BAB
III
PEMBANGUNAN
DESA DI INDONESIA 1983-1993
A. Konsep Pembangunan
Desa Era Orde Baru
Pada
bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana era Orde Baru memiliki kebijakan
untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mewujudkan kemakmuran bangsa yang
tertuang dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang dengan jangka waktu lima
tahun setiap tahapnya atau PELITA (Pembangunan Lima Tahun). PELITA, menurut
Daldjoeni, seolah memuat keyakinan bahwa masa depan manusia ada di dalam
tangannya sendiri. Konsepsi ini diwujudkan antara lain dengan mengikis beberapa
sikap tradisional yang menjadikan masyarakat Indonesia sulit bergerak maju,
semisal sikap narimo ing pandum.
(Daldjoeni, 2004). Pembangunan masyarakat desa yang dikatakan “masa depan
manusia ada di dalam tangannya sendiri” menekankan bahwa pembangunan diharapkan
bersumber pada manusia sendiri. Campur tangan pihak luar diizinkan namun hanya
sebatas mendorong saja. Perkembangan harus berupa metamorfosis sosial-ekonomi
dan budaya yang wajar, yang tentu meningkatkan kualitas hidup.
Sebelum
kita mengkaji bagaimana konsep pembangunan pada era Orde Baru, terlebih dahulu
penulis paparkan pendapat beberapa cendekiawan terkait pembangunan pedesaan di
Indonesia.
1.
Boeke (1910) :
Pembangunan pertanian dan pembangunan pedesaan berjalan lambat karena pada
dasarnya petani adalah kolot, konservatif, tidak kreatif, lebih-lebih petani
kecil. Jadi kemiskinan pedesaan bersumber pada kelambanan petani sendiri. Petani miskin karena statis.
2.
Geertz (1963) : Geertz
cenderung menyalahkan penjajahan Belanda yang berjalan sangat lama. Petani
Indonesia khususnya Jawa, statis karena mereka selalu hidup dalam serba
kemiskinan, dan kemiskinan ini adalah sebagai akibat eksploitasi penjajah
Belanda. Petani cenderung berinvolusi. Mereka statis karena miskin.
3.
Penny (1964, 1976) :
Petani Indonesia yang merdeka tetap belum mampu keluar dari belenggu sistem
ekonomi pasar yang merasuk pedesaan. Komersialisasi (pasarisasi) pertanian
bahkan lebih jauh memiskinkan petani kecil, lebih-lebih para petani tuna tanah.
Kemiskinan dan kestatisan petani bukan karena salah petani.
4.
Collier (1980) :
Petani tidak berinvolusi tetapi berevolusi, berubah atau maju tapi
lambat sekali. Revolusi Hijau lebih memoertajam perbedaan si kaya dan si miskin
di desa. Kelembagaan di pedesaan justru berubah ke arah yang lebih memperlemah
kedudukan petani kecil dan buruh tani.
5.
Hayami – Kikuchi
(1981) : Revolusi Hijau tidak selalu berarti memburuknya hubungan si kaya dan
si miskin di pedesaan. Kelembagaan di Jawa mampu menghambat terjadinya proses polarisasi dan yang lebih banyak terjadi
adalah stratifikasi, yaitu pelapisan
masyarakat pedesaan dengan tetap mempertahankan hubungan bapak-anak buah (patron-client). (Mubyarto, 1993).
Berikutnya,
beberapa konsep diajukan guna memenuhi pembangunan dalam upaya menghadapi modernisasi
desa. Satu hal yang perlu diingat bahwa modernisasi desa harus bersumber pada
pembaharuan sikap akan makna hidup yang dapat diubah oleh manusia dalam
mengarungi masa depan, dan berpikir linier harus menggantikan cara berpikir
sirkuler yang mengandung perulangan abadi. Konsep tersebut antara lain :
1.
Utilisasi. Utilisasi
menyangkut berbagai usaha pemanfaatan berbagai sumber daya alam dilengkapi lagi
dengan pendayagunaan sumber daya manusia berupa aneka pendapatan dan penemuan
baru. Guna mendayagunakan sumber daya manusia, pendidikan sekolah di desa pun
diarahkan pada orientasi yang siswa tamatannya akan lebih mampu melihat,
membuka, dan mengolah sumberdaya yang mungkin masih tersembunyi.
2.
Ekualisasi. Ekualisasi
bertalian erat dengan pemerataan hasil material dan nilai sosial seperti ilmu
pengetahuan, seni dan interaksi manusia seperti kewajiban, kesempatan kerja,
serta kesenangan.
3.
Apresiasi. Apresiasi
mencakup penafsiran terhadap berbagai hal yang dinyatakan berupa peristilahan
nilai. Dengan menyaksikan dan menghayati apa yang terjadi di sekitarnya,
manusia mengeri makna yang tersembunyi di belakangnya.
Nampaknya, konsep pembangunan pada
era Orde Baru berorientasi pada GBHN 1978 (Tap IV/MPR/1978) yang memuat
petunjuk normatif keselarasan hubungan manusia yang terdiri atas hubungan
manusia dengan Tuhannya, hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara
manusia dengan lingkungan alamnya. Keselarasan inilah yang kemudian terbangun
dalam konsep tata tentrem kerta raharja dengan
kesadaran akan sikap yang benar terhadap lingkungan, sehingga dapat
melestarikan desa yang menjadi tulangpunggung kehidupan kota pada negara-negara
agraris.
1.
Perluasan
Konsep Pembangunan Pedesaan
Pembangunan pedesaan, pada
perkembangan selanjutnya, perlu ditinjau pada cakupan yang lebih luas, yakni
tidak hanya mengenai hal-hal teknis, sosial dan kultural yang berpengaruh pada
pengembangan pedesaan, tetapi juga pada aspek politik dan kebijakan-kebijakan.
Pembangunan pedesaan yang didefinisikan sebagai suatu proses yang membawa
peningkatan kemampuan penduduk pedesaan menguasai lingkungan sosial yang
disertai meningkatnya tingkat hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan
tersebut, memiliki 7 indikator pembangunan sebagai berikut :
a.
Perubahan
produktivitas pedesaan
b.
Perubahan tingkat
kesempatan kerja
c.
Perubahan dalam
pembagian pendapatan
d.
Perubahan dalam
struktur kekuasaan
e.
Perubahan tingkat
mobilitas sosial
f.
Perubahan dalam nilai,
kepercayaan dan sikap terhadap lingkungan sosial yang lebih luas
g.
Perubahan sasaran
pelayanan sosial
Kebijakan pemerintah Orde Baru
yang menyokong proses pembangunan pedesaan terwujud dalam beberapa program
seperti berikut.
a.
Program-program Bimas
dan Insus pertanian. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas.
b.
Program pembinaan
industri kecil, kredit candak kulak, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal
Kerja Permanen (KMKP), Kredit Untuk Rakyat Kecil (KURK), Koperasi Unit Desa
(KUD) dan lain-lain dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan
perbaikan distribusi pendapatan.
c.
Pembinaan Lembaga
Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat desa dalam pengambilan keputusan.
d.
Program transmigrasi
dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan mobilitas sosial.
e.
Program Keluarga
Berencana (KB), pendidikan gizi, siaran (radio, televisi) untuk desa, koran
masuk desa dan lain-lain yang dimaksudkan untuk mengubah dan mengarahkan sikap
dan nilai-nilai yang sesuai dengan kemajuan dan wawasan lingkungan lebih luas.
f.
Penyelenggaraan Pusat
Kesehatan Masyarakat, SD Inpres, Inpres Pasar, dan lain-lain yang dimaksudkan
untuk memberikan fasilitas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan pedesaan juga
dititikberatkan pada kemandirian kelompok swadaya dengan tujuan meningkatkan
kemandirian masyarakat pedesaan secara efektif melalui penyelenggaraan
kelompok-kelompok swadaya yang mandiri. Kelompok swadaya yang mandiri adalah
kelompol yang memiliki kemampuan-kemampuan antara lain,
a.
Menyadari permasalahan
yang mereka hadapi.
b.
Mengetahui potensi dan
kelemahan yang melekat pada dirinya, serta
c.
Menentukan pilihan
terhadap berbagai alternatif yang ada dengan memperhitungkan kesempatan dan
ancaman yang ada. (Mubyarto, 1993).
Pada
perkembangan selanjutnya, kelompok swadaya tersebut diwadahi oleh LPSM (Lembaga
Pembina Swadaya Masyarakat) yang dibentuk berkat lokakarya “Kerjasama Terpadu
Pengembangan Kedesaan” pada bulan April 1978. LPSM saat itu berorientasi pada
pemecahan masalah dan untuk itu didukung oleh berbagai latar belakang profesi
dari mereka yang terlibat pada upaya pemecahan masalah tersebut. LPSM memiliki
beberapa peranan yang dapat dilakukan, antara lain,
a.
Sebagai penyerta atau
sering disebut sebagai fasilitator dan katalisator, yaitu melalui para pembina
yang tinggal di tengah-tengah desa dimana sekelompok berada, membantu menggali
motivasi dan proses penyadaran anggota dalam kelompok.
b.
Sebagai pelatih dan
pendidik, dengan jalan ikut mencarikan dan menyalurkan informasi-informasi
serta pengalaman-pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode
belajar-mengajar. Beberapa bidang pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan
untuk masukan dalam kelompok semisal pengembangan organisasi kelompok,
keterampilan teknis, serta pengelolaan usaha.
c.
Sebagai pendorong
usaha ke arah pemumpukan modal swadaya, yakni dengan jalan mendorong
upaya-upaya menghemat, menabung, usaha-usaha produktif dan lain-lain.
d.
Menyelenggarakan
proyek-proyek perangsang, artinya bahwa, meningkatkan kemandirian kelompok-kelompok
swadaya tidak hanya memberikan dorongan berupa berbagai masukan tetapi juga
dengan menarik ke luar kelompok tersebut dengan cara menyelenggarakan
proyek-proyek stimulan. (Mubyarto, 1993).
2.
Kemajuan
Teknologi dan Peluang Kerja Wanita Pedesaan
Sejak masuknya teknologi baru
dalam usaha tani padi sawah (melalui program Bimas dan kemudian harus sebagai
pendorong produksi pangan, terutama beras), nampak timbul gejala petani luas
membatasi pemakaian buruh tani secara tegas. Proses inilah yang menggambarkan
menipisnya hubungan “bapak-anak buah”, khususnya di pedesaan Jawa. Gejala
tersebut nampak misalnya dari kejadian sebagai berikut .
a.
Tenaga kerja (pria dan
wanita) dalam proses penanaman pada permulaan musim oleh pemilik sawah
dikurangi, dan mereka (buruh tani) yang dipercaya untuk melakukan pekerjaan itu
(tanpa upah) diberi hak sampai dengan melakukan panen berdasarkan hasil
tertentu, atau yang biasa disebut ngedok.
Perubahan yang terjadi disini adalah, perubahan pola hubungan kerja antara
pemilik dan buruh tani (a labout
harvesthare exchange). Dalam hal ini berarti menciutnya tenaga kerja pria
dan wanita.
b.
Dengan masuknya bibit
unggul padi yang mempunyai batang pendek, tetapi menghasilkan panen yang
berlipat ganda, berarti bahwa alat ani-ani dengan tenaga kerjanya wanita
menjadi tersisihkan. Sebagai ganti, dipakailah sabit, karena padi unggul inipun
mudah rontok.
c.
Lembaga baru yang
masuk pula dalam usaha tani padi-sawah adalah sistem tebasan, dimana pemilik
lebih suka memperkerjakan pria untuk memanen dengan sabit. Biasanya pekerjaan
memanen itu ditebaskan kepada seorang tengkulak (umumnya dari luar desa) yang
membawa tenaga pria untuk memotong padi dengan sabit. Hal ini berarti
menciutnya peluang bagi tenaga kerja wanita. (Mubyarto, 1993).
Bagi tenaga kerja wanita, dampak
dari kemajuan teknologi di pedesaan nampak seperti berikut.
a.
Wanita dari rumah
tangga petani cukup luas (menguasai lebih dari 0,5 Ha) mengalami peningkatan
penghasilan dan memperoleh surplus dari usaha taninya. Surplus hasil itu
mendorong rumah tangga tersebut untuk melakukan usaha lain yang memerlukan
modal. Maka tidak mengherankan jika wanita dari lapisan rumah tangga petani
memiliki pola pekerjaan yang berragam, seperti berdagang, membuka warung, usaha
pabrik atau industri rumah tangga, di samping bekerja di sawah. Motivasi dari
perilaku itu ialah memperbesar modal mereka.
b.
Bagi wanita dari
keluarga petani gurem (kurang dari 0,5 Ha) yang di samping berusaha tani di
lahan yang sempit juga biasa berburuh tani, teknologi baru menyebabkan sebagian
dari mereka kehilangan sumber penghasilan rumah tangga mereka. Implikasi dari
proses ini bagi tenaga kerja wanita adalah,
1)
Timbulnya cara bekerja
baru (berkelompok. masing-masing beranggotakan 3 orang) khususnya dalam
mengatasi masalah panen dengan sabit, sehingga yang semula masalah pergantian
alat dalam panen dari ani-ani ke sanit telah menyisihkan tenaga kerja wanita,
kemudian hanya berlaku bagi tenaga kerja wanita tua dan anak-anak.
2)
Mencari pekerjaan apapun
yang tersedia, khususnya yang tidak memerlukan modal (bverdagang kecil-kecilan
di pasar atau di rumah), dan kondisi semacam ini memberikan gambaran bahwa
golongan wanita tersebut juga memiliki pola pekerjaan yang berragam dengan
motivasi mencari tambahan penghasilan.
3)
Menjadi buruh di
sektor non-pertanian, di dalam desa sendiri atau desa lain, bahkan tidak
menutup kemungkinan juga ke kota-kota terdekat.
c.
Bagi wanita dari rumah
tangga buruh tani yang tidak memiliki tanah, teknologi baru dalam usaha tani
padi sawah adalah lebih banyak menghilangkan sumber penghasilan rumah
tangganya. Konsekuensinya adalah mereka musti melakukan pekerjaan berburuh di
bidang non-pertanian dan jasa (pembantu rumah tangga lain, buruh dagang, dan
sebagainya) baik di desa sendiri maupun ke luar desanya. (Mubyarto, 1993).
B. Sikap Menghambat dan Sikap Mendukung
Masyarakat Desa dalam Menyokong Pembaruan Desa
Menurut Mangku Purnomo dalam bukunya, Pembaruan Desa: Mencari Bentuk
Penataan Produksi Desa, ia mengemukakan dua sifat masyarakat yang dominan dalam
menghadapi era modernisasi. Posisi pembaruan desa dalam konteks ini mencari
beberapa kemungkinan hambatan yang akan didapat apabila “intervensi” budaya
dilakukan.
1.
Sikap Menghambat, mencakup:
a.
Sikap pasif. Petani dan nelayan pada umumnya sangat kecil
sekali inisiatifnya dalam usaha mengubah kehidupannya. Inisiatif yang selalu
dimulai dari pimpinan atau lembaga pemerintah menyebabkan kaum petani menjadi
kurang agresif dan kebanyakan petani akan sulit untuk mencari alternatf bagi
perbaikan hidupnya.. Skap ini harus dikikis dengan memberikan keyakinan dan
gambaran bahwa hakekat kehidupan adalah ikhtiar yakni dengan cara mengubah hak
dan kewajiban semua orang termasuk petani.
b.
Famili sentries. Sikap famili sentreis terlihat dalam
beberapa kebijakan yang seharusnya dapat dinikmati oleh penduduk secara merata
kadangkala hanya dinikmati oleh sekelompok kerabat saja. Hal ini sering terjadi
dan menimbulkan konflik di tingkat bawah. Demikian pula pada kepemimpinan yang
kurang mendapat dukungan dari keluarga lain jika yang memimpin desa bukan
anggota keluarganya. Inilah sikap yang harus diubah menjadi kesadaran
berkelompok baik melalui pertalian darah maupun perluasan pertanian wilayah.
c.
Apatis. Kehidupan desa sebenarnya lebih individualis dalam
hal kepedulian terhadaplingkungan apalagi kegiatan-kegiatan dimana seseorang
tidak diuntungkan karenanya. Gotong royong dianggap sebagai suatu kewajiban
saja agar dapat diterima lingkungan dan bukan karena kesadaran. Apatis sangat
buruk bagi perubahan, karen tanpa kehendak dan keyakinan yang kuat, mustahil
pembaruan desa dapat tercapai. Oleh karen itu mereka perlu dibimbing lebih
serius atau dimasukkan ke dalam golongan Lagard
atau tidak dihitung dalam program.
d.
Orientasi pada masa lampau. Orientasi masa lalu terlihat
dengan tidak berkembangnya teknologi
pertanian dalam masyarakat dan selalu menganggap warisan nenek moyang adalah
sesuatu yang sempurna. Orientasi pada masa lalu ini menyebabkan kemandekan
dalam inovasi dan perubahan masyarakat dan tentu akan menghambat proses
penyuluhan. Ini juga sangat menghambat perkembangan karena orientasi ini
berprinsip bahwa masa depan tidak akan lebih baik dari masa lalu. Demikian pula
trauma masa lalu yang selalu menghantui untuk berubah harus dihapuskan.
e.
Menyerah pada takdir. Menyerah pada takdir adalah sikap
pesimis dan kurang tekad yang rata-rata dimiliki oleh petani. Petani sebagai
orang yang selalu menyerah pada takdir seharusnya selalu dipahamkan dengan
kondisi bahwa setiap jengkal usaha akan mendapatkan hasil sejengkal juga.
Pendamping sebagai bagian integral dalam pembarun desa memegang peranan sentral
disini.
2.
Sikap yang Mendukung, terdiri atas:
a.
Sikap gotong royong. Sikap gotong royong masyarakat desa
dapat dikatakan sangat tua setua adanya desa itu sendiri. Perkembangan
selanjutnya gotong royong di desa mengalami pergeseran baik motivasi maupun
bentuknya. Potensi gotong royong yang perlahan tidak dilakukan sebagai
kewajiban lagi harus dipupuk dan diarahkan untuk mendukung program pembaruan.
Keberadaan gotong royong merupakan aset dalam kehidupan modern dimana dalam
tantangan global kerjasama mutlak diperlukan. Oleh karena itu kerjasama akan
tetap menjadi isu sentral dalam pembaruan desa.
b.
Kepemimpinan desa. Pada beberapa kasus kepemimpinan memang
menghambat proses pembangunan terutama apabila proses itu akan menggoncangkan
tatanan sosial terutama struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu
kepemimpinan ini diarahkan sebagai penanggungjawab dan dinamisator pembaruan
desa. Berbagai kewajiban ideal pemimpin sebagai pengabdi masyarakat perlu untuk
ditekankan.
c.
Kebebasan berbicara. Kebebasan bicara dalam rembuk desa dan
pertemuan terkait pembangunan desa dapat lebih dimantapkan dan terarah guna
perbaikan. Aspirasi ang telah lama berkembang ini perlu untuk dikembangkan guna
menunjang pembaharuan desa.
d.
Kesediaan untuk menerima inovasi. Inovasi baru sebagai contoh
akan sangat diinginkan masyarakat asalkan tidak melanggar norma dan adat serta
kepentingan lain dari salah satu atau seluruh anggota masyarakat. Potensi yang
begitu besar dari penduduk pedesaan untuk menerapkan inovasi baru kiranya dapat
ditingkatkan agar lebih produktif.
Dari uraian tersebut maka dapat diambil beberapa hal penting dari sistem
sosial desa yakni:
1.
Masyarakat desa memiliki corak pandang tersendiri tentang
hakekat hidupnya
2.
Masyarakat desa memiliki karakteristik hubungan khusus dengan
alam sekitarnya
3.
Masyarakat desa memiliki pola pandang tersendiri akan
perubahan
4.
Masyarakat desa berpikir rasional dan damba akan kemajuan
5.
Hati-hati dan toleran terhadap perubahan (Purnomo, 2004).
Senada dengan Mangku
Purnomo, Daldjoeni menyatakan, membangun desa berarti merespon tiga lingkungan
desa (alami, budaya, dan sosial-ekonomi) dengan cara yang tepat. Oleh sebab
itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti berikut.
1.
Hambatan-hambatan pembangunan, baik yang bersumber dari luar
maupun dalam manusia, agar bisa dilihat sebagai produk dari kekurangtepatan
respon manusia terhadap lingkungan.
2.
Usaha pembangunan harus dirasakan oleh penduduk desa sebagai
tindakan “penyembuhan rasa tegang” antara kenyataan hidup dan aspirasi-aspirasi
yang didambakan bagi dirinya sendiri dan generasi yang akan datang.
3.
Masa depan kehidupan desa sebagian besar tergantung dari
kemampuan manusia sekarang dalam hal menyadari kondisinya dan memperbaiki
kualitas hidupnya, adanya tindakan dari berbagai pembaruan musti dipandang
sebagai hasil usaha.
4.
Membangun kesadaran manusia desa akan tempatnya di dalam
tantangan lingkungannya serta posisinya sebagai faktor yang dominan berkat
budaya serta teknologi yang dimilikinya.
5.
Membangun kesadaran bahwa apa yang telah dicapai menjadi
tumpukan pengalaman masa lampau yang perlu dicari unsur-unsurnya yang baik
untuk dijadikan bekal kemajuan.
6.
Memberikan ketegasan terhadap pihak luar untuk tidak
diperbolehkannya mematikan kepercayaan kepada proses diakronis dan kekuatan
historis yang tradisional. Selain itu, bimbingan yang diberikan oleh pihak luar
harus dirasakan sebagai pertolongan dan pengarahan dalam langkah-langkah untuk
memperbaiki kualitas hidup. (Daldjoeni, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar