Kamis, 12 Juli 2012

Tanam Paksa - Sengsara Bermata Dua di Tanah Jawa


Fadhil Nugroho Adi
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
E-mail : adiyond@ymail.com
___________________________________________________________________


Menyaksikan diorama penindasan rakyat pribumi dalam film Max Havelaar ini nyaris membuat bergidik siapapun yang menyaksikannya. Lihat saja, penderitaan tumpah akibat kebengisan kumpeni dan bupati di sana! Yang mengherankan, tak ada sama sekali rasa persamaan nasib antara kaki tangan bupati dengan rakyat jelata yang secara nyata berasal dari kaum yang sama : pribumi. Kekejaman mereka justru lebih menggila. Kekerasan berlangsung begitu mengerikan. Pemaksaan atas hak milik pun mematikan produktivitas rakyat di sana. Asisten residen hanya menjadi hiasan di sana akibat perbedaan pandangan yang begitu tajam. Sungguh ironis !


Film yang mengambil latar tanam paksa di bawah kepemimpinan Van Den Bosch ini ber-alur kilas balik atau flash back. Diawali dengan penggambaran situasi masyarakat Lebak yang hidupnya di bawah tekanan pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Kerbau yang menjadi tumpuan penghidupan mereka direbut paksa oleh demang (diperankan oleh Maruli Sitompul) beserta pasukannya, dan sama sekali mereka tidak bisa melawannya. Pilihannya nyawa atau membayar pajak kepada penguasa. Sudah pasti bisa ditebak jawabannya. Kekurangan ekonomi-lah yang menyebabkan mereka terpaksa menyerahkan kerbau tersebut kepada raden demang.
Di lain tempat, jauh letaknya di seberang sana tepatnya di negeri Belanda, Max Havelaar (diperankan oleh Peter Faber) yang sudah habis masa pengabdiannya sebagai asisten residen di Nusantara menemui sahabat lamanya. Ia menyerahkan sekumpulan tulisan dengan meyakinkan bahwa apa yang ia tulis mengenai kopi. Ya, masyarakat Eropa memang begitu antusias dengan minuman pekat itu -sekaligus sebagai komoditi ekspor yang paling banyak ditanam di Nusantara-. Alangkah terkejutnya sahabat Havelaar ini karena tulisan Havelaar tidak melulu berkisah tentang kopi melainkan gambaran kesengsaraan rakyat di Nusantara. Kekerasan, tindak pelecehan seksual, dan kasus-kasus lain juga menjadi bahan penulisan Havelaar yang juga mencengangkan sahabat Havelaar itu. Di kemudian hari tulisan ini diterbitkan dan menggegerkan penduduk daratan Eropa serta menjadi senjata ampuh untuk menggulingkan Van Den Bosch -sekaligus pendiskreditan Belanda-serta melabeli Belanda sebagai negara penjajah yang kejam.
Pengisahan secara utuh kondisi sosial-masyarakat di Lebak diawali dengan jamuan makan malam yang diadakan bupati (diperankan oleh Adendu Soesilaningrat) dengan mengundang asisten residen, Slottering (diperankan oleh Joop Admiraal). Jamuan makan malam itu terrasa hangat, terlebih dengan suguhan tari-tarian. Akan tetapi pujian dan rasa hormat asisten residen terhadap bupati tidak relevan dengan apa yang menimpanya. Slottering diberi kudapan, dan ia memakannya. Ia tidak sadar bahwa kudapan itu telah diracun. Racun itu menjalar begitu cepat terlebih ia penderita penyakit limpa. Tim dokter tidak mampu mengobatinya, dan Slottering pun meninggal dunia -saat itu istri Slottering (diperankan oleh Rima Melati) tengah mengandung-. Sang istri tampaknya mencium keanehan penyebab kematian suaminya. Sekuat apapun desakan sang istri kepada dokter untuk menyelidikinya, dokter tetap akan menulis laporan bahwa Slottering meninggal karena gagal limpa dan laporan inilah yang terdengar ke kantor residen. Residen (diperankan oleh Carl van der Plas) beserta jajarannya pun harus segera memutuskan pengganti asisten residen di Lebak.
Waktu bergulir, dan Max Havelaar datang ke Nusantara, dengan Sulawesi sebagai tujuannya. Max Havelaar datang beserta istri (diperankan oleh Sacha Bulthuis) dan putera semata wayangnya. Keberpihakan Havelaar terhadap pribumi terlihat ketika seorang pria -nampaknya ia pejabat pribumi- di sana melakukan tindak pelecehan seksual terhadap wanita dari kalangan rakyat biasa. Di situlah Havelaar menampar lelaki tadi dan segera saja ia mendapatkan simpati dari rakyat di sana.
Kekosongan jabatan asisten residen di Lebak menyebabkan Havelaar dipindahtugaskan ke Jawa. Pada mulanya sang istri menolak pemindahan tersebut -karena tempatnya jauh dari pantai- namun lama kelamaan ia menyukainya. Suasana yang asri, udara yang sejuk dan iklim masyarakatnya yang tenang-lah penyebabnya.
Di Lebak, Havelaar bersikap sama dengan apa yang ia lakukan di Sulawesi. Bukan lagi-lagi tamparan, melainkan keberpihakannya terhadap kaum pribumi sekaligus kesederhanaan sikap yang dimilikinya, jauh dari kesan kumpeni yang sewenang-wenang. Sikapnya ini begitu kentara ketika ia banyak menolak pengiriman tenaga-tenaga rakyat yang dipersiapkan bupati untuknya. Baginya, ia tidak butuh dilayani selama ia masih sanggup mengerjakannya sendiri. Bahkan untuk menata rumah pun ia ikut turun tangan bersama sang istri dibantu para penduduk pribumi. Havelaar kerap berkeliling Lebak dengan menunggangi kudanya. Ia begitu memperhatikan nasib rakyat jelata. Ini terlihat ketika raden demang tidak membayar kerbau yang ia beli dari rakyat jelata, Havelaar dengan tegas melarang penjualan kerbau jika memang mereka tidak menghendaki menjualnya.
Keberpihakan Havelaar terhadap rakyat pribumi ternyata menimbulkan keresahan di kalangan pejabat pribumi itu sendiri. Pernah ia “dikirimi” sekarung ular yang bisa menjalar dengan cepat ke kediamannya. Ia juga nyaris mengalami hal yang sama seperti Slottering ketika bupati mengundangnya makan malam bersama. Beruntung, nyonya Slottering melarang Havelaar untuk pergi ke sana. Dari situlah terungkap bahwa kematian Slottering akibat diracun dan dibawalah kasus ini ke Residen, akan tetapi Residen bersikap acuh dan tak mau tahu.
Havelaar sebenarnya mengerti penderitaan rakyatnya. Apalah dayanya jika perjuangannya tidak mendapat jalan terang dari bupati yang bersekongkol dengan demang untuk menjatuhkan dirinya. Havelaar bahkan sempat diminta untuk berpindahtugas ke Ngawi akan tetapi ia menolak karena ia belum melakukan perubahan besar di Lebak. Terdorong oleh rasa geram atas ketidakadilan yang dialami masyarakat di Lebak menyebabkan Havelaar bertekad untuk melaporkan masalah ini kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sang istri yang teramat mencintainya berat untuk melepas Havelaar sebab ia tahu resiko yang musti dihadapi sang suami. Akan tetapi atas nama keadilan Havelaar, istri, dan puteranya, melawat ke Bogor untuk menjumpai Gubernur Jenderal.
Sayangnya impian Havelaar untuk bisa duduk bersama dengan Gubernur Jenderal untuk membicarakan kesengsaraan rakyat Lebak menemui jalan buntu. Tak ada asa yang bisa terwujud. Tak ada harapan yang bisa dirajut. Pemerintah kolonial Hindia Belanda nampak memihak bupati ketimbang asisten residennya sendiri. Havelaar begitu terpukul. Terpuruk. Benarlah rakyat musti memikul derita atas nama sang Raja !
Bertolak dari kisah Max Havelaar dalam film yang berjudul sama ini bisa ditarik satu garis kesimpulan, bahwa apa yang dituangkan sebenarnya hanya segelintir dari kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan akibat sistem tanam paksa di Jawa. Barangkali benar ungkapan Van Soest yang dimuat dalam tulisan R.E. Elson bertajuk Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau Jawa, “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya” (Booth, Anne, 1988 : 39). Tanam paksa, menurut Ricklefs, dalam prakteknya tidak pernah ada sistem sama sekali. Terdapat banyak variasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dalam pelaksanaan rencana-rencana Van Den Bosch tersebut di Jawa (Ricklefs, M.C., 2005: 261). Sebagai contoh, dengan mengambil latar tempat yang sesuai dengan kiprah Max Havelaar yakni di Lebak, Banten, di sana telah terdapat kelaziman kaum tani menyerahkan hasil budidaya ke pabrik kopi untuk pengolahan taraf terakhir (Booth, Anne, 1988 : 44). Akan tetapi kaum tani tersebut diharuskan bekerja empat atau lima kali lebih lama daripada jam kerja yang dituntut dalam masa sebelum tahun 1830 dan imbalan yang diterima sama sekali tidak seimbang dengan tambahan waktu dan jerih payah yang dituntut dari mereka, dan bahkan jauh di bawah harga pasaran dari hasil budidaya itu (Booth, Anne, 1988 : 45). Keadaan tersebut masih ditambah lagi dengan kesulitan-kesulitan sebagai dampak budidaya paksa erhadap pertanian tanaman pangan. Pertama, hari kerja yang dituntut untuk budidaya paksa sering tidak menyisakah waktu untuk penggarapan tanaman pangan, msialnya penanaman tebu dan nila yang acapkali mengganggu kegiatan penanaman dan pemeliharaan padi; kedua, budidaya yang menggunakan jumlah besar dari tanah sawah misalnya tebu dan nila; ketiga, tanah sawah harus disediakan untuk budidaya ekspor pada masa tertentu; keempat, tanaman ekspor yang ditanam pada lahan diutamakan dalam hal pembagian air irigasi; kelima, padi yang ditanam pada lahan bekas budidaya tebu dan nila tidak memberi hasil panen yang maksimal; dan keenam, sistem tanam paksa melipatgandakan terhadap kebutuhan hewan ternak kaum petani (Booth, Anne, 1988: 47-48). Tekanan yang datang bertubi-tubi dari pihak luar dan dapat diselesaikan di dalam desa tanpa mengubah keutuhan desa jutsru dapat memberi peran kepada desa sebagai penyambung atau tussen schakel antara sistem tanam paksa dan rakyat sebagai penanam. Keadaan tersebut berdampak:
1.      Proses mengarahkan desa ke luar mengalami keterlambatan, begitu pula dengan modernisasinya. Gejala-gejala komersialisasi, diferensiasi, dan spesialisasi tidak bisa dilakukan dalam sistem yang feodal dan sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada investasi yang kembali ke penghasil sendiri.
2.      Sistem tanam paksa lebih memperkuat perkembangan desa yang terarah ke dalam karena bisa difungsikan sebagai alat produksi yang efektif.
3.      Peranan kepala desa sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat diperolehnya dukungan dari penguasa di atasnya, baik Belanda maupun pribumi (Kartodirdjo, Sartono, 1992 : 311).
Mengenai ketundukan bupati kepada kolonial, sementara bupati adalah orang pribumi, Ricklefs menandaskan bahwa Bealanda sebelumnya tidak pernah tertarik untuk “memodernkan” para bupati karena mereka bermanfaat dengan status tradisional mereka. Terlebih tingkat pendidikan mereka begitu rendah. Pemerintah kolonial memanfaatkan para bupati untuk kepentingannya sendiri, menyalahgunakan status mereka, dan memudahkan mereka untuk melakukan penyelewengan, sementara ketika penyelewengan-penyelewengan menjadi jelas dan para bupati tidak bermanfaat lagi maka pemerintah mulai melangkahi mereka (Ricklefs, M.C., 2005: 279). Inilah mengapa gubernur jenderal Hindia Belanda terkesan tidak peduli dengan misi keadilan yang dibawa Havelaar. Padahal seorang asisten residen, dalam pelantikannya, selalu membawa sumpah untuk melindungi rakyatnya, tak terkecuali Max Havelaar.
Siapa Douwes Dekker ?
Douwes Dekker, sang penulis Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli (“dia yang telah banyak menderita”, nama samaran yang mencerahkan!) adalah seorang pejabat di administrasi kolonial. Ia bertugas sebagai asisten residen di Jawa Barat tempat ia berkonflik dengan atasannya. Ia menuduh mereka membiarkan penyalahgunaan wewenang dan pemerasan bupati Lebak, orang yang seharusnya ia kontrol dalam pemerintahan kabupatennya. Dekker berniat untuk memperbaiki penyalahgunaan wewenang dan mengajukannya langsung kepada Gubernur Jenderal, dengan harapan bahwa Gubernur Jenderal akan menyetujui rencananya. Akan tetapi ia justru disalahkan dan dipindahtugaskan ke pos yang kurang menyenangkan. Iapun mengundurkan diri. Douwes Dekker berusaha sekeras mungkin bersikap adil kepada orang miskin tapi ia tidak punya kebijaksanaan untuk melangkah dengan taktis. Max Havelaar inilah sebagai wujud pemberontakan pikirannya yang menjadi bestseller dalam waktu singkat. Gayanya, kekuatan penggambarannya atas hubungan sosial di Indonesia dan kebaruan pendekatannya menandai titik balik dalam sastra Belanda dan tetap menjadi sastra Belanda klasik abad ke-19.
Max Havelaar lebih daripada sekedar kritik terhadap pemerintahan kolonial dalam bentuk sastra, juga merupakan satir tanpa simpati terhadap suatu jenis borjuasi Belanda, yang saleh dan bahkan moralistik di antara sesama mereka, tapi merogoh setiap sen yang bisa mereka peras dari Hindia sambil dengan seenaknya mengabaikan kondisi parah orang Indonesia yang memeras keringat untuk memproduksi kekayaan itu.
Ekspresi sentimen yang keras menjadikan Max Havelaar menjadi pendakwaan atas sistem pemerintahan yang ada dan pada akhirnya membantu mempersiapkan latar belakang bagi kaum liberal yang ingin melakukan usaha serius memasukkan prinsip mereka ke dalam pemerintahan kolonial (Vlekke, H.M. Bernard, 2010 :  340-342).




Kepustakaan

Booth, Anne,dkk (sunt). 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900: Dari Emporium  Sampai Imperium. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Vlekke, H.M. Bernard. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.



1 komentar:

  1. Film nya Keren,tapi yang masih menjadi pertanyaan saya ni mas fadil, sebuah tulisan di buat dengan gamblang mengenai penderitaan rakyat Nusantara, apa mungkin ada juga unsur politik atau semacamnya yang secara implisit ingin di peroleh oleh Max Sendiri ??
    atau Murni sebagai bentuk seorang Simpatisan yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat kenyataan yang menyakitkan di depan mata. hmmmm ckckckck so hard..:D

    BalasHapus