani, pedagang, pegawai, tukang, dan nelayan.
3.      Sulawesi Selatan
      Di Sulawesi Selatan, kebanyakan masyarakat pedesaan di sana bercocoktanam dengan memanfaatkan lahan kering. Dalam pengelolaan tanah sawah, mereka masih menggunakan cara tradisional yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan mereka tidak mempunyai kemampuan baik kemampuan ekonomi maupun pengetahuan untuk mengembangkan dan memasukkan input teknologi baru. Sistem pertanian lahan kering banyak terdapat di Sulawesi Selatan dan dapat dipisahkan seperti berikut.
a.       Lahan kering untuk tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan dan ternak kecil termasuk kambing dan unggas.
b.      Lahan kering yang digunakan untuk usaha tanaman bahan makanan, tanaman perkebunan dan ternak besar termasuk sapi dan kerbau.
      Di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, lahan kering memegang peranan penting dalam kehidupan penduduk di daerah pedesaan. Lahan kering di daerah ini pada umumnya dimanfaatkan untuk penanaman padi ladang, berbagai tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, dan areal peternakan. Produksi pertanian lahan kering ini pada umumnya dilakukan dalam pola tanam campuran. Pada suatu areal yang sama digunakan untuk penanaman berbagai jenis tanaman pangan, baik dalam pola tanam campuran maupun dengan sistem pergiliran tanaman. Berikut data mengenai produksi padi di Kabupaten Takalar pada tahun 1978 hingga 1983.
Tahun
Padi Sawah
Padi Ladang
Luas Panen (Ha)
Produksi (ton)
Luas Panen (Ha)
Produksi (ton)
1979
16.716
59.516,63
333
652,35
1980
16.342
59.895,47
340
785,00
1981
16.636
64.518,61
475
984,72
1982
16.153
120.294,05
460
901,96
1983
10.655
64.292,54
445
588,00
Sumber : Laporan Tahunan 1983/1984 akhir tahun Repelita III. Dinas Pertanian Pangan (April 1984)
        Dari angka-angka perkembangan produksi padi sawah dan padi aldang tersebut dapat dilihat bahwa pertambahan luas panen padi ladang lebih besar dibanding padi sawah. Hal ini disebabkan areal yang sesuai untuk usaha pertanian sawah sangat terbatas, baik karena faktor pembatas topografi maupun oleh faktor iklim. Areal yang datar dan terjangkau pengairan sangat terbaats, sehingga areal yang sesuai untuk perusahaan tidak akan diperluas lagi. Di lain pihak, akibat pertambahan penduduk, kebutuhan akan bahan makanan terutama beras semakin meningkat. Salah satu alternatif perluasan areal penanaman padi ini adalah lahan kering.
        Berbagai cara dilakukan untuk menanam padi di lahan  kering ini. Ada yang menanam padi di antara tanaman buah-buahan atau palawija, dan bahkan ada pula usaha untuk mencari bibit unggul untuk lahan kering. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan areal pertanian pada akhirnya mengarah ke lahan kering. Implikasinya adalah pendapatan dari para petani yang membudidayakan usaha pertanian pada lahan kering. Memang benar bahwa pendapatan dari usaha pertanian lahan kering belum dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka. Pendapatan dari lahan kering masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan dari sawah. Hal ini terutama disebabkan oleh sistem penanganan usaha tani lahan kering yang belum seintensif pertanian sawah. Oleh karena itu, apabila diringankan adanya perbaikan pendapatan petani lahan kering, maka penanganan usaha pertanian lahan kering harus dilakukan secara lebih intensif dan lebih bersungguh-sungguh. Hal ini perlu segera dilakukan mengingat sifat lahan kering yang peka terhadap sistem pengolahan yang tidak tepat. Sistem pengolahan yang tidak tepat pada lahan kering akan menyebabkan terjadinya kemunduran kesuburan tanah yang cepat sehingga produktivitasnya juga akan cepat menurun, dan selanjutnya akan memerlukan dana yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang lama untuk perbaikannya. (Mubyarto, 1993).
           


BAB IV
SIMPULAN



            Pembangunan pedesaan pada masa Orde Baru setidaknya memberikan satu alternatif pemecahan masalah yang selama ini dianggap mengendap dan menjadi faktor penghambat bagi kemajuan masyarakat desa. Tidak dipungkiri memang jika sikap menghambat masih dimiliki oleh masyarakat desa. Akan tetapi dengan adanya beberapa kebijakan yang berusaha untuk mendorong masyarakat desa, ke-skeptis-an mereka perlahan mengendur. Hal ini terlihat dari keberterimaan mereka terhadap teknologi modern. Teknologi modern yang “membantu” menyederhanakan pekerjaan mereka justru membuat mereka mencari lapangan pekerjaan di sektor lain untuk meningkatkan pendapatan mereka. Artinya bahwa, kemajuan teknologi tidak lantas membuat mereka mencukupkan diri atas konsep baru yang belum mereka kenali, namun mendorong mereka untuk lebih giat mencari penghasilan dari berbagai sumber. Usaha-usaha ini hampir menyebar di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Bali, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Inovasi yang mereka rintis bukan menjadikan mereka mundur, namun justru menjadikan mereka sebagai masyarakat desa yang lebih maju. Tentu hal ini berdampak positif ketika Indonesia menyambut masa reformasi, dimana pembaruan desa semakin diperhatikan. Bagaimanapun juga tetap ada beberapa sisi negatif dari pelaksanaan pembaruan pedesaan pada masa Orde Baru. Akan tetapi sikap masyarakat yang mau terbuka terhadap pembaruan adalah lebih baik ketimbang kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada mereka.


DAFTAR PUSTAKA



Abdurrahman. 1990. Tentang dan Sekitar UUPA. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Agung, A.A. Gde Putra, dkk. 1985. Sejarah Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Bali. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Daldjoeni, N., A. Suyitno. 2004. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung : PT. Alumni.
Martamin, Marjani, dkk. 1984. Sejarah Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mubyarto. 1993. Peluang Kerja dan Berusaha di Pedesaan. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.
Purnomo, Mangku. 2004. Pembaruan Desa: Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar