C. Terobosan-Terobosan Pedesaan di Luar Jawa Era
Orde Baru
1.
Sumatera Barat
Ketika PELITA mulai merambah
desa-desa di Sumatera Barat, pembaruan lebih ditekankan pada struktur
pemerintahan lingkup terkecil, yakni desa. Hal ini salah satunya
dilatarbelakangi oleh pepatah adat yang masih dipegang teguh masyarakat
pedesaan Sumatera Barat yakni salingkuang
nagari, pusako salingkuang, yang berarti “nagari (desa) berhak mengatur
dirinya sendiri”. Terbitnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1979
telah mengatur struktur Pemerintahan Desa yang terdiri atas Kepala Desa dan
Lembaga Musyawarah Desa serta mengatur struktur pemerintahan keluarahan yang
terdiri atas Kepala Kelurahan dan Perangkat Kelurahan. Struktur pemerintahan
yang diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Nomor 155/GSB/1974 relevan untuk
dijadikan ukuran dalam menentukan pengaruh PELITA di bidang pemerintahan desa.
Surat Keputusan Gubernur Nomor 015/GSB/1968 yang mengatur tentang pokok
Pemerintahan Nagari dan berlaku sejak pra PELITA sampai dengan PELITA I saat
itu hanya dijadikan sebagai bahan perbandingan. Kemudian menurut SK Gubernur
Nomor 155/GSB/1974, struktur pemerintahan Nagari terdiri atas Wali Nagari,
Dewan Perwakilan Nagari, dan Kerapatan Nagari, jelas memiliki perbedaan yang
menonjol. Dalam SK Gubernur Nomor 155/GSB/1974, Kerapatan Nagari tidak saja
berfungsi sebagai Lembaga Peradilan dan Penasehat Wali Nagari tetapi juga
sebagai Badan Legislatif. Hal ini berbeda dengan keputusan sebelumnya, SK
Gubernur Nomor 015/GSB/1968 Kerapatan Nagari merupakan Peradilan Agama dan Adat
serta penasehat Wali Nagari dan Pemerintahan Nagari hanya terdiri atas Wali
Nagari dan Dewan Perwakilan Nagari. SK Gubenrur Nomor 155/GSB/1974 juga
dianggap lebih baik ketimbang Peraturan Daerah Nomor 2/Desa/GSB/Prt-1963 yang
terdiri atas alat pemerintahan Nagari. Hal ini disebabkan situasi dan kondisi
politik dan pemerintahan pada waktu itu yang didasarkan pada MANIPOL dan USDEK.
Struktur tersebut kurang memperoleh dukungan dari masyarakat sehingga tidak
memiliki pengaruh dan wibawa terhadap anggota masyarakat.
Dalam hal aplikasi sistem
demokrasi, masyarakat pedesaan Sumatera Barat, dengan tetap berdasarkan SK Gubernur No. 015/GSB/1968, Wali Nagari dan
Dewan Perwakilan Rakyat Nagari dibentuk berdasarkan pemilihan yang bersifat langsung,
umum, bebas, dan rahasia. Persyaratan seseorang untuk dapat diangkat sebagai
Wali Nagari atau Kepala Nagari pada zaman Orde Baru adalah latar belakang
pendidikan berijazah Sekolah Lanjutan Pertama atau yang berpengetahuan dan
berpengalaman yang sederajat dengan itu. Sistem demokrasi dalam cara pemilihan
aparat pemerintah Nagari ini dianggap mendorong masyarakat dalam bekerja secara
bersungguh-sungguh dan mengambil peranan dalam segala sektor pembangunan
terutama dari kalangan generasi muda. Di pedesaan juga dapat ditemui
peningkatan jumlah organisasi non-politik. Hampir di seluruh sektor kehidupan
baik sosial, ekonomi maupun budaya,
masyarakat turut berpartisipasi dalam organisasi tertentu. Terutama
sekali generasi muda yang ikut aktif dalam perkumpulan olahraga, kesenian,
koperasi dan organisasi kewanitaan. Pada umumnya, organisasi non-politik ini
berkembang sesuai dengan keadaan lingkungan sosial budaya masyarakat setempat.
(Martamin, 1984).
2.
Bali
Di
Bali, terobosan-terobosan nampak begitu jelas terlihat pada beberapa aspek.
Sebut saja pada aspek pendidikan. Beberapa desa dari beberapa kabupaten di
Bali, semisal Desa Tuwed, Desa Loloan Barat, dan Desa Yeh Embang di Kabupaten
Jembrana; Desa Rejasa, Desa Buahan, dan Desa Baturiti di Kabupaten Tabanan;
Desa Padangsambian, Desa Angantaka dan Desa Sempidi di Kabupaten Badung; serta
Desa Ban, Desa Tumbu, dan Desa Nyuh Tebet di Kabupaten Karangasem, telah
memiliki banyak sekolah-sekolah dasar, dan beberapa sekolah menengah. Tak
menutup ruang juga bagi taman kanak-kanak dan Kelompok Belajar Pengetahuan
Dasar (KBPD) dan Kelompok Belajar Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (KBPKK).
Pada
bidang Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, organisasi ini mulai menunjukkan
kiprahnya di setiap kabupaten di Bali. Berikut kiprah masing-masing PKK dari
masing-masing kabupaten di Bali.
a.
Kabupaten Jembrana, belum terdapat kegiatan PKK yang menonjol
di Tuwed. Kegiatan yang ada ialah di bidang peningkatan keahlian ibu-ibu di
dalam berrumah tangga. Di Loloan Barat kegiatannya adalah di bidang jahit
menjahit, tetapi masih dalam tahap permulaan. Sementara di Yeh Embang
kegiatannya terdiri atas arisan, penataan lingkungan, pembentukan dana sehat
dengan menanam pohon mangga, pisang, dan jeruk di tanah anggota yang kosong dan
hasilnya untuk dana sehat.
b.
Kabupaten Tabanan, sama dengan Kabupaten Jembrana bahwa belum
ada kegiatan yang menonjol. Di Desa Rejasa dan Buahan baru dalam taraf mengenal
organisasi serta tugas-tugas PKK. Di Desa Baturiti sudah diadakan kursus
bordir, yang sekaligus menambah lapangan kerja bagi anggota PKK.
c.
Kabupaten Badung menyelenggarakan arisan tiap bulan dengan
iuran Rp 10.000,00 dan diadakan di Desa Padangsambian. Di Desa Sempidi,
kegiatan yang dilakukan cukup aktif seperti kebersihan lingkungan dan arisan
uang maupun barang, serta kegiatan jahit menjahit.
d.
Kabupaten Karangasem
Kegiatan
PKK di Desa Ban baru dalam tahap
permulaan, yaitu mengadakan kursus menjahit. Demikian pula di Desa Tumbu yang
baru dimulai dengan mengadakan kursus-kursus keterampilan rumah tangga. PKK di
Desa Nyuh Tebel memiliki cukup banyak kegiatan seperti memberikan kursus
keterampilan membuat masakan, kursus keterampilan sebagai ibu rumah tangga, dan
ikut aktif dalam mempelopori pendirian sekolah Taman Kanak-Kanak. (Agung,
1985).
Pada aspek
ekonomi, penduduk desa masing-masing kabupaten juga memiliki orientasinya
sendiri-sendiri.
a.
Kabupaten Jembrana
80% penduduk desa Tuwed adalah petani. Mereka juga banyak
yang menjadi buruh dan pedagang. Sebagiannya lagi menjadi petani kelapa, sebab
hampir seluruh penduduk Jembrana memiliki pohon kelapa. Sedangkan penduduk desa
Loloan Barat sebagian besar hidup dari berdagang dan menjadi nelayan. Mereka
juga ada yang menjadi tukang, buruh, dan pegawai. Di Desa Yeh Embang, mata
pencaharian lebih banyak dibanding desa yang lain. Sebagian besar penduduk
menjadi petani penggarap, tukang, pegawai negeri, pengrajin, nelayan, buruh,
dagang, pegawai swasta dan ABRI.
b.
Kabupaten Tabanan
Penduduk desa Rejasa
sebagian besar hidup bertani. Di samping itu juga menjadi peternak dan
memelihara ikan. Di Desa Rejasa terdapat 100 buah kolam ikan. Penduduk desa
Buahan ada 80% bekerja sebagai petani. Di samping itu ada pula yang menjadi pegawai
negeri atau swasta sekitar 200 orang. Sementara di Baturiti sebagian besar
berprofesi sebagai petani penggarap yaitu 756 orang, sebagai tukang rumah 82
orang, buruh tani 64 orang, dan pedagang 74 orang.
c.
Kabupaten Badung
Penduduk desa Padangsambian sebagian besar bekerja sebagai
petani dan menjadi buruh. Di samping itu, mereka juga berprofesi sebagai
pedagang, tukang, dan menjadi pegawai baik swasta maupun negeri. Penduduk desa
Sempidi sebagian besar bertani, menjadi tukang, pedagang, buruh tani, pegawai,
dan petani penyakap. Penduduk Angantaka sebagian besar juga hidup dari bertani.
Mata pencaharian lainnya adalah buruh, tukang dagang dan menjadi pegawai.
d.
Kabupaten Karangasem
Penduduk desa Ban seluruhnya berprofesi sebagai petani,
terutama petani jeruk. Mata pencaharian lainnya, yaitu sebagai pedagang 10
orang, pegawai 18 orang, dan nelayan 3 orang. Penduduk desa Tumbu kebanyakan
berprofesi sebagai petani penggarap. Mata pencaharian lainnya adalah pengrajin,
tukang, pedagang, buruh, pegawai negeri, dan ABRI sebanyak 32 orang. Penduduk desa
Nyuh Tebel yang paling banyak hidup sebagai buruh selain pekerjaan seperti
petani, pedagang, pegawai, tukang, dan nelayan.
3.
Sulawesi Selatan
Di Sulawesi Selatan, kebanyakan masyarakat pedesaan di sana
bercocoktanam dengan memanfaatkan lahan kering. Dalam pengelolaan tanah sawah, mereka
masih menggunakan cara tradisional yang sangat sederhana. Hal ini disebabkan
mereka tidak mempunyai kemampuan baik kemampuan ekonomi maupun pengetahuan
untuk mengembangkan dan memasukkan input teknologi baru. Sistem pertanian lahan
kering banyak terdapat di Sulawesi Selatan dan dapat dipisahkan seperti
berikut.
a.
Lahan kering untuk tanaman bahan pangan, tanaman perkebunan
dan ternak kecil termasuk kambing dan unggas.
b.
Lahan kering yang digunakan untuk usaha tanaman bahan
makanan, tanaman perkebunan dan ternak besar termasuk sapi dan kerbau.
Di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, lahan kering memegang
peranan penting dalam kehidupan penduduk di daerah pedesaan. Lahan kering di
daerah ini pada umumnya dimanfaatkan untuk penanaman padi ladang, berbagai
tanaman palawija, sayur-sayuran, buah-buahan, dan areal peternakan. Produksi
pertanian lahan kering ini pada umumnya dilakukan dalam pola tanam campuran.
Pada suatu areal yang sama digunakan untuk penanaman berbagai jenis tanaman
pangan, baik dalam pola tanam campuran maupun dengan sistem pergiliran tanaman.
Berikut data mengenai produksi padi di Kabupaten Takalar pada tahun 1978 hingga
1983.
Tahun
|
Padi Sawah
|
Padi Ladang
|
||
Luas Panen (Ha)
|
Produksi (ton)
|
Luas Panen (Ha)
|
Produksi (ton)
|
|
1979
|
16.716
|
59.516,63
|
333
|
652,35
|
1980
|
16.342
|
59.895,47
|
340
|
785,00
|
1981
|
16.636
|
64.518,61
|
475
|
984,72
|
1982
|
16.153
|
120.294,05
|
460
|
901,96
|
1983
|
10.655
|
64.292,54
|
445
|
588,00
|
Sumber : Laporan Tahunan
1983/1984 akhir tahun Repelita III. Dinas Pertanian Pangan (April 1984)
Dari angka-angka
perkembangan produksi padi sawah dan padi aldang tersebut dapat dilihat bahwa
pertambahan luas panen padi ladang lebih besar dibanding padi sawah. Hal ini
disebabkan areal yang sesuai untuk usaha pertanian sawah sangat terbatas, baik
karena faktor pembatas topografi maupun oleh faktor iklim. Areal yang datar dan
terjangkau pengairan sangat terbaats, sehingga areal yang sesuai untuk
perusahaan tidak akan diperluas lagi. Di lain pihak, akibat pertambahan
penduduk, kebutuhan akan bahan makanan terutama beras semakin meningkat. Salah
satu alternatif perluasan areal penanaman padi ini adalah lahan kering.
Berbagai cara
dilakukan untuk menanam padi di lahan
kering ini. Ada yang menanam padi di antara tanaman buah-buahan atau
palawija, dan bahkan ada pula usaha untuk mencari bibit unggul untuk lahan
kering. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan areal pertanian pada akhirnya
mengarah ke lahan kering. Implikasinya adalah pendapatan dari para petani yang
membudidayakan usaha pertanian pada lahan kering. Memang benar bahwa pendapatan
dari usaha pertanian lahan kering belum dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka.
Pendapatan dari lahan kering masih lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan
dari sawah. Hal ini terutama disebabkan oleh sistem penanganan usaha tani lahan
kering yang belum seintensif pertanian sawah. Oleh karena itu, apabila
diringankan adanya perbaikan pendapatan petani lahan kering, maka penanganan
usaha pertanian lahan kering harus dilakukan secara lebih intensif dan lebih
bersungguh-sungguh. Hal ini perlu segera dilakukan mengingat sifat lahan kering
yang peka terhadap sistem pengolahan yang tidak tepat. Sistem pengolahan yang
tidak tepat pada lahan kering akan menyebabkan terjadinya kemunduran kesuburan
tanah yang cepat sehingga produktivitasnya juga akan cepat menurun, dan
selanjutnya akan memerlukan dana yang lebih besar dan membutuhkan waktu yang
lama untuk perbaikannya. (Mubyarto, 1993).
BAB IV
SIMPULAN
Pembangunan pedesaan pada masa Orde Baru setidaknya
memberikan satu alternatif pemecahan masalah yang selama ini dianggap mengendap
dan menjadi faktor penghambat bagi kemajuan masyarakat desa. Tidak dipungkiri
memang jika sikap menghambat masih dimiliki oleh masyarakat desa. Akan tetapi
dengan adanya beberapa kebijakan yang berusaha untuk mendorong masyarakat desa,
ke-skeptis-an mereka perlahan mengendur. Hal ini terlihat dari keberterimaan
mereka terhadap teknologi modern. Teknologi modern yang “membantu”
menyederhanakan pekerjaan mereka justru membuat mereka mencari lapangan
pekerjaan di sektor lain untuk meningkatkan pendapatan mereka. Artinya bahwa,
kemajuan teknologi tidak lantas membuat mereka mencukupkan diri atas konsep
baru yang belum mereka kenali, namun mendorong mereka untuk lebih giat mencari
penghasilan dari berbagai sumber. Usaha-usaha ini hampir menyebar di seluruh wilayah
Indonesia. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Bali, Sumatera Barat, dan Sulawesi
Selatan. Inovasi yang mereka rintis bukan menjadikan mereka mundur, namun
justru menjadikan mereka sebagai masyarakat desa yang lebih maju. Tentu hal ini
berdampak positif ketika Indonesia menyambut masa reformasi, dimana pembaruan
desa semakin diperhatikan. Bagaimanapun juga tetap ada beberapa sisi negatif
dari pelaksanaan pembaruan pedesaan pada masa Orde Baru. Akan tetapi sikap
masyarakat yang mau terbuka terhadap pembaruan adalah lebih baik ketimbang
kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman.
1990. Tentang dan Sekitar UUPA.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Agung,
A.A. Gde Putra, dkk. 1985. Sejarah
Pengaruh Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Bali.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Daldjoeni,
N., A. Suyitno. 2004. Pedesaan,
Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung : PT. Alumni.
Martamin,
Marjani, dkk. 1984. Sejarah Pengaruh
Pelita Terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan Daerah Sumatera Barat.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Mubyarto.
1993. Peluang Kerja dan Berusaha di
Pedesaan. Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta.
Purnomo,
Mangku. 2004. Pembaruan Desa: Mencari
Bentuk Penataan Produksi Desa. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar