Senin, 03 Desember 2012

PEMBANGUNAN PEDESAAN INDONESIA 1983-1993 (Bagian III)



BAB III
PEMBANGUNAN DESA DI INDONESIA 1983-1993



A. Konsep Pembangunan Desa Era Orde Baru
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan bagaimana era Orde Baru memiliki kebijakan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mewujudkan kemakmuran bangsa yang tertuang dalam Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang dengan jangka waktu lima tahun setiap tahapnya atau PELITA (Pembangunan Lima Tahun). PELITA, menurut Daldjoeni, seolah memuat keyakinan bahwa masa depan manusia ada di dalam tangannya sendiri. Konsepsi ini diwujudkan antara lain dengan mengikis beberapa sikap tradisional yang menjadikan masyarakat Indonesia sulit bergerak maju, semisal sikap narimo ing pandum. (Daldjoeni, 2004). Pembangunan masyarakat desa yang dikatakan “masa depan manusia ada di dalam tangannya sendiri” menekankan bahwa pembangunan diharapkan bersumber pada manusia sendiri. Campur tangan pihak luar diizinkan namun hanya sebatas mendorong saja. Perkembangan harus berupa metamorfosis sosial-ekonomi dan budaya yang wajar, yang tentu meningkatkan kualitas hidup.
Sebelum kita mengkaji bagaimana konsep pembangunan pada era Orde Baru, terlebih dahulu penulis paparkan pendapat beberapa cendekiawan terkait pembangunan pedesaan di Indonesia.
1.      Boeke (1910) : Pembangunan pertanian dan pembangunan pedesaan berjalan lambat karena pada dasarnya petani adalah kolot, konservatif, tidak kreatif, lebih-lebih petani kecil. Jadi kemiskinan pedesaan bersumber pada kelambanan petani sendiri. Petani miskin karena statis.
2.      Geertz (1963) : Geertz cenderung menyalahkan penjajahan Belanda yang berjalan sangat lama. Petani Indonesia khususnya Jawa, statis karena mereka selalu hidup dalam serba kemiskinan, dan kemiskinan ini adalah sebagai akibat eksploitasi penjajah Belanda. Petani cenderung berinvolusi. Mereka statis karena miskin.
3.      Penny (1964, 1976) : Petani Indonesia yang merdeka tetap belum mampu keluar dari belenggu sistem ekonomi pasar yang merasuk pedesaan. Komersialisasi (pasarisasi) pertanian bahkan lebih jauh memiskinkan petani kecil, lebih-lebih para petani tuna tanah. Kemiskinan dan kestatisan petani bukan karena salah petani.
4.      Collier (1980) : Petani tidak berinvolusi tetapi berevolusi, berubah atau maju tapi lambat sekali. Revolusi Hijau lebih memoertajam perbedaan si kaya dan si miskin di desa. Kelembagaan di pedesaan justru berubah ke arah yang lebih memperlemah kedudukan petani kecil dan buruh tani.
5.      Hayami – Kikuchi (1981) : Revolusi Hijau tidak selalu berarti memburuknya hubungan si kaya dan si miskin di pedesaan. Kelembagaan di Jawa mampu menghambat terjadinya proses polarisasi dan yang lebih banyak terjadi adalah stratifikasi, yaitu pelapisan masyarakat pedesaan dengan tetap mempertahankan hubungan bapak-anak buah (patron-client). (Mubyarto, 1993).
Berikutnya, beberapa konsep diajukan guna memenuhi pembangunan dalam upaya menghadapi modernisasi desa. Satu hal yang perlu diingat bahwa modernisasi desa harus bersumber pada pembaharuan sikap akan makna hidup yang dapat diubah oleh manusia dalam mengarungi masa depan, dan berpikir linier harus menggantikan cara berpikir sirkuler yang mengandung perulangan abadi. Konsep tersebut antara lain :
1.      Utilisasi. Utilisasi menyangkut berbagai usaha pemanfaatan berbagai sumber daya alam dilengkapi lagi dengan pendayagunaan sumber daya manusia berupa aneka pendapatan dan penemuan baru. Guna mendayagunakan sumber daya manusia, pendidikan sekolah di desa pun diarahkan pada orientasi yang siswa tamatannya akan lebih mampu melihat, membuka, dan mengolah sumberdaya yang mungkin masih tersembunyi.
2.      Ekualisasi. Ekualisasi bertalian erat dengan pemerataan hasil material dan nilai sosial seperti ilmu pengetahuan, seni dan interaksi manusia seperti kewajiban, kesempatan kerja, serta kesenangan.
3.      Apresiasi. Apresiasi mencakup penafsiran terhadap berbagai hal yang dinyatakan berupa peristilahan nilai. Dengan menyaksikan dan menghayati apa yang terjadi di sekitarnya, manusia mengeri makna yang tersembunyi di belakangnya.
Nampaknya, konsep pembangunan pada era Orde Baru berorientasi pada GBHN 1978 (Tap IV/MPR/1978) yang memuat petunjuk normatif keselarasan hubungan manusia yang terdiri atas hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan antara sesama manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya. Keselarasan inilah yang kemudian terbangun dalam konsep tata tentrem kerta raharja dengan kesadaran akan sikap yang benar terhadap lingkungan, sehingga dapat melestarikan desa yang menjadi tulangpunggung kehidupan kota pada negara-negara agraris.
1.      Perluasan Konsep Pembangunan Pedesaan
Pembangunan pedesaan, pada perkembangan selanjutnya, perlu ditinjau pada cakupan yang lebih luas, yakni tidak hanya mengenai hal-hal teknis, sosial dan kultural yang berpengaruh pada pengembangan pedesaan, tetapi juga pada aspek politik dan kebijakan-kebijakan. Pembangunan pedesaan yang didefinisikan sebagai suatu proses yang membawa peningkatan kemampuan penduduk pedesaan menguasai lingkungan sosial yang disertai meningkatnya tingkat hidup mereka sebagai akibat dari penguasaan tersebut, memiliki 7 indikator pembangunan sebagai berikut :
a.       Perubahan produktivitas pedesaan
b.      Perubahan tingkat kesempatan kerja
c.       Perubahan dalam pembagian pendapatan
d.      Perubahan dalam struktur kekuasaan
e.       Perubahan tingkat mobilitas sosial
f.       Perubahan dalam nilai, kepercayaan dan sikap terhadap lingkungan sosial yang lebih luas
g.      Perubahan sasaran pelayanan sosial
Kebijakan pemerintah Orde Baru yang menyokong proses pembangunan pedesaan terwujud dalam beberapa program seperti berikut.
a.       Program-program Bimas dan Insus pertanian. Program ini dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas.
b.      Program pembinaan industri kecil, kredit candak kulak, Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Untuk Rakyat Kecil (KURK), Koperasi Unit Desa (KUD) dan lain-lain dimaksudkan untuk meningkatkan kesempatan kerja dan perbaikan distribusi pendapatan.
c.       Pembinaan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dimaksudkan untuk meningkatkan peran serta masyarakat desa dalam pengambilan keputusan.
d.      Program transmigrasi dimaksudkan antara lain untuk meningkatkan mobilitas sosial.
e.       Program Keluarga Berencana (KB), pendidikan gizi, siaran (radio, televisi) untuk desa, koran masuk desa dan lain-lain yang dimaksudkan untuk mengubah dan mengarahkan sikap dan nilai-nilai yang sesuai dengan kemajuan dan wawasan lingkungan lebih luas.
f.       Penyelenggaraan Pusat Kesehatan Masyarakat, SD Inpres, Inpres Pasar, dan lain-lain yang dimaksudkan untuk memberikan fasilitas bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pengembangan pedesaan juga dititikberatkan pada kemandirian kelompok swadaya dengan tujuan meningkatkan kemandirian masyarakat pedesaan secara efektif melalui penyelenggaraan kelompok-kelompok swadaya yang mandiri. Kelompok swadaya yang mandiri adalah kelompol yang memiliki kemampuan-kemampuan antara lain,
a.       Menyadari permasalahan yang mereka hadapi.
b.      Mengetahui potensi dan kelemahan yang melekat pada dirinya, serta
c.       Menentukan pilihan terhadap berbagai alternatif yang ada dengan memperhitungkan kesempatan dan ancaman yang ada. (Mubyarto, 1993).
Pada perkembangan selanjutnya, kelompok swadaya tersebut diwadahi oleh LPSM (Lembaga Pembina Swadaya Masyarakat) yang dibentuk berkat lokakarya “Kerjasama Terpadu Pengembangan Kedesaan” pada bulan April 1978. LPSM saat itu berorientasi pada pemecahan masalah dan untuk itu didukung oleh berbagai latar belakang profesi dari mereka yang terlibat pada upaya pemecahan masalah tersebut. LPSM memiliki beberapa peranan yang dapat dilakukan, antara lain,
a.       Sebagai penyerta atau sering disebut sebagai fasilitator dan katalisator, yaitu melalui para pembina yang tinggal di tengah-tengah desa dimana sekelompok berada, membantu menggali motivasi dan proses penyadaran anggota dalam kelompok.
b.      Sebagai pelatih dan pendidik, dengan jalan ikut mencarikan dan menyalurkan informasi-informasi serta pengalaman-pengalaman dari luar ke dalam kelompok melalui berbagai metode belajar-mengajar. Beberapa bidang pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk masukan dalam kelompok semisal pengembangan organisasi kelompok, keterampilan teknis, serta pengelolaan usaha.
c.       Sebagai pendorong usaha ke arah pemumpukan modal swadaya, yakni dengan jalan mendorong upaya-upaya menghemat, menabung, usaha-usaha produktif dan lain-lain.
d.      Menyelenggarakan proyek-proyek perangsang, artinya bahwa, meningkatkan kemandirian kelompok-kelompok swadaya tidak hanya memberikan dorongan berupa berbagai masukan tetapi juga dengan menarik ke luar kelompok tersebut dengan cara menyelenggarakan proyek-proyek stimulan. (Mubyarto, 1993).
2.      Kemajuan Teknologi dan Peluang Kerja Wanita Pedesaan
Sejak masuknya teknologi baru dalam usaha tani padi sawah (melalui program Bimas dan kemudian harus sebagai pendorong produksi pangan, terutama beras), nampak timbul gejala petani luas membatasi pemakaian buruh tani secara tegas. Proses inilah yang menggambarkan menipisnya hubungan “bapak-anak buah”, khususnya di pedesaan Jawa. Gejala tersebut nampak misalnya dari kejadian sebagai berikut .
a.       Tenaga kerja (pria dan wanita) dalam proses penanaman pada permulaan musim oleh pemilik sawah dikurangi, dan mereka (buruh tani) yang dipercaya untuk melakukan pekerjaan itu (tanpa upah) diberi hak sampai dengan melakukan panen berdasarkan hasil tertentu, atau yang biasa disebut ngedok. Perubahan yang terjadi disini adalah, perubahan pola hubungan kerja antara pemilik dan buruh tani (a labout harvesthare exchange). Dalam hal ini berarti menciutnya tenaga kerja pria dan wanita.
b.      Dengan masuknya bibit unggul padi yang mempunyai batang pendek, tetapi menghasilkan panen yang berlipat ganda, berarti bahwa alat ani-ani dengan tenaga kerjanya wanita menjadi tersisihkan. Sebagai ganti, dipakailah sabit, karena padi unggul inipun mudah rontok.
c.       Lembaga baru yang masuk pula dalam usaha tani padi-sawah adalah sistem tebasan, dimana pemilik lebih suka memperkerjakan pria untuk memanen dengan sabit. Biasanya pekerjaan memanen itu ditebaskan kepada seorang tengkulak (umumnya dari luar desa) yang membawa tenaga pria untuk memotong padi dengan sabit. Hal ini berarti menciutnya peluang bagi tenaga kerja wanita. (Mubyarto, 1993).
Bagi tenaga kerja wanita, dampak dari kemajuan teknologi di pedesaan nampak seperti berikut.
a.       Wanita dari rumah tangga petani cukup luas (menguasai lebih dari 0,5 Ha) mengalami peningkatan penghasilan dan memperoleh surplus dari usaha taninya. Surplus hasil itu mendorong rumah tangga tersebut untuk melakukan usaha lain yang memerlukan modal. Maka tidak mengherankan jika wanita dari lapisan rumah tangga petani memiliki pola pekerjaan yang berragam, seperti berdagang, membuka warung, usaha pabrik atau industri rumah tangga, di samping bekerja di sawah. Motivasi dari perilaku itu ialah memperbesar modal mereka.
b.      Bagi wanita dari keluarga petani gurem (kurang dari 0,5 Ha) yang di samping berusaha tani di lahan yang sempit juga biasa berburuh tani, teknologi baru menyebabkan sebagian dari mereka kehilangan sumber penghasilan rumah tangga mereka. Implikasi dari proses ini bagi tenaga kerja wanita adalah,
1)      Timbulnya cara bekerja baru (berkelompok. masing-masing beranggotakan 3 orang) khususnya dalam mengatasi masalah panen dengan sabit, sehingga yang semula masalah pergantian alat dalam panen dari ani-ani ke sanit telah menyisihkan tenaga kerja wanita, kemudian hanya berlaku bagi tenaga kerja wanita tua dan anak-anak.
2)      Mencari pekerjaan apapun yang tersedia, khususnya yang tidak memerlukan modal (bverdagang kecil-kecilan di pasar atau di rumah), dan kondisi semacam ini memberikan gambaran bahwa golongan wanita tersebut juga memiliki pola pekerjaan yang berragam dengan motivasi mencari tambahan penghasilan.
3)      Menjadi buruh di sektor non-pertanian, di dalam desa sendiri atau desa lain, bahkan tidak menutup kemungkinan juga ke kota-kota terdekat.
c.       Bagi wanita dari rumah tangga buruh tani yang tidak memiliki tanah, teknologi baru dalam usaha tani padi sawah adalah lebih banyak menghilangkan sumber penghasilan rumah tangganya. Konsekuensinya adalah mereka musti melakukan pekerjaan berburuh di bidang non-pertanian dan jasa (pembantu rumah tangga lain, buruh dagang, dan sebagainya) baik di desa sendiri maupun ke luar desanya. (Mubyarto, 1993).

B.  Sikap Menghambat dan Sikap Mendukung Masyarakat Desa dalam Menyokong Pembaruan Desa
Menurut Mangku Purnomo dalam bukunya, Pembaruan Desa: Mencari Bentuk Penataan Produksi Desa, ia mengemukakan dua sifat masyarakat yang dominan dalam menghadapi era modernisasi. Posisi pembaruan desa dalam konteks ini mencari beberapa kemungkinan hambatan yang akan didapat apabila “intervensi” budaya dilakukan.
1.      Sikap Menghambat, mencakup:
a.       Sikap pasif. Petani dan nelayan pada umumnya sangat kecil sekali inisiatifnya dalam usaha mengubah kehidupannya. Inisiatif yang selalu dimulai dari pimpinan atau lembaga pemerintah menyebabkan kaum petani menjadi kurang agresif dan kebanyakan petani akan sulit untuk mencari alternatf bagi perbaikan hidupnya.. Skap ini harus dikikis dengan memberikan keyakinan dan gambaran bahwa hakekat kehidupan adalah ikhtiar yakni dengan cara mengubah hak dan kewajiban semua orang termasuk petani.
b.      Famili sentries. Sikap famili sentreis terlihat dalam beberapa kebijakan yang seharusnya dapat dinikmati oleh penduduk secara merata kadangkala hanya dinikmati oleh sekelompok kerabat saja. Hal ini sering terjadi dan menimbulkan konflik di tingkat bawah. Demikian pula pada kepemimpinan yang kurang mendapat dukungan dari keluarga lain jika yang memimpin desa bukan anggota keluarganya. Inilah sikap yang harus diubah menjadi kesadaran berkelompok baik melalui pertalian darah maupun perluasan pertanian wilayah.
c.       Apatis. Kehidupan desa sebenarnya lebih individualis dalam hal kepedulian terhadaplingkungan apalagi kegiatan-kegiatan dimana seseorang tidak diuntungkan karenanya. Gotong royong dianggap sebagai suatu kewajiban saja agar dapat diterima lingkungan dan bukan karena kesadaran. Apatis sangat buruk bagi perubahan, karen tanpa kehendak dan keyakinan yang kuat, mustahil pembaruan desa dapat tercapai. Oleh karen itu mereka perlu dibimbing lebih serius atau dimasukkan ke dalam golongan Lagard atau tidak dihitung dalam program.
d.      Orientasi pada masa lampau. Orientasi masa lalu terlihat dengan  tidak berkembangnya teknologi pertanian dalam masyarakat dan selalu menganggap warisan nenek moyang adalah sesuatu yang sempurna. Orientasi pada masa lalu ini menyebabkan kemandekan dalam inovasi dan perubahan masyarakat dan tentu akan menghambat proses penyuluhan. Ini juga sangat menghambat perkembangan karena orientasi ini berprinsip bahwa masa depan tidak akan lebih baik dari masa lalu. Demikian pula trauma masa lalu yang selalu menghantui untuk berubah harus dihapuskan.
e.       Menyerah pada takdir. Menyerah pada takdir adalah sikap pesimis dan kurang tekad yang rata-rata dimiliki oleh petani. Petani sebagai orang yang selalu menyerah pada takdir seharusnya selalu dipahamkan dengan kondisi bahwa setiap jengkal usaha akan mendapatkan hasil sejengkal juga. Pendamping sebagai bagian integral dalam pembarun desa memegang peranan sentral disini.
2.      Sikap yang Mendukung, terdiri atas:
a.       Sikap gotong royong. Sikap gotong royong masyarakat desa dapat dikatakan sangat tua setua adanya desa itu sendiri. Perkembangan selanjutnya gotong royong di desa mengalami pergeseran baik motivasi maupun bentuknya. Potensi gotong royong yang perlahan tidak dilakukan sebagai kewajiban lagi harus dipupuk dan diarahkan untuk mendukung program pembaruan. Keberadaan gotong royong merupakan aset dalam kehidupan modern dimana dalam tantangan global kerjasama mutlak diperlukan. Oleh karena itu kerjasama akan tetap menjadi isu sentral dalam pembaruan desa.
b.      Kepemimpinan desa. Pada beberapa kasus kepemimpinan memang menghambat proses pembangunan terutama apabila proses itu akan menggoncangkan tatanan sosial terutama struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu kepemimpinan ini diarahkan sebagai penanggungjawab dan dinamisator pembaruan desa. Berbagai kewajiban ideal pemimpin sebagai pengabdi masyarakat perlu untuk ditekankan.
c.       Kebebasan berbicara. Kebebasan bicara dalam rembuk desa dan pertemuan terkait pembangunan desa dapat lebih dimantapkan dan terarah guna perbaikan. Aspirasi ang telah lama berkembang ini perlu untuk dikembangkan guna menunjang pembaharuan desa.
d.      Kesediaan untuk menerima inovasi. Inovasi baru sebagai contoh akan sangat diinginkan masyarakat asalkan tidak melanggar norma dan adat serta kepentingan lain dari salah satu atau seluruh anggota masyarakat. Potensi yang begitu besar dari penduduk pedesaan untuk menerapkan inovasi baru kiranya dapat ditingkatkan agar lebih produktif.
Dari uraian tersebut maka dapat diambil beberapa hal penting dari sistem sosial desa yakni:
1.      Masyarakat desa memiliki corak pandang tersendiri tentang hakekat hidupnya
2.      Masyarakat desa memiliki karakteristik hubungan khusus dengan alam sekitarnya
3.      Masyarakat desa memiliki pola pandang tersendiri akan perubahan
4.      Masyarakat desa berpikir rasional dan damba akan kemajuan
5.      Hati-hati dan toleran terhadap perubahan (Purnomo, 2004).
Senada dengan Mangku Purnomo, Daldjoeni menyatakan, membangun desa berarti merespon tiga lingkungan desa (alami, budaya, dan sosial-ekonomi) dengan cara yang tepat. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti berikut.
1.      Hambatan-hambatan pembangunan, baik yang bersumber dari luar maupun dalam manusia, agar bisa dilihat sebagai produk dari kekurangtepatan respon manusia terhadap lingkungan.
2.      Usaha pembangunan harus dirasakan oleh penduduk desa sebagai tindakan “penyembuhan rasa tegang” antara kenyataan hidup dan aspirasi-aspirasi yang didambakan bagi dirinya sendiri dan generasi yang akan datang.
3.      Masa depan kehidupan desa sebagian besar tergantung dari kemampuan manusia sekarang dalam hal menyadari kondisinya dan memperbaiki kualitas hidupnya, adanya tindakan dari berbagai pembaruan musti dipandang sebagai hasil usaha.
4.      Membangun kesadaran manusia desa akan tempatnya di dalam tantangan lingkungannya serta posisinya sebagai faktor yang dominan berkat budaya serta teknologi yang dimilikinya.
5.      Membangun kesadaran bahwa apa yang telah dicapai menjadi tumpukan pengalaman masa lampau yang perlu dicari unsur-unsurnya yang baik untuk dijadikan bekal kemajuan.
6.      Memberikan ketegasan terhadap pihak luar untuk tidak diperbolehkannya mematikan kepercayaan kepada proses diakronis dan kekuatan historis yang tradisional. Selain itu, bimbingan yang diberikan oleh pihak luar harus dirasakan sebagai pertolongan dan pengarahan dalam langkah-langkah untuk memperbaiki kualitas hidup. (Daldjoeni, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar