BAB III
KEBANGKITAN PKI
A.
Kembali dari Tidur Panjang
Sesudah
pengakuan kedaulatan pimpinan PKI berada di tangan Alimin dan Tan Ling Jie,
orang-orang dari golongan tua. Akan tetapi sejak 1951 pimpinan PKI jatuh ke
tangan tokoh-tokoh muda seperti D.N. Aidit, Nyono, Lukman, Sudisman, dan Alimin
sebagai satu-satunya tokoh tua yang melaksanakan strategi perjuangan baru
dengan wadah Front Persatuan Nasional. Aidit dan Lukman baru kembali dari RRC
pada bulan Juni 1950 untuk memperoleh pendidikan dan latihan di sana sesudah
pemberontakan PKI 1948 gagal. Bisa dibilang selama Clash II mereka tdak ikut
berjuang untuk negara.[1] Di
samping strategi Front Persatuan Nasional, PKI juga memperluas pengaruhnya
dengan membentuk berbagai organisasi massa yang meskipun secar resmi belum
bercorak komunis, tetapi sudah ada dalam pengendaliannya, terutama dalam
kalangan buruh (SOBSI), tani (BTI), seniman (Lekra), pemuda (PR) dan wanita
(Gerwani). Corak komunis yang resmi baru nampak sesudah 1957.[2]
PKI
mengalami perkembangan yang cukup cepat. Pada awal pembentukannya, yang diambil
sejak September 1950 (berdasar pengakuan PKI dalam HUT ke-45), PKI memiliki
100.000 anggota. Kemudian dibersihkan pada tahun 1951 oleh Kabinet Sukiman, dan
mulai muncul kembali pada Maret 1952 yang langsung memiliki 7.910 anggota.
Peningkatan yang cukup tajam terjadi pada Mei 1952. Anggota PKI meningkat
drastis menjadi 100.000 anggota. 165.000 anggota pada Maret 1954, 1.000.000
anggota pada tahun 1957, dan terus mengalami peningkatan tajam hingga pada
tahun 1965 anggota PKI berjumlah 20.000.000 orang. Keanggotaan ini pada
akhirnya berdampak pula pada hasil suara pada Pemilu 1955 (6.100.000 suara) dan
pada Pemilu DPRD1957 memperoleh 8.000.000 suara. Organisasi ini tersusun rapi,
disiplinnya kuat dan bersih dari berbagai skandal seperti korupsi, dan sebagainya.[3]
Satu
hal yang tidak boleh dilupakan adalah kepandaian PKI dalam berpropaganda
sehingga banyak kondisi sosial yang dihadapi dapat dimanfaatkan dengan baik.
Terlebih situasi internasional (Perang Dingin) saat itu antara Rusia dengan
Amerika dan kemenangan berada di pihak Amerika, yang ditampilkan selanjutnya
adalah pencitraan Amerika sebagai kampiun penindasan dan pembela kapitalisme.
Apalagi sesudah pemberontakan PRRI-PERMESTA meletus, Amerika menjadi
bulan-bulanan karena ditemukannya banyak bukti yang menunjukkan keterlibatannya
dalam pemberontakan. Begitu pula dengan ketenaran dan kewibawaan Presiden
Soekarno yang menjadi sasaran utama PKI untuk dieksploitasi, salah satunya
dengan mengambil slogan-slogan Soekarno sehingga popularitas PKI dengan
Soekarno lebih menanjak ketimbang dengan PNI dan Soekarno.[4]
B. Ada Apa Antara PKI dan Kekuatan-Kekuatan di
Indonesia
1.
Hubungan PKI dengan Lembaga-Lembaga Pemerintah RI
Konflik yang
kian memanas dari hari ke hari antara Angkatan Darat dan PKI menjadi tidak lebih
dari sekedar perjuangan memperebutkan simpati presiden belaka.[5]
Upaya Soekarno untuk mendamaikan Angkatan Darat dan PKI, di satu pihak dengan
cara mengemukakan pemikiran-pemikiran ideologis dan kampanye-kampanye nasional,
di pihak lain dengan cara melakukan kgiatan-kegiatan ritual neotradisional dan
melakukan politik istana, tetap tak mampu untuk menenangkan konflik antara
organisasi-organisasi dan kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh persaingan
Angkatan Darat dan PKI. Hal ini menjadi warna dalam tahun-tahun pertama
demokrasi terpimpin yang disokong oleh kekuatan yang seimbang dan stabil namun
sekaligus juga goyah, yakni kekuatan
dikembangkan di antara tiga pusat utama yaitu presiden, kepemimpinan
Angkatan Darat dan PKI. Dikumandangkannya anti Malaysia telah menciptakan keadaan-keadaan
yang memungkinkan PKI mendapatkan kemajuan-kemajuan yang pesat, sehingga
menggerogoti keseimbangan yang ada yang boleh dikatakan relatif stabil
sebelumnya.[6]
Soekarno yang
mengakui PKI sebagai salah satu unsur dari Nasakom, menyebabkan rencana-rencana
untuk mengamati perkembangan PKI mulai dilakukan di beberapa kalangan dalam
Angkatan Darat. Sehingga tidak mengherankan keika PKI mengemukakan suatu
evaluasi yang amat kritis mengenai apa yang telah dicapai oleh kabinet dalam
bulan Juli 1960, beberapa pemimpin PKI termasuk D.N. Aidit dan Nyoto,
diperintahkan untuk menghadap dan diinterogasi oleh para perwira inteligen
Angkatan Darat yang dikepalai Achmad Sukendro, sementara yang lain, Sukirman,
ditahan.[7]
Terlindungi oleh presiden dan tertahan oleh Angkatan Darat, PKI menjadi faktor
yang menentukan dalam perimbangan kekuatan yang akan berlangsung terus samapi
akhir masa kampanye pembebasan Irian Barat pada tahun 1962. PKI dibiarkan
meneruskan kegiatan-kegiatan sebagai partai yang legal, dan para pendukungnya
telalh memperoleh bagian untuk menduduki kursi-kursi di badan-badan perwakilan.
PKI terus dikucilkan dari pos-pos jabatan dalam kabinet yang memiliki
kewibawaan eksekutif meskipun para pemimpin PKI seperti D.N. Aidit dan M.H.
Lukman disetujui untuk memiliki status yang sama dengan para menteri sebagai
pembantu ketua di MPRS ataupun DPR-GR. Ketika jumlah pengikut terus meningkat
pada tahun 1960-an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, PKI tidak lagi
berusah memenangkan suara dari partai-partai saingan yang lain tetapi langsung terlibat dalam
pertarungan kekuatan dengan Angkatan Darat. Partai ini memiliki massa pengikut
yang besar, juga memiliki perwakilan di badan-badan penting negara dan hubungan
yang hangat dengan presiden, tetapi tidak memiliki strategi yang meyakinkan
untuk mencapai kekuasaan.[8]
PKI
hanya bisa mengharapkan pemenangan pengaruh yang lebih besar terhadap presiden
untuk memperoleh dukungan politik, sedangkan yang terburuk adalah, menurut Van
Der Kroef dalam halaman 263 bukunya, “menjadi seekor burung dalam sangkar emas
dengan proses pertumbuhan yang terhenti, yang lambat laun akan mati dengan
sendirinya”.[9]
Sementara Angkatan Darat menerima politik konfrontasi dengan rasa enggan, PKI
mendukung konfrontasi tersebut dengan sepenuhnya sejak semula. Sebagaimana
halnya perjuangan pembebasan Irian Barat, kampanye yang baru ini telah
menciptakan uatu suasana yang memojokkan para pemimpin Angkatan Darat ke dalam
keadaan yang amat sulit untuk mendapatkan jalan menghambat PKI. PKI,
bagaimanapun juga, telah beranjak jauh dari taktik-taktik yang dianutnya pada
kampanye terdahulu ketika perhatian mereka yang utama adalah mempertahankan
kedudukan; kali ini mengambil kesempatan untuk meperkukuh kedudukan yang
dimungkinkan oleh suasana perang suci melawan Malaysia serta mendesakkan
tuntutan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam pemerintahan.Dalam
hal ini mereka mendapat dukungan dari presiden yang kedudukannya ditingkatkan
oleh kekuatan PKI yang semakin besar.[10]
2.
Hubungan PKI dengan PNI
Demi
mempertahankan hidup dan kemampuan untuk berkembang maka PKI mencari sekutu
yang sebisa mungkin bisa ia tunggangi. Pilihan PKI jatuh pada PNI, sebuah
partai besar yang sebenarnya pernah diganyangnya dalam pemberontakan Madiun.
Kerjasama PKI-PNI ini terjalin sejak Kabinet Wilopo, lebih-lebih sesudah meletusnya
peristiwa 17 Oktober 1952. Memang, semasa Kabinet Wilopo PNI nampak pecah
menjadi dua golongan yakni administrator yang pro Wilopo dan golongan penganjur
persatuan yang pro Sidik Joyosukarto dan Manai Sophian.[11]
Golongan pertama setuju dengan rasionalisasi dan modernisasi, sedangkan
golongan kedua menghendaki tentara massal dipertahankan. Sikap golongan
terakhir ini didukung oleh PKI, karena memaksakan rencana golongan pertama sama
dengan melaksanakan rencana partai musuh PKI, PSI.
Kerjasama
pun menjadi semakin akrab pada masa Kabinet Ali I, karena kabinet yang
berintikan anggota-anggota PNI dan NU tidak mungkin bertahan tanpa dukungan
PKI. Sebaliknya PKI memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri.
Selanjutnya setiap kabinet yang didukung PNI akan didukung PKI, dan dukungan
makin besar bila Masyumi (dan PSI) tidak ikut serta di dalamnya. Dalam
kerjasama tersebut terlihat jika PNI kuran pandai memahami keadaan. PNI lebih
banyak diperalat PKI, bahkan pemuda-pemuda Marhaenis PNI sempat meenrima
penghinaan memalukan dalam pertengahan tahun 1965 di daerah Yogyakarta. Di sana
para pemuda PKI berhasil memukuli pemuda-pemuda PNI dengan perlindungan satu
batalyon pro-komunis di sana. Bukti lain bahwa PNI berada di bawah pengaruh PKI
adalah kesediaannya untuk selalu menirukan slogan-slogan PKI semata-mata supaya
dirinya mendapat pengharapan sebagai partai revolusioner.[12]
C.
PKI dan Dinamika Politik
Sepanjang tahun
1964 kampanye aksi sepihak PKI dilancarkan dalam suatu wilayah yang luas. Yang
utama dilakukan di daera dimana PKI kuat yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur,
tetapi juga aksi-aksi penting lainnya di Jawa Barat, Bali, dan Sumatera Utara.
Sasaran yang dituju adalah para taun tanah yang memiliki tanah berlebihan yang
biasanya punya hubungan dengan Partai Nasional Indonesia atau Nahdlatul Ulama.[13]
Kekerasan semakin banyak tejadi terutama setelah para tuan tanah menyekutukan
diri dengan Partai Nasional Indonesia atau Nahdlatul Ulama dan memobilisasi
para pengikut merek untuk melawan kampanye yang dipimpin PKI. Dalm
wilayah-wilayah santri yang kuat, khususnya Jawa Timur, perlawanan terhadap PKI
adalah yang terkuat dan ketegangan hampir merata menyebar dan pada awal tahun
1965, bukan lagi Nahdlatul Ulama melainkan PKI yang harus bertahan.[14]
Militansi baru
PKI dan kepercayaan diri untuk menghadapi perlawanan itu tidak hanya terjadi di
daerah pedesaan, tetapi juga di Ibu Kota, dimana oposisi dilakukan oleh partai
kecil Murba sebagai ujung tombak. Parta ni adalah partai komunias nasional yang
senaniasa dicemooh PKI. Mereka mengetahui bahwa mereka tidak dapat mengharapkan
presiden membubarkan PKI, oleh karena itu diusahakan agar ia sendiri mengakui
pernyataan-pernyataannya di masa lalu sedemikian rupa sehingga mengambil posisi
erlawanan dengan PKI.[15]
Pertengkaran masih
terus berlanjut kali ini antara koran PKI, Harian Rakjat, dengan koran B.M.
Diah ,Merdeka, duta besar di London yang antikomunis yang mendirikan organisasi
dengan nama Badan Pendukung Soekarnoisme yang dipimpi Adam Malik, B.M. Diah dan
Sumantoro (anggota partai Murba dan redaktur koran Berita Indonesia) berusaha
memberikan paham Soekarnoisme sebagai alternatif terhadap Marxisme. [16]
Peningkatan kampanye PKI untuk melawan
para penentangnya berlangsung dalam tahun 1965. Sepanjang bulan Januari dan
Februari 1965, organisai-organisasi mantel PKI menyatakan perlunya “meritul”
Menteri Perdagangan Adam Malik dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh yang
juga menjabat sebagai menteri industri dasar dan pertambangan. Selama tahun
1965, kampanye yang hampir serupa dilakukan untuk “meritul” para pejabat
anti-PKI dan mereka -sering dari kalangan militer- dituduh sebagai
kaitalis-kapitalis birokrat korup, dan merupakan bagian dari dinasti ekonomi.
Demonstrasi-demonstrasi dilancarkan untuk menuntut pembubaran Himpunan
Mahasiswa Islam. Juga dikemukakan oleh PKI perlunya Nasakomisasi di segala
bidang oleh penunjukan wakil-wakil dari golongan nasionalis, agama, dan
komunitas untuk seluruh lembaga yang meliputi kepemimpinan di parlemen daerah
sampai ke perusahaan-perusahaan negara. Kekuatan PKI yang luar biasa saat itu
terlihat dlam upacara hari ulang tahun partai itu yang ke-45 bulan Mei, dalam
acara yang dipersiapkan dengan baik yang didatangi oleh banyak tamu asing.
Pidato-pidato di depan massa disampaikan oleh Aidi, Le Duc To pemimpin Vienam
Utara dan Soekarno. Partai ini mengaku memiliki tiga juta anggota dan sekitar
20 juta dari organisasi-organisasi mantelnya.[17]
Dlam tahu 1965 berbagai perkembangan nampaknya searah dengan keinginan PKI:
presiden mencela ketakutan akan komunias di dalam negeri, dan Nekolim di luar
negeri. Para pengamat mulai berkesimpulan bahwa PKI bukan hanya behasil
membangun diri mereka sebagai bagian dari regim, tetapi juga bahwa prakarsa
politik telah berada di tangan mereka dan tidak lama lagi partai ini akan siap
untuk mengambil alih kekuasaan.[18]
D.
Menuju Pemberontakan 30 September 1965
1.
Kilas Balik 1965
Sebagaimana
diketahui, tahun 1965, suasana kontradiksi yang berlangsung di Indonesia
semakin memuncak. Ketegangan antara sikap menginginkan percaturan politik yang
berdasarkan kekeluargaan Bangsa Indonesia dengan sikap politik yang berdasarkan
pertarngan kelas atau golongan dengan titik berat kepada pengusutan siapa
kawan, siapa lawan, semakin menjadi-jadi.
Pertentangan
tajam yang menaikkan suhu politik menyangkut berdirinya Badan Pendukung
Sukarnoisme atau BPS. Sayuti Melik sebagai seorang wartawan dan pejuang
kemerdekaan kawakan mengggali kembali ajaran-ajaran Sukarno dalam serangkaian
tulisan di surat-surat kabar. PKI tidak senang terhadap tindakannya itu dan
dengan gigih menghantamnya. BPS dianggap anti komunis dan Aidit mendesak
Sukarno agar membubarkan BPS. Sedangkan massa PKI melakukan aksi sorat coret di
tembok “Ganyang BPS, BPS Kontra Revolusi,
Hidup Nasakom”. Akhirnya BPS atas perintah presiden Sukarno dilarang dengan
alasan tertentu. Menteri Penerangan Achmadi memutuskan untuk mencabut izin
terbit 21 harian dan mingguan yang menjadi anggota BPS.
Dalam politik
luar negeri, Indonesia meninggakan politik bebas aktif dan semakin ditarik
kiri. Indonesia membentuk persekutuan dengan RRC yang kemudian berkembang
menjadi poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang sebagai suatu konstelasi
politik dunia yang baru. Indonesia makin jauh dari negara-negara Barat dan
makin sejalan dengan haluan negara-negara komunis. Bahkan presiden Sukarno tanpa
tedeng aling2 berbicara di depan massa “go
to hell with your aid”.[19]
Sikap permusuhan
terhadap Amerika memuncak ketika pada tanggal
7 Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Suatu
sikap yang mendapat sambutan hangat dari RRC. Tapi konsekuensinya, Indonesia
dikucilkan dari masyarakat dunia, kecuali dari negara-negara komunis.[20]
Sejak bulan
Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build up mental terutama di kalangan ormas serta simpatisannya.
Instruksi pimpinan PKI dalam rangka build
up itu adalah mengembangkan ofensif revolusioner sampai ke puncaknya dengan
memperhebat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kapitalis birokrat,
pencoleng dan koruptor, melawan tuan tanah jahat serta imperialisme Amerika
Serikat. Ofensif revolusioner tersebut dipraktekkan di kalangan buruh dan tani
yang mendorong mereka lebih berani melawan pemerintah setempat melalui
aksi-aksi sepihak. Aksi-aksi tersebut dilakukan untuk mencoba kekuatan mental
PKI tanpa mempedulikan kerugian orang lain, asalkan tujuan tercapai. Misalnya
aski sepihak di Klaten bulan Mei 1964, di Indramayu, Banyuwangi, di Bandar Betsy
Sumatera Utara tanggal 14 Mei 1965 yang mengakibatkan terbunuhnya Letnan
Sujono. PKI seolah tiada memiliki kesabaran lagi, terlebih sesudah partai Murba
pada bulan Desember tahun 1964 menyiarkan adanya rencana Program Jangka Panjang
PKI.
Dijelaskan dalam
dokumen itu, bahwa tujuan dan dasar PKI ialah mendirikan suatu negara yang 100%
dikuasai proletar atau kaum buruh. Dasar negaranya ialah Manifesto Komunis
seperti yang dicita-citakan Karl Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung.[21]
PKI melancarkan
offensif revolusioner di segala bidang, baik bidang politik dalam negeri maupun
bidang luar negeri. Gambaran ini terlihat pada tulisan-tulisan tembok di
Jakarta bulan April 1965: Hancurkan Nekolim, Hidup Sukarno, Hidup Nasakom,
Hidup PKI, Gantung Imperialisme dan Antek-Anteknya, Hancurkan Pangkalan Asing,
Ganyang Malaysia, Larang Film Amerika, Larang The Beatles, Larang BPS.[22]
PKI berhasil
mendesak agar manifesto kebudayaan dilarang, dan puncaknya ialah pembubaran
Partai Murba yang dianggap sebagai saingannya. Berdasarkan Keputuan Presiden No.291/1965
tanggal; 21 September 1965, Partai Murba di seluruh wilayah negara RI,
dibubarkan.
Sukses politik
yang dicapai PKI, semuanya itu bertujuan menciptakan situasi revolusioner.
Konsolidasi PKI sejak tahun 1960-1965 berhasil baik, sehingga yang tampak di
gelanggang politik hanyalah PKI. Di bidang idelogi, PKI merasa paling menang,
karena Marxisme telah diajarkan dimana-mana sebagai pelajaran resmi di sekolah
dan instansi-instansi pemerintah. Nasakomisasi di segala bidang berjalan terus,
sehingga kedudukan PKI bertambah kokoh.[23]
Secara terbuka,
pimpinan PKI melakukan ofensif revolusioner terutama pada bulan September 1965
pada setiap kesempatan adanya pertemuan, apel massa, ataupun rapat raksasa.
Puncaknya ialah pada tanggal 29 September 1965 di hadapan para peserta Kongres
ke III CGMI di gedung Istora, Senayan. Pidato Aidit, “Mahasiwa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat.
berbuat,berbuat,berbuat. bertindak dan berbuat dengan berani, berani, sekali
lagi berani!” Pidato Aidit yang sangat sinis itu sepertinya mengejek kepada
Pimpinan Negara yang tdak mau juga membubarkan HMI. Pada kesempatan itu, Bung
Karno dengan tegas menyatakan, bahwa orpol dan ormas yang bertentangan dengan
revolusi Indonesia akan dibubarkan, dan bukan HMI saja, orpol dan ormas apapun
juga jika menyeleweng pasti akan dibubarkan.[24]
Suasana bulan
September 1965 sungguh panas. Anwar Sanusi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI, dalam pidatonya di depan para
sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1965 antara lain berkata, “Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu
Pertiwi berada dalam hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan
untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan”. Sang bayi
adalah massa rakyat Manipolis. Sukwan adalah salah satu alat penting di tangan
sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan
sang bayi yang akan dilahirkan. Ucapan Anwar Sanusi dan D.N. Aidit menunjukkan,
bahwa mereka sudah siap meledakkan situasi revolusioner, yakni mewujudkan
pecahnya revolusi atau perebutan kekuasaan.[25]
2.
Gerakan 30 September 1965
Pada
hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965, PKI mulai melancarkan gerakan
perebutan kekuasaan dengan nama gerakan 30 September atau kemudian dikenal
dengan G 30 S /PKI.
Gerakan
secara fisik/militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan
Batalyon I Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden, dan mulai
bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
Enam
orang perwira tinggi dan seorang perwira Angkatan Darat dibunh dan diculik dari
tempat kediaman masing-masing. Mereka yang diculik kemudian dibunuh secara
kejam oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain ormas PKI yang
telah menunggu di Lubang Buaya, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan
Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bersama-sama
dengan para korban lainnya yang telah dibunuh di tempat kediaman mereka,
jenazah dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua di desa tersebut.
Keenam
perwira tinggi tersebut adalah:
a.
Letnan Jenderal Ahmad
Yani,
b.
Mayor Jenderal R.
Soeprapto,
c.
Mayor Jenderal Harjono
Mas Tirtodarmo,
d.
Mayor Jenderal Suwondo
Parman,
e.
Brigadir Jenderal
Donald Izacus Pandjaitan, dan
f.
Brigadir Jenderal
Soetojo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution pada waktu
itu Menteri Kompartemen Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang menjadi
sasaran utama, berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan, tetapi putri
beliau, irma Suryani Nasution, tewas karena tembakan-tembakan para penculik.
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution, adalah perwira
pertama yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Dalam usaha penculikan
tersebut, tewas pula Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, pengawal rumah wakil
Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A.H.
Nasution. Bersama-sama pengawal-pengawal lainnya, Brigadir Polisi Sasuit Tubun
mengadakan perlawanan ketika mereka akan diamankan para penculik sebelum para
penculik itu memasuki rumah Jenderal A.H. Nasution.[26]
3. Penumpasan Gerakan
30 September di Jakarta dan Jawa Tengah
a.
Jakarta
Pada hari Jumat pagi, 1 Oktober 1965,
Gerakan 30 September telah berhasil menguasai dua buah sarana komunikasi yang
vital, yaitu studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi
yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, pagi itu pada pukul 07.20
dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September.
Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota
Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup
terhadap pemerintah.
Siang
harinya, pukul 13.00 kembali disiarkan sebuah dekrit tentang pemberontakan
Dewan Revolusi di pusat dan di daerah-daerah serta pendemisioneran Kabinet
Dwikora.[27]
Pada hari itu juga, setelah menerima
laporan tentang segala sesuatu yang terjadi, Panglima Komando Strategis
Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Hal ini
dikarenkan pimpinan Angkatan Darat lumpuh berkenaan dengan
penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan oleh Gerakan 30 S. Setelah
menerima laporan dari Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya, Mayor Jenderal
Umar Wirahadikusumah, segera diambil langkah-langkah mengkoordinasikan
kesatuan-kesatuan yang berada di Jakarta dengan jalan mengkonsinyasi
anggota-anggota Angkatan bersenjata melalui panglimanya masing-masing, kecuali
Angkatan Udara yang panglimanya kemudian ternyata mendukung Gerakan 30
September.[28]
Operasi militer dimulai pada sore hari
tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.00 ketika pasukan RPKAD di bawah pimpinan
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menerima perintah dari panglima Kostrad untuk
merebut kembali Studio RRI dan Kantor Pusat Telekomunikasi. Hanya dalam waktu
20 menit, kedua pusat sarana telekomunikasi tersebut dapat direbut dan beberapa
saat kemudian Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan telah terjadi
usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September.
Pada 2 Oktober 1965, menjelang sore
hari, baru Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah dapat dikuasai kembali tanpa
kesulitan, kecuali suatu perlawanan kecil oleh Batalyon 454/Para Diponegoro
ketika pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah akan membersihkan kampung
Lubang Buaya yang menjadi pusat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dengan telah dikuasainya kembali keadaan
kota Jakarta, usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September dapat
digagalkan. Dari dokumen-dokumen yang dapat disita dan hasil pemeriksaan
tokoh-tokohnya, diketahui Gerakan 30 September digerakkan dan didalangi oleh
PKI. Sementara itu untuk menanggulangi keadaan, Panglima Komando Daerah Militer
V/Jaya menyatakan daerah hukum KODAM V/Jaya dalam keadaan perang mulai tanggal
1 Oktober 1965, dan jam malam dinyatakan berlaku mulai pukul 18.00 sore hingga
06.00 pagi.[29]
b.
Jawa
Tengah
Pemberontakan
PKI dengan Gerakan 30 Septembernya ternyata telah matang dipersiapkan dan tidak
terbatas hanya di Jakarta saja. Di berbagai daerah, PKI dan anggota-anggota
ABRI yang telah dibina oleh PKI melakukan perebutan kekuasaan.
Berdirinya
Dewan Revolusi di Yogyakarta diumumkan melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965.
Dewan Revolusi di daerah Yogyakarta diektuai oleh Mayor Muljono, Kepala Seksi
Teritorial Korem 072/Yogyakarta. Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala
Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugijono, masing-masing diculik dari rumah dan
Markas Korem 072 sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Mereka dibawa ke markas
Batalyo “L” di desa Kentungan, yang terletak di sebelah utara kota Yogya dan
selanjutnya dibunuh di sana.
Di
Solo, gerakan dilakukan oleh beberapa perwira dan anggota-anggota Brigade
Infanteri VI yang melalui RRI Solo mengumumkan dukungan terhadap Gerakan 30
September. Kemudian Wali Kota Solo Oetomo Ramlan, seorang tokoh PKI, atas nama
Front Nasional Solo menyiarkan pula dukungan terhadap Gerakan 30 September.
Sementara
itu, di Wonogiri, ibukota sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan
Solo, dibentuk Dewan Revolusi daerah Wonogiri yang diketuai oleh Bupati
Wonogiri, seorang tokoh PKI dengan dukungan KODAM setempat.
Di
Semarang, Kolonel Sahirman, Asisten Intelijen Kodam VII/Diponegoro, setelah
menguasai studio RRI Semarang mengumumkan pembentukan Gerakan 30 September
Daerah yang dipimpinnya sendiri.
Seperti
halnya di Jakarta, gerakan-gerakann kekuasaan di Jawa Tengah inipun dapat
dipatahkan oleh kesatuan-kesatuan ABRI yang setia kepada Pancasila yang
dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigadir Jenderal Surjosumpeno, sekalipun
penumpasannya tidak secepat di Jakarta karena Jawa Tengah pada dasarnya memang
merupakan basis PKI yang terkuat. Pengacauan, sabotase, dan teror oleh massa
PKI berlangsung terutama di daerah Solo, Klaten, dan Boyolali.
Kegiatan-kegiatan serupa dilakukan pula di berbagai daerah di Jawa Timur dan
Bali.[30]
E. Coup Aidit Gagal
Meskipun Aidit dengan lantang pernah
mengemukakan betapa kuat PKI pada 1965 itu, tetapi percobaan coup yang
dilakukan oleh partai ini, seperti di tahun 1948, menemui kegagalan. Dalam
waktu yang sangat singkat, gerakannya dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan
Pancasilais. Golongan anti komunis yang semula dipojokkan oleh PKI mendapat
kesempatan untuk mengambil tindakan balasan.[31]
Alasan-alasan kegagalan tersebut
antara lain:
1.
perhitungan waktu yang
salah (terlalu awal)
2.
terlalu percaya akan
kekuatan sendiri dan meremehkan kekuatan-kekuatan lain
3.
kesatuan komando baik
politik maupun militer tak ada
4.
keraguan-keraguan
perwira untuk memilih antara setia kepada PKI atau kepada Presiden
5.
pasukan cadangan PKI
tak bergerak
6.
lolosnya Jenderal
Nasution menimbulkan kegelisahan di kalangan Gestapu
7.
sikap golongan-golongan
non-komunis yang serentak tidak membenarkan kekejaman PKI.[32]
BAB
III
SIMPULAN
Keberadaan Partai Komunis Indonesia
(PKI) memang menimbulkan keresahan di kalangan Pancasilais. Ideologi yang
semula berkiblat pada Pancasila secara revolusioner diubah menjadi pemikiran
yang berkiblat ke Timur: kilblat para komunis. Hal ini bisa terlihat dalam
tahun 1948, ketika PKI pertama kali melancarkan aksinya, pertentangan politik
yang hebat pada saat itu merupakan sumber terjadinya permasalahan keamanan
dalam di Indonesia. Dalam keadaan demikian dengan sendirinya tidak akan mungkin
TNI menjadi alat kepolisian dalam tangan pemerintah, kecuali jika memang
kedaulatan negara yang terserang.
Lantas PKI mulai bertindak
anti-pemerintah, tentu yang mengusung Pancasila, karena dianggap berbahaya bagi
keberlangsungan PKI. PKI menunjukkan sikap permusuhannya dengan Angkatan Darat
dan Dewan Jenderal pada tahun 1965, sehingga menyebabkan terbunuhnya enam
jenderal di Lubang Buaya, Jakarta.
Pada akhirnya, tetap yang hitam akan
selalu hitam, dan yang putih tetaplah putih. PKI berhasil dimusnahkan.
Akar-akar komunisme dibabat, dan diganti dengan ideologi yang telah lama
menjadi jiwa murni bangsa Indonesia. Pancasila.
DAFTAR
PUSTAKA
Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia.
Penerjemah Th.
Sumarthana.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
G. Martha, Ahmaddani, dkk. 1984. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah
Perjuangan Bangsa.
Jakarta: Proyek Pengembangan dan Pengendalian/Kebijaksanaan dan Program
Generasi Muda secara terpadu.
Kabin, George Mc.Tuman. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Penerjemah Nin
Bakdi Soemanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Sebelas Maret University
Press
Kartasasmita, Ginandjar,et.al.
1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1.
Jakarta:
PT. Tira Pustaka.
______________________.1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3.
Jakarta:
PT. Tira
Pustaka.
Moedjanto, G. 1992. Indonesia Abad Ke-20 jilid 2 Dari Perang
Kemerdekaan
Pertama sampai PELITA III.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8.
Bandung:
Penerbit
Angkasa.
Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa.
Jakarta (tanpa
penerbit).
[1] G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 133.
[2] ibid., hlm. 134.
[3] G. Moedjanto, op.cit., hlm.
135.
[4] ibid.
[5] Harold Crouch, Militer
dan Politik di Indonesia, penerjemah Th. Sumarthana, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1999), hlm. 45.
[6] Harold Crouch, op.cit.,
hlm. 46.
[7] ibid., hlm. 50.
[8] ibid., hlm. 51.
[9] Harold Crouch, op.cit.,
hlm. 52.
[10] ibid., hlm. 65.
[11] G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 135.
[12] G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 136.
[13] Harold Crouch, op.cit.,
hlm. 66..
[14] ibid., hlm. 67.
[15] Harold Crouch, Loc.cit.
[16] ibid., hlm. 68.
[17] ibid., hlm. 69.
[18] Harold Crouch, op.cit.,
hlm. 71.
[19] Ahmaddani G. Martha,
dkk., Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa, (Jakarta:
Proyek Pengembangan dan Pengendalian/Kebijaksanaan dan Program Generasi Muda
secara terpadu, 1984), hlm. 273.
[20] Ahmaddani G. Martha, dkk.,
hlm. 274.
[21] ibid., hlm. 275
[22] ibid., hlm. 276
[23] Ahmaddani G. Martha,
dkk., hlm. 282.
[25] Ahmaddani G. Martha, dkk.,
hlm. 284.
[26] Ginandjar Kartasasmita,
et.al., 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid
3, (Jakarta: PT Tira Pustaka, 1981) hlm. 43.
[27] ibid., hlm. 46.
[28] ibid., hlm. 47.
[29] Ginandjar Kartasasmita,
et.al., op.cit., hlm. 48.
[30] Ginandjar Kartasasmita,
et.al., op.cit., hlm. 49.
[31] G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 142.
[32] G. Moedjanto, op.cit.,
hlm. 143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar