Fadhil Nugroho Adi
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
E-mail : adiyond@ymail.com
___________________________________________________________________
Menyaksikan diorama
penindasan rakyat pribumi dalam film Max Havelaar ini nyaris membuat bergidik
siapapun yang menyaksikannya. Lihat saja, penderitaan tumpah akibat kebengisan
kumpeni dan bupati di sana! Yang mengherankan, tak ada sama sekali rasa
persamaan nasib antara kaki tangan bupati dengan rakyat jelata yang secara
nyata berasal dari kaum yang sama : pribumi. Kekejaman mereka justru lebih menggila.
Kekerasan berlangsung begitu mengerikan. Pemaksaan atas hak milik pun mematikan
produktivitas rakyat di sana. Asisten residen hanya menjadi hiasan di sana
akibat perbedaan pandangan yang begitu tajam. Sungguh ironis !
Film
yang mengambil latar tanam paksa di bawah kepemimpinan Van Den Bosch ini ber-alur
kilas balik atau flash back. Diawali
dengan penggambaran situasi masyarakat Lebak yang hidupnya di bawah tekanan
pemerintah yang tidak memihak kepada mereka. Kerbau yang menjadi tumpuan
penghidupan mereka direbut paksa oleh demang (diperankan oleh Maruli Sitompul)
beserta pasukannya, dan sama sekali mereka tidak bisa melawannya. Pilihannya
nyawa atau membayar pajak kepada penguasa. Sudah pasti bisa ditebak jawabannya.
Kekurangan ekonomi-lah yang menyebabkan mereka terpaksa menyerahkan kerbau
tersebut kepada raden demang.
Di
lain tempat, jauh letaknya di seberang sana tepatnya di negeri Belanda, Max
Havelaar (diperankan oleh Peter Faber) yang sudah habis masa pengabdiannya
sebagai asisten residen di Nusantara menemui sahabat lamanya. Ia menyerahkan
sekumpulan tulisan dengan meyakinkan bahwa apa yang ia tulis mengenai kopi. Ya,
masyarakat Eropa memang begitu antusias dengan minuman pekat itu -sekaligus
sebagai komoditi ekspor yang paling banyak ditanam di Nusantara-. Alangkah
terkejutnya sahabat Havelaar ini karena tulisan Havelaar tidak melulu berkisah
tentang kopi melainkan gambaran kesengsaraan rakyat di Nusantara. Kekerasan,
tindak pelecehan seksual, dan kasus-kasus lain juga menjadi bahan penulisan
Havelaar yang juga mencengangkan sahabat Havelaar itu. Di kemudian hari tulisan
ini diterbitkan dan menggegerkan penduduk daratan Eropa serta menjadi senjata
ampuh untuk menggulingkan Van Den Bosch -sekaligus pendiskreditan Belanda-serta
melabeli Belanda sebagai negara penjajah yang kejam.
Pengisahan
secara utuh kondisi sosial-masyarakat di Lebak diawali dengan jamuan makan malam
yang diadakan bupati (diperankan oleh Adendu Soesilaningrat)
dengan mengundang asisten residen, Slottering (diperankan oleh Joop Admiraal).
Jamuan makan malam itu terrasa hangat, terlebih dengan suguhan tari-tarian.
Akan tetapi pujian dan rasa hormat asisten residen terhadap bupati tidak
relevan dengan apa yang menimpanya. Slottering diberi kudapan, dan ia
memakannya. Ia tidak sadar bahwa kudapan itu telah diracun. Racun itu menjalar
begitu cepat terlebih ia penderita penyakit limpa. Tim dokter tidak mampu
mengobatinya, dan Slottering pun meninggal dunia -saat itu istri Slottering
(diperankan oleh Rima Melati) tengah mengandung-. Sang istri tampaknya mencium
keanehan penyebab kematian suaminya. Sekuat apapun desakan sang istri kepada
dokter untuk menyelidikinya, dokter tetap akan menulis laporan bahwa Slottering
meninggal karena gagal limpa dan laporan inilah yang terdengar ke kantor
residen. Residen (diperankan oleh Carl van der Plas) beserta jajarannya pun
harus segera memutuskan pengganti asisten residen di Lebak.
Waktu
bergulir, dan Max Havelaar datang ke Nusantara, dengan Sulawesi sebagai
tujuannya. Max Havelaar datang beserta istri (diperankan oleh Sacha Bulthuis)
dan putera semata wayangnya. Keberpihakan Havelaar terhadap pribumi terlihat
ketika seorang pria -nampaknya ia pejabat pribumi- di sana melakukan tindak
pelecehan seksual terhadap wanita dari kalangan rakyat biasa. Di situlah
Havelaar menampar lelaki tadi dan segera saja ia mendapatkan simpati dari
rakyat di sana.
Kekosongan
jabatan asisten residen di Lebak menyebabkan Havelaar dipindahtugaskan ke Jawa.
Pada mulanya sang istri menolak pemindahan tersebut -karena tempatnya jauh dari
pantai- namun lama kelamaan ia menyukainya. Suasana yang asri, udara yang sejuk
dan iklim masyarakatnya yang tenang-lah penyebabnya.
Di
Lebak, Havelaar bersikap sama dengan apa yang ia lakukan di Sulawesi. Bukan lagi-lagi
tamparan, melainkan keberpihakannya terhadap kaum pribumi sekaligus
kesederhanaan sikap yang dimilikinya, jauh dari kesan kumpeni yang
sewenang-wenang. Sikapnya ini begitu kentara ketika ia banyak menolak
pengiriman tenaga-tenaga rakyat yang dipersiapkan bupati untuknya. Baginya, ia
tidak butuh dilayani selama ia masih sanggup mengerjakannya sendiri. Bahkan
untuk menata rumah pun ia ikut turun tangan bersama sang istri dibantu para penduduk
pribumi. Havelaar kerap berkeliling Lebak dengan menunggangi kudanya. Ia begitu
memperhatikan nasib rakyat jelata. Ini terlihat ketika raden demang tidak
membayar kerbau yang ia beli dari rakyat jelata, Havelaar dengan tegas melarang
penjualan kerbau jika memang mereka tidak menghendaki menjualnya.
Keberpihakan
Havelaar terhadap rakyat pribumi ternyata menimbulkan keresahan di kalangan
pejabat pribumi itu sendiri. Pernah ia “dikirimi” sekarung ular yang bisa
menjalar dengan cepat ke kediamannya. Ia juga nyaris mengalami hal yang sama
seperti Slottering ketika bupati mengundangnya makan malam bersama. Beruntung,
nyonya Slottering melarang Havelaar untuk pergi ke sana. Dari situlah terungkap
bahwa kematian Slottering akibat diracun dan dibawalah kasus ini ke Residen,
akan tetapi Residen bersikap acuh dan tak mau tahu.
Havelaar
sebenarnya mengerti penderitaan rakyatnya. Apalah dayanya jika perjuangannya
tidak mendapat jalan terang dari bupati yang bersekongkol dengan demang untuk
menjatuhkan dirinya. Havelaar bahkan sempat diminta untuk berpindahtugas ke
Ngawi akan tetapi ia menolak karena ia belum melakukan perubahan besar di
Lebak. Terdorong oleh rasa geram atas ketidakadilan yang dialami masyarakat di
Lebak menyebabkan Havelaar bertekad untuk melaporkan masalah ini kepada
Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sang istri yang teramat mencintainya berat
untuk melepas Havelaar sebab ia tahu resiko yang musti dihadapi sang suami.
Akan tetapi atas nama keadilan Havelaar, istri, dan puteranya, melawat ke Bogor
untuk menjumpai Gubernur Jenderal.
Sayangnya
impian Havelaar untuk bisa duduk bersama dengan Gubernur Jenderal untuk
membicarakan kesengsaraan rakyat Lebak menemui jalan buntu. Tak ada asa yang
bisa terwujud. Tak ada harapan yang bisa dirajut. Pemerintah kolonial Hindia
Belanda nampak memihak bupati ketimbang asisten residennya sendiri. Havelaar
begitu terpukul. Terpuruk. Benarlah rakyat musti memikul derita atas nama sang
Raja !
Bertolak
dari kisah Max Havelaar dalam film yang berjudul sama ini bisa ditarik satu
garis kesimpulan, bahwa apa yang dituangkan sebenarnya hanya segelintir dari
kesengsaraan rakyat yang berkepanjangan akibat sistem tanam paksa di Jawa. Barangkali
benar ungkapan Van Soest yang dimuat dalam tulisan R.E. Elson bertajuk
Kemiskinan dan Kemakmuran Kaum Petani pada Masa Sistem Tanam Paksa di Pulau
Jawa, “pulau Jawa yang indah permai itu menyajikan suatu pemandangan tentang
kesusahan dan kesengsaraan yang tiada taranya” (Booth, Anne, 1988 : 39). Tanam
paksa, menurut Ricklefs, dalam prakteknya tidak pernah ada sistem sama sekali.
Terdapat banyak variasi antara daerah yang satu dengan daerah lainnya dalam
pelaksanaan rencana-rencana Van Den Bosch tersebut di Jawa (Ricklefs, M.C.,
2005: 261). Sebagai contoh, dengan mengambil latar tempat yang sesuai dengan
kiprah Max Havelaar yakni di Lebak, Banten, di sana telah terdapat kelaziman
kaum tani menyerahkan hasil budidaya ke pabrik kopi untuk pengolahan taraf
terakhir (Booth, Anne, 1988 : 44). Akan tetapi kaum tani tersebut diharuskan
bekerja empat atau lima kali lebih lama daripada jam kerja yang dituntut dalam
masa sebelum tahun 1830 dan imbalan yang diterima sama sekali tidak seimbang
dengan tambahan waktu dan jerih payah yang dituntut dari mereka, dan bahkan
jauh di bawah harga pasaran dari hasil budidaya itu (Booth, Anne, 1988 : 45).
Keadaan tersebut masih ditambah lagi dengan kesulitan-kesulitan sebagai dampak
budidaya paksa erhadap pertanian tanaman pangan. Pertama, hari kerja yang
dituntut untuk budidaya paksa sering tidak menyisakah waktu untuk penggarapan
tanaman pangan, msialnya penanaman tebu dan nila yang acapkali mengganggu
kegiatan penanaman dan pemeliharaan padi; kedua, budidaya yang menggunakan
jumlah besar dari tanah sawah misalnya tebu dan nila; ketiga, tanah sawah harus
disediakan untuk budidaya ekspor pada masa tertentu; keempat, tanaman ekspor
yang ditanam pada lahan diutamakan dalam hal pembagian air irigasi; kelima,
padi yang ditanam pada lahan bekas budidaya tebu dan nila tidak memberi hasil
panen yang maksimal; dan keenam, sistem tanam paksa melipatgandakan terhadap
kebutuhan hewan ternak kaum petani (Booth, Anne, 1988: 47-48). Tekanan yang
datang bertubi-tubi dari pihak luar dan dapat diselesaikan di dalam desa tanpa
mengubah keutuhan desa jutsru dapat memberi peran kepada desa sebagai
penyambung atau tussen schakel antara
sistem tanam paksa dan rakyat sebagai penanam. Keadaan tersebut berdampak:
1.
Proses mengarahkan desa ke
luar mengalami keterlambatan, begitu pula dengan modernisasinya. Gejala-gejala
komersialisasi, diferensiasi, dan spesialisasi tidak bisa dilakukan dalam
sistem yang feodal dan sebagian besar surplus mengalir ke luar tanpa ada
investasi yang kembali ke penghasil sendiri.
2.
Sistem tanam paksa lebih
memperkuat perkembangan desa yang terarah ke dalam karena bisa difungsikan
sebagai alat produksi yang efektif.
3.
Peranan kepala desa
sebagai perantara dengan dunia luar sangat penting sebagai akibat diperolehnya
dukungan dari penguasa di atasnya, baik Belanda maupun pribumi (Kartodirdjo,
Sartono, 1992 : 311).
Mengenai
ketundukan bupati kepada kolonial, sementara bupati adalah orang pribumi,
Ricklefs menandaskan bahwa Bealanda sebelumnya tidak pernah tertarik untuk “memodernkan”
para bupati karena mereka bermanfaat dengan status tradisional mereka. Terlebih
tingkat pendidikan mereka begitu rendah. Pemerintah kolonial memanfaatkan para
bupati untuk kepentingannya sendiri, menyalahgunakan status mereka, dan
memudahkan mereka untuk melakukan penyelewengan, sementara ketika
penyelewengan-penyelewengan menjadi jelas dan para bupati tidak bermanfaat lagi
maka pemerintah mulai melangkahi mereka (Ricklefs, M.C., 2005: 279). Inilah
mengapa gubernur jenderal Hindia Belanda terkesan tidak peduli dengan misi
keadilan yang dibawa Havelaar. Padahal seorang asisten residen, dalam
pelantikannya, selalu membawa sumpah untuk melindungi rakyatnya, tak terkecuali
Max Havelaar.
Siapa Douwes Dekker ?
Douwes
Dekker, sang penulis Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli (“dia yang
telah banyak menderita”, nama samaran yang mencerahkan!) adalah seorang pejabat
di administrasi kolonial. Ia bertugas sebagai asisten residen di Jawa Barat
tempat ia berkonflik dengan atasannya. Ia menuduh mereka membiarkan
penyalahgunaan wewenang dan pemerasan bupati Lebak, orang yang seharusnya ia
kontrol dalam pemerintahan kabupatennya. Dekker berniat untuk memperbaiki
penyalahgunaan wewenang dan mengajukannya langsung kepada Gubernur Jenderal,
dengan harapan bahwa Gubernur Jenderal akan menyetujui rencananya. Akan tetapi
ia justru disalahkan dan dipindahtugaskan ke pos yang kurang menyenangkan.
Iapun mengundurkan diri. Douwes Dekker berusaha sekeras mungkin bersikap adil
kepada orang miskin tapi ia tidak punya kebijaksanaan untuk melangkah dengan
taktis. Max Havelaar inilah sebagai wujud pemberontakan pikirannya yang menjadi
bestseller dalam waktu singkat. Gayanya, kekuatan penggambarannya atas hubungan
sosial di Indonesia dan kebaruan pendekatannya menandai titik balik dalam
sastra Belanda dan tetap menjadi sastra Belanda klasik abad ke-19.
Max
Havelaar lebih daripada sekedar kritik terhadap pemerintahan kolonial dalam
bentuk sastra, juga merupakan satir tanpa simpati terhadap suatu jenis borjuasi
Belanda, yang saleh dan bahkan moralistik di antara sesama mereka, tapi merogoh
setiap sen yang bisa mereka peras dari Hindia sambil dengan seenaknya
mengabaikan kondisi parah orang Indonesia yang memeras keringat untuk
memproduksi kekayaan itu.
Ekspresi
sentimen yang keras menjadikan Max Havelaar menjadi pendakwaan atas sistem
pemerintahan yang ada dan pada akhirnya membantu mempersiapkan latar belakang
bagi kaum liberal yang ingin melakukan usaha serius memasukkan prinsip mereka
ke dalam pemerintahan kolonial (Vlekke, H.M. Bernard, 2010 : 340-342).
Kepustakaan
Booth, Anne,dkk (sunt). 1988.
Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900:
Dari Emporium Sampai Imperium.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004.
Jakarta: Serambi.
Vlekke, H.M. Bernard. 2010. Nusantara Sejarah Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia.
Film nya Keren,tapi yang masih menjadi pertanyaan saya ni mas fadil, sebuah tulisan di buat dengan gamblang mengenai penderitaan rakyat Nusantara, apa mungkin ada juga unsur politik atau semacamnya yang secara implisit ingin di peroleh oleh Max Sendiri ??
BalasHapusatau Murni sebagai bentuk seorang Simpatisan yang tidak bisa berbuat apa-apa melihat kenyataan yang menyakitkan di depan mata. hmmmm ckckckck so hard..:D