ABEL JATAYU PRAKOSA
FADHIL NUGROHO ADI
RENDRAWATI
RISDA GUNTARI
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro
____________________________
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salatiga adalah Staat Gemente
yang dibentuk berdasarkan Staatblad
1923 No. 393 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang No. 17 tahun 1995
tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kecil Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Timur,
Jawa Tengah dan Jawa Barat. Salah satu kota kecil yang
terletak di provinsi Jawa Tengah ini mempunyai luas wilayah ± 56,78 km², terdiri atas
4
kecamatan, 22 kelurahan, berpenduduk 176.795 jiwa. Berada pada jalur regional Jawa Tengah yang
menghubungkan kota regional Jawa Tengah yang menghubungkan kota Semarang dan Surakarta,
mempunyai ketinggan 450-800 meter dari permukaan laut dan berhawa sejuk serta
dikelilingi oleh keindahan alam berupa gunung (Merbabu, Telomoyo, Gajah
Mungkur). Kota Salatiga dikenal pula sebagai kota pendidikan, olah raga,
perdagangan, dan transit pariwisata.
Kota yang
dijuluki sebagai kota pendidikan ini memiliki 4 perguruan tinggi ternama,
antara lain Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi
AMA (STIE AMA) Salatiga, Sekolah Tinggi Bahasa Asing Satya Wacana
(STiBA SW), dan Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) yang kerap dijuluki
sebagai "Indonesia Mini" dikarenakan mahasiswanya terdiri dari berbagai
suku di Indonesia dan berragam
budaya Nusantara
sering menjadi kegiatan rutin tahunan dilaksanakan
oleh UKSW.
Sejak masa penjajahan Belanda Kota Salatiga
kerap digunakan sebagai
daerah peristirahatan, karena memang Salatiga berhawa sejuk, sehingga banyak
bangunan kuno peninggalan belanda terdapat di Salatiga dan sampai
sekarang masih berdiri kokoh. Bangunan-bangunan kuno tersebut dapat dilihat
dengan keberadaan Bangunan
Cagar Budaya (dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang
Benda Cagar Budaya), antara lain Kantor Walikota Salatiga yang
terletak di jalan Letjend.
Sukowati No. 51 Salatiga dengan kondisi bangunan yang terrawat dengan baik, bentuk bangunan masih asli
dengan estetika bangunan berciri arsitektur neo klasik/renaissance. Di gedung
yang merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya inilah, Walikota Salatiga
sehari-hari menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan
sebagai seorang abdi negara
dan abdi masyarakat. Ada juga Gedung Perhutani di jalan
Diponegoro No. 82 Salatiga yang terrawat dengan baik, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika
bangunan bercirikan arsitektur kolonial. Gedung ini juga sering dipakai untuk
latihan dan pertandingan bulu tangkis. Gedung Denhubrem
073/Makutarama Salatiga di jalan Diponegoro No.86 Salatiga juga merupakan
Bangunan Cagar Budaya dengan kondisi bangunan yang terrawat dengan baik, dan
bentuk bangunannya masih asli dengan estetika
bangunan bercirikan arsitektur barrock dan art nouveau.
Ada pula kompleks
Roncalli (Asrama Pastor dan Bruder) Salatiga di jalan
Diponegoro No.90 Salatiga; kompleks Rumah Dinas Dan Rem 073/Makutarama Salatiga
di jalan
Diponegoro No.97 Salatiga; rumah tinggal drg. Ceplis S. Supriyati (Apotik Denta) di jalan Muh. Yamin No.29 Salatiga;
rumah tinggal di jalan
Diponegoro No.109; Kantor Pos Salatiga di jalan Muh.
Yamin No.3 Salatiga; serta rumah tinggal Dr. R. Hasmo
Sugiyarto yang terletak di jalan Muh. Yamin No.4 Salatiga dengan kondisi yang terrawat baik, serta bentuk bangunannya masih asli dengan estetika
bangunan bercirikan arsitektur art deco.
Tak ketinggalan Gedung
LPIA Salatiga di jalan Diponegoro No.101 Salatiga
dan rumah tinggal di jalan Muh. Yamin No.5 Salatiga yang
masih terpelihara dengan
baik, bentuk bangunannya masih asli dengan estetika bangunan bercirikan
arsitektur kolonial.[1]
Oleh karena itu,
seperti yang telah disampaikan sebelumnya, peemrintah banyak memanfaatkan
bangunan-bangunan lawa tersebut dengan dijadikan kantor-kantor pemerintahan.
Akan tetapi pengelolaan bangunan yang dipasrahkan pemerintah tersebut tidak
serta merta mendapat reaksi positif dari masyarakat. Hal ini disebabkan
kurangnya pemahaman masyarakat terhadap nilai sejarah dan sikap apriori
masyarakat terhadap peninggalan kolonial. Untuk menghilangkan sikap tersebut, salah
satu komunitas yang memiliki kesadaran sejarah dan memiliki tanggung jawab
moral untuk melestarikan Bangunan Cagar Budaya serta menjadikannya sebagai
modal kepariwisataan Salatiga tersebut adalah Kampoeng Salatiga. Komunitas ini
mutlak diperlukan, karena bagaimanapun kota tanpa keanekaragaman artefak
kesejarahan dan variasi budaya, layak disebut sebagai “Kota Gila”.[2]
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, rumusan masalah dalam “KAMPOENG SALATIGA Studi Kasus Pengelolaan Benda Cagar Budaya dan Aspek
Pariwisata” adalah:
1. Bagaimana
pengelolaan yang dilakukan komunitas Kampoeng Salatiga terkait dengan
keberadaan Benda Cagar Budaya di Salatiga?
2. Bagaimana
upaya Kampoeng Salatiga untuk memajukan kepariwisataan kota Salatiga?
3. Konsep
manajerial apa sajakah yang diperlukan untuk
mengelola kepariwisataan kota Salatiga?
C. Tujuan Penulisan
Makalah bertajuk “KAMPOENG SALATIGA Studi Kasus Pengelolaan
Benda Cagar Budaya dan Aspek Pariwisata” ini bertujuan untuk :
1. Menjabarkan
pengelolaan yang dilakukan komunitas Kampoeng Salatiga terkait dengan
keberadaan Benda Cagar Budaya di Salatiga
2. Menjabarkan
upaya-upaya yang dilakukan Kampoeng Salatiga untuk memajukan kepariwisataan
kota Salatiga
3. Menjelaskan
konsep-konsep manajerial yang diperlukan untuk
mengelola kepariwisataan kota Salatiga
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengelolaan
1.
Kampoeng
Salatiga
Kampoeng Salatiga merupakan komunitas yang
mendasarkan diri pada Sejarah, Seni dan Budaya sebagai fokus gerakan. Cinta
sejarah, Cinta budaya, Cinta kota menjadi semboyan dalam gerakan komunitas ini.
Kampoeng Salatiga terdiri dari anak-anak muda dengan berbagai latar belakang
profesi dan keahlian berbeda-beda; ilmu sejarah, IT, web developer, pendidik,
etnomusikologi, seni musik, dan lainnya, yang berkumpul dalam sebuah wadah.
Kesadaran membangun komunitas ini berawal dari
keprihatinan terhadap kondisi nasionalisme anak muda yang kian hari kian
menipis terkikis, bahkan mungkin hilang. Kehidupan perkotaan yang merasuki kota
Salatigapun menjadi salah satu kambing hitam dalam permasalahan ini. Maka untuk
mengembalikan kesadaran masyarakat pada kiblat nasionalisme kebangsaan yang
dibangun para pendiri bangsa, tak lain dan tak bukan melalui penggalian,
pendokumentasian dan pempublikasian sejarah pada umumnya dan sejarah kota
Salatiga pada khususnya. Hal ini diharapkan dapat mengembalikan citra kota dan
bangga akan identitas kota, dengan tidak hanya melihat sisi ekonomi namun
kedepan pembangunan yang mempertimbangkan berbagai sisi secara komprehensif dan
berkelanjutan, sehingga penataan kota dan citra kota Salatiga sebagai kota
pendidikan dan kebudayaan dapat terwujud.
Alasan yang kedua, melihat pada potensi anak
muda serta lesunya kepariwisataan yang ada di Salatiga membawa komunitas
Kampoeng Salatiga untuk menawarkan alternatif wisata lain. Wisata sejarah yang
dikemas sedemikian rupa diharap dapat menjadi daya tarik tersendiri terhadap
sejarah kota selain memiliki nilai edukasi-historis dan pencitraan terhadap
kota. Selain itu pencarian terhadap ikon baru kepariwisataan Salatiga sangat
diharapkan dari kemunculan Kampoeng Salatiga.
Ketiga, seni dan budaya menjadi fokus perhatian
dalam komunitas Kampoeng Salatiga. Hal ini berdasarkan pada penggalian musik
dan kebudayaan masa lalu untuk menciptakan kebudayaan yang menyesuaikan
jamannya. Sebagai contoh musik tradisional “ciblon”, yakni permainan musik
anak-anak yang dimainkan saat mereka mandi di kali dengan cara memukul-mukulkan
tangan mereka ke permukaan air kolam atau kali sehingga dihasilkan bunyi yang
memiliki kekhasannya. Selain itu musik keroncong yang terancam punah, menjadi
fokus perhatian untuk dilestarikan. Meski demikian, seni dan budaya yang
dimaksudkan tak hanya berpusat pada seni dan budaya masa lalu di kota Salatiga,
namun memiliki cakupan yang cukup luas untuk mewadahi komunitas-komunitas musik
yang selama ini telah berdiri di Salatiga tanpa mencampuri organisatoris
mereka.
Terakhir, berkaca pada apa yang telah dilakukan
oleh Y.B.Mangunwijaya dengan rumah singgah kali codenya, Kampoeng Salatiga
mencitakan sebuah idealisme Kampoeng Sejarah, seni dan Budaya yang dapat
menularkan kepada generasi selanjutnya lewat edukasi alternatif nonformal yang
kemudian hari dapat menumbuhkan kecintaan generasi muda terhadap Kota dan
Bangsanya. Tujuan terkahir ini menjadi alasan kuat untuk menjadikan Kampoeng
Salatiga ikon sekaligus motor penggerak bagi perubahan Salatiga yang lebih
baik.
Di Kampoeng Salatiga, masyarakat dapat
menikmati sajian makanan seraya duduk berbincang tentang apapun, sejarah, seni,
budaya, humaniora dan apapun yang menjadi kesukaan mereka seraya menikmati masa
lalu dari beberapa peninggalan sejarah yang berhasil dikumpulkan dan
direproduksi ulang.
Nampaknya, ketika kota tak lagi dapat diubah,
perubahan itu mungkin diawali dari sebuah komunitas yang dibangun diatas dasar
idealismenya sehingga di kemudian hari komunitas tersebuat akan membawa dampak
perubahan tatanan masyarakat dan kota, inilah cita yang mendasari terbentuknya
Komunitas Kampoeng Salatiga.
2.
Struktur
Organisasi Kampoeng Salatiga
Bertindak sebagai penasehat Komandan KODIM
0714/SALATIGA, sebagai Koordinator Umum Andre Sutantyo, S.Si dari Program
Magister Hukum Tata Negara Universitas Kristen Satya Wacana. Koordinator Bidang
Keuangan dipegang oleh Bernadeta Desinova Kr., S.Si, dan koordinator bidang IT
dan website dijabat oleh Fandi Kurniawan, sementara bidang Desain dan Kreatif
dipegang oleh Theresia Ayuk Trisnamurti; Bangkit Dandy Yanuar, mahasiswa
jurusan Desain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta; dan Priska, mahasiswi Fakultas
Bahasa dan Sastra Universitas Kristen Satya Wacana. Albertus Raprika Bangkit
N., mahasiswa jurusan Musik Murni ISI Yogyakarta; Asfrigaluh, mahasiswi dari
jurusan Etnomusikologi ISI Solo; Erik Kado, mahasiswa jurusan Pertanian
Universitas Kristen Satya Wacana; Wikan Setiadji dari jurusan Pedalangan ISI
Solo; dan Tiara, siswi SMA N 1 Salatiga, tergabung dalam bidang Kesenian.
Bidang Administrasi dan Humas dikendalikan
oleh Eko Maryati, S.Psi, Abel Jatayu Prakosa dari jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Diponegoro menjabat sebagai Koordinator Bidang Sejarah dengan
membawahi Awang Wahid, Benedictus Fendy P.P., S.Pd, Irmawati Oktaviani dari SMK
N 2 dan Rian dari Universitas Gajah Mada jurusan Psikologi sebagai anggota.
3. Kegiatan-Kegiatan Kampoeng
Salatiga sebagai Upaya Pemajuan Kepariwisataan
a.
Salatiga
Lawasan
Kegiatan bertajuk Salatiga
Lawasan ini berlangsung selama dua hari, tepatnya dari tanggal 30 hingga 31
Juli 2011. Kegiatan tersebut berupa pameran foto dan barang antik tentang
Salatiga di GPD bekerjasama dengan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota
Salatiga.
b.
Wisata
Sejarah Sepeda Onthel Kuno.
Pawai komunitas dalam rangka
HUT Kota Salatiga tahun 2011 melibatkan 17 Komunitas di Salatiga dan diikuti
sekitar 800 peserta pawai.
c.
Observasi
Sejarah
Observasi Sejarah bekerjasama
dengan FKIP Sejarah Universitas Kristen Satya Wacana melibatkan Komandan Korem
073/Makutarama dalam memberikan materi karakter kebangsaan di aula Makorem 073
yang diikuti sekitar 120 mahasiswa.
d.
Audiensi
Audiensi bersama Walikota dan
Dishubkombudpar Kota Salatiga juga pernah diprakarsai Kampoeng Salatiga terkait
Benda Cagar Budaya di Kota Salatiga.
e.
Penjualan
Merchandise Salatiga
Merchandise yang mengusung konsep
Kesejarahan dan kekhasan kota Salatiga ini bisa didapatkan dengan mudah di
Kampoeng Salatiga.
B. Perrencanaan
1.
Perrencaan
Konsep Manajemen Kepariwisataan
Manajemen adalah suatu proses, yang terdiri dari
kegiatan pengaturan, perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengkoordinasian
dan pengendalian yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran melalui
pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya untuk mencapai tujuan
organisasi secara efektif dan efisien. Efektif berarti bahwa tujuan dapat
dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada
dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Planning
atau
perencanaan merupakan penggambaran
tentang apa, bagaimana, mengapa, dan kapan dilakukannya aktivitas, kemudian
ditetapkan siapa yang melakukan, bagaimana pembagian kerja, pembagian wewenang,
tanggung jawab serta pertanggung jawaban dari masing-masing
kegiatan.Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara
keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan itu. Manajer mengevaluasi
berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat
apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan
perusahaan. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen
karena tanpa perencanaan, fungsi-fungsi lainnya tak dapat berjalan. Sedangkan
Manfaat perencanan, antara lain :
a. Dapat memberikan arah dan tujuan yang hendak
dicapai perusahaan.
b. Dapat ditentukan suatu suatu pedoman sebagai
standar untuk mengurangi ketidakpastian
c. Dapat diukur berhasil tidaknya suatu kegiatan,
untuk memeudahkan pengawasan
d. Dapat membantu menemukan peluang dimasa yang
akan datang
Dalam hal perencanaan konsep dalam
manajemen kepariwisataan diperlukan pemahaman mendalam terhadap kepariwisataan
sebagai sebuah fenomena. Kepariwisataan sebagai sebuah fenomena artinya
bagaimana supaya kepariwisataan menjadi kebutuhan mutlak manusia, yang
membutuhkan, yaitu manusia yang melakukan perjalanan serta kebutuhan yang ada
di sekitar daerah tujuan wisata atau atraksi wisata. [4]
Oleh sebab itu, dari titik pemahaman
tersebut maka perhatian dalam perrencanan manajemen kepariwisataan harus
memperhatikan faktor-faktor:
a. Diversitas
atau keberagaman. Artinya, suatu daerah dengan daerah yang lain jangan
menggarap atraksi wisata yang sama. Misalnya daerah A menggarap pantai, daerah
B juga menggarap pantai, daerah C juga ikut menggarap pantai, hendaknya dihindarkan.
b. Memperhatikan
jarak tempuh wisatawan, artinya di mana pintu gerbang pariwisata (bandara,
pelabuhan, stasiun kereta api, terminal bus, dan sebagainya) serta sarana dan
pra sarana, dengan durasi tempuh dan fasilitas transportasi pendukungnya.
c. Mempersiapkan
fasilitas pendukung yang memadai (hotel, restoran, komunikasi, kantor pos,
penerangan atau listrik, air bersih, kesehatan, pemandangan wisata, alat-alat
pengamanan, toko cinderamata, dan lain-lain) tergantung kebutuhan dan
permintaan wisatawan.[5]
2.
Perrencanaan
Kepariwisataan Kampoeng Salatiga
Berdasarkan
konsep perrencanaan dalam manajemen kepariwisataan tersebut, Kampoeng Salatiga
telah memiliki rancangan perrencanaan untuk memajukan sektor pariwisata
Salatiga sekaligus menumbuhkan rasa handarbeni
terhadap peninggalan bersejarah kota Salatiga. Perrencanaan tersebut meliputi:
a. Seminar
nasional, dengan mengangkat tema-tema mengenai pelestarian Benda Cagar Budaya
serta pengenalan konsep sejarah kota dan tata ruang kota yang baik.
b. Wisata
sejarah, dengan memberi jangka waktu secara kontinyu, sehingga bisa mewujudkan
cita-cita dan tujuan utama Kampoeng Salatiga dalam mencintai sejarah kotanya
sendiri.
c. Karnaval
budaya, dengan menyajikan kegiatan-kegiatan yang sukses dilaksanakan Kampoeng
Salatiga ke dalam satu paket khusus dan dilakukan pada even tertentu. Selain
itu karnaval budaya juga akan menghadirkan penganan khas Salatiga seperti
enting-enting gepuk, abon sapi dan masih banyak lagi. Selan itu Kampoeng
Salatiga juga bisa memanfaatkan kedai-kedai yang telah banyak dikenal wisatwan
seperti di sepanjang Jalan Jendral Sudirman yang terdapat penjaja wedang ronde khas Salatiga dan di sepanjang
Jalan Fatmawati (Blotongan) yang banyak menyediakan menu khas sate kambing.
d. Perluasan
area penjualan merchandise Salatiga. Hal ini dilakukan karena kekhasan yang
dimilki merchandise tersebut, yakni dengan mengangkat sejarah kota Salatiga dan
Benda Cagar Budaya yang ada di dalamnya. Tentu, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, area penjualan dapat dikembangkan di gerbang pariwisata seperti
kantor-kantor agen perjalanan, terminal bus, dan tidak menutup peluang untuk
menjual produk-produk tersebut di perguruan-perguruan tinggi Salatiga.
C.
Pengembangan
Pengembangan
kepariwisataan, dalam hal ini terutama di Salatiga, harus memenuhi rumus D = f
(P+M). D berarti Development, f berarti function, P berarti Planning, dan M
berarti management. Artinya bahwa, suatu pengembangan atau pembangunan tidak
boleh melupakan fungsi perencanaan dan pengelolaan. Tanpa fungsi perencanaan
dan pengelolaan yang baik, maka pembangunan itu akan tidak berhasil, bahkan
akan menyebabkan pemborosan.[6]
Secara
umum, dalam pengembangan kepariwisataan tersebut harus memenuhi unsur 5 M + 2,
yakni:
a. Manpower
(Tenaga kerja). Adalah segala hal permasalahan yang terkait dengan aspek
tenagakerja dilihat dari aspek : lemahnya pengetahuan, kurang ketrampilan,
pengalaman, kelelahan, kekuatan fisik, lambatnya kecepatan kerja, banyak tekanan
kerja, stress dan sebagainya.
b. Machine
(Mesin, peralatan, infrastruktur). Adalah segala masalah yang terkait dengan
aspek peralatan, mesin maupun physical
tools lainnya. Misalnya : perawatan mesin-mesin, fasilitas pendukung mesin,
ketidaklengkapan mesin/peralatan, pengkalibrasian mesin/tools yang tidak
standar, daya tahan mesin yang lemah, kesulitan dalam penggunaan mesin, mesin
tidak user-operability, dan lain-lain.
c. Methods (Metode
dan prosedur kerja). Adalah segala hal masalah terkait dengan metode dan
prosedur kerja. Misalnya prosedur kerja tidak ada, prosedur kerja tidak jelas,
metode sulit dipahami, metode tidak standar, metode tidak cocok, metode yang
bertentangan dengan metode lainnya dan lain-lain.
d. Materials
(material bahan baku utama, bahan baku penolong).Berkaitan dengan ketersediaan
bahan baku utama atau bahan baku penolong yang terkait dengan akar masalah,
dengan melihat aspek: kualitas bahan baku tidak sesuai standar, bahan baku
tidak lengkap, kuantitas bahan baku tidak seragam, ukuran dan spesifikasi tidak
standar dan seterusnya.
e. Media (media,
lingkungan kerja, waktu kerja). Yakni melihat aspek tempat kerja, waktu,
lingkungan yang tidak mendukung. Biasanya yang termasuk kategori ini adalah :
tempat yang kurang bersih, keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan kurang
terang, ventilasi dan peredaran udara buruk, faktor kebisingan suara, faktor
lantai yang licin/bergelombang/tidak rata, dan lain-lain.
f. Motivation
(motivasi, soft competency). Ini
terkait dengan sikap kerja, perilaku kerja, budaya kerja yang tidak benar
ataupun tidak kondusif. Bisa digolongkan seperti : tidak kreatif, tidak
proaktif, tidak mau bekerjasama, dan lainnya.
g. Money
(uang dan finansial). Terkait dengan aspek keuangan dan finansial yang belum
mendukung dan mantap. Misalnya : ketidaktersediaan anggaran.[7]
Dalam memenuhi unsur 5 M + 2 tersebut,
Kampoeng Salatiga berusaha mewujudkannya antara lain dengan usaha-usaha sebagai
berikut:
a. Manpower.
Kampoeng Salatiga, seperti yang telah dijelaskan dalam struktur organisasi,
menggerakkan elemen masyarakat dari kalangan pelajar, mahasiswa, sekaligus pejabat
daerah terkait sebagai penanggungjawab.
b. Machine.
Kampoeng Salatiga dalam hal ini menggunakan peralatan ataupun teknologi
komputerisasi, terutama untuk pembuatan desain merchandise dan terkait.
c. Methods.
Kampoeng Salatiga telah menggunakan prosedur kerja yang jelas, terbukti dengan
pembagian kerja ke dalam bidang-bidang tertentu seperti yang telah dijelaskan
di dalam struktur organisasi Kampoeng Salatiga.
d. Materials.
Dalam hal ini Kampoeng Salatiga tentunya memanfaatkan bangunan-bangunan cagar
budaya sebagai tujuan pokok organisasi yakni melestarikan sejarah kota dan
memajukan kepariwisataan.
e. Media.
Kampoeng Salatiga telah menggunakan media seperti internet untuk mempublikasikan
kegiatannya, begitu pula dengan beberapa banner
sehingga membendung banyak pengunjung terutama dari kota Salatiga sendiri.
f. Motivation.
Dukungan kepada Kampoeng Salatiga mengalir dari banyak kalangan seperti Kepala
Danrem dan Walikota Salatiga serta warga masyarakat kota Salatiga.
g. Money.
Untuk menambah pemasukan dana organisasi, Kampoeng Salatiga telah banyak
melakukan usaha mandiri seperti penjualan merchandie, pin Salatiga, maupun kas
pribadi.
Dari analisa
tersebut, tetap sebuah pengembangan kepariwisataan harus didukung oleh
partisipasi masyarakat setempat karena akan menjadi prasyarat utama keengganan
menerima perubahan yang harus diwaspadai dengan studi psikososial dan tata
nilai budaya masyarakat yang ada. Jika hal ini dikesampingkan dan diabaikan
maka akan muncul kegagalan yang tidak diharapkan. Dengan demikian sikap
kehati-hatian studi kelayakan awal yang mendalam akan banyak menolong para
perrencana pembangunan pariwisata menuju tingkat keberhasilan.[8]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar