Sabtu, 07 Juli 2012

PARTAI KOMUNIS INDONESIA : Menyingkap Gejolak Bangsa di Dua Era (1948,1965) (BAGIAN II)


BAB III
KEBANGKITAN PKI


A. Kembali dari Tidur Panjang
            Sesudah pengakuan kedaulatan pimpinan PKI berada di tangan Alimin dan Tan Ling Jie, orang-orang dari golongan tua. Akan tetapi sejak 1951 pimpinan PKI jatuh ke tangan tokoh-tokoh muda seperti D.N. Aidit, Nyono, Lukman, Sudisman, dan Alimin sebagai satu-satunya tokoh tua yang melaksanakan strategi perjuangan baru dengan wadah Front Persatuan Nasional. Aidit dan Lukman baru kembali dari RRC pada bulan Juni 1950 untuk memperoleh pendidikan dan latihan di sana sesudah pemberontakan PKI 1948 gagal. Bisa dibilang selama Clash II mereka tdak ikut berjuang untuk negara.[1] Di samping strategi Front Persatuan Nasional, PKI juga memperluas pengaruhnya dengan membentuk berbagai organisasi massa yang meskipun secar resmi belum bercorak komunis, tetapi sudah ada dalam pengendaliannya, terutama dalam kalangan buruh (SOBSI), tani (BTI), seniman (Lekra), pemuda (PR) dan wanita (Gerwani). Corak komunis yang resmi baru nampak sesudah 1957.[2]
            PKI mengalami perkembangan yang cukup cepat. Pada awal pembentukannya, yang diambil sejak September 1950 (berdasar pengakuan PKI dalam HUT ke-45), PKI memiliki 100.000 anggota. Kemudian dibersihkan pada tahun 1951 oleh Kabinet Sukiman, dan mulai muncul kembali pada Maret 1952 yang langsung memiliki 7.910 anggota. Peningkatan yang cukup tajam terjadi pada Mei 1952. Anggota PKI meningkat drastis menjadi 100.000 anggota. 165.000 anggota pada Maret 1954, 1.000.000 anggota pada tahun 1957, dan terus mengalami peningkatan tajam hingga pada tahun 1965 anggota PKI berjumlah 20.000.000 orang. Keanggotaan ini pada akhirnya berdampak pula pada hasil suara pada Pemilu 1955 (6.100.000 suara) dan pada Pemilu DPRD1957 memperoleh 8.000.000 suara. Organisasi ini tersusun rapi, disiplinnya kuat dan bersih dari berbagai skandal seperti korupsi, dan sebagainya.[3]
            Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah kepandaian PKI dalam berpropaganda sehingga banyak kondisi sosial yang dihadapi dapat dimanfaatkan dengan baik. Terlebih situasi internasional (Perang Dingin) saat itu antara Rusia dengan Amerika dan kemenangan berada di pihak Amerika, yang ditampilkan selanjutnya adalah pencitraan Amerika sebagai kampiun penindasan dan pembela kapitalisme. Apalagi sesudah pemberontakan PRRI-PERMESTA meletus, Amerika menjadi bulan-bulanan karena ditemukannya banyak bukti yang menunjukkan keterlibatannya dalam pemberontakan. Begitu pula dengan ketenaran dan kewibawaan Presiden Soekarno yang menjadi sasaran utama PKI untuk dieksploitasi, salah satunya dengan mengambil slogan-slogan Soekarno sehingga popularitas PKI dengan Soekarno lebih menanjak ketimbang dengan PNI dan Soekarno.[4]
B.  Ada Apa Antara PKI dan Kekuatan-Kekuatan di Indonesia
1. Hubungan PKI dengan Lembaga-Lembaga Pemerintah RI
Konflik yang kian memanas dari hari ke hari antara Angkatan Darat dan PKI menjadi tidak lebih dari sekedar perjuangan memperebutkan simpati presiden belaka.[5] Upaya Soekarno untuk mendamaikan Angkatan Darat dan PKI, di satu pihak dengan cara mengemukakan pemikiran-pemikiran ideologis dan kampanye-kampanye nasional, di pihak lain dengan cara melakukan kgiatan-kegiatan ritual neotradisional dan melakukan politik istana, tetap tak mampu untuk menenangkan konflik antara organisasi-organisasi dan kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh persaingan Angkatan Darat dan PKI. Hal ini menjadi warna dalam tahun-tahun pertama demokrasi terpimpin yang disokong oleh kekuatan yang seimbang dan stabil namun sekaligus juga goyah, yakni kekuatan  dikembangkan di antara tiga pusat utama yaitu presiden, kepemimpinan Angkatan Darat dan PKI. Dikumandangkannya anti Malaysia telah menciptakan keadaan-keadaan yang memungkinkan PKI mendapatkan kemajuan-kemajuan yang pesat, sehingga menggerogoti keseimbangan yang ada yang boleh dikatakan relatif stabil sebelumnya.[6]
Soekarno yang mengakui PKI sebagai salah satu unsur dari Nasakom, menyebabkan rencana-rencana untuk mengamati perkembangan PKI mulai dilakukan di beberapa kalangan dalam Angkatan Darat. Sehingga tidak mengherankan keika PKI mengemukakan suatu evaluasi yang amat kritis mengenai apa yang telah dicapai oleh kabinet dalam bulan Juli 1960, beberapa pemimpin PKI termasuk D.N. Aidit dan Nyoto, diperintahkan untuk menghadap dan diinterogasi oleh para perwira inteligen Angkatan Darat yang dikepalai Achmad Sukendro, sementara yang lain, Sukirman, ditahan.[7] Terlindungi oleh presiden dan tertahan oleh Angkatan Darat, PKI menjadi faktor yang menentukan dalam perimbangan kekuatan yang akan berlangsung terus samapi akhir masa kampanye pembebasan Irian Barat pada tahun 1962. PKI dibiarkan meneruskan kegiatan-kegiatan sebagai partai yang legal, dan para pendukungnya telalh memperoleh bagian untuk menduduki kursi-kursi di badan-badan perwakilan. PKI terus dikucilkan dari pos-pos jabatan dalam kabinet yang memiliki kewibawaan eksekutif meskipun para pemimpin PKI seperti D.N. Aidit dan M.H. Lukman disetujui untuk memiliki status yang sama dengan para menteri sebagai pembantu ketua di MPRS ataupun DPR-GR. Ketika jumlah pengikut terus meningkat pada tahun 1960-an, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, PKI tidak lagi berusah memenangkan suara dari partai-partai saingan  yang lain tetapi langsung terlibat dalam pertarungan kekuatan dengan Angkatan Darat. Partai ini memiliki massa pengikut yang besar, juga memiliki perwakilan di badan-badan penting negara dan hubungan yang hangat dengan presiden, tetapi tidak memiliki strategi yang meyakinkan untuk mencapai kekuasaan.[8]
            PKI hanya bisa mengharapkan pemenangan pengaruh yang lebih besar terhadap presiden untuk memperoleh dukungan politik, sedangkan yang terburuk adalah, menurut Van Der Kroef dalam halaman 263 bukunya, “menjadi seekor burung dalam sangkar emas dengan proses pertumbuhan yang terhenti, yang lambat laun akan mati dengan sendirinya”.[9] Sementara Angkatan Darat menerima politik konfrontasi dengan rasa enggan, PKI mendukung konfrontasi tersebut dengan sepenuhnya sejak semula. Sebagaimana halnya perjuangan pembebasan Irian Barat, kampanye yang baru ini telah menciptakan uatu suasana yang memojokkan para pemimpin Angkatan Darat ke dalam keadaan yang amat sulit untuk mendapatkan jalan menghambat PKI. PKI, bagaimanapun juga, telah beranjak jauh dari taktik-taktik yang dianutnya pada kampanye terdahulu ketika perhatian mereka yang utama adalah mempertahankan kedudukan; kali ini mengambil kesempatan untuk meperkukuh kedudukan yang dimungkinkan oleh suasana perang suci melawan Malaysia serta mendesakkan tuntutan untuk memperoleh pengaruh yang lebih besar dalam pemerintahan.Dalam hal ini mereka mendapat dukungan dari presiden yang kedudukannya ditingkatkan oleh kekuatan PKI yang semakin besar.[10]
2. Hubungan PKI dengan PNI
            Demi mempertahankan hidup dan kemampuan untuk berkembang maka PKI mencari sekutu yang sebisa mungkin bisa ia tunggangi. Pilihan PKI jatuh pada PNI, sebuah partai besar yang sebenarnya pernah diganyangnya dalam pemberontakan Madiun. Kerjasama PKI-PNI ini terjalin sejak Kabinet Wilopo, lebih-lebih sesudah meletusnya peristiwa 17 Oktober 1952. Memang, semasa Kabinet Wilopo PNI nampak pecah menjadi dua golongan yakni administrator yang pro Wilopo dan golongan penganjur persatuan yang pro Sidik Joyosukarto dan Manai Sophian.[11] Golongan pertama setuju dengan rasionalisasi dan modernisasi, sedangkan golongan kedua menghendaki tentara massal dipertahankan. Sikap golongan terakhir ini didukung oleh PKI, karena memaksakan rencana golongan pertama sama dengan melaksanakan rencana partai musuh PKI, PSI.
            Kerjasama pun menjadi semakin akrab pada masa Kabinet Ali I, karena kabinet yang berintikan anggota-anggota PNI dan NU tidak mungkin bertahan tanpa dukungan PKI. Sebaliknya PKI memanfaatkan situasi itu untuk kepentingannya sendiri. Selanjutnya setiap kabinet yang didukung PNI akan didukung PKI, dan dukungan makin besar bila Masyumi (dan PSI) tidak ikut serta di dalamnya. Dalam kerjasama tersebut terlihat jika PNI kuran pandai memahami keadaan. PNI lebih banyak diperalat PKI, bahkan pemuda-pemuda Marhaenis PNI sempat meenrima penghinaan memalukan dalam pertengahan tahun 1965 di daerah Yogyakarta. Di sana para pemuda PKI berhasil memukuli pemuda-pemuda PNI dengan perlindungan satu batalyon pro-komunis di sana. Bukti lain bahwa PNI berada di bawah pengaruh PKI adalah kesediaannya untuk selalu menirukan slogan-slogan PKI semata-mata supaya dirinya mendapat pengharapan sebagai partai revolusioner.[12]
C. PKI dan Dinamika Politik
Sepanjang tahun 1964 kampanye aksi sepihak PKI dilancarkan dalam suatu wilayah yang luas. Yang utama dilakukan di daera dimana PKI kuat yaitu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi juga aksi-aksi penting lainnya di Jawa Barat, Bali, dan Sumatera Utara. Sasaran yang dituju adalah para taun tanah yang memiliki tanah berlebihan yang biasanya punya hubungan dengan Partai Nasional Indonesia atau Nahdlatul Ulama.[13] Kekerasan semakin banyak tejadi terutama setelah para tuan tanah menyekutukan diri dengan Partai Nasional Indonesia atau Nahdlatul Ulama dan memobilisasi para pengikut merek untuk melawan kampanye yang dipimpin PKI. Dalm wilayah-wilayah santri yang kuat, khususnya Jawa Timur, perlawanan terhadap PKI adalah yang terkuat dan ketegangan hampir merata menyebar dan pada awal tahun 1965, bukan lagi Nahdlatul Ulama melainkan PKI yang harus bertahan.[14]
Militansi baru PKI dan kepercayaan diri untuk menghadapi perlawanan itu tidak hanya terjadi di daerah pedesaan, tetapi juga di Ibu Kota, dimana oposisi dilakukan oleh partai kecil Murba sebagai ujung tombak. Parta ni adalah partai komunias nasional yang senaniasa dicemooh PKI. Mereka mengetahui bahwa mereka tidak dapat mengharapkan presiden membubarkan PKI, oleh karena itu diusahakan agar ia sendiri mengakui pernyataan-pernyataannya di masa lalu sedemikian rupa sehingga mengambil posisi erlawanan dengan PKI.[15]
Pertengkaran masih terus berlanjut kali ini antara koran PKI, Harian Rakjat, dengan koran B.M. Diah ,Merdeka, duta besar di London yang antikomunis yang mendirikan organisasi dengan nama Badan Pendukung Soekarnoisme yang dipimpi Adam Malik, B.M. Diah dan Sumantoro (anggota partai Murba dan redaktur koran Berita Indonesia) berusaha memberikan paham Soekarnoisme sebagai alternatif terhadap Marxisme. [16]
Peningkatan kampanye PKI untuk melawan para penentangnya berlangsung dalam tahun 1965. Sepanjang bulan Januari dan Februari 1965, organisai-organisasi mantel PKI menyatakan perlunya “meritul” Menteri Perdagangan Adam Malik dan Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh yang juga menjabat sebagai menteri industri dasar dan pertambangan. Selama tahun 1965, kampanye yang hampir serupa dilakukan untuk “meritul” para pejabat anti-PKI dan mereka -sering dari kalangan militer- dituduh sebagai kaitalis-kapitalis birokrat korup, dan merupakan bagian dari dinasti ekonomi. Demonstrasi-demonstrasi dilancarkan untuk menuntut pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam. Juga dikemukakan oleh PKI perlunya Nasakomisasi di segala bidang oleh penunjukan wakil-wakil dari golongan nasionalis, agama, dan komunitas untuk seluruh lembaga yang meliputi kepemimpinan di parlemen daerah sampai ke perusahaan-perusahaan negara. Kekuatan PKI yang luar biasa saat itu terlihat dlam upacara hari ulang tahun partai itu yang ke-45 bulan Mei, dalam acara yang dipersiapkan dengan baik yang didatangi oleh banyak tamu asing. Pidato-pidato di depan massa disampaikan oleh Aidi, Le Duc To pemimpin Vienam Utara dan Soekarno. Partai ini mengaku memiliki tiga juta anggota dan sekitar 20 juta dari organisasi-organisasi mantelnya.[17] Dlam tahu 1965 berbagai perkembangan nampaknya searah dengan keinginan PKI: presiden mencela ketakutan akan komunias di dalam negeri, dan Nekolim di luar negeri. Para pengamat mulai berkesimpulan bahwa PKI bukan hanya behasil membangun diri mereka sebagai bagian dari regim, tetapi juga bahwa prakarsa politik telah berada di tangan mereka dan tidak lama lagi partai ini akan siap untuk mengambil alih kekuasaan.[18]
D. Menuju Pemberontakan 30 September 1965
1. Kilas Balik 1965
            Sebagaimana diketahui, tahun 1965, suasana kontradiksi yang berlangsung di Indonesia semakin memuncak. Ketegangan antara sikap menginginkan percaturan politik yang berdasarkan kekeluargaan Bangsa Indonesia dengan sikap politik yang berdasarkan pertarngan kelas atau golongan dengan titik berat kepada pengusutan siapa kawan, siapa lawan, semakin menjadi-jadi.
Pertentangan tajam yang menaikkan suhu politik menyangkut berdirinya Badan Pendukung Sukarnoisme atau BPS. Sayuti Melik sebagai seorang wartawan dan pejuang kemerdekaan kawakan mengggali kembali ajaran-ajaran Sukarno dalam serangkaian tulisan di surat-surat kabar. PKI tidak senang terhadap tindakannya itu dan dengan gigih menghantamnya. BPS dianggap anti komunis dan Aidit mendesak Sukarno agar membubarkan BPS. Sedangkan massa PKI melakukan aksi sorat coret di tembok “Ganyang BPS, BPS Kontra Revolusi, Hidup Nasakom”. Akhirnya BPS atas perintah presiden Sukarno dilarang dengan alasan tertentu. Menteri Penerangan Achmadi memutuskan untuk mencabut izin terbit 21 harian dan mingguan yang menjadi anggota BPS.
Dalam politik luar negeri, Indonesia meninggakan politik bebas aktif dan semakin ditarik kiri. Indonesia membentuk persekutuan dengan RRC yang kemudian berkembang menjadi poros Jakarta-Pnom Penh-Hanoi-Peking-Pyongyang sebagai suatu konstelasi politik dunia yang baru. Indonesia makin jauh dari negara-negara Barat dan makin sejalan dengan haluan negara-negara komunis. Bahkan presiden Sukarno tanpa tedeng aling2 berbicara di depan massa “go to hell with your aid”.[19]
Sikap permusuhan terhadap Amerika memuncak ketika pada tanggal  7 Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan PBB. Suatu sikap yang mendapat sambutan hangat dari RRC. Tapi konsekuensinya, Indonesia dikucilkan dari masyarakat dunia, kecuali dari negara-negara komunis.[20]
Sejak bulan Agustus 1965, PKI secara sistematis mengadakan build up mental terutama di kalangan ormas serta simpatisannya. Instruksi pimpinan PKI dalam rangka build up itu adalah mengembangkan ofensif revolusioner sampai ke puncaknya dengan memperhebat persatuan dan aksi-aksi massa mengganyang kapitalis birokrat, pencoleng dan koruptor, melawan tuan tanah jahat serta imperialisme Amerika Serikat. Ofensif revolusioner tersebut dipraktekkan di kalangan buruh dan tani yang mendorong mereka lebih berani melawan pemerintah setempat melalui aksi-aksi sepihak. Aksi-aksi tersebut dilakukan untuk mencoba kekuatan mental PKI tanpa mempedulikan kerugian orang lain, asalkan tujuan tercapai. Misalnya aski sepihak di Klaten bulan Mei 1964, di Indramayu, Banyuwangi, di Bandar Betsy Sumatera Utara tanggal 14 Mei 1965 yang mengakibatkan terbunuhnya Letnan Sujono. PKI seolah tiada memiliki kesabaran lagi, terlebih sesudah partai Murba pada bulan Desember tahun 1964 menyiarkan adanya rencana Program Jangka Panjang PKI.
Dijelaskan dalam dokumen itu, bahwa tujuan dan dasar PKI ialah mendirikan suatu negara yang 100% dikuasai proletar atau kaum buruh. Dasar negaranya ialah Manifesto Komunis seperti yang dicita-citakan Karl Marx, Lenin, dan Mao Tse Tung.[21]
PKI melancarkan offensif revolusioner di segala bidang, baik bidang politik dalam negeri maupun bidang luar negeri. Gambaran ini terlihat pada tulisan-tulisan tembok di Jakarta bulan April 1965: Hancurkan Nekolim, Hidup Sukarno, Hidup Nasakom, Hidup PKI, Gantung Imperialisme dan Antek-Anteknya, Hancurkan Pangkalan Asing, Ganyang Malaysia, Larang Film Amerika, Larang The Beatles, Larang BPS.[22]
PKI berhasil mendesak agar manifesto kebudayaan dilarang, dan puncaknya ialah pembubaran Partai Murba yang dianggap sebagai saingannya. Berdasarkan Keputuan Presiden No.291/1965 tanggal; 21 September 1965, Partai Murba di seluruh wilayah negara RI, dibubarkan.
Sukses politik yang dicapai PKI, semuanya itu bertujuan menciptakan situasi revolusioner. Konsolidasi PKI sejak tahun 1960-1965 berhasil baik, sehingga yang tampak di gelanggang politik hanyalah PKI. Di bidang idelogi, PKI merasa paling menang, karena Marxisme telah diajarkan dimana-mana sebagai pelajaran resmi di sekolah dan instansi-instansi pemerintah. Nasakomisasi di segala bidang berjalan terus, sehingga kedudukan PKI bertambah kokoh.[23]
Secara terbuka, pimpinan PKI melakukan ofensif revolusioner terutama pada bulan September 1965 pada setiap kesempatan adanya pertemuan, apel massa, ataupun rapat raksasa. Puncaknya ialah pada tanggal 29 September 1965 di hadapan para peserta Kongres ke III CGMI di gedung Istora, Senayan. Pidato Aidit, “Mahasiwa komunis harus berani berpikir dan berani berbuat. berbuat,berbuat,berbuat. bertindak dan berbuat dengan berani, berani, sekali lagi berani!” Pidato Aidit yang sangat sinis itu sepertinya mengejek kepada Pimpinan Negara yang tdak mau juga membubarkan HMI. Pada kesempatan itu, Bung Karno dengan tegas menyatakan, bahwa orpol dan ormas yang bertentangan dengan revolusi Indonesia akan dibubarkan, dan bukan HMI saja, orpol dan ormas apapun juga jika menyeleweng pasti akan dibubarkan.[24]
Suasana bulan September 1965 sungguh panas. Anwar Sanusi, Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Front Nasional dan seorang pemimpin PKI, dalam pidatonya di depan para sukarelawan BNI pada tanggal 29 September 1965 antara lain berkata, “Kita sedang berada dalam situasi dimana Ibu Pertiwi berada dalam hamil tua. Sang bidan siap dengan alat yang diperlukan untuk menyelamatkan sang bayi yang sudah lama dinanti-nantikan”. Sang bayi adalah massa rakyat Manipolis. Sukwan adalah salah satu alat penting di tangan sang bidan. Ada segelintir setan yang mengancam keselamatan Ibu Pertiwi dan sang bayi yang akan dilahirkan. Ucapan Anwar Sanusi dan D.N. Aidit menunjukkan, bahwa mereka sudah siap meledakkan situasi revolusioner, yakni mewujudkan pecahnya revolusi atau perebutan kekuasaan.[25]
2. Gerakan 30 September 1965
            Pada hari Kamis malam, tanggal 30 September 1965, PKI mulai melancarkan gerakan perebutan kekuasaan dengan nama gerakan 30 September atau kemudian dikenal dengan G 30 S /PKI.
            Gerakan secara fisik/militer dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa, yaitu pasukan pengawal presiden, dan mulai bergerak dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
            Enam orang perwira tinggi dan seorang perwira Angkatan Darat dibunh dan diculik dari tempat kediaman masing-masing. Mereka yang diculik kemudian dibunuh secara kejam oleh anggota-anggota Pemuda Rakyat, Gerwani, dan lain-lain ormas PKI yang telah menunggu di Lubang Buaya, sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama (Lanuma) Halim Perdanakusumah, Jakarta. Bersama-sama dengan para korban lainnya yang telah dibunuh di tempat kediaman mereka, jenazah dimasukkan ke dalam sebuah lubang sumur tua di desa tersebut.
            Keenam perwira tinggi tersebut adalah:
a.       Letnan Jenderal Ahmad Yani,
b.      Mayor Jenderal R. Soeprapto,
c.       Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo,
d.      Mayor Jenderal Suwondo Parman,
e.       Brigadir Jenderal Donald Izacus Pandjaitan, dan
f.       Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
Jenderal Abdul Haris Nasution pada waktu itu Menteri Kompartemen Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, yang menjadi sasaran utama, berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan, tetapi putri beliau, irma Suryani Nasution, tewas karena tembakan-tembakan para penculik. Letnan Satu Pierre Andreas Tendean, ajudan Jenderal Nasution, adalah perwira pertama yang menjadi korban dalam peristiwa ini. Dalam usaha penculikan tersebut, tewas pula Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun, pengawal rumah wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang berdampingan dengan rumah Jenderal A.H. Nasution. Bersama-sama pengawal-pengawal lainnya, Brigadir Polisi Sasuit Tubun mengadakan perlawanan ketika mereka akan diamankan para penculik sebelum para penculik itu memasuki rumah Jenderal A.H. Nasution.[26]
3. Penumpasan Gerakan 30 September di Jakarta dan Jawa Tengah
a.      Jakarta
Pada hari Jumat pagi, 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September telah berhasil menguasai dua buah sarana komunikasi yang vital, yaitu studio RRI Pusat di Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan.
Melalui RRI, pagi itu pada pukul 07.20 dan diulang pada pukul 08.15 disiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September. Diumumkan antara lain bahwa gerakan ditujukan kepada jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup terhadap pemerintah.
Siang harinya, pukul 13.00 kembali disiarkan sebuah dekrit tentang pemberontakan Dewan Revolusi di pusat dan di daerah-daerah serta pendemisioneran Kabinet Dwikora.[27]
Pada hari itu juga, setelah menerima laporan tentang segala sesuatu yang terjadi, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto segera bertindak cepat. Hal ini dikarenkan pimpinan Angkatan Darat lumpuh berkenaan dengan penculikan-penculikan dan pembunuhan-pembunuhan oleh Gerakan 30 S. Setelah menerima laporan dari Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, segera diambil langkah-langkah mengkoordinasikan kesatuan-kesatuan yang berada di Jakarta dengan jalan mengkonsinyasi anggota-anggota Angkatan bersenjata melalui panglimanya masing-masing, kecuali Angkatan Udara yang panglimanya kemudian ternyata mendukung Gerakan 30 September.[28]
Operasi militer dimulai pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.00 ketika pasukan RPKAD di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menerima perintah dari panglima Kostrad untuk merebut kembali Studio RRI dan Kantor Pusat Telekomunikasi. Hanya dalam waktu 20 menit, kedua pusat sarana telekomunikasi tersebut dapat direbut dan beberapa saat kemudian Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan telah terjadi usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September.
Pada 2 Oktober 1965, menjelang sore hari, baru Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah dapat dikuasai kembali tanpa kesulitan, kecuali suatu perlawanan kecil oleh Batalyon 454/Para Diponegoro ketika pasukan-pasukan yang setia kepada pemerintah akan membersihkan kampung Lubang Buaya yang menjadi pusat latihan kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dengan telah dikuasainya kembali keadaan kota Jakarta, usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September dapat digagalkan. Dari dokumen-dokumen yang dapat disita dan hasil pemeriksaan tokoh-tokohnya, diketahui Gerakan 30 September digerakkan dan didalangi oleh PKI. Sementara itu untuk menanggulangi keadaan, Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya menyatakan daerah hukum KODAM V/Jaya dalam keadaan perang mulai tanggal 1 Oktober 1965, dan jam malam dinyatakan berlaku mulai pukul 18.00 sore hingga 06.00 pagi.[29]
b.      Jawa Tengah
Pemberontakan PKI dengan Gerakan 30 Septembernya ternyata telah matang dipersiapkan dan tidak terbatas hanya di Jakarta saja. Di berbagai daerah, PKI dan anggota-anggota ABRI yang telah dibina oleh PKI melakukan perebutan kekuasaan.
Berdirinya Dewan Revolusi di Yogyakarta diumumkan melalui RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi di daerah Yogyakarta diektuai oleh Mayor Muljono, Kepala Seksi Teritorial Korem 072/Yogyakarta. Komandan Korem 072, Kolonel Katamso dan Kepala Staf Korem 072, Letnan Kolonel Sugijono, masing-masing diculik dari rumah dan Markas Korem 072 sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Mereka dibawa ke markas Batalyo “L” di desa Kentungan, yang terletak di sebelah utara kota Yogya dan selanjutnya dibunuh di sana.
Di Solo, gerakan dilakukan oleh beberapa perwira dan anggota-anggota Brigade Infanteri VI yang melalui RRI Solo mengumumkan dukungan terhadap Gerakan 30 September. Kemudian Wali Kota Solo Oetomo Ramlan, seorang tokoh PKI, atas nama Front Nasional Solo menyiarkan pula dukungan terhadap Gerakan 30 September.
Sementara itu, di Wonogiri, ibukota sebuah kabupaten yang terletak di sebelah selatan Solo, dibentuk Dewan Revolusi daerah Wonogiri yang diketuai oleh Bupati Wonogiri, seorang tokoh PKI dengan dukungan KODAM setempat.
Di Semarang, Kolonel Sahirman, Asisten Intelijen Kodam VII/Diponegoro, setelah menguasai studio RRI Semarang mengumumkan pembentukan Gerakan 30 September Daerah yang dipimpinnya sendiri.
Seperti halnya di Jakarta, gerakan-gerakann kekuasaan di Jawa Tengah inipun dapat dipatahkan oleh kesatuan-kesatuan ABRI yang setia kepada Pancasila yang dipimpin oleh Pangdam VII/Diponegoro Brigadir Jenderal Surjosumpeno, sekalipun penumpasannya tidak secepat di Jakarta karena Jawa Tengah pada dasarnya memang merupakan basis PKI yang terkuat. Pengacauan, sabotase, dan teror oleh massa PKI berlangsung terutama di daerah Solo, Klaten, dan Boyolali. Kegiatan-kegiatan serupa dilakukan pula di berbagai daerah di Jawa Timur dan Bali.[30]
E. Coup Aidit Gagal
            Meskipun Aidit dengan lantang pernah mengemukakan betapa kuat PKI pada 1965 itu, tetapi percobaan coup yang dilakukan oleh partai ini, seperti di tahun 1948, menemui kegagalan. Dalam waktu yang sangat singkat, gerakannya dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan Pancasilais. Golongan anti komunis yang semula dipojokkan oleh PKI mendapat kesempatan untuk mengambil tindakan balasan.[31]
            Alasan-alasan kegagalan tersebut antara lain:
1.      perhitungan waktu yang salah (terlalu awal)
2.      terlalu percaya akan kekuatan sendiri dan meremehkan kekuatan-kekuatan lain
3.      kesatuan komando baik politik maupun militer tak ada
4.      keraguan-keraguan perwira untuk memilih antara setia kepada PKI atau kepada Presiden
5.      pasukan cadangan PKI tak bergerak
6.      lolosnya Jenderal Nasution menimbulkan kegelisahan di kalangan Gestapu
7.      sikap golongan-golongan non-komunis yang serentak tidak membenarkan kekejaman PKI.[32]





















BAB III
SIMPULAN


            Keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) memang menimbulkan keresahan di kalangan Pancasilais. Ideologi yang semula berkiblat pada Pancasila secara revolusioner diubah menjadi pemikiran yang berkiblat ke Timur: kilblat para komunis. Hal ini bisa terlihat dalam tahun 1948, ketika PKI pertama kali melancarkan aksinya, pertentangan politik yang hebat pada saat itu merupakan sumber terjadinya permasalahan keamanan dalam di Indonesia. Dalam keadaan demikian dengan sendirinya tidak akan mungkin TNI menjadi alat kepolisian dalam tangan pemerintah, kecuali jika memang kedaulatan negara yang terserang.
            Lantas PKI mulai bertindak anti-pemerintah, tentu yang mengusung Pancasila, karena dianggap berbahaya bagi keberlangsungan PKI. PKI menunjukkan sikap permusuhannya dengan Angkatan Darat dan Dewan Jenderal pada tahun 1965, sehingga menyebabkan terbunuhnya enam jenderal di Lubang Buaya, Jakarta.
            Pada akhirnya, tetap yang hitam akan selalu hitam, dan yang putih tetaplah putih. PKI berhasil dimusnahkan. Akar-akar komunisme dibabat, dan diganti dengan ideologi yang telah lama menjadi jiwa murni bangsa Indonesia. Pancasila.











DAFTAR PUSTAKA


Crouch, Harold. 1999. Militer dan Politik di Indonesia. Penerjemah Th.
Sumarthana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

G. Martha, Ahmaddani, dkk. 1984. Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah
Perjuangan Bangsa. Jakarta: Proyek Pengembangan dan Pengendalian/Kebijaksanaan dan Program Generasi Muda secara terpadu.

Kabin, George Mc.Tuman. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Penerjemah Nin Bakdi Soemanto. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan & Sebelas Maret University Press

Kartasasmita, Ginandjar,et.al. 1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 1. Jakarta:
PT. Tira Pustaka.

______________________.1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3. Jakarta:
PT. Tira Pustaka.

Moedjanto, G. 1992. Indonesia Abad Ke-20 jilid 2 Dari Perang Kemerdekaan
Pertama sampai PELITA III. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Nasution, A.H. 1979. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 8. Bandung:
Penerbit Angkasa.

Setyohadi, Tuk. 2002. Sejarah Perjalanan Bangsa Indonesia Dari Masa ke Masa.
Jakarta (tanpa penerbit).








[1] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 133.
[2] ibid., hlm. 134.
[3] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 135.
[4] ibid.
[5] Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, penerjemah Th. Sumarthana, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 45.
[6] Harold Crouch, op.cit., hlm. 46.
[7] ibid., hlm. 50.
[8] ibid., hlm. 51.
[9] Harold Crouch, op.cit., hlm. 52.
[10] ibid., hlm. 65.
[11] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 135.
[12] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 136.
[13] Harold Crouch, op.cit., hlm. 66..
[14] ibid., hlm. 67.
[15] Harold Crouch, Loc.cit.
[16] ibid., hlm. 68.
[17] ibid., hlm. 69.
[18] Harold Crouch, op.cit., hlm. 71.
[19] Ahmaddani G. Martha, dkk., Pemuda Indonesia Dalam Dimensi Sejarah Perjuangan Bangsa, (Jakarta: Proyek Pengembangan dan Pengendalian/Kebijaksanaan dan Program Generasi Muda secara terpadu, 1984), hlm. 273.
[20] Ahmaddani G. Martha, dkk., hlm. 274.
[21] ibid., hlm. 275
[22] ibid., hlm. 276
[23] Ahmaddani G. Martha, dkk., hlm. 282.
[24] ibid., hlm. 283
[25] Ahmaddani G. Martha, dkk., hlm. 284.
[26] Ginandjar Kartasasmita, et.al., 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid 3, (Jakarta: PT Tira Pustaka, 1981) hlm. 43.
[27] ibid., hlm. 46.
[28] ibid., hlm. 47.
[29] Ginandjar Kartasasmita, et.al., op.cit., hlm. 48.
[30] Ginandjar Kartasasmita, et.al., op.cit., hlm. 49.
[31] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 142.
[32] G. Moedjanto, op.cit., hlm. 143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar