BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsepsi
Religi Jawa
Sistem
religi Jawa merupakan hasil olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritual” orang
Jawa. Olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritual” tersebut melahirkan
pemahaman adanya “maha kekuatan” yang “murba wasesa” (mengatur dan menguasai)
seluruh jagad raya dan isinya. Maka lahir kesadaran hakiki tentang adanya
“realitas tertinggi” atau “sesembahan” yang disebut “Kang Murbeng Dumadi” (sebutan lain: Kang Maha Kuwasa, Hyang Wisesa, Hyang Tunggal, dan sebagainya).
Karena
dasarnya telah berwujud hasil olah “cipta rasa karsa” dan “daya spiritaul” maka
ada “perjalanan” menuju kesadaran “adanya” Realitas Tertinggi yang disebut “Kang Murbeng Dumadi” tersebut.
Perjalanan menuju ksadaran dimaksud adalah suatu proses penalaran yang
dibarengi dengan “laku kebatinan” yang dalam khasanah Jawa disebut “laku nawungkridha”. Hasilnya berupa
deskripsi Kang Murbeng Dumadi yang disebutkan sebagai “tan kena kinayangapa lan murbawasesa jagad saisine”.[1]
B. Sistem Keyakinan Agama Jawi
Sistem
budaya agamai Jawi setaraf dengan sistem budaya dari agama yang dianut orang
Jawa, terdapat berbagai keyainan, konsep, pandangan dan nilai, seperti antara
lain konsep keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa/Allah, konsep keykinan akan
adanya Muhammad adalah pesuruh Allah, konsep keyakinan akan adanya nabi-nabi
lain. Konsep keyakinan adanya tokoh-tokoh Islam yang keramat, keyakinan adanya
konsep kosmogoni tertentu tentang penciptaan adalm, yakni adanya dewadewa
tertentu yang menguasai bagian-bagian dari alam semesta, memiliki konsep-konsep
tertentu tentang hidup dan kehidupan setelah kematian, yakin akan adanya
makhluk-makhluk halus penjelaan nenek moyang yang sudah meningga, yakni adanya
roh-roh penjaga, yakin adanya setan, hantu dan raksasa, dan yakin adanya
kekuatan-kekatan gaib dalam alam semesta ini.[2]
Dari hasil kesusasteraan juga dapat ditinjau keterkaitan antara agami Jawi
dengan unsur-unsur agama Islam yang ditulis oleh para pujangga keraton Mataram
pada abad XVI dan abad XVIII, seperti Serat Centhini, Primbon atau Suluk.
Konsep keagamaan Jawa-Bai mengenai Tuhan yang dilambangkan sebagai Dewa Ruci
juga dimasukkan dalam karangan yang emngandung pandangan magis-mistik yang
sangat berorientasi kepada agami Jawi seperti Serat Darmogandhul dan Serat Gatholoco.
Konsep mengenai Tuhan-Dewaruci juga banyak dijumpai dalam karya para puajangga
keraton yang terkenal yang hidup dua abd sesudah itu, seperti Yasadipura I dan
puteranya Yasadipura II, serta R.Ng. Ronggowarsito. Dalam gubahannya yang
berjudul Serat Sasanasunu, Yasadipura II banyak menulis bait-bait mengenai
sifat Tuhan dan megenai hakekat dari hubungan antara Tuhan dan manusia.
Demikian halnya dengan keyakinan tentang Nabi Muhammad, sistem keyakinan agama
Jawi memandang Nabi Muhammad sangat dekat dengan Allah. Dalam setiap ritus dan
upacara, pada waktu mengadakan pengorbanan, sajian, atau slametan, selain
mengucapkan nama Allah, mereka juga mengucapkan nama Nabi Muhammad, yang dalam
bahasa Jawa dinyatakan sebagai Kanjeng
Nabi Muhammad Ingkang Sumare Ing Siti Medinah.[3]
Dalam hal keyakinan terhadap tokoh-tokoh keramat, selain keyakinan terhdap
dewa-dewa yang berperan sebagai pelindung manusia, agama Jawi banyak mengangkat
guru-guru agama menjadi orang keramat dalam sistem keyakinan orang Jawa seperti
Walisanga, tokoh penyebar Islam yang bersifat historis. Agama Jawi juga
memiliki keyakinan tersendiri terhadap konsepsi penciptaan alam semesta yang
dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yakni :
1.
Mite-mite yang
mengandung unsur-unsur dominan Hindu-Budha.
2.
Mite-mite yang
mengandung unsur-unsur sinkretik antara Agama Jawi dan Islam.
3.
Mite-mite dengan
unsur magis-mistik.[4]
C. Laku Kebatinan Jawa
Spiritualisme atau “laku
kebatinan” berkaitan dengan pemahaman manusia akan “hakekat hidup”nya. Hal ini
berkaitan langsung dengan sistem religi yang dipahami dan dianut. Pada sistem
religi, mitologi, dan hakekat hidup Jawa, maka laku kebatinan Jawa juga sejalan
dengan ketiga hal tersebut. Laku kebatinan jawa terbagi dalam tiga golongan,
antara lain :
1.
Laku kebatinan sebagai
bagian dari ritual panembah kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai sistem religi
Jawa.
2.
Laku kebatinan yang
berhubungan dengan menjaga “panunggalan semesta” yang berkaitan dengan mitologi
Jawa.
3.
Laku kebatinan yang
berhubungan dengan upaya mencapai tingkat “titah utama”.[5]
Spiritualisme
keberadaban manusia, selanjutnya merupakan laku kebatinan untuk mencapai
derajat “manusia utama” yang disebut “Insan Kamil” dalam khazanah lain. Laku
kebatinan in lebih mengutamakan kepada pendidikan moral yang disebut “Piwulang Kautaman”. Isi ajarannya
tentang “budi pekerti luhur” yang harus dipenuhi setiap insan yang bercita-cita
menjadi “titah utama”. Cukup luas cakupan laku spiritualisme keberadaban
manusia, namun intinya adalah upaya menyelenggarakan hidup bersama yang “tata tentrem kerta raharja”. Termasuk
dalam hal ini laku kebatinan untuk kepentingan mendapatkan berbagai “daya linuwih” untuk menunjang kehidupan
duniawi.[6]
Laku
kebatinan juga digunakan untuk mencari pesugihan,
aji-aji, gendam, jimat, pusaka, dan sebagainya. Ilmu kebatinan jenis ini
dalam Wedhatama dianggap kurang baik, karena dianggap melakukan persekutuan (kekarangan) dengan bangsa gaib,
sebagaimana tercantum dalam pupuh Pangkur Wedhatama pada 9 berikut,
“Kekerane ngelmu karang, kekarangan saking bangsaning gaib, iku boreh
paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning dagng kulup, yen
kapengok pancabaya, ubayane mbalenjani”
(Pengaruh atau andalan ngelmu karang itu berteman atau
menadakan perjanjian (minta pertolongan) kepada bangsa gaib. Yang seperti itu
ibaratnya hanya bedak yang tidak masuk ke jiwa raga. Tempatnya masih di luar
daging. Ketika digunakan untuk menghadapi bahaya, biasanya malah jadi hambar,
tidak berdaya guna)[7]
Laku kebatinan lain yang juga dipercaya dalam
spiritualitas Kejawen terdiri atas tiga tingkatan, yaitu Maneges, Semedi, dan Wiridan.
1.
Maneges adalah perilaku
kebatinan yang diwujudkan dalam kegiatan bertapa di tempat-tempat sepi yang
bertujuan untuk meminta “petunjuk” Tuhan. Ada yang menyebutnya sebagai Sembah Jiwa kepada Tuhan.
2.
Semedi yang istilah
populernya adalah meditasi, yaitu suatu kediatan kebatinan yang memiliki tujuan
untuk mencapai ketenteraman batin dan menata dayaning urip (prana jati) agar dapat diberdayakan dalam menjalani
hidup.
3.
Wiridan yaitu kegiatan
batin dengan membaca atau melafalkan rapal
(japa mantra) yang isinya untuk berserah diri kepada Tuhan. Umumnya
dilakukan dengan rutin, dengan hitungan-hitungan tertentu.
Ada banyak tatacara maneges, semadi, dan wiridan. Setiap penekunan kebatinan Jawa
memiliki tatacara sendiri. Ada yang mudah dijalankan, ada yang sangat sulit,
bahkan mustahil. Ada yang hanya dilakukan begitu saja tanpa syarat dan sarana
apa-apa, ada yang perlu ubarampe berupa
sesaji dan membakar dupa.[8]
D. Sesajen
dan Upacara Daur Hidup dalam Tradisi Jawa
Sesaji
dan slametan adalah sarana untuk berinteraksi dengan makhluk yang tidak kasat
mata (gaib) dengan tujuan sama-sama berbakti kepada Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Wujud upacara slametan mungkin berbeda-beda dari desa yang satu dengan desa
yang lainnya. Hal itu terkait dengan kemakmuran dan luas atau sempitnyaa
wilayah desa maupun kabuyutan masing-masing. Ada yang cukup berslametan berupa
sesaji sederhana di tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh makhluk gaib. Ada
juga yang disertai upacara yang memerlukan medium atau perantara antara manusia
dengan para makhluk gaib yang menghuni suatu desa. Dukun, penari tayub atau
ronggeng dan dalang menjadi medium terlebih dahulu. Artinya, makhluk gaib di
desa tersebut dalam memberi jawaban ajakan pergaulan warga manusia melalui
medium tersebut. Banyak juga medium yang berasal dari Ki Buyut desa itu
sendiri.
Dalam kaitannya dengan upacara
daur hidup, laku budaya slamtean juga dilakukan untuk menyambut kelahiran bayi,
upacara pengantin, dan untuk ngrukti
layon. Sajen bahkan juga turut disertakan dalam selametan memule diri
pribadi yang dilaksanakan setahun sekali pada hari kelahiran atau pada weton
berdasar hitungan penanggalan Jawa. Ada beberapa pilihan dan alternatif uborampe , di antaranya berupa :
1.
Sega biru atau nasi
biru dengan lauk kerbau satu
2.
Tumeng megana di
dalamnya diisi daging ayam putih mulus dan pada bagian luar diberi gudangan manca warna
3.
Nasi kuning dengan
lauk kerbau satu yang digoreng
4.
Nasi gurih dengan
bumbu rempah-rempah dari telur ayam dimasak menggunakan kuali yang mash baru
dan tempat memasaknya di tengah halaman dengan menggunakan kayu pelupuh. Ketika
menyalakan api, wajib menggunakan merang. Uborampe
ini disertai dengan sayur 7 macam.
5.
Nasi lemak lauk
ayam putih mulus
6.
Tumpeng lauk sayur
dedaunan 7 macam tanpa bumbu atau tanpa rasa (anyepan)
7.
Nasi kebuli
8.
Kupat Luwar 70 buah
disertai lauk berupa kerbau satu dijadikan 70 bagian
9.
Sego golong, pecel
ayam, jangan menir dan masakan melukut
10.
Jenang abang,
jenang cocor, jenang lemu, jenang lowok, jenang sumsum, jenang bening, jenang
katul, jenang lahan, bubur jagung, abon, dan panjang
11.
Srabi abang putih,
bikang abang putih, pasun abang putih, tumpi, sawutan, klepon, apem, pala,
kembang pai, paksawutan angin, utri, brondong, kelapa wutuh, gedang mas 2
tangkep, tebu wulung 4 batang, cempaka 40 pasang.[9]
Adapun selamatan
juga dilakukan pada masa kehamilan, dengan harapan memperoleh keselamatan hidup
pada masa kehamilan. Hal ini dilakukan dengan mengadakan selamatan sesuai
dengan usia bayi yang dikandung oleh soerang calon ibu. Adapun selamatan
tersebut meliputi :
1.
Kehamilan satu
bulan dengan sesaji berupa bubur sungsum yang dicampur dengan santan yang
diberi gula jawa.
2.
Kehamilan dua bulan
dan tiga bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng, gudhangan dan berbagai macam
sambal. Adapun lauknya berupa sebutir telur yang dibelah menjadi lima bagian.
Sesaji yang berupa jenang meliputi jenang merah, jenang merah puti, dan jenang
bar-baro. Selain itu dilengkapi pula dengan jajan pasar dan empon-empon.
3.
Kehamilan empat
bulan disebut ngupati. Sesajinya
berupa nasi kuning dengan lauk daging kerbau semua bagian tetapi hanya sedikit
saja. Perlengkapannya berupa ketupat sinta, jago, sido lungguh, dan luar.
4.
Kehamilan lima
bulan dengan sesaji berupa nasi tumpeng dari nasi punar, nasi putih dan nasi
asahan, enten-enten dan uler-uleran.
5.
Kehamilan tujuh
bulan disebut tingkeban dan mitoni. Upacara tujuh bulan dalam
masyarakat Jawa paling sering dilakukan di kalangan masyarakat jawa
dibandingkan uacara kehamilan lainnya.
6.
Kehamilan bulan
kesembilan dengan sesaji berupa jenang procot. Hal tersebut dilakukan dengan
tujuan agar bayi yang ada dalam kandungan dapat lahir dengan mudah tanpa
halangan apapun. Jenang procot ialah jenang yang dibuat dari tepung beras yang
diberi cairan gula kelapa dan pisang raja.[10]
Adapun ketika bayi dilahirkan,
maka dalam adat Jawa juga banyak diselenggarakan upacara-upacara adat untuk
menyambut kelahiran si jabang bayi, antara lain :
1.
Upacara Brokohan.
Selamatan ini dilaksanakan pertama kali ketika bayi lahir dan dilaksanakan
dengan tujuan memberitahukan kepada warga sekitar bahwa telah lahir seorang
bayi dengan selamat. Tata cara pelaksanaan brokohan sama dengan mengadakan
selamatan biasa. Adapun sesaji yang harus dipersiapkan yaitu sega asahan, daging kerbau siji artinya
semua bagian badan kerbau sedikit-sedikit, pecel
ayam, jangan menir, dan gudhangan.
2.
Upacara Sepasar
atau Puputan. Sepasar merupakan satuan waktu bagi masyarakat Jawa dengan kurun
waktu lima hari. Upacara sepasaran biasanya dilakukan bersamaan dengan puputan.
Puputan merupakan peristiwa putusnya tali pusat bayi. Hal ini terjadi biasanya
setelah bayi berumur lima hari sehingga kemudian pelaksanaannya dilaksanakan
bersamaan dengan sepasaran. Namun jika bayi setelah sepasar belum puput maka
pelaksanaan sepasaran bisa lebih dahulu atau dilakukan dengan menunggu uputan,
tergntung kebijakan orang tua si bayi. Selamatan sepasaran atau puputan
menggunakan sesaji makanan antara lain berupa nasi tumpeng dan golong yang
dilengkapi denga lauk pauk yang terdiri atas panggang ayam, gudhangan, dan
telur rebus; jajan pasar; dan jenang putih, merah putih, dan baro-baro. Pada
pagi harinya setelah malam sepasaran diadakan bancakan. Bancakan merupakan kenduri
kecil yang dibagikan untuk anak-anak. Adapun makanan tersebut berupa nasi
tumpeng, gudhangan, dan telur rebus.
3.
Selapanan
Upacara selamatan selapanan diadakan setelah bayi berumur
35 hari, dengan sajiannya berupa nasi tumpeng, gudhangan, telur rebus, jenang
merah, putih, merah putih, palang dan baro-baro, jajan pasar, dan inthuk-inthuk
yakn tumpeng kecil yang ditaruh di dalam tempurung kelapa (bathok bolu) dilengkapi dengan telur rebus dan di ujung tumpeng
ditancapkan bawang merah dan cabe merah. Upacara selapanan dilaksankan dengan
maksud untuk menghormati roh-roh yang dianggap menjaga bayi dan saudara si bayi
yang berjumlah tujuh.
4.
Tedhak Siten
Upacara tedhak siten dilaksanakan ketika anak sudah
berumur 7 bulan atau 6 lapan. Tedhak artinya turun sedangkan siten berasal dari kata siti yang artinya tanah. Jadi tedhak
siten adalah upacara turun tanah bagi anak untuk pertama kali. Upacara tedhak
siten disebut juga upacara udhun-udhunan
atau mudhun lemah. Latar belakang
diadakannya upacara tedhak siten yaitu adanya kepercayaan masyarakat Jawa bahwa
tanah mempunyai makna gaib dan dijaga oleh Bathara Kala. Untuk menghindari
marabahaya maka diadakan upacara mengenalkan anak kepada Bathara Kala sebagai
penjaga tanah agar tidak marah. Adapun pelaksanaannya disesuaikan dengan weton
atau hari lahir anak.
5.
Nyapih
Nyapih berasal dari kata sapih yang artinya pisah atau
memisahkan. Upacara tersebut bertujuan untuk menyelamati anak pada saat anak
tidak lagi menyusu ibunya. Anak disapih biasanya pada umur dua tahun dan
disesuaikan dengan weton atau hari lahir anak.[11]
Ketika
anak telah menginjak usia remaja, maka upacara adat yang dilaksanakan antara
lain :
1.
Sunatan atau
Tetakan
Upacara sunatan merupakan upacara saat peralihan seorang
anak laki-laki dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada umumnya upacara
tersebut dilaksanakan pada saat seorang anak laki-laki berumur 12 tahun.
Sunatan bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai saat yang berbahaya karena anak
berada dalam masa peralihan. Diyakini pada masa itu dilingkupi adanya gangguan
kekuatan gaib yang harus disingkirkan. Untuk menyingkirkan gangguang tersebut
dibuatlah selamatan. Bagi orang Jawa yang beragama Islam upacara sunatan disebut
juga ngislamake. Adapun orang yang
bertugas menyunat adalah bong supit,
seorang laki-laki yang pekerjaannya menyunat.
2.
Tetesan
Dalam kehidupan masyarakat Jawa bila anak perempuan sudah
berumur 8 tahun atau satu windu perlu disunati. Sunatan bagi anak perempuan
tersebut disebut tetesan yang juga dilengkapi dengan selamatan.
3.
Perawatan pada
waktu haid pertama
Anak perempuan pada usia 12-15 tahun biasanya akan
mengalami menstruasi atau haid yang pertama kali. Dalam masyarakat Jawa
terdapat adat bagi anak gadis tersebut dilarang keluar rumah selama tiga hari
dan rambutnya digelung dengan benang lawe. Selama tiga hari itu pula tidak
boleh mandi dan apabila duduk harus beralaskan kantong dari lawon yang berisi
jamu galian.[12]
Setelah
menginjak fase remaja, maka selanjutnya fase perkawinan merupakan sebuah fas
peralihan kehidupan manusia dari masa remaja ke masa berkeluarga. Perkawinan
bagi masyarakat Jawa diyakini sebagai sesuatu yang sakral, sehingga diharapkan
dalam menjalaninya cukup sekali seumur hidup. Kesakralan tersebut
melatarbelakangi pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Jawa yang sangat
selektif dan hati-hati baik pada saat pemilihan bakal menantu ataupun penentuan
hari pelaksanaan perkawinan.
1.
Penentuan bakal
menantu
Pasangan suami istri diharapkan hdiup bahagia harmonis
selamanya seperti ungkapan Jawa “kaya
mimi lan mintuna”. gar harapan tersebut dapat terwujud maka penentuan bakal
menantu dalam masyarakat Jawa ditentukan oleh beberapa kriteria antara lain bibit, bebet, bobot, dan pasatoan salaki rabi. Pasatoan salaki rabi adalah pedoman
mencari jodoh berdasarkan nama, hari kelahiran, dan neptu. Pedoman tersebut dilakukan baik dari pihak pria maupun pihak
wanita. Berdasarkan primbon Betalijemur Adammakna pedoman perjodohan
berdasarkan nama dilakukan dengan cara menggabungkan nilai aksara pertama pada
nama calon pengantin pria dengan nama calon pengantin perempuan kemudian dibagi
5 dan sisanya diperhitungkan sebagai lambang baik buruknya perjodohan tersebut.
Sebagai contoh, seorang laki-laki bernama Bagus akan dijodohkan dengan seorang
gadis bernama Niken. Perhitungannya:
Ba (dari Bagus) + Na (dari Niken) = 18 + 2 = 20
Untuk menemukan makna lambang perjodohan kemudian hasil
penjumlahan dibagi 5 hasilnya 4 habis. Hal ini sama dengan sisa 5 yang
lambangnya pati artinya hidupnya akan
sengsara dan sering mendapat bencana kematian. Berdasarkan perhitungan tersebut
maka perjodohan antara Bagus dengan Niken tidak baik atau keduanya tidak
berjodoh.
2.
Nontoni
Nontoni adalah melihat dari dekat tentang keluarga dan
pribadi gadis yang dicalonkan sebagai pasangan calon pengantin laki-laki. Pada
saat nontoni tersebut keluarga pihak laki-laki dapat melihat calon pengantin
wanita secara lahiriah serta dapat memperhatikan juga tentang bibit, bebet, dan
bobotnya.
3.
Nglamar atau
meminang
Peristiwa meminang dalam masyarakat Jawa biasanya
dilakukan oleh congkok yang ditujukan
kepada orang tua gadis yang akan dijodohkan. Hal ini dimaksudkan agar jika
ditolak tidak terlalu menyakitkan hati keluarga pihak laki-laki. Jawaban atas
lamaran tersebut sebenarnya bisa saja dijawab saat itu juga, namun biasanya
keluarga dari pihak gadis memohon kelonggaran waktu untuk berpikir.
4.
Paningsetan
Upacara paningsetan bertujuan untuk memberi tanda secara
simbolis bahwa gadis yang telah dilamar sebelumnya telah diikat untuk dijadikan
istri. Dalam kesempatan tersebut keluarga pihak laki-laki memberikan
barang-barang kepada keluarga pihak perempuan dan barang tersebut diistilahkan
sebagai paningset. Barang-barang
tersebut berupa seperangkat pakaian (sandhangan
sapengadeg) dan kadang disertai pula dengan sepasang cincin.
5.
Rangkaian upacara
pernikahan
Setelah pihak laki-laki memberikan paningsetan maka
kemudian dilanjutkan dengan pasok tukon atau srah-srahan dengan tujuan
meringankan kebutuhan hajatan perkawinan yang akan dilaksanakan. Kemudian
menjelang saat perkawinan, calon mempelai perempuan dilarang untuk bertemu
calon suaminya dan dilarang keluar rumah, atau disebut dengan tradisi pingitan yang berkisar selama 7 hari
atau seminggu. Pada sekitar satu minggu sebelum upacara perkawinan, keluarga
mempelai perempuan melakukan ritual tarub
sebagai simbol dari harapan-harapan bagi mempelai berdua dalam menjalankan
kehidupan rumah tangga dan untuk menghias rumah atau tempat tersebut supaya
nampak indah dan megah. Hiasan utama dari tarub berupa bleketepe yang dibuat dari janur kuning dan tuwuhan. Kemudian dilanjutkan
dengan upacara siraman dengan maksud
mensucikan calon pengantin sebelum upacara perkawinan dan dapat dilaksanakan
bersamaan untuk kedua mempelai namun secara terpisah. Jika dilakukan secara
terpisah maka keluarga pihak calon mempelai pria terlebih dahulu meminta air
sebagai syarat untuk melakukan upacara siraman kepada keluarga calon mempelai
puteri. Kemudian pada malam hari sebelum upacara perkawinan dilangsungkan
keluarga pihak mempelai perempuan mengadakan tirakatan semalam suntuk yang
disebut malam midodareni. Sesaji yang disediakan ialah kembar mayang dan sirih
dipajang di kamar pengantin, nasi wuduk dan ingkung ayam. Keesokan harinya
kemudian dilaksanakan ijab dan panggih.
Ijab adalah pengucapan kaul atau janji pernikahan yang dilakukan oleh pihak
laki-laki dengan disaksikan wali dan keluarga baik dari pihak mempelai
laki-laki maupun wanita. Upacara panggih dilakukan di depan gapuran pawiwahan dengan urutan : balangan gantal, midak wiji atau mecah wiji adi, mijikan, dilempari dengan bunga manca warna, sinduran, bobot timbang, nanem jero, kacar-kucur, dan dulangan.[13]
Upacara
daur hidup selanjutnya adalah upacara kematian. Dalam urusan kematian, jelas
bahwa pati adalah kekuasaan dan
wewenang Tuhan dalam rangka menutup kehidupan seseorang. Manusia mati,
sebaiknya dapat kembali pulang ke jagad asalnya. Semua pinjaman (gadhuhan) yang berwujud raga hendaknya
dapat kembali dengan sempurna kepada pemiliknya (asal-usulnya) yaitu jagad
raya. Yang tadinya wujud tinggal “nama”, yaitu nama baik seseorang yang setelah
meninggal dapat diteladani oleh anak-cucunya. Slametan untuk kematian adalah
upacara pengembalian jasad pinjaman kepada pemiliknya. Sesaji juga merupakan
perwujudan bakti dna hormat dari keluarga kepada leluhurnya yang sudah
meningal. Sesajinya berwujud tumpeng
sinigar yang dibelah membujur dan diletakkan saling membelakangi, yang
merupakan perlambang bahwa jasad si mati akan lepas mengurai kembali kepada
jagad raya. Urutan-urutan upacara sejak hari kematian (surtanah atau bedhah
bumi) hingga 1000 hari sejak meninggal, merupakan simbol-simbol penggambaran
proses kembalinya jasad menjadi unsur-unsur bumi di dalam kuburnya. Dalam Serat
Wirid Hidayat Jati, penjelasan proses pengembalian jasad ini cukup gamblang dan
dilengkapi dengan gambar-gambar.[14]
E. Konsep Agami Jawi kepada Kehidupan Sesudah Mati dan Alam Baka
Keyakinan
orang Jawa akan kehidupan sesudah mati pada umumnya orang Jawa berkeyakinan
bahwa tidak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi makhluk
halus (roh) yang disebut lelembut, dan berkeliaran di sekitar tempat
tinggalnya. Beberapa dari sifat (kemampuan) spiritual dan mistisme gaib
ternyata juga dapat dimiliki oleh orang yang meninggal. Beberapa jam sebelum
meninggal, tubuh seseorang dalam keadaan tidur secara organik. Rohnya, karena
ingin mengucapkan selamat tinggal kepada keluarga atau teman, daya pikirnya
memiliki kekuatan untuk mewujudkan diri. Oleh karena itu orang ini dapat
menampakkan diri kepada teman atau keluarga meskipun mereka berada di tempat
yang jauh. Penampakan diri ini tampil sebagai orang yang masih hidup, namun
tidak memiliki kemampuan bicara. Orang yang dalam keadaan demikian juga dapat
menulis menggunakan tangan orang yang tidak dikenal. Bahkan bisa saja tulisan
tersebut menggunakan bahasa yang tidak dikenal oleh orang yang menulisnya.
Ketika roh orang yang hampir meninggal merasuk ke seseorang bisa terjadi orang
yang dirasuki berbicara menggunakan bahasa roh orang tersebut yang tidak
dipahami oleh orang yang tubuhnya digunakan. Roh halus ini juga dapat
menggunakan magnet pribadi orang untuk melakukan kegiatan-kegiatan jasmaniah.
Sementara itu, orang yang digunakannya, ketika dalam keadaan tidak dirasuki,
sama sekali tidak mampu melakukan ini.[15]
Mengenai
kepercayaan terhadap alam baka, penganut Kejawen mempercayai alam semesta
terdiri atas tiga daerah besar, yaitu daerah kehidupan, daerah astral, dan
daerah halus. Daerah kehidupan adalah daerah dimana kita hidup. Daerah astral
adalah daerah perlihan dimana badan halus manusia yang sudah meninggal asih
melekat pada rohnya. Alam halus adalah alam tempat berdiam para roh. Tempat ini
juga disebut sebagai daerah kelangitan atau Swarga. Di lingkungan bumi,
terdapat dua wilayah yang disebut sebagai kehidupan nyata dan daerah astral.
Kehidupan nyata berada pada bumi kita. Daerah astral terbagi dalam Kamaloka dan Naraka. Naraka terdiri
atas tujuh bola (wilayah kehidupan) dan sesuai hukum pantulan, Kamaloka juga terdiri atas bola-bola.
Bumi kita adalah bola kesatu di lingkungan Naraka
dan bumi kesatu di Kamaloka. Bola
kesatu di Naraka adalah bumi yang
menjadi daerah kehidupan manusia. Bola kesatu di Kamaloka adalah bumi kita juga, namun di wilayah astral tempat roh
berbadan halus hidup. Jadi, kedua bola kesatu tersebut adalah bumi, namun di
wilayah kehidupan yang berbeda.[16]
Tujuh
bola di lingkungan Naraka dinamakan
neraka-neraka hidup, juga disebut neraka yang berada di bawah bumi. Pantulan
dari ketujuh bola ini ke daerah astral akan membentuk tujuh bola lain yang
disebut bola-bola astral, yang karena hukum alam tidak saja terikat satu dan
lainnya, tapi juga berhubungan dengan bola-bola di Naraka. Bola-bola astral ini bersama-sama membentuk satu bola yang
dinamakan Kamaloka (tempat tinggal
roh halus). Jarak dari bola kesatu dari Naraka
dan bola kesatu dari Kamaloka adalah
jalan astral. Jalan ini juga dinamakan jembatan Wot agil-agil. Wot agil-agil adalah jembatan yang terdiri atas
rambut-rambut perempuan yang dipecah menjadi tujuh dan diikat menjadi satu.
Sebenarnya jembatan ini adalah jembatan bayangan. Wot agil-agil dapat dianggap sebagai hukum alam yang akan
membawakan roh sesudah kematian badaniahnya menuju suatu bola yang sesuai.[17]
Kamaloka sebagai temat tinggal roh-roh
yang sudah meninggal akan menjadi tempat bagi roh yang baru tiba sebagai sarana
belajar untuk menanggalkan pikiran dan kesenangan (Kama). Roh yang sudah berhasil melepas sifa kebinatangannya, dan
melalui kematian yang kedua, berpindah tempat ke bumi yang terletak pada
lapisan langit pertama. Badan ini merupakan sebuah roh (ajal) yang disebabkan
hukum alam ditarik ke alam dunia dan akan melebur di sana secara
perlahan-lahan. Manusia yang selama hidupnya mengumbar hawa nafsu, terbiasa
dengan cara hidup semacam itu, rohnya telah dihinggapi dengan berbagai
keburukan. Setelah meninggalnya seseorang, keburukan ini memengaruhi badan
halusnya. Ketika roh dan badan halus terlepas dari Wethala-nya pada hari ketiga hingga ketujuh, sifat dari badan
halusnya tidak akan mengalami perubahan. Badan halus itu tetap berada dalam
keadaan cenderung ke kehidupan yang ada sehingga menjadi terlalu besar untuk
berpindah ke Kamaloka (tempat tinggal
para roh halus di kelangitan).[18] Bagi
manusia yang semasa hidupnya berlaku baik, proses perubahan badan halus
dinamakan Iyatama. Dalam Iyatama, badan halus berubah menjadi
bentuk yang sesuai untuk bertempat tinggal di dunia roh halus atau dunia
kelangitan. Roh yang badan halusnya telah bebas dari hawa nafsu dan kesenangan
dinamakan Moksha. Roh ini akan
berpindah menuju ke kelangitan pertama. Sementara itu proses perubahan badan
halus dari manusia yang selama hidupnya berbuat jahat dinamakan Dhruwan. Dalam Dhruwan, badan halus akan berubah bentuk kasar. Roh dengan badan
halus yang “kasar” lebih cocok untuk tinggal di lingkungan Naraka (suatu lingkungan yang digambarkan memiliki kedudukan lebih
rendah dan bumi tempat kehidupan nyata).[19]
Ada pula
keadaan yang lebih tinggi dari Moksha,
yaitu bila roh dapat mencapai lapisan langit yang keempat, yang kemudian sampai
di daerah langit yang kelima. Di sini, roh dalam badan halus berubah dari
“rupa” ke “arupa”. Keadaan ini dinamakan Saiyadiyam,
yaitu mencapai satu kesatuan dengan Tuhan. Bilamana roh telah sampai dalam
keadaan ini maka setelah kematian dalam wujudnya akan sampai pada daerah di
lelangitan kelima. Di wilayah lelangitan kelima, jiwa telah murni atau “arupa”.[20]
[10] Sarjana Hadiatmaja, Kuswa Endah, Pranata Sosial dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: Grafika Indah,
2009), hlm. 102.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar