FADHIL NUGROHO ADI
Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang
E-Mail : adiyond@ymail.com
_______________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pekik
merdeka yang diteriakkan rakyat Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak serta
merta membawa angin segar kemerdekaan seutuhnya. Tampak begitu jelas
pemberontakan di sana-sini pascakemerdekaan Indonesia didengungkan:
PRRI/Permesta, Pertempuran Lima Hari di Semarang, Palagan Ambarawa, DI/TII, dan
lainnya. Tak hanya benturan secara
fisik, benturan kepentingan pun kerap ditemui di masa tersebut. Hal ini
terlihat dari dalam negeri sendiri yakni ketika pemerintah menghadapi
rintangan-rintangan yang luas dalam hal menyehatkan perekonomian.
Perusahaan-perusahaan yang penting serta pengangkutan dan perdagangan ke luar
pun tak luput dari campur tangan tentara dan buruh sehingga menyebabkan
kelumpuhan fungsi pemerintah dalam mengatur politik perekonomiannya. Kesulitan-kesulitan
tersebut bertambah pula dengan kegiatan SOBSI terutama dengan menggunakan
pemogokan dalam aksi oposisinya.[1]
Sepanjang
tahun 1947, para pemimpin PKI serta mereka yang tidak secara terang-terangan
menyatakan dirinya komunis dan bergabung dengan partai Sosialis, partai Buruh
dan Pesindo, tampaknya mengikuti kebijakan-kebijakan yang ditetapkan terutama
berdasarkan apa yang paling menguntungkan bagi kemajuan politik mereka sendiri.[2]
Persetujuan
Renville pada tanggal 17 Januari 1948 ternyata menerbitkan kecurigaan yang
menyebabkan banyak orang Indonesia, baik itu komunis maupun bukan, menarik
kesimpulan bahwa kekuatan nasionalisme Indonesia saja tidak cukup kuat untuk
memenangkan kemerdekaan negara mereka. Dengan keyakinan bahwa salah satu dari
dua kekuatan besar akan mendukung Belanda, maka banyak yang kemudian merasa
bahwa mereka tidak punya pilihan lain kecuali mengikat diri lebih erat dengan
kekuatan besar lainnya. Meskipun pada umumnya tidak ikut bergabung, namun pada
faktanya semakin banyak orang Indonesia mulai memandang PKI sebagai pimpinan
mereka. Baik di kalangan anggota-anggota PKI dan di kalangan unsur-unsur
sekelilingnya yang makin lama makin luas dan cepat berkembang, tumbuh kecenderungan
untuk memperhatikan pernyataan Kremlin bahwa kemerdekaan yang sebenarnya bagi wilayah-wilayah tidak pernah akan
tercapai sebelum Amerika Serikat dan sekutunya didominasi oleh Rusia. Para
pengikut PKI dan minoritas kaum komunis dalam partai Sosial dan partai Buruh
serta Pesindo, makin benar-benar percaya bahwa jalan singkat dari nasionalisme
harus dilupakan demi suatu perjuangan jangka panjang antara dunia Komunis dan
dunia non-Komunis, yakni suatu perjuangan dimana peranan Partai Komunis
Indonesia harus lebih menyesuaikan diri dengan perintah-perintah kebijakan
dunia luas Moskow ketimbang dengan apa yang mungkin ditakdirkan sebagai
kepentingan-kepentingan mendesak nasionalisme Indonesia. Perjuangan tersebut
dilatarbelakangi dengan kebijakan-kebijakan PKI selama kuartal terakhir tahun
1947 dan dua bulan pertama tahun 1948 yang berbeda dengan garis
Stalinis-Ortodox yang kemudian ditentukan di Moskow dan oleh Kominform.[3]
Demikianlah
kondisi internal Indonesia saat itu. Terjadi tarik ulur antara pemerintah yang
berkuasa dengan organisasi baik organisasi politik maupun organisasi masyarakat
yang menjadi lawan (oposisi) bagi pemerintah. Keadaan inilah yang dimanfaatkan
oleh PKI untuk melakukan “pembaruan-pembaruan” di dalam tubuh rakyat Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
Rumusan
masalah yang penulis angkat dalam makalah berjudul “Partai Komunis Indonesia -
Pemberontakan yang Tak Kenal Padam (1948/1965)” adalah:
1.
Apa yang
melatarbelakangi terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1948?
2.
Bagaimana
konfrontasi-konfrontasi yang terjadi antara kepentingan PKI dengan pemerintah
RI?
3.
Mengapa PKI bisa
kembali bangkit dan menggenggam posisi penting dalam pemerintahan RI pada tahun
1965?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Menjelaskan latar
belakang terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1948
2.
Menganalisis berbagai
konfrontasi yang timbul antara kepentingan PKI dengan pemerintah RI
3.
Menjelaskan sebab
kebangkitan PKI dan kekuatannya di tahun 1965
BAB
II
PEMBERONTAKAN
PKI 1948
A. Kondisi
Sosial Masyarakat Indonesia Dalam Kurun Waktu 1947-1948
1.
Tarik
Ulur Penguasaan Ekonomi RI
Tiga tahun usai Indonesia
merdeka,nampaknya Indonesia dan Belanda sama-sama mempertaruhkan posisi ekonomi
Indonesia untuk mendapatkan sokongan bagi politik luar negerinya yakni Amerika
Serikat. RI melakukan Kontrak Fox, sementara Belanda mencari pinjaman pada Bank
Internasional. Akan tetapi meskipun Bank Internasional bersikap simpatik akan
pembangunan ekonomi Belanda, beberapa pembesar Bank Internasional yang
melakukan penelitian sementara terhadap keadaan di Indonesia menyatakan bahwa
keadaan politik Indonesia masih keruh sehingga penanaman modal tidak bisa
dipertanggungjawabkan. Belanda juga meminjam kurang lebih 400 juta dolar dari
berbagai lembaga di Amerika Serikat untuk memperbaiki produksi komoditi ekspor
Indonesia[4]. Akan
tetapi pemberian pinjaman pada waktu itu dianggap tidak tepat karena Uni Soviet
dan anggota Dewan Keamanan lainnya pasti akan menuduh Amerika telah “membiayai
imperialisme Belanda”. Sementara itu di lain pihak, Indonesia yang melakukan
kontrak Fox -demi melahirkan perserikatan dagang Amerika-Indonesia- menghadapi
kesulitan karena Belanda masih memblokade daerah RI dengan ketat[5].
Kedua negara, Indonesia dan Belanda, melakukan perjanjian dagangnya
masing-masing disebabkan oleh kesukaran-kesukaran yang ditimbulkan oleh konflik
antara Indonesia dan Belanda dan berpengaruh juga terhadap kalangan Amerika
yang memiliki kepentingan di Indonesia. Kontrak Fox yang disebut sebagai
“bantuan Marshall partikelir” ini berdampak pada pembangunan Indonesia yang
pada akhirnya terhambat dan banyak negara di dunia tidak dapat lagi membeli
hasil-hasil Indonesia[6].
2.
Kekacauan
Ekonomi Uang RI
Di tengah carut marutnya kondisi
perekonomian Indonesia yang tarik ulur dengan pihak Belanda masih harus
ditambah lagi dengan peredaran Oeang Republik Indonesia (ORI) palsu oleh
Belanda dalam jumlah yang tak sedikit. Pedagang Cina sangat berperan dalam
pengedaran ORI palsu ini, terbukti pada Mei 1948 polisi Penang dua kali
menemukan usaha pemalsuan ORI dengan tujuan memerosotkan nilai ORI sendiri.
Untuk memberantasnya, diciptakanlah peraturan-peraturan yang mewajibkan
masyarakat menggunakan jasa bank pemerintah dalam peredaran uang. Peraturan ini
dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas alat pembayaran RI sekaligus mengawasi
peredaran uang di masyarakat. Dalam kata lain, pemerintah benar-benar bisa
memastikan bahwa uang yang diterima masyarakat ialah uang yang benar-benar
dikeluarkan oleh pemerintah.[7]
Akan tetapi kesulita-kesulitan perekonomian tetap dihadapi pemerintah RI. Hal
ini disebabkan campur tangan tentara dan buruh serta kegiatan SOBSI yang hampir
selalu menggunakan aksi pemogokan dalam aksi oposisinya.[8]
3.
Kekacauan
Politik RI
Selama tengah tahun terakhir 1947,
berkembanglah suatu perpecahan yang makin membesar di dalam partai Sosialis
antara kelompok yang dipimpin Sjarifuddin dan kelompok lebih kecil di bawah
pimpinan Sjahrir. Kelompok Sjahrir menjadi makin dimusuhi oleh meningkatnya
tekanan kelompok yang lebih besar dengan adanya peperangan antarkelas dan mulai
dibinanya persekutuan dengan Rusia.[9]
Perpecahan antara kedua kelompok ini
jadi menghebat pada buan Januari 1948, ketika kelompok Sjahrir menentang
persetujuan Renville yang disponsori dan disetujui oleh Perdana Menteri
Sjarifuddin, kebanyakan anggota kabinetnya, maupun Partai Buruh dan Partai
Komunis Indonesia. Perpecahan itu semakin menjadi segera setelah kabinet
Presidensiil Hatta terbentuk.[10]
Permasalahan
antara kabinet dengan oposisi FDR menjadi pembicaraan yang hangat saat itu. FDR
dibentuk pada tanggal 28 Juni 1948 oleh kelompok Amir Sjariffudin yang pada
waktu itu menempatkan diri sebagai oposisi terhadap kabinet yang dipimpin Bung
Hatta. Kabinet tersebut dibentuk Bung Hatta setelah Kabinet Amir Sjariffudin
jatuh karena tidak adanya lagi dukungan setelah penandatanganan perjanjian
Renville, dan setelah upaya membentuk kabinet menurut tata cara yang lazim
menemui kegagalan.
FDR
terdiri dari Partai Sosialis (kelompok Amir), Pesindo, Partai Buruh, PKI, dan
Sobsi. FDR memiliki dua dasar kekuatan yang prinsip; di dalam angkatan perang,
dan di kalangan tingkatan-tingkatan buruh. Rencana perebutan kekuasaan mulai
disusun sejak waktu itu, baik melalui acara-cara politik (parlementer) maupun
melalui cara-cara non parlementer. Rencana perebutan kekuasaan diawali dengan
persiapan berupa situasi, demonstrasi, dan tindakan-tindakan pengacauan lainnya
di kota Solo, antara lain penculikan dan pembunuhan tokoh-tokoh yang dianggap
musuh.[11]
FDR
mengawali gerakannya dengan gerakan agresi di kota Solo dengan melakukan
hasutan, penculikan, pembunuhan, pemogokan buruh, insiden bersenjata dan adu
domba. Antara lain yang menjadi korban pembunuhan adalah tokoh Dr. Muwardi dan
yang menjadi korban sasaran hasutan dan insiden adalah satuan Divisi Siliwangi
yang datang hijrah dari Jawa Barat. Dalam menghasut rakyat untuk memusuhi
Siliwangi, simbol SLW yang dipakai Siliwangi diisukan sebagai Stoot Leger Wilhelmina yang
penerjemahannya berarti tentara penyerang dari Ratu Belanda, Wilhelmina.[12]
FDR
punya dua dasar kekuatan yang prinsip; di dalam angkatan perang, dan di kalangan
tingkatan-tingkatan buruh. Dalam tugasnya sebagai Menteri Pertahanan sejak
tanggal 3 Juli 1947 hingga 28 Januari 1948, Sjarifuddin telah berhasil membina
suatu kedudukan pribadi yang kuat dalam angkatan perang. Ia memiliki kekuasaan
untuk menunjuk dan mengeluarkan dana-dana telah membuat sejumlah besar perwira
angkatan perang TNI tetap setia kepadanya. Dia dan sejumlah pengikutnya yang
lebih bisa dipercaya, menjadi satu-satunya kelompok yang tahu tentang lokasi
banyak tempat penyembunyian senjata dan bahan peledak yang ditempatkan di
daerah-daerah pegunungan dalam rangka menghadapi aksi militer Belanda lebih
jauh.[13]
Usaha-usaha
FDR tersebut sesungguhnya adalah kehendak mereka untuk melakukan perubahan politik
dalam negeri, mempertahankan tentara, dan mengadakan perubahan di bidang
ekonomi. Politik dalam dan luar negeripun menjadi objek keberatan FDR, di
antaranya ketika pemerintah melakukan perjanjian Renville. Menurut asumsi Amir
Syarifuddin, keadaan perundingan itu dapat disamakan dengan keadaan perundingan
pada bulan Desember 1947 atau dalam arti harus menerima atau menolak
tuntutan-tuntutan Belanda. FDR yang makin terdesak lantas mengajukan calon
formatur di luar kalngan mereka, dan mereka memilih Muso.[14] Sejak
kedatangan kembali Musso, seorang tokoh komunis yang sejak lama berada di
Moskow dan kemudian menganjurkan jalan baru bagi PKI, teror semakin
ditingkatkan, bahkan kesatuan-kesatuan Tentara Nasional Indonesia saling diadu,
seperti kesatuan Siliwangi dengan kesatuan-kesatuan setempat.[15]
Demi menandingi Kabinet Hatta, FDR kemudian menyusun program naisonal yang juga
terdiri atas empat pasal, yakni:
a.
pembatalan persetujuan
Renville
b.
penghentian
perundingan-perundingan dengan Belanda sampai mereka menarik diri dari bumi
Indonesia
c.
nasionalisasi semua kekayaan
Belanda tanpa pemberian ganti rugi
d.
pembubaran Kabinet
Presidensiil Hatta dan pembentukan kabinet parlementer dimana wakil-wakil FDR
diikutsertakan dengan menduduki kursi-kursi penting.[16]
Sebenarnya
permasalahan yang timbul tersebut didasarkan atas perpecahan antara Amir dan
Syahrir yang meruncing pada 13 Februari 1948 ketika Syahrir memutuskan untuk
keluar dari Partai Sosialis dan mendirikan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan
secara pasti pembentukan partai tersebut melemahkan kedudukan Amir, karena
anggota-anggota KNIP dan BP-KNIP banyak yang memihak Syahrir, meskipun sebagian
besar massa anggotanya banyak yang masih setia kepada Amir, salah satunya
Pasindo.[17]
Pertentangan politik yang hebat pada saat
itu merupakan sumber terjadinya permasalahan keamanan dalam negeri ini. Dalam
keadaan demikian dengan sendirinya tidak akan mungkin TNI menjadi alat
kepolisian dalam tangan pemerintah, kecuali jika memang kedaulatan negara yang
terserang. Maka demikianlah keadaan intern negara saat itu. Di satu pihak
terdapat partai-partai yang terus bersengketa dan mencegah adanya pemerintah
yang kuat, sedangkan di pihak lain, rakyat justru berteriak-teriak minta
“tangan besi”.[18]
B. PKI Mulai Bergejolak
1.
Situasi
Politik dalam Tubuh PKI
Dukungan militer dalam TNI yang mungkin
bisa diperhitungkan oleh PKI makin berkurang. Fakta penting lainnya adalah
kenyataan bahwa pemerintah mulai memberikan tekanan nyata terhadap Pesindo
maupun ALRI untuk mematuhi perintah-perintah demobilisasi pemerintah sehubungan
dengan program rasionalisasi umum angkatan perang. Tekanan ini diterapkan
terurama pada Divisi IV TNI (Senopati) yang berkedudukan di Surakarta.[19]
Kemudian pada bulan Agustus, Letkol. Sutarto, pengganti Suadi sebagai Komandan
Divisi Keempat, yang juga seorang anggota PKI seperti Suadi dan tidak mau
menjalankan perintah demobilisasi dari pemerintah, telah terbunuh. Tidak jelas
siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan ini, namun para anggota PKI
mencurigai Barisan Banteng yang melakukannya. Lalu pada tanggal 7 September,
lima perwira angkatan perang yang menjadi anggota PKI menghilang di Surakarta.
Dua hari kemudian, dua perwira tinggi lainnya yang pro-PKI juga menghilang.
Kemungkinan besar mereka sudah ditangkap atas perintah negara dan dipindahkan
ke Yogyakarta. Para pendukung PKI memang menuntut dua orang anggota Pesindo,
seorang PKI dan seorang partai Sosialis, yang ditahan oleh pemerintah di Blitar
pada tanggal 13 September. Kantor perwakilan berita Antara juga melaporkan
bahwa pasukan-pasukan dari Angkatan Perang dan Kepolisian Negara sedang
melaksanakan operasi-operasi pembersihan pasukan bersenjata, dimulai pada
tanggal 12 September di derah Nganjuk yang juga dikuasai PKI. Kemungkinan besar
peristiwa-peristiwa yang muncul sendiri-sendiri ini merupakan gejala serangan
dari pemerintah yang ditujukan untuk memotong kekuatan militer PKI.[20]
Selain itu terjadi pula peleburan
beberapa partai ke dalam PKI sebagai hasil pertama kedatangan Muso di
Indonesia. Oleh karena itu pada akhir Agustus 1948 Amir Syariduddin mengumumkan
bahwa Partai Soialis dilebur ke dalam PKI. Hal ini bukan sesuatu yang baru
mengingat parta Gerindo yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin hanya menjadi
“selimut” saja untuk cita-cita komunistis. Gerindo itu sebetulnya PKI sendiri.[21]
PKI juga menyusun politbiro yang baru.
Sebut saja dalam sekretariat umumya duduk Muso, Maruto Darusman, Tan Ling Jie,
dan Ngadiman. Sekretariat urusan perburuhan dipimpin oleh Haryono, Setiajid,
Jokosujono, Abdul Majid, dan Akhmad Sumadi. Dalam sekretariat urusan pertanian
duduk A. Cokronegoro, D.N. Aidit, dan Sutisno. Mr. Amir Syarifuddin diberi
kewajiban memimpin sekretriat pertahanan. Wikana dan Suripni akan memimpin
sekretariat pemuda. Alimin, Lukman, dan Sarjono merupakan anggota sekretariat
agitasi dan propaganda. Alimin, Lukma, dan Sarjono merupakan sekretariat
agitasi dan propaganda. Sekretariat organisasi dipegang oleh Sudirman; Nyoto
memegang sekretariat perwakilan dan Ruskak memegang sekretariat keuangan.[22]
Muso kemudian mengusulkan agar seluruh
unsur yang sepaham meleburkan diri ke dalam PKI yang diperluas. Diadakanlah
konggres PKI ke-5 pada 26-27 Agustus 1948 yang mengesahkan “Jalan Baru Untuk
RI” ciptaan Muso, yang juga biasa dikenal sebagai Koreksi Besar. Pokok-pokoknya
adalah:
a.
PKI sejak proklamasi
seharusnya sudah muncul dan berperan sebagai pemimpin revolusi
b.
Persetujuan Renville
adalah kesalahan besar yang mencelakakan dan berbau reaksioner
c.
Kabinet Amir sehausnya
tidak mengundurkan diri sebab pokok dari setiap revolusi ialah kekuasaan negara
(pengunduran diri Amir mendukung dugaan bahwa Amir sebenarnya bukan komunis)
d.
Untuk semetara perlu
dibentuk Front Nasional yaitu suatu wadah untuk mempersatukan partai-partai
melawan penjajahan asing.
Muso
lalu menganjurkan supaya partai-partai yang tergabung dalam FDR terus saja
meleburkan diri ke dalam PKI pada akhir Agustus itu juga.[23]
2.
Kekacauan
di Berbagai Daerah
Di
Jakarta, pada tanggal 3 Juli 1948 berlangsung rapat pertama antara
pelajar-pelajar dari kota-kota pendudukan bertempat di gedung Sekolah Rakyat
Cikini untuk memperkuat benteng pelajar Republik. Akan tetapi rapat dibubarkan
pihak Belanda karena rapat dimulai dengan memekikkan kata “Merdeka”, kata yang
“haram” diucapkan kala itu. Kemudian merebak pula aksi-aksi penggeledahan dan
penangkapan yang terus berlangsung dengan alasan mencari anasir subversif. Pada
bulan Juli 1948 bahkan banyak rakyat yang dikepung, digeledah, dan ditangkap di
wilayah Kampun Matraman, Jatinegara, Jakarta. Kekacauan tersebut masih ditambah
pula dengan siaran-siaran dan selebaran berita mengenai kegiatan tersebut namun
dengan tendensius mencari-cari alasan untuk megambil suatu tindakan kekerasan
terhadap Repubik.[24]
Belum lagi ketika makin meningkatnya aksi gerilya di sekitar dan dalam kota
Jakarta dan menyebabkan tidak amannya sekeliling kota bagi Belanda. Pada malam
6 Juli 1948 misalnya, seorang pegawai onderneming karet Kalapanunggal diserang
dan dibunuh oleh segerombol dua puluh orang. Istrinyapun saat itu luka
tertembak pada lengannya dan dirawat di rumah sakit Bogor. Belum lagi aksi
pelemparan granat tangan di dekat Bioskop “Rex” di bilangan Senen pada malam 21
Juli 1948 sekitar pukul 22.00 WIB.[25]
Di
Banten, keadaan yang serba sulit di sana ternyata masih mampu dikelola dengan
baik oleh warganya sehingga hasil bumi masih menghasilkan. Di Bogor, Belanda
melarang merayakan hari Proklamasi dan Idul Fitri. Banyak polisi yang ikut
berjaga di sekitar tempat peribadatan menghalang-halangi penduduk setempat yang
akan beribadah, dan tak jarang dari mereka yang digeledah. Shalat Idul Fitri
yang sedianya dilaksanakan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta juga hampir batal
dilangsungkan karena keberatan pihak Belanda.[26]
Hari Proklamasi di Purwakarta tidak dapat dirayakan rakyat karena pelarangan
pihak Belanda. Sementara di Cikampek menjelang Hari Proklamasi sempat tersiar
kabar akan ada gerilya pada malam hari. Di Dawuan sempat terjadi baku tembak
sesaat. Di Bandung, izin untuk merayakan hari Proklamasi secara tertutup juga
dicabut kembali.[27]
Di Bogor dan Sukabumi aksi gerilya semakin meluas terlebih dengan terbunuhnya
Administratur Perkebunan Balumbangan di daerah Sukabumi, Thung Jie Ciong, yang
ditembak dan terluka berat. Menjelang akhir Juni 1948 di Cianjur terjadi dua
kali penembakan atas kendaraan militer Belanda yang merrenggut korban 4 orang.
Pada 8 Juli 1948 administrator onderneming Gunung Besar, yang terletak antara
Cianjur dan Cibeber, mati terbunuh di kebunnya sendiri.[28]
Aksi gerilya juga berlangsung di daerah Jakarta-Karawang. Di Cikopo, kereta api
menuju Bandung menjadi serangan gerilya. Empat dari sembilan gerbong
penumpangnya terbalik ketika sebuah granat yang sebelumnya telah dipasang oleh
gerilya pada rel kereta api. Kereta api Jakarta-Cirebon dan Jakarta-Bandung
saat itu memang terus-menerus menjadi sasaran gerilya.[29]
Di Purwakarta pada 15 September 1948 tiga gerilyawan, dua orang lelaki dan
seorang perempuan, dengan hanya bersenjata golok dengan nekat mencoba merampas
senjata dua orang militer Belanda yang sedang menunggu mobil di pinggir jalan
raya. Di Tegalsari pada 21 September 1948 siang sempat terjadi pertempuran yang
berlangsung selama empat jam. Tembak menembak pun berlangsung hingga pukul
delapan malam dan meletus kembali pada pukul sepuluh malam, dan benar-benar
reda pada pukul dua belas malam.[30]
Di
Priangan terjadi aksi gerilya pada pukul 02.00 pagi di sebelah barat dan
selatan kota Tasikmalaya yang mengalami penyerangan. Lalu lintas Sukaratu dan
Telagabodas juga menjadi tidak aman karena dikuasai pasukan Hisbullah. Setiap
orang yang ketahuan membawa uang NICA dianggap sebagai kakitangan Belanda, lalu
dibunuh.[31]
Aksi gerilya di daerah Pekalongan dan Banyumas tidak berhasil dipadamkan oleh
Belanda, lebih-lebih gerilya yang bergerak di daerah Salatiga, Purwokerto, dan
Tegal yang sasaran utamanya tertuju pada alat-alat pemerintah Belanda dan
perkebunan. Bahkan sepuluh orang pekerja yang tengah memperbaiki instalasi
pompa air di desa Patukangan, Jatibarang, ditembak oleh kaum yang disebut
Belanda sebagai kaum extremis.[32]
Di Semarang terjadi penyusupan dan serangan gerilya yang nekat terjadi pada
medio September 1948 di dekat Telawa, Semarang oleh kurang lebih seratus orang.
Belanda selalu menyebut bahwa gerilya itu menginfiltrasi dari daerah RI dan tak
jarang dituduhnya komunis.[33]
Sementara itu di Madura terjadi pergolakan sebagai contoh politik balkanisasi
yang dilakukan Belanda. Akibatnya erturut-turut selama tiga hari, 23-25 April
1948, Belanda melakukan penangkapan terhadap beberapa orang anggota dewan
perwakilan rakyat, sejumlah kader polisi, dan beberapa pimpinan Barisan Cakra.
Mereka dituduh akan melakukan tindakan merampas kekuasaan.[34]
C. Pemberontakan PKI
1948
1.
Kronologi
dan Anti-klimaks Pemberontakan
Situasi di Surakarta menjadi makin rumit
dan tegang karena kekuatan militer utama lainnya di kota itu (mungkin berjumlah
antara 2.000 dan 2.500 orang bersenjata), terdiri atas para partisan Tan
Malaka, dan kebanyakan adalah anggota-anggota Barisan Banteng. Satu-satunya
kekuatan militer penting yang lain di dalam kota itu adalah batalyon Divisi
Siliwangi yang bertanggungjawab dan sangat disiplin, di bawah pimpinan letkol
Sadikin.[35]
Bulan Agustus, letkol. Sutarto,
pengganti Suadi sebagai komandan Divisi Keempat, yang jugas eorang anggota PKI
seperti Suadi dan tidak mau menjalankan perintah demobilisasi dari pemerintah,
telah terbunuh. Tidak jelas siapa yang bertanggungjawab atas pembunuhan ini,
namun para anggota PKI mencurigai Barisan Banteng. Tanggal 7 September, lima
perwira angkatan perang yang menjadi anggota PKI menghilang di Surakarta. Dua
hari kemudian, dua perwira tinggi lainnya yang Pro-PKI juga menghilang.
Kemungkinan besar mereka sudah ditangkap atas perintah negara dan dipindahkan
ke Yogyakarta. Para PKI memang menuntut dua orang anggota Pesindo, seorang PKI
dan seorang partai Sosialis yang ditahan oleh pemerintah di Blitar pada tanggal
13 September. Kantor perwakilan berita Antara juga melaporkan bahwa pasukan-pasukan
dari Angkatan Perang dan Kepolisian Negara sedang melaksanakan operasi-operasi
pembersihan pasukan bersenjata, dimulai pada tanggal 12 September di derah
Nganjuk yang juga dikuasai PKI. Kemungkinan besarnya, peristiwa2 yang muncul
sendiri2 ini merupakan gejala serangan dari pemerintah yang ditujukan untuk
memotong kekuatan militer PKI.[36]
Tanggal 15 September, Soekarno
mengumumkan keadaan perang untuk Surakarta dan Karesidean sekitarnya serta
menunjuk kol. Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer. Pada hari yang sama,
Jenderal Sudirman, Panglima TNI engirim bala bantuan sebanyak 3.000 orang prajurit
dari Divisi Siliwangi ke Surakarta. mereka lalu mengambil tempat di pinggiran
kota; jelas diharapkan bahwa bala bantuan Pro-PKI kemungkinan akan masuk dari
arah utara, yaitu dari posisi-posisi mereka di sepanjang garis Van Mook yang
berhadapan dengan Belanda.[37]
Kemudian pada 27 September, letkol. Suad
yang sudah mengumpulkan kembali apsukan-pasukan pesindo dan ALRI di bawah
pimpinanya memulai suatu serangan besar-besaran untuk merebut Surakarta. Tampak
jelas bahwa ia bertindak tanpa sepengetahuan sumber utama balabantuan kekuatan
ALRI yang kuat di bagian utara kota itu dan tanpa mengetahui bahwa balabantuan
dari pasukan-pasukan Pesindo sedang dalam perjalanan dari Madiun untuk
membantunya. Kekuatan2nya menerobos Pasukan barisan Banteng di pinggir kota
bagian selatan dan sedikit demi sedikit masuk pusat kota. Di sini, pecahlah
pertempuran berat: Divisi Siliwangi, paling tidak meliputi sebagian dari yang
dikirim oleh Sudirman, dan barisan banteng, memksa pasukan-pasukan Suadi ke
luar kota, kali ini demi kebaikan.Dengan demikian, PKI telah kalah dalam suatu
pertempuran yang arti pentingnya kritis.[38]
Dengan peristiwa-peristiwa besar yang
terjadi di Surakarta, telah membuat para pemimpin di markas besar pusat
organisasi itu di Madiun, makin tidak tenteram. Akhirnya Sumarsono dan para
pemimpin tertinggi Pesindo lainnya di wilayah Madiun memilih cara yang
terakhir. Perwira-perwira setempat yang Pro-PKI dari kesatuan-kesatuan TNI
tetap yang berkedudukan di bagian timur wilayah yang dikuaai Republik, juga
jelas mengambil cara yang sama.[39]
Mulai tanggal 13 September, persis setelah Divsi Keempat sudah diusir dari
Surakarta, kesatuan-kesatuan Pesindo di Jawa Timur dan Brigade ke 29 dari garis
depan bagian timur, mulai memasuki tahap militer rencana FDR yang digariskan
pada bulan Juni. Mereka dan beberapa detasemen yang pro-PKI bertemu di wilayah
madiun, dimana pasukan-pasukan Pesindo yang lebih kecil sudah ditempatkan di
sana. Dari kekuatan ini, satu batalyon ditempatkan di kota Madiun,
masing-masing satu di Kresidenan Magetan dan Ponorogo, dan dua batalyon di
karesidenan Ngawi. Selama empat hari pertama, pasukan-paukan tersebut tidak
mengganggu pemerintah daerah di kota-kota dalam wilayah-wilayah tersebut dan
memusatkan usaha mereka di pedesaan, dimana kekuasaan dapat direbut tanpa harus
bertempur. Berikut pernyataan dari wartawan Murba yang menyakikan tahap pertama
kekuasaan tersebut. Secara aktif dan agresif, gerakan FDR untuk merebut
kekuasaan sudah dimulai terutama di desa-desa...Gerakan tersebut dilindungi
oleh empat batalyon tingkat teritorial dan satu batalyon yang mobil, diambil
dari hampir seluruh kekuatan di Jawa Timur...Batalyon-batalyon ini sudah dibagi
di berbagai desa..para pejabat pemerintah daerah menjadi merasa tidak tenteram,
sedangkan polisi tidak dapat melaksanakan apa-apa karena tidak berdaya. Mereka
menghasut bahwa pemerintah Soekarno-Hatta sudah turun tahta dan bahwa Tan
Malaka beserta kolega-koleganya dan masjumi beserta kolega-koleganya adalah
pengkhianat (Dalam suratkabar resmi GRR), 14 September 1948.[40]
Setelah mengkonsiliasikan kekuasaannya
atas desa-desa, paukan-pasukan Pesindo dan PKI lainnya, merebut kekuasaan di
kota-kota kecil dan kota madiun, sehingga menimbulkan pertempuran hebat dengan
pemerintah daerah Republik. Tahap militan ini dimulai pada jam 03.00 pagi
tanggal 13 September, di Madiun, dengan Sumarsono dan Djoko Suyono sebagai
pemimpin operasi tersebut.. orang-orang bersenjata dengan cepat merebut
kantor-kantor pemerintah daerah, saluran-saluran telepon, dan markas-markas
besar tentara. hampir tidak ada pasukan setia yang siap di tempat, dan
pertempuran itu berlangsung hanya sebentar, dua perwira yang setia terbunuh dan
empat orang terluka. “Kemenangan mulai dari Madiun”, begitu diumumkan Sumarsono
di radio setempat. Menurut laporan, pidatonya ini adalah dalam rangka mendesak
agar secara keseluruhan PKI mencontohi rangkaian peristiwa di Madiun. Sekitar
tengah malam tanggal 18, kira-kira 20 jam setelah dimulainya kup di Madiun dan
karesidenan-karesidenan sekitarnya, Musso, Sjarifuddin, Setiadjit, dan Wikana,
tiba di rumah Sumarsono yang terletak di kota Redjoagung, dekat pinggiran kota
Madiun. Di sini mereka mengadakan pembicaraan dengan Sumarsono dan Djoko
Suyono, dan mempelajari perkembangan peristiwa-peristiwa itu. mereka disodori
suatu fait accompli. Ada kemungkinan bahwa begitu mereka mengetahui keseluruhan
kenyataan bertalian dengan perkembangan-perkembangan di Surakarta, mereka lalu
mengambil keputusan yang sama dengan yang sudah diambil oleh Sumarsono dan
Djoko Suyono, dan mengubah strategi PKI ke tahap revolusioner. [41]
Pemerintah Republik dengan cepat
bertindak. Pada tanggal 19 September dini hari, polisi Republik sudah mulai
mengepung para pemimpin PKI di Yogyakarta dan di kota-kota lainnya. Kup Madiun
yang sifatnya tidak direncanakan dan para pemimpin PKI yang pada umumnya tidak
siap untuk melompat ke taktik-taktik revolusioner, telah diuji oleh kenyataan
bahwa beberapa pemimpin PKI yang terpenting tidak tahu menahu tentang apa yang
sudh terjadi di Madiun sangat terperanjat ketika ditahan di Yogyakarta pada
tanggal 19 pagi. Di antara mereka terdapat orang-orang penting seperti Tan Ling
Djie, Abdulmadjid, Djojosujono, dan Ir. Sakirman.[42]
Menjelang tanggal 20 September petang, sudah jelas bagi para pemimpin PKI di
Madiun bahwa meluasanya pertempuran-pertempuran massa yang mereka perhitungkan,
tidak terjadi di tempat-tempat lain di Republik. Mungkin mereka merasa bahwa
kekurangan dukungan massa ini sebagian disebabkan oleh perasaan tidak mengenal
kompromi dan ekstrim dari pengumuman mereka yang pertama dulu, dan bahwa mereka
telah mencegah para pendukung potensial untuk bertindak terlalu jauh. Apapun
yang terjadi, pada tanggal 20 petang, nada keras pengumuman mereka sangat
menurun dan menjadi jauh lebih lunak.[43]
Pasukan-pasukan pemerintah melepas kekuatan-kekuatan
bersenjatanya dari kota-kota penting Magetan dan Ngawi, dan akhirnya, pada
tanggal 30 September, Brigade Let.Kol. Sadikin dari Divisi Siliwangi, memasuki
dan menguasai madiun sendiri. Sejak itu strategi para pemimpin PKI adalah
menghindari pertempuran dengan kekuatan-kekuatan pemerintah dan menyingkir ke
daerah-daerah pegunungan yang cocok untuk mengadakan perang gerilya jangka panjang. Mereka
mengharapkan diri mereka dan sisa-sisa pasukan mereka tetap siaga sampai
saatnya Belanda melancarkan serangan terhadap republik, dengan keyakinan bahwa
serangan semacam itu akan berkembang pada permulaan Januari 1949. Terjadi
pertempuran yang berpindah-pindah, pertempuran tabrak lari, selama sebulan,
melawan pasukan-pasukan Republik yang makin lama makin ketat mengepung
kesatuan-kesatuan Komunis yang utama. Dengan makin kerasnya tekanan terhadap
kekuatan-kekuatan komunis, banyak di antara mereka, terutama beberapa dari kesatuan-kesatuan
yang lebih kecil, makin lama makin ganas. Beberapa ratus pegawai negeri dan
guru sekolah dibunuh oleh mereka, di Magetan saja, terbunuh 51 dari 56 orang
polisi. Terutama para anggota Masjumi hanya yang tampaknya bebas dari kekejaman
itu, kadang-kadang hanya dirampok, tetapi sering juga disiksa dan dibunuh. Pada
tanggal 4 Oktober, petani bersenjata yang membantu PKI, di Ponorogo, Sarekat
Rakyat memaksa sekitar 2000 orang sipil untuk berbaris di muka pasukan itu
untuk membersihkan jalannya dalam rangka usahanya merebut kembali kota itu dari
kesatuan Siliwagi. Akibatnya, hampir 500 orang sipil terbunuh.[44]
Oleh karena gerakan cepat dari
pasukan-pasukan pemerintah maka pemberontakan Madiun dengan cepat pula dapat
ditumpas. Pasukan RI sudah dapat membebaskan Madiun pada 30 September 1948 dan
mencerai-beraikan pasukan-pasukan pro-PKI. [45]
Pada tanggal 15 Oktober 1948 Mayor Ahmad Wiranatakusumah melakukan operasi ke
Pacitan. Pasukannya bergerak dengan mengambil jalan Selaung-Montongan-Tulakan
terus ke Pacitan yang merupakan jalan kampung yang sempit, naik, dan banyak
jurang. Turut pula dalam penyerbuan itu Tentara Geni Pelajar di bawah pimpinan
Mulyo. Di Pacitan dijumpai 12 mayat yang ditinggalkan oleh PKI.[46]
Pada tanggal 28 Oktober, kesatuan
militer pemberontak terakhir yang besar, beranggotakan sekitar 1500 orang,
tertangkap, dan diperkirakan bahwa tulang punggung pemberontak benar-benar
remuk.
Pengejaran pun terus menerus dilakukan.
Tiga hari kemudian, dalam suatu pengejaran yang dilakukan di Ponorogo oleh
Brigade S di bawah komando Kapten Sunandar, Musso, yang menyamar sebagai kusir
andong tertembak dan mati dengan luka-luka parah. Pada tanggal 29 November,
Djojokusumo dan Maruta Darusman tertangkap, dan dua hari kemudian, nasib yang
sama menimpa Sjarifuddin serta Suripno. Sementara itu para pemimpin tertinggi
PKI lainnya sudah tertangkap kecuali Setiadjit, Sumarsono, dan Wikana. Ketiga
orang terakhir ini tidak pernah tertangkap. Pada tanggal 7 Desember 1948,
markas besar pernah tertangkap. Pada tanggal 7 Desember 1948, markas besar PNI
mengumumkan pembasmian terakhir pemberontakan itu dan menyatakan bahwa sekitar
35.000 orang, kebanyakan prajurit (terutama organisasi-organisasi militer tidak
tetap) sudah ditahan. Dimuat dalam Antara 7 Desember 1948. Pada tanggal 15
Desember, Soekarno diberi mandat kekuasaan mengatai keadaan genting untuk
mengakhiri situasi itu dan agar hal itu tidak terulang kembali.[47]
Selanjutnya timbul pertanyaan, mengapa
PKI tidak diadili sebab pemberontakan pada tahun 1948 itu? Jawabannya adalah,
karena tiga bulan sesudah pemberontakan meletus pecahlah Agresi Militer II.
Anggota PKI yang belum tertangkap lalu berjuang melawan Belanda, sehingga atas
perjuangan mereka dosa-dosa PKI dimaafkan. Selain itu RI adalah negara
demokrasi, karena itu kebebasan berserikat dijamin keberadaannya. PKI sangat
berpengaruh di kalangan kaum buruh yang banyak bekerja pada perusahaan Belanda.
Dengan membiarkan PKI hidup maka perusahaan-perusahaan Belanda itu akan lebih
mudah dikontrol.[48]
2.
Kegagalan
Pemberontakan PKI
Banyak pihak menganalisis sebab-sebab
kegagalan pemberontakan PKI 1948 yang terpusat di Madiun. Sebab-sebab kegagalan
tersebut kiranya dapat dijelaskan dalam poin-poin sebagai berikut:
a.
Kenyataan bahwa para
pemimpin PKI terlalu dini melancarkan aksi dimana mereka sendiri belum memiliki
kesiapan. Proses penggabungan partai-partai unsur dasar FDR ke dalam suatu
partai PKI yang monolitik baru saja dimulai ketika pemberontakan itu pecah.
b.
Organisasi politik
penerusnya yang baru hampir tidak pernah ada dalam keadaan yang tidak lebih
dari organisasi yang kacau dan tidak jelas bentuknya.
c.
Muncul penentangan fusi
dari sebagian besar anggota Partai Sosialis, Partai Buruh, SOBSI, dan Pesindo.
Mereka bahkan lebih menentang ide tentang aksi revolusioner melawan pemerintah.
d.
Cabang PKI di Sumatera,
hampir segera setelah kup Madiun, mengumumkan kesetiaannya kepada pemerintah
Soekarno dan Hatta. Begitu pula dalam beberapa cabang seperti di PKI dan Bojonegoro
yang menolak untuk mendukung pemberontak dan terang-terangan mengumumkan bahwa
mereka mendukung Soekarno dan Hatta.[49]
terimakasih karena postingan ini telah membantu tugas ips saya
BalasHapusSama-sama, terima kasih sudah mengunjungi blog saya :)
BalasHapusKabar baik Allah yang Maha Kuasa telah begitu setia kepada saya dan seluruh keluarga saya untuk menggunakan perusahaan pinjaman ibu Emily untuk mengubah situasi keuangan hidup saya untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih stabil sehingga sekarang saya memiliki bisnis sendiri di kotaNama saya Nur Khomariyah dari kota Sidoarjo, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu. Emily karena membantu saya dengan pinjaman yang baik setelah saya menderita di tangan pemberi pinjaman palsu yang menipu saya karena uang saya tanpa menawarkan saya pinjaman, saya memerlukan pinjaman selama 2 tahun terakhir untuk memulai bisnis saya sendiri di kota Sidoarjo tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di India yang telah menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman kepada saya dan saya sangat frustrasi karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di India, karena saya berutang kepada bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya orang untuk dituju, sampai suatu hari teman setia saya menelepon Slamet Raharjo setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu perusahaan pinjaman Emily, jadi saya harus menghubungi Slamet Raharjo dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu emily bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya harus memanggil keberanian dan saya menghubungi ibu emily perusahaan dan secara mengejutkan, pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 2 jam pinjaman saya dipindahkan ke akun saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus bersaksi tentang ibu pekerjaan yang baik Emilyjadi saya akan menyarankan semua orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi ibu perusahaan pinjaman Emily melalui email: emilygregloancompany@gmail.com. atau whatsapp +1 (669) 4002627 dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda akan bersaksi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Mother Emily melalui saya email: nurkhomariyah1989@gmail.com dan Anda masih dapat menghubungi teman saya Nur Syarah yang memperkenalkan saya kepada Ms. Margaret melalui email: slametraharjo211989@gmail.comsemoga Tuhan terus memberkati dan mendukung ibu Emily yang telah mengubah kehidupan finansial saya.
BalasHapusKabar baik Allah yang Maha Kuasa telah begitu setia kepada saya dan seluruh keluarga saya untuk menggunakan perusahaan pinjaman ibu Emily untuk mengubah situasi keuangan hidup saya untuk kehidupan yang lebih baik dan lebih stabil sehingga sekarang saya memiliki bisnis sendiri di kotaNama saya Nur Khomariyah dari kota Sidoarjo, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada ibu. Emily karena membantu saya dengan pinjaman yang baik setelah saya menderita di tangan pemberi pinjaman palsu yang menipu saya karena uang saya tanpa menawarkan saya pinjaman, saya memerlukan pinjaman selama 2 tahun terakhir untuk memulai bisnis saya sendiri di kota Sidoarjo tempat saya tinggal dan saya jatuh ke tangan perusahaan palsu di India yang telah menipu saya dan tidak menawarkan pinjaman kepada saya dan saya sangat frustrasi karena saya kehilangan semua uang saya ke perusahaan palsu di India, karena saya berutang kepada bank dan teman-teman saya dan saya tidak punya orang untuk dituju, sampai suatu hari teman setia saya menelepon Slamet Raharjo setelah membaca kesaksiannya tentang bagaimana dia mendapat pinjaman dari ibu perusahaan pinjaman Emily, jadi saya harus menghubungi Slamet Raharjo dan dia mengatakan kepada saya dan meyakinkan saya untuk menghubungi ibu emily bahwa dia adalah ibu yang baik dan saya harus memanggil keberanian dan saya menghubungi ibu emily perusahaan dan secara mengejutkan, pinjaman saya diproses dan disetujui dan dalam waktu 2 jam pinjaman saya dipindahkan ke akun saya dan saya sangat terkejut bahwa ini adalah keajaiban dan saya harus bersaksi tentang ibu pekerjaan yang baik Emilyjadi saya akan menyarankan semua orang yang membutuhkan pinjaman untuk menghubungi ibu perusahaan pinjaman Emily melalui email: emilygregloancompany@gmail.com. atau whatsapp +1 (669) 4002627 dan saya meyakinkan Anda bahwa Anda akan bersaksi seperti yang telah saya lakukan dan Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut tentang Mother Emily melalui saya email: nurkhomariyah1989@gmail.com dan Anda masih dapat menghubungi teman saya Nur Syarah yang memperkenalkan saya kepada Ms. Margaret melalui email: slametraharjo211989@gmail.comsemoga Tuhan terus memberkati dan mendukung ibu Emily yang telah mengubah kehidupan finansial saya.
BalasHapus